“HUKUM BISA TERBATAS,
KASUS TIDAK TERBATAS.”
Babaimana munculnya
kekakuan dan kevakuman
hukum. Manusia dengan segala persoalan kehidupannya senantiasa berkemdang
dan perkembangan ini sering kali tidak diiringi dengan hukum yang mengaturnya.
Dalam persoalan ini ulama fiqh menyatakan, “Hukum bisa terbatas, sedangkan kasus yang terjadi
tidak terbatas.” Nikah ‘misyar’ atau kerap disebut nikah
sirri marak di wilayah bagian timur Arab Saudi. Para ulama membolehkan
selama memenuhi syarat syahnya. Anehnya di Indonesia dianggap ‘liar’ Senin, 29
Agustus 2005, Hidayatullah.com—Berita maraknya
nikah sirri (misya) pertama kali dilansir situs Al-Watan,
Jum`at (26/8) kemarin. Nikah sirri meningkat karena sejumlah fatwa
ulama membolehkan jenis pernikahan itu selama memenuhi syarat sah.
Syarat sah pernikahan, menurut sebagai
ulama, adalah ijabdan qabul (persetujuan kedua mempelai) dan
saksi. Sebagian lainnya adalah mewajibkan wali sebagai syarat sah apalagi yang
menikah adalah gadis. Sementara bagi para janda tidak disyaratkan wali.
Kalau lewat pernikahan biasa,
seorang pemuda selain harus membayar mas kawin mahal, juga menyediakan rumah
dan menanggung biaya pesta yang tergolong besar untuk ukuran kebanyakan.
Karena itu, banyak pria lebih
memilih menikah dengan caradiam-diam yang penting halal alias ada
saksi tanpa harus melakukan pesta dengan tamu undangan seperti lumrahnya
pernikahan biasa.
“Salah satu sebab utamanya adalah
faktor ekonomi, sebab sebagian pemuda tidak mampu menanggung biaya pesta,
menyiapkan rumah milik dan harta gono gini, maka mereka memilih menikah dengan
cara misyar yang penting halal,“ ujar Ummu Adil, salah seorang Khatibah
(semacam mak comblang).
Sebagain pemuda secara terus terang
mengaku lebih memilih cara perkawinan demikian karena alasan ekonomi. “Nikah
misyar adalah cara terbaik bagi saya untuk menikahagar tidak terperosok
dalam perbuatan haram (zina red.),“ ujar Khalid Ghanem, seorang pemuda yang
sedang mencari jodoh lewat misyar.
- See more at:
http://www.inilah-salafi-takfiri.com/general/nikah-sirri-meningkat-di-saudi#sthash.KcEjViPP.dpuf
Di sisi
lain, fiqh Islam tidak dimaksudkan untuk berlaku sepanjang masa, tetapi hanya
untuk menjawab persoalan yang timbul pada suatu kondisi, masa dan tempat
tertentu. Oleh karena itu, hukum senantiasa perlu disesuaikan dengan kondisi,
tempat dan zaman yang lain. Tidak jarang diteukan bahwa peristiwa yang
menghendaki hukum lebih cepat berkembang dibandingkan dengan hukum itu sendiri.
Oleh karena itu, kodifikasi hukum bisa memperlambat perkembangan hukum itu
sendiri.
Al-Khudhari Bek
dalam Tarekh Tasyri’ al-Islami membagi periodesasi pembentukan hukum
Islam dalam enam fase tasyri’.[1][1] Pertama adalah fase kerasulan Nabi Muhammad,
dimana segala sesuatu tentang hukum dikembalikan kepada belia. Kedua adalah
fase para sahabat Nabi yang senior (kibar al-shahabah) mulai dari saat
kematian Nabi sampai akhir masa khulafa’ al-Rasyidin. Ketiga adalah fase
sahabat Nabi yang yunior (shighar al-shahabah) mulai dari permulaan masa
Umawi sampai kurang lebih satu abad setelah hijrah. Keempat adalah fae fiqh
menjadi ilmu tersendiri mulai dari awal abad kedua hijrah sampai abad ketiga.
Kelima adalah fase perdebatan mengenai berbagai masalah hukum di kalangan fuqaha’,
mulai daari awal abad keempat hijrah samapai akhir masa Abbasiyah dan
penaklukan Tartar atas dunia Islam pada abad ketujuh hijrah (1258 M). keenam
adalah fase taqlid mulai dari kejatuhan dinasti Abbasiyah sampai sekarang.
Dewasa ini
menurut Rifa’i Ka’bah, kita memasuki fae ketujuh, yaitu fase kodifikasi atau
kompilasi dan ijtihad untuk masalah-maslaah kontemporer. Kodifikasi atau
kompilasi ini dilakukan oleh lembaga-lembaga resmi Negara atau semi resmi, atau
lembaga internasional, atau murni swasta. Tujuannya adalah untuk memperkaya
hukum nasional.[2][2] Hukum Islam baik yang dikodifikasi maupun yang
dikompilasi untuk sebagian menjadi bahan pembentukan hukum nasional dan
sebagian Negara tertentu dijadikan sepenuhnya sebagai peraturan
perundang-undangan. Menjadikan hukum Islam yang termuat dalam kitab-kitab fiqh
atau yang telah dikodifikasi atau dikompilasi sebagai undang-undang ini dalam bahasa Arab dikenal dengan al-Taqnin,
yang dalam sejarah hukum Islam ide dan upaya taqnin pertama kali
dikemukakan oleh Ibn al-Muqaffa’.
Siapa
sebenarnya Ibn Muqaffa’ ini, dan sejauhmana peranannya dalam taqnin
hukum Islam? Bagaimana tanggapan ulama ketika itu terhadap ide baru ini, Serta
bagaimana perkembangan ide taqnin ini selanjutnya? Untuk menjawab
pertanyaan ini maka penulis mencoba meramu berbagai literatur yang dimuat dalam
maklah sederhana ini. Mudah-mudahan makalah ini dapat menambah wawasan kita
tentang perkembangan tasyri’ hukum Islam.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Taqnin
Secara etimologi, kata taqnin
(تقنين) merupakan bentuk masdar dari qannana (قَنَّنَ), yang berarti membentuk undang-undang. Ada yang
berpendapat kata ini merupakan serapan dari Bahasa Romawi, canon. Namun
ada juga yang berpendapat, kata ini berasal dari Bahasa Persia. Seakar dengan taqnin
adalah kata qanun (قَانُوْن) yang berarti ukuran segala sesuatu, dan juga berarti
jalan atau cara (thariqah).[3][3]
Menurut Sobhi Mahmasani
kata Qanun berasal dari bahasa Yunani, masuk menjadi bahasa Arab melalui bahasa
Suryani yang berati alat pengukur atau kaidah. Di Eropa, istilah
kanun atau canon dipakai untuk menujuk hukum gereja yang disebut pula canonik,[4][4]
seperti corpus iuris cononici yang disahkan oleh Paus Gregorus XIII
tahun 1580, kemudian codex iuris coninci oleh Paus Benediktus XV tahun
1919. Hukum kanonik ini terdiri atas injil, fatwa-fatwa dari pemimpin gereja,
keputusan dari sidang-sidang gereja dan keputusan dan perintah dari paus.[5][5]
Oleh intelektual muslim di masa lalu, istilah kanun digunakan untuk menyebut himpunan
pengetahuan yang bersifat sains seperti buku yag ditulis oleh Ibn Sina dalam
bidang kedokteran yang berjudul Qanun fi al-Tibb, Qanun
al-Mas’udi yakni himpunan pengetahuan tentang astronomi yang dihimpun untuk
Sultan al-Mas’ud (sultan Ghaznawiyah) yang ditulis oleh al-Biruni.
Dalam konteks sekarang,
menurut Mahmasani istilah qanun memiliki tiga arti yaitu: pertama,
pengertian yang sifatnya umum yaitu kumpulan aturan hukum (codex)
seperti qanun pidana Utsmani. Kedua, berarti syariat atau hukum, dan ketiga,
dipakai secara khusus untuk kaidah-kaidah atau aturan yang tergolong dalam
hukum muamalat umum yang mempunyai kekuatan hukum, yakni undang-undang, seperti
dewan legislatif membuat qanun larangan menimbun barang.[6][6]
Adapun secara terminology,
taqnin adalah suatu usaha mengumpulkan kaidah-kaidah khusus yang
berhubungan dengan salah satu cabang undang-undang-setelah disusun secara
sistematis dan membuang bagian yang dirasa kurang cocok atau terdapat
kerancuan- dalam sebuah daftar, kemudian menjadikannya sebagai sumber dalam
hukum yang diwajibkan oleh penguasa untuk mentaatinya, dengan cara …….[7][7]
Taqnin al-Ahkam berarti mengumpulkan hukum dan kaidah penetapan hukum (tasyri`)
yang berkaitan dengan masalah hubungan sosial, menyusunnya secara sistematis,
serta mengungkapkannya dengan kalimat-kalimat yang tegas, ringkas, dan jelas
dalam bentuk bab, pasal, dan atau ayat yang memiliki nomor secara berurutan,
kemudian menetapkannya sebagai undang-undang atau peraturan, lantas disahkan
oleh pemerintah, sehingga wajib para penegak hukum menerapkannya di tengah
masyarakat.[8][8]
Shalib ibn Fauzan al-Fauzan sendiri
mendefinisikan taqnin dengan:
وضعُ موادٍّ تشريعيةٍ يحكمُ بها القاضي ولا
يتجاوزُها، أو بمعنى صياغةُ الأحكامِ الشرعية فى عباراتٍ إلزاميةٍ، لأجل إلزامِ
القضاة بالحكم بها.[9][9]
Sebagai perbandingan,
dalam ilmu hukum dikenal istilah hukum dan undang-undang. Dalam ilmu hukum,
hukum yaitu himpunan petunjuk-petunjuk hidup (perintah maupun larangan) yang
mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan oleh karena itu seharusnya
ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, dan pelanggaran atas
peraturan tersebut dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah masyarakat itu.[10][10]
Adapun yang disebut pengertian undang-undang secara umum diartikan peraturan
yang dibuat oleh negara. Undang-undang memiliki ciri yaitu keputusan tertulis,
dibuat oleh pejabat yang berwenang, berisi tentang aturan tingkah laku, dan
mengikat secara umum.[11][11]
Dalam literatur hukum
Islam pada saat sekarang, istilah dan bentuk dari hukum Islam mengalami
perkembangan, ada yang disebut fikih yakni ijtihad ulama yang tertera
dalam kitab-kitab fikih, fatwa yakni pendapat atau ketetapan ulama atau dewan
ulama tentang suatu hukum, keputusan-keputusan hakim (qadha), dan qanun.[12][12]
Qanun dalam kontes
sekarang dipandang sebagai formalisasi hukum Islam, yakni aturan syara’ yang
dikodifikasi oleh pemerintah yang bersifat mengikat dan berlaku secara umum.
Lahirnya Qanun dalam era moderen ini sebagai konsekwensi dari sistem hukum yang
berkembang terutama oleh karena pengaruh sistem hukum Eropa. Atas hal ini,
sebagian ulama menganggap formalisasi hukum Islam adalah sesuatu yang penting
sebagai panduan putusan hukum para hakim dalam suatu masalah yang sama pada
lembaga peradilan yang berbeda-beda. Sementara sebagian yang
lain tidak sependapat dengan taqnin al-ahkam dengan argumentasi
tersendiri dari mereka. Perbedaan pandangan ini kadang menghasilkan pertentangan
yang sengit antara kedua kubu. Sebagai akademisi, patut untuk melakukan analisa
atas argumentasi dua kutub pemikiran yang berbeda ini. Maka, dalam makalah ini
akan dipaparkan tentang sekilas sejarah taqnin al-ahkam, pandangan para
ulama tentang taqnin al-ahkam dan analisa pendapat-pendapat tersebut.
Sekilas Perkembangan Taqnin
Apabila taqnin
dimaknai secara luas dan salah satu maknanya diartikan sebagai tasyri’ (pembentukan
hukum), maka taqnin dapat dilacak keberadaannya sejak masa Nabi saw.
Akan tetapi apabila taqnin diartikan sebagaimana konsep hukum sekarang, yakni hukum tertulis yang bersifap mengikat, temporer dan memiliki
sanksi, maka maka taqnin dalam konsep tersebut tidaklah dapat diterapkan
kepada masa Nabi saw. Memang benar bahwa di masa Nabi pernah ada Piagam
Madinah atau Shahifah Madinah yang berisi tentang hak dan kewajiban
warga Madinah, baik muslim maupun non muslim untuk menjaga kedaulatan Madinah. Oleh
ahli hukum, dikatakan bahwa piagam Madinah merupakan
konstitusi negara yang tertulis.[13][13]
Begitu juga di masa
sahabat, ide tentang taqnin belum ditempuh. Ide yang baru muncul
adalah pemushafan Al-Qur’an yang dilakukan oleh Abu Bakar atas usulan Umar ibn
Khattab, dan kemudian dituntaskan pada masa Utsman ibn Affan. Begitu pula pada
masa Umayah, ide yang muncul adalah pentadwinan Hadis baru dimulai pada masa
Umar ibn Abdul Aziz (w. 720 M/102 H), khalifah kedelapan Bani Umayah.
Di masa Abbasiyah
barulah ide tentang taqnin lahir. Salah seorang sekretaris negara, Ibn
Muqaffa (w. 756 H/ 140 H), keturunan Persia, mengusulkan gagasan kepada
khalifah al-Mansyur (khalifah kedua Abbasiyah) untuk meninjau kembali doktrin
yang beraneka ragam, kemudian mengkodifikasikan dan mengundang-undangkan keputusannya
sendiri dengan tujuan menciptakan keseragaman yang mengikat para qadhi.
Undang-undang ini juga harus direvisi oleh para khalifah pengganti. Ibnu
muqaffa mengungkapkan bahwa khalifah memiliki hak untuk memutuskan
kebijakannya. Khalifah dapat membuat aturan atau tatanan yang mengikat kekuasaan
militer dan sipil, dan secara umum pada semua masalah yang tidak ada contoh
sebelumnya, tetap berdasarkan kepada pada Al-Quran dan Sunnah.[14][14]
Perkembangan taqnin
berikutnya mulai lebih konkrit pada masa Utsmani, yakni pada masa Sultan Sulaiman (1520-1560 M) dimana ia secara
serius memberlakukan qanun atau Qanun Name sebagai hukum resmi. Atas usaha itulah Sultan Sulaiman diberi digelar Sulaiman
al-Qanuni (Sulaiman the Legislator). Dalam Qanun Name dikupas secara lengkap
tentang gaji tentara, polisi rakyat yang bukan muslim, urusan kepolisian dan
hukum pidana, hukum pertanahan dan hukum perang. [15][15] Namun menurut Bernart Lewis seperti yang
dikutip oleh Wahiduddin Adams, produk hukum Sulaiman ini belum dapat disebut
undang-undang dalam arti yang sebenarnya, bahkan lebih pantas disebut
lembaran-lembaran untuk memudahkan dalam pengaturan administrasi.[16][16]
Kodifikasi/ kompilasi dan
taqnin paling terkenal di dunia Islam dimulai pada masa Turki Utsmani. Usha ini
dirintis melalui sebuah tim yang diketuai Menteri Kehakiman yang bekerja mulai
tahun 1285 H/1869 M sampai 1293 H/1876 M. pada tahun 1877 M berhasil disusun
kitab undang-undang Hukum Perdata yang diberi nama majallaat al-Ahkam
al-Adliyah. Kitab undang-undang yang berisi 16 bab dan 1851 pasal ini
diberlakukan di negeri-negeri yang tunduk pada kekuasaan Turki Usmani seperti
Mesir, Irak, Suria, Libia, dan Tunisia.[17][17] Kitab hukum tersebut secara umum diambil dari kitab-kitab madzhab
Hanafi. Jika dalam kitab tersebut ditemukan khilafah antara Abu Hanifah
dan pengikutnya, maka pendapat yang diambil adalah yang dianggap cocok dengan
kondisi dan kemaslahatan umum.
Pada masa kekuasan Dinasti Moghul di India juga dihimpun satu aturan hukum yang disebut Fatawa
Alamghirriyah. Alamghirriyah adalah nama yang dinisbatkan kepada sultan
Aurangzeb (1658-1707 M) dari dinasti Moghul. Ketika Inggris menguasai India
(tahun 1772 M), terjadi fusi antara hukum Islam yang telah berjalan di India dengan sistem hukum
Inggris sehingga melahirkan istilah Anglo Muhammadan Law
(Hukum Inggris Islam). Dalam praktek, para hakim-hakim Inggris didampingi oleh
para mufti untuk menyatakan hukum Islam yang benar untuk membantu para hakim
Inggris tersebut.[18][18]
2. Mandeknya
upaya ijtihad. Kodifikasi hukum Islam dapat mengakibatkan kemandekan upaya
ijtihad dikalangan ulama fiqh. Seorang ulama atau hakim bisa saja terpaku pada
fiqh yang telah dikodifikasi tersebut sehingga perkembangan berpikirnya pun
mandek.
3. Munculnya
persoalan taklid baru. Kodifikasi. Kodifikasi hukum Islam bisa memunculkan
persoalan taklid baru karena warga negara yang terikat pada kodifiksi hukum
tersebut hanya terikat pada satu pendapat. Padahal fiqh Islam masih dapat
berkembang, berbeda antara satu pendapa dan pendapat lainnya, sehingga setiap
orang dapat mengikuti pendapat mana saja selama belum mampu berijtihad sendiri.
Hal ini juga memberikan kesan mengenai sempit dan sulitnya fiqh, serta
berlawanan dengan ungkapan iktilaf ala al-aimmah rahmah li al-ummah (perbedaan
pendapat dikalangan ulama merupakan rahmat bagi umat). Apabila suatu hukkum
telah dikodifikasi, maka hukum itu harus dipatuhi olehh seluruh warga negara
dan bersifat mengikat bagi para pelaku hukum. Apabila hakim menentukan hukum
secara berbeda daengan hukum yang telah dikodifikasi, maka hakim tersebut
melanggar perundang-undangan yang sah.
Disamping
sisi negatif di atas, ulama fiqh juga mengemukakan sisi positif adanya
kodifikasi hukum Islam tersebut, antara lain :
1. memudahkan
para praktisi hhukum untuk merujuk hukum sesuai dengan keinginannya.
Kitab-kitab fiqh yag tersebar di dunia Islam penuh dengan perbedaan pendapat
yang kadang-kadang membingungkan dan menyulitkan. Dengan adanya kodifikasi
hukum, para praktisi hukum tidak perlu lagi mentarjih berbagai pendapat dalam
literatur fiqh.
2.
Mengukuhkan fiqh Islam dengan mengemukakan pendapat paling kuat. Fiqh Islam
penuh dengan perbedaan pendapat, bukan hanya antar mazhab, tetapi juga
perbedaan antarulama dalam mazhab yang sama, sehingga sulit untuk menentukan
pendapat terkuat dari sekian banyak pendapat dalam satu mazhab. Keadaan seperti
ini sangat menyulitkan praktisi hukum (apalagi orang awam) untuk memilih hukum
yang akan diterapkan, belum lagi meneliti apakah orang itu bermazhab Hambali
atau Syafi’I, sehingga hasil ijtihad Mazhab Hanafi atau Maliki tidak diterapkan
kepadanya. Dalam kaitan ini, kodifikasi hukum Islam yang sesuai dengan pendapat
yang kuat akan lebih prakti dan mudah dirujuk oleh para praktisi hukum, apabila
di zaman modern ini para hakim pada umumnya belum memenuhi syarat-syarat
mujtahid, sebagaimana yang ditetapkan oleh ulama.
3.
menghindari sikap taklid mazhab di kalangan praktis hukum, yang selama ini
menjadi kendala dalam lembaga-lembaga hukum.
4.
Menciptakan unifikasi hukum bagi lembaga – lembaga peradilan. Apabila hukum
dalam suatu negara tidah hanya satu, maka akan muncul perbedaan keputusan
antara satu peradilan dan peradilan lainnya. Hal ini bukan hanya membingungkan
umat, tetapi juga mengganggu stabilitas keputusan yang saling bertentangan
antara satu peradian dan peradilann lainnya. Dalam kaitan ini, Wahbah Zuhaili,
ahli fiqh dan usul fiqh kontemporer Suriah berkomentar bahwa kodifikasi hukum
di zaman sekarang merupakan tuntutan zaman dan tidak dapat dihindari karena
tidak semua orang mampu merujuk kitab-kitab fiqh dalam berbagai mazhab,
khususnya orang yang tidak menguasai bahasa Arab. Namun demikian, menurutnya,
kodifikasi hukum Islam tidak bersifat kaku. Artinya, kalau dikemudian hari ternyata
tuntutan zaman dan perubahan masyarakat menghendaki hukum lain dan penerapan
sebagian materi hhukum yang telah dikodifikasi tidak sesuai lagi dengan
kemaslahatan masyarakat, maka pihak pemerintah harus melakukan perubahan materi
hukum tersebut.[8] Dalam kaitan dengan ini, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah
berlaku kaidah, “Perubahan hukum sesuai perubahan situasi dan kondisi
masyarakat dan lingkungannya.
Sekalipun
ada kecemasan terhadap sisi – sisi negatif kodifikasi hukum Islam tersebut,
seperti mandeknya ijtihad dan tidak berkembangnya hukum, akhirnya ulama Islam
di zaman modern lebih banyak mendukung ide kodifikasi hukum di negeri
masing-masing karena terdesak oleh situasi dan kondisi sosio – kultural dan
politik. Bahkan di berbagai negara Islam, kodifikasi hukum disesuaikan dengan
kebutuhan zaman dan bidangnya masing-masing, seperti kodifikasi bidang hukum
perdata, pidana perseorangan serta keluarga, peradilan, tata usaha negara,
administrasi negara dan keuangan negara.
[27][9]
Abdurrahman ibn
Sa’d ibn ‘Ali al-Syatsri, Hukm Taqnin al-Syari’ah al-Islamiyah, (Riyadh:
Dar al-hami’i li al-Nasyri wa al-Tausi’i, 1428 H), hal. 15
[29][11] Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar
Ilmu Perundang-undangan Indonesia, (bandung: Mandar Maju,1998), h. 10.
[31][13] Salah satu uraian
tentang piagam madinah dapat dilihat dalam Deddy ismatullah, Gagasan
Peerintahan Modern dalam Konstitusi Madinah, (Bandung: Sahifa, 2006).
[35][17]
Lihat Hanafi, Pengantar dan ejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1966), hal. 219, lihat juga Umar Sulaiman, Tarikh al-Fiqh al-Islamiy,
(Kuwait: Maktabah al-Kalali, 1982), hal 193-194
[38][20] Hartono Mardjono, Menegakkan
Syari`at Islam dalam Konteks Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1997), h. 125.
[43][25] Abdul Aziz Dahlan dkk, Ensiklopedi
Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru vanH Hoeve, 1996), vol. 4, h. 1094.
No comments:
Post a Comment