Kisah Ayahku, Seorang Penjual Tahu Yang Tunawicara
Kisah nyata yang sangat menyentuh perasaan
Tempat kejadian di kota Tie Ling , provinsi Liao Ning utara , China.
Di suatu sudut di ujung jalan di dalam kota Tie Ling ......hampir setiap pagi atau senja, orang2 akan melihat seorang laki-laki tua dengan perlahan-lahan mendorong gerobak tahu dagangannya .
Dari corong pengeras suara terdengar suara merdu dan jernih seorang gadis.
Tahu.. tahu ... tahu asin.....! Tahu... tahu.... , itulah suaraku dan laki-laki tua pedagang tahu itu adalah ayahku. Ayahku adalah seorang tunawicara atau bisu.
Setelah aku berusia duapuluhan, barulah aku mempunyai keberanian untuk menaruh rekaman suaraku di gerobak dorong tahu jualan ayahku untuk menggantikan suara keliningan yang telah dia pergunakan selama puluhan tahun.
Saat aku berusia 2-3 tahun, aku sudah merasakan betapa memalukan mempunyai seorang ayah yang bisu, sehingga dari kecil aku telah membencinya. Saat itu aku melihat anak-anak kecil yang ikut ibunya membeli tahu dagangan ayahku, mereka mengambil lalu lari tanpa membayarnya. Ayahku hanya dapat menjulurkan leher tanpa dapat menyuarakan apapun. Aku tidak seperti kakak sulungku yang langsung mengejar dan memukul anak-anak tersebut .
Saat itu aku sedih sekali melihat kejadian tersebut dan hanya dapat berdiam diri saja. Herannya aku tidak membenci anak-anak tersebut, malah sebaliknya membenci ayahku yang bisu itu .
Meskipun ketika kedua abangku membantu menyisir rambutku dan membuatku sakit, aku tetap tidak mengizinkan ayahku mengepang kuncir kecilku.
Saat ibu wafat, beliau tidak meninggalkan foto dirinya yang cukup besar, hanya selembar foto berukuran 2 inci hitam putih bersama dengan tetangganya sebelum dia menikah. Di saat aku sedang sebal terhadap ayah, maka ayahku akan memandangi foto ibuku dengan berdiam diri, memandangi tanpa berhenti sampai dia harus mulai bekerja lagi, baru pergi meninggalkan foto tersebut .
Aku paling jengkel bila anak-anak lain memanggilku dengan "anak ketiga si bisu ".
Saat itu aku tidak dapat melawan mereka, maka aku hanya akan berlari pulang ke rumah menghadap ayah yang sedang mendorong penggilingan tahu. Aku kemudian membuat sebuah lingkaran di atas tanah lalu meludah di tengah2 nya.
Walaupun aku tidak mengerti apa artinya hal itu , namun aku sering melihatnya di saat anak-anak tersebut mengejek ayahku melakukan hal yang serupa. Maka kesimpulanku inilah ejekan yang paling sadis untuk seorang bisu.
Pertama kali aku mengejek ayahku dengan cara ini, ayah segera menghentikan pekerjaannya dan lama berdiam memandangi diriku dan air matanya mengalir dengan deras. Aku jarang melihat dia menangis, tetapi hari itu dia bersembunyi di ruang pembuatan tahu dan menangis semalam suntuk. Itulah sebuh tangisan TANPA SUARA. Ketika melihat ayah menangis, barulah aku merasa puas karena memperoleh pelampiasan atas segala rasa hina yang aku terima selama ini.
Sejak saat itu aku sering berlari di depannya , mengejeknya lalu meninggalkannya seorang diri. Namun saat-saat itu ayahku sudah tidak menangis lagi, tubuhnya yang kurus hanya meringkuk dan menyandarkan diri di kayu atau di meja penggilingan tahu. Mimik wajahnya justeru membuat aku lebih merasa hina.
Aku kemudian memutuskan untuk belajar dengan giat dan baik, masuk universitas dan meninggalkan desa ini, dimana semua orang tahu bahwa ayahku adalah si bisu yang memalukan itu. Inilah harapan dan cita-citaku saat itu.
Aku tidak tahu kalau semua abangku sudah berkeluarga, aku juga tidak tahu bagaimana keadaan bisnis tahu ayahku. Demikian juga aku tidak tahu berapa musim telah berlalu seperti juga berapa kampung dan desa bunyi keliningan itu mengelilinginya.
Aku memacu diriku dengan rajin belajar secara mati-matian dan bersikap keras terhadap diriku sendiri, sehingga achirnya aku berhasil diterima di sebuah universitas.
Di suatu senja di musim gugur tahun 1992, untuk pertama kalinya aku melihat ayahku memakai baju berwarna biru yang dibuat bibiku pada tahun 1977. Sambil duduk di bawah lampu dengan penuh perasaan gembira dan penuh rasa hormat dan hati-hati dia memberikan setumpuk uang yang masih terasa bau tahu ke dalam tanganku. Mulutnya tidak henti-hentinya bergumam.
Aku terhenyak mendengar rasa bangga dan kehangatan darinya. Terhenyak melihatnya tersenyum bangga dan penuh kepuasan ketika memberitahu keberhasilsanku kepada para tetangga dan famili.
Demikan juga saat aku melihat ayahku bersama paman kedua dan abangku menggelandang keluar seekor babi yang gemuk dan besar untuk disembelih dan mengundang seisi kampung untuk merayakan keberhasilanku masuk ke universitas .
Aku tidak tahu faktor apa yang menyentuh lubuk hatiku yang keras itu.... sehingga tanpa terasa aku menitikkan air mata, aku MENANGIS.
Saat makan bersama, di hadapan para tamu aku mengambilkan beberapa potong daging ke dalam mangkoknya. Sambil menangis aku berkata AYAH, AYAH makan dagingnya ya! Ayah pasti tidak dapat mendengarnya, namun aku yakin dia pasti mengerti apa maksudku. Dari sorot matanya aku melihat secercah sinar yang tidak pernah terpancarkan sebelumnya.
Air matanya bercampur dengan arak Gao Liang (Gandum) yang diteguknya sambil mengunyah daging yang diambilkan ke piring oleh puteri tercintanya. Ketika itu ayahku benar-benar mabuk penuh kegembiraan, rona wajahnya merah sekali, pinggangnya begitu tegak , dan bahasa tubuhnya pun tampak begitu indah dan elegan.
Mau tahu apa sebabnya? Selama delapanbelas tahun, aku ulangi: selama delapanbelas tahun dia belum pernah mendengar aku memanggilnya ayah!
Dengan susah payah, ayah tetap menjalankan usaha tahunya agar dapat membiayai kuliahku dengan lembaran-lembaran uang yang masih terasa aroma bau tahunya sehingga aku berhasil menyelesaikan kuliahku.
Tahun 1996 aku lulus dan ditugaskan di kota yang berjarak 40 km dari kampung halamanku. Setelah semua urusannya beres, aku menjemput ayahku yang selama ini hidup sendiri untuk menikmati sisa hidupnya di kota bersamaku.
Namun apa mau dikata, saat dalam perjalanan pulang ke kampung halamanku, terjadilah kecelakaan ini......Dari kakak iparkulah achirnya aku tahu apa sebenarnya yang menimpa diriku saat itu.
Diantara kerumunan orang yang menyaksikan kecelakaan itu ada yang mengenaliku adalah anak ketiga dari ayah bisuku. Kedua abangku beserta istrinya tiba, melihat diriku yang sudah tidak sadarkan diri, mereka menjadi kalang kabut. Yang terakhir datang adalah ayahku ..... Dia menyeruak dari kerumunan orang banyak, menggendongku yang sudah dianggap pasti mati oleh orang-orang yang menyaksikan dan menyetop sebuah kendaraan.
Ayah menopang tubuhku dengan kedua kakinya, merogoh saku kantong dan mengeluarkan segepok uang receh hasil penjualan tahu dan menjejalkannya kedalam tangan si supir dan memohon kepadanya unit untuk menghantarkan aku ke rumah sakit.
Menurut kakak iparku, ayahku yang bagitu ringkih saat itu menjelma menjadi begitu bertenaga dan tabah.
Setelah luka-lukaku dibersihkan, dokter meminta untuk dipindahkan ke rumah sakit lain, mamberitahu ke abangku bahwa aku sudah tidak mempunyai harapan lagi untuk hidup .
Keadaanku saat itu, tekanan darahku sudah hampir tidak terukur, dan kepalaku luka parah dan bengkak.
Ayahku merobek "baju berkabung" yang telah dibeli oleh abangku dalam ke terputusasaannya. Ayah menunjuk matanya sendiri dengan ibu jarinya, kemudian menunjuk ke aku, menjulurkan ibu jarinya lagi, menggoyang-goyang kan tangan lalu menutup matanya. Artinya adalah: kalian jangan menangis, saya aja tidak menangis, maka kalian jangan menangis. Adik perempuanmu tidak akan meninggal, dia baru berusia dua puluh tahunan, dia pastinya dapat bertahan, kita pasti dapat menolongnya.
Dokter tetap dengan pendiriannya, dia meminta abangku untuk memberitahu ayahku. Bahwa, anak gadismu ini tidak dapat ditolong lagi, seandainya mau ditolongpun juga harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit jumlahnya, ... meskipun demikian juga belum tentu tertolong .
Ayahku bersujud di lantai, kemudian berdiri lagi, menunjuk ke aku, mengacung-acungkan tangannya, dengan bahasa tubuhnya membuat gerakan bercocok tanam, memotong rumput, memelihara babi, mendorong penggilingan, dengan gaya-gaya tersebut ..... kemudian mengeluarkan sakunya yang sudah kosong, kemudian memasukkannya lagi.
Artinya adalah : saya mohon, tolonglah putriku, putriku sangat potensial sekali, kalian harus menolongnya, ... Saya akan mengumpulkan uang untuk membayar semua ongkos-ongkos rumah sakit, dengan babi-babiku, bercocok tanam, membuat tahu. Saya punya uang, sekarang saya punya Empat Ribu yuan! Dokter memegang erat tangannya, menggeleng-gelengkan kepala, memberi isyarat bahwa uang ini masih jauh dari mencukupi .
Ayahku gusar sekali, dia menunjuk abangku, kakak iparku, mengepalkan tinjunya mengisyaratkan bahwa kami dapat berusaha bersama, kami pasti dapat melakukannya. Melihat Dokter diam saja, maka ayah menunjuk-nunjuk platfon, menjejakkan kaki di lantai, menangkupkan kedua tangannya, ditaruhnya dipelipis kanan sambil memejamkan mata. Yang berarti: saya punya rumah, bisa dijual, saya bisa tidur dilantai .... sekalipun saya bangkrut, saya juga harus berjuang untuk kehidupan anak gadisku .
Lalu menunjuk Dokter sambil menangkupkan kedua tangannya, artinya Dokter jangan kuatir kita tidak akan mengingkari janji ... soal biaya kami akan berusaha untuk mendapatkannya.
Abang tertuaku sambil menangis menjelaskan arti dari bahasa tubuh ayahku ke Dokter tersebut.
Belum sampai selesai menjelaskannya ,Dokter yang telah terbiasa menghadapi pasien-pasien yang sedang sekarat, kali ini tidak kuasa menahan airmatanya yang telah memenuhi seluruh wajahnya.
Melihat gerakan tangan ayahku, saat memperagakan dan mengutarakan maksudnya, siapa pun yang menyaksikannya pasti akan meneteskan airmata.
Kemudian sang Dokter berkata, sekalipun telah dilakukan tindakan operasi, juga belum tentu dapat tertolong nyawanya.
Ayahku menepuk-nepuk kantong sakunya dan menepuk-nepuk dadanya, yang berarti: Kalian harus berusaha sekuat tenaga, seandainya gagal sekalipun saya akan tetap membayarnya dan tidak akan complain.
Cinta yang sangat agung dan tulus dari seorang ayah ..... tidak saja menopang hidupku, namun juga menopang dan menyemangati sang Dokter dalam keyakinannya untuk mengoperasiku.
Aku dibawa masuk kedalam ruang operasi .... ayah menungguiku di luar kamar operasi sambil mondar mandir dengan gelisah .... sampai sol sepatunya robek.
Ayah tidak meneteskan setitik airmata pun, namun dalam penantian selama lebih kurang sepuluh jam itu seluruh mulutnya muncul gelembung-gelembung kecil. Dengan tidak henti-hentinya ayah berdoa kepada Thian, mohon diberikan kesembuhan dan kesempatan untuk hidup lagi bagi putrinya. Rupa-rupanya Thian pun tersentuh hatinya atas ketulusan ayahku ..... dan aku terselamatkan!
Selama setengah bulan aku dalam keadaan koma dan tidak tahu sama sekali apa yang menimpa diriku. Aku telah menjadi " manusia pohon " .... semua orang telah kehilangan keyakinan bahwa aku akan dapat sadar kembali. Hanya ayah yang dengan setianya menungguiku di samping ranjangku, dengan suatu keyakinan bahwa aku pasti akan sadar kembali.
Dengan jari-jari tangannya yang kasar ayah memijatiku dengan sangat hati-hati ..... Dan dengan suara yang tidak jelas dia terus menerus memanggil-manggil namaku ... Dia memanggil : YOEN YA DAO ! YOEN YA DAO ! (anak gadis YOEN ), sadarlah! Ayah menungguimu, minumlah air susu kacang yang baru kubuat ini .......
Supaya para Dokter dan perawat memperhatikanku, maka saat abangku menggantikan ayah untuk menungguiku, maka ayah membuat tahu ..... Dan masih dalam keadaan baru dan panas, dibagikannya kepada para perawat dan juga karyawan yang ada dalam rumah sakit itu.
Walaupun ada peraturan dalam rumah sakit itu tidak boleh menerima barang pemberian dari keluarga pasien, namun menghadapi ketulusan, kejujuran dan keluguan dari sikap ayahku itu, maka merekapun menerimanya.
Ayahku puas sekali dan makin menambah keyakinannya bahwa aku pasti sembuh. Ayah berbicara dengan bahasa tubuhnya kepada karyawan di rumah sakit itu: "Kalian adalah orang baik dan hebat! Saya sangat yakin bahwa kalian pasti dapat menyembuhkan putriku".
Dalam kurun waktu itu, untuk mengumpulkan biaya rumah sakit, ayah menjajaki semua kampung-kampung dan desa-desa di mana dia pernah menjual tahunya ...... Dengan reputasinya, di mana orang-orang mengenal kebaikan, kejujurannya ..... maka ayah memperoleh banyak dukungan untuk memperkuat semangatnya untuk menyelamatkan nyawa putrinya yang masih dalam keadaan antara hidup dan mati.
Para tetanggga, kawan-kawan dan sahabatnya dengan sukarela membantu menyisihkan uang ....... Dan ayahku pun tidak ceroboh, dia mencatatnya dengan seksama nama-nama penyumbang itu:
- Chang San 20 yuan
- Li Kang 100 yuan
- Ny Wang 65 yuan
Suatu pagi setelah aku koma selama setengah bulan, achirnya aku dapat membuka mata! Yang kulihat adalah seorang tua yang sangat kurus, ayah membuka mulutnya lebar-lebar karena terperanjat ..... sangat girang melihat aku mendusin dan ayah menggumam tak karuan. Uban yang ada dikepalanya dengan cepat menjadi basah oleh keringat karena keharuannya ...
Ayahku, yang setengah bulan yang lalu masih belum beruban, sekarang menjadi sangat tua sekali, rambutnya penuh dengan uban putih dan tampak duapuluh tahun lebih tua dari usia sebenarnya ....
Rambut dikepalaku yang botak sudah mulai tumbuh kembali ..... ayahku membelainya dengan penuh kasih sayang ..... Dulu sekali belaian semacam ini adalah suatu kemewahan yang diharapkan olehnya .... karena selalu aku menolak saat ayah mau melakukannya. Enam bulan kemudian rambutku sudah mulai dapat dikepang! Aku meraih lengan ayahku dan membiarkannya menyisir rambutku ......
Ayah menjadi canggung sekali .... Ayah menyisirnya dengan pelan-pelan, namun ayah tidak dapat menyisirnya dengan baik ...... maka aku mengikat rambutku asal- asalan saja dan naik ke gerobak dorong yang telah dirubah menjadi sebuah kereta kecil.
Pernah sekali ayah menghentikan keretanya, menghampiriku dan membuat gerakan seolah-olah mau menggendongku, lalu kemudian membuat gerakan mau melemparku ..... kemudian membuat gerakan seperti menghitung uang! Ternyata dia mau menjualku seperti tahu yang dijualnya ......
Tentunya ayah bercanda, maka akupun menutup wajahku sambil menangis, maka ayah akan tersenyum tanpa suara ....... Dan aku mengintip melalui sela-sela jari tanganku, melihatnya tertawa sambil berjongkok dilantai. Permainan ini ayah lakukan sampai aku dapat berdiri dan berjalan lagi ...
Selain kepalaku yang masih kadang-kadang sakit, selepas itu aku sangat sehat .... Kami bekerja keras bersama-sama untuk melunasi pinjaman kami ..... Dan achirnya ayah ikut aku pindah ke kota dan hidup bersamaku.
Berhubung ayah sudah terbiasa kerja, maka beliau tidak dapat berdiam diri ... maka aku menyewa sebuah rumah kecil untuk ayah membuat usaha tahunya. Tahu buatan ayahku sangat enak, harum, empuk dan potongannya cukup besar sehingga pembeli suka sekali menyantapnya!
Aku memasangkan alat pengeras suara di gerobak dagangannya, walaupun ayah tidak dapat mendengar suara nyaringku, namun beliau paham apa artinya! Begitu ayah memencet tombol itu, maka dengan bangganya ayah mengangkat kepalanya dan dari wajah tuanya terpancar suatu kepuasan dan kebahagiaan.
Bila aku mengingat dulu betapa aku sering menghina dan mengejeknya, namun beliau tidak pernah mendendam sama sekali ..... sehingga akupun tidak tega untuk menyatakan penyesalanku.
Aku sering berpikir: Seandainya bila semua INSAN dibumi ini penuh dengan music SYMPHONI CINTA kami dapat mendengarkannya, menyimaknya, merasakannya, tergetar kalbu kita ....... Namun bagi ayahku yang bisu itu, membuatku memahami dan mengerti bahwa sebenarnya MUSIC yang paling indah dan dahsyat itu adalah KEHENINGAN tanpa SUARA.
Itu adalah KEKUATAN terdahsyat yang tidak terbantahkan kekuatannya ..... menghantarkan pemahamanku tentang CINTA ke tempat posisi yang tertinggi.
Marilah kita saling bersilahturami dan bersahabat secara tulus dan ichlas ..... oleh karena dalam hidup ini kita sulit dan jarang mendapatkan, menemukan persahabatan yang SEJATI.
Marilah kita berbuat lebih baik lagi terhadap orang tua kita , karena setelah waktu berlalu maka yang tertinggal adalah KENANGAN
Marilah kita lebih TULUS lagi terhadap pasangan, karena setelah waktu berlalu tidak mungkin lagi dapat berjalan bersama sambil bergandengan tangan.
Marilah kita lebih memperhatikan perkembangan anak kita, karena setelah waktu berlalu maka kita tidak dapat lagi MEMELUK dan MERANGKULNYA.
Marilah dalam setiap PERTEMUAN, kesempatan kita untuk bersilahturami dengan TULUS TANPA PAMRIH ..... menyatakan rasa berterimakasih dan bersyukur!
Biarkanlah setiap detik, setiap saat yang kita temui adalah KETULUSAN. Karena ..... sekali lagi karena ..... setelah waktu berlalu ..... Maka semua ini tidak mungkin akan terjadi lagi .......
.............. Selesai ........
“HUKUM BISA TERBATAS,
KASUS TIDAK TERBATAS.”
Babaimana munculnya
kekakuan dan kevakuman
hukum. Manusia dengan segala persoalan kehidupannya senantiasa berkemdang
dan perkembangan ini sering kali tidak diiringi dengan hukum yang mengaturnya.
Dalam persoalan ini ulama fiqh menyatakan, “Hukum bisa terbatas, sedangkan kasus yang terjadi
tidak terbatas.” Nikah ‘misyar’ atau kerap disebut nikah
sirri marak di wilayah bagian timur Arab Saudi. Para ulama membolehkan
selama memenuhi syarat syahnya. Anehnya di Indonesia dianggap ‘liar’ Senin, 29
Agustus 2005, Hidayatullah.com—Berita maraknya
nikah sirri (misya) pertama kali dilansir situs Al-Watan,
Jum`at (26/8) kemarin. Nikah sirri meningkat karena sejumlah fatwa
ulama membolehkan jenis pernikahan itu selama memenuhi syarat sah.
Syarat sah pernikahan, menurut sebagai
ulama, adalah ijabdan qabul (persetujuan kedua mempelai) dan
saksi. Sebagian lainnya adalah mewajibkan wali sebagai syarat sah apalagi yang
menikah adalah gadis. Sementara bagi para janda tidak disyaratkan wali.
Kalau lewat pernikahan biasa,
seorang pemuda selain harus membayar mas kawin mahal, juga menyediakan rumah
dan menanggung biaya pesta yang tergolong besar untuk ukuran kebanyakan.
Karena itu, banyak pria lebih
memilih menikah dengan caradiam-diam yang penting halal alias ada
saksi tanpa harus melakukan pesta dengan tamu undangan seperti lumrahnya
pernikahan biasa.
“Salah satu sebab utamanya adalah
faktor ekonomi, sebab sebagian pemuda tidak mampu menanggung biaya pesta,
menyiapkan rumah milik dan harta gono gini, maka mereka memilih menikah dengan
cara misyar yang penting halal,“ ujar Ummu Adil, salah seorang Khatibah
(semacam mak comblang).
Sebagain pemuda secara terus terang
mengaku lebih memilih cara perkawinan demikian karena alasan ekonomi. “Nikah
misyar adalah cara terbaik bagi saya untuk menikahagar tidak terperosok
dalam perbuatan haram (zina red.),“ ujar Khalid Ghanem, seorang pemuda yang
sedang mencari jodoh lewat misyar.
- See more at:
http://www.inilah-salafi-takfiri.com/general/nikah-sirri-meningkat-di-saudi#sthash.KcEjViPP.dpuf
Di sisi
lain, fiqh Islam tidak dimaksudkan untuk berlaku sepanjang masa, tetapi hanya
untuk menjawab persoalan yang timbul pada suatu kondisi, masa dan tempat
tertentu. Oleh karena itu, hukum senantiasa perlu disesuaikan dengan kondisi,
tempat dan zaman yang lain. Tidak jarang diteukan bahwa peristiwa yang
menghendaki hukum lebih cepat berkembang dibandingkan dengan hukum itu sendiri.
Oleh karena itu, kodifikasi hukum bisa memperlambat perkembangan hukum itu
sendiri.
Al-Khudhari Bek
dalam Tarekh Tasyri’ al-Islami membagi periodesasi pembentukan hukum
Islam dalam enam fase tasyri’.[1][1] Pertama adalah fase kerasulan Nabi Muhammad,
dimana segala sesuatu tentang hukum dikembalikan kepada belia. Kedua adalah
fase para sahabat Nabi yang senior (kibar al-shahabah) mulai dari saat
kematian Nabi sampai akhir masa khulafa’ al-Rasyidin. Ketiga adalah fase
sahabat Nabi yang yunior (shighar al-shahabah) mulai dari permulaan masa
Umawi sampai kurang lebih satu abad setelah hijrah. Keempat adalah fae fiqh
menjadi ilmu tersendiri mulai dari awal abad kedua hijrah sampai abad ketiga.
Kelima adalah fase perdebatan mengenai berbagai masalah hukum di kalangan fuqaha’,
mulai daari awal abad keempat hijrah samapai akhir masa Abbasiyah dan
penaklukan Tartar atas dunia Islam pada abad ketujuh hijrah (1258 M). keenam
adalah fase taqlid mulai dari kejatuhan dinasti Abbasiyah sampai sekarang.
Dewasa ini
menurut Rifa’i Ka’bah, kita memasuki fae ketujuh, yaitu fase kodifikasi atau
kompilasi dan ijtihad untuk masalah-maslaah kontemporer. Kodifikasi atau
kompilasi ini dilakukan oleh lembaga-lembaga resmi Negara atau semi resmi, atau
lembaga internasional, atau murni swasta. Tujuannya adalah untuk memperkaya
hukum nasional.[2][2] Hukum Islam baik yang dikodifikasi maupun yang
dikompilasi untuk sebagian menjadi bahan pembentukan hukum nasional dan
sebagian Negara tertentu dijadikan sepenuhnya sebagai peraturan
perundang-undangan. Menjadikan hukum Islam yang termuat dalam kitab-kitab fiqh
atau yang telah dikodifikasi atau dikompilasi sebagai undang-undang ini dalam bahasa Arab dikenal dengan al-Taqnin,
yang dalam sejarah hukum Islam ide dan upaya taqnin pertama kali
dikemukakan oleh Ibn al-Muqaffa’.
Siapa
sebenarnya Ibn Muqaffa’ ini, dan sejauhmana peranannya dalam taqnin
hukum Islam? Bagaimana tanggapan ulama ketika itu terhadap ide baru ini, Serta
bagaimana perkembangan ide taqnin ini selanjutnya? Untuk menjawab
pertanyaan ini maka penulis mencoba meramu berbagai literatur yang dimuat dalam
maklah sederhana ini. Mudah-mudahan makalah ini dapat menambah wawasan kita
tentang perkembangan tasyri’ hukum Islam.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Taqnin
Secara etimologi, kata taqnin
(تقنين) merupakan bentuk masdar dari qannana (قَنَّنَ), yang berarti membentuk undang-undang. Ada yang
berpendapat kata ini merupakan serapan dari Bahasa Romawi, canon. Namun
ada juga yang berpendapat, kata ini berasal dari Bahasa Persia. Seakar dengan taqnin
adalah kata qanun (قَانُوْن) yang berarti ukuran segala sesuatu, dan juga berarti
jalan atau cara (thariqah).[3][3]
Menurut Sobhi Mahmasani
kata Qanun berasal dari bahasa Yunani, masuk menjadi bahasa Arab melalui bahasa
Suryani yang berati alat pengukur atau kaidah. Di Eropa, istilah
kanun atau canon dipakai untuk menujuk hukum gereja yang disebut pula canonik,[4][4]
seperti corpus iuris cononici yang disahkan oleh Paus Gregorus XIII
tahun 1580, kemudian codex iuris coninci oleh Paus Benediktus XV tahun
1919. Hukum kanonik ini terdiri atas injil, fatwa-fatwa dari pemimpin gereja,
keputusan dari sidang-sidang gereja dan keputusan dan perintah dari paus.[5][5]
Oleh intelektual muslim di masa lalu, istilah kanun digunakan untuk menyebut himpunan
pengetahuan yang bersifat sains seperti buku yag ditulis oleh Ibn Sina dalam
bidang kedokteran yang berjudul Qanun fi al-Tibb, Qanun
al-Mas’udi yakni himpunan pengetahuan tentang astronomi yang dihimpun untuk
Sultan al-Mas’ud (sultan Ghaznawiyah) yang ditulis oleh al-Biruni.
Dalam konteks sekarang,
menurut Mahmasani istilah qanun memiliki tiga arti yaitu: pertama,
pengertian yang sifatnya umum yaitu kumpulan aturan hukum (codex)
seperti qanun pidana Utsmani. Kedua, berarti syariat atau hukum, dan ketiga,
dipakai secara khusus untuk kaidah-kaidah atau aturan yang tergolong dalam
hukum muamalat umum yang mempunyai kekuatan hukum, yakni undang-undang, seperti
dewan legislatif membuat qanun larangan menimbun barang.[6][6]
Adapun secara terminology,
taqnin adalah suatu usaha mengumpulkan kaidah-kaidah khusus yang
berhubungan dengan salah satu cabang undang-undang-setelah disusun secara
sistematis dan membuang bagian yang dirasa kurang cocok atau terdapat
kerancuan- dalam sebuah daftar, kemudian menjadikannya sebagai sumber dalam
hukum yang diwajibkan oleh penguasa untuk mentaatinya, dengan cara …….[7][7]
Taqnin al-Ahkam berarti mengumpulkan hukum dan kaidah penetapan hukum (tasyri`)
yang berkaitan dengan masalah hubungan sosial, menyusunnya secara sistematis,
serta mengungkapkannya dengan kalimat-kalimat yang tegas, ringkas, dan jelas
dalam bentuk bab, pasal, dan atau ayat yang memiliki nomor secara berurutan,
kemudian menetapkannya sebagai undang-undang atau peraturan, lantas disahkan
oleh pemerintah, sehingga wajib para penegak hukum menerapkannya di tengah
masyarakat.[8][8]
Shalib ibn Fauzan al-Fauzan sendiri
mendefinisikan taqnin dengan:
وضعُ موادٍّ تشريعيةٍ يحكمُ بها القاضي ولا
يتجاوزُها، أو بمعنى صياغةُ الأحكامِ الشرعية فى عباراتٍ إلزاميةٍ، لأجل إلزامِ
القضاة بالحكم بها.[9][9]
Sebagai perbandingan,
dalam ilmu hukum dikenal istilah hukum dan undang-undang. Dalam ilmu hukum,
hukum yaitu himpunan petunjuk-petunjuk hidup (perintah maupun larangan) yang
mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan oleh karena itu seharusnya
ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, dan pelanggaran atas
peraturan tersebut dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah masyarakat itu.[10][10]
Adapun yang disebut pengertian undang-undang secara umum diartikan peraturan
yang dibuat oleh negara. Undang-undang memiliki ciri yaitu keputusan tertulis,
dibuat oleh pejabat yang berwenang, berisi tentang aturan tingkah laku, dan
mengikat secara umum.[11][11]
Dalam literatur hukum
Islam pada saat sekarang, istilah dan bentuk dari hukum Islam mengalami
perkembangan, ada yang disebut fikih yakni ijtihad ulama yang tertera
dalam kitab-kitab fikih, fatwa yakni pendapat atau ketetapan ulama atau dewan
ulama tentang suatu hukum, keputusan-keputusan hakim (qadha), dan qanun.[12][12]
Qanun dalam kontes
sekarang dipandang sebagai formalisasi hukum Islam, yakni aturan syara’ yang
dikodifikasi oleh pemerintah yang bersifat mengikat dan berlaku secara umum.
Lahirnya Qanun dalam era moderen ini sebagai konsekwensi dari sistem hukum yang
berkembang terutama oleh karena pengaruh sistem hukum Eropa. Atas hal ini,
sebagian ulama menganggap formalisasi hukum Islam adalah sesuatu yang penting
sebagai panduan putusan hukum para hakim dalam suatu masalah yang sama pada
lembaga peradilan yang berbeda-beda. Sementara sebagian yang
lain tidak sependapat dengan taqnin al-ahkam dengan argumentasi
tersendiri dari mereka. Perbedaan pandangan ini kadang menghasilkan pertentangan
yang sengit antara kedua kubu. Sebagai akademisi, patut untuk melakukan analisa
atas argumentasi dua kutub pemikiran yang berbeda ini. Maka, dalam makalah ini
akan dipaparkan tentang sekilas sejarah taqnin al-ahkam, pandangan para
ulama tentang taqnin al-ahkam dan analisa pendapat-pendapat tersebut.
Sekilas Perkembangan Taqnin
Apabila taqnin
dimaknai secara luas dan salah satu maknanya diartikan sebagai tasyri’ (pembentukan
hukum), maka taqnin dapat dilacak keberadaannya sejak masa Nabi saw.
Akan tetapi apabila taqnin diartikan sebagaimana konsep hukum sekarang, yakni hukum tertulis yang bersifap mengikat, temporer dan memiliki
sanksi, maka maka taqnin dalam konsep tersebut tidaklah dapat diterapkan
kepada masa Nabi saw. Memang benar bahwa di masa Nabi pernah ada Piagam
Madinah atau Shahifah Madinah yang berisi tentang hak dan kewajiban
warga Madinah, baik muslim maupun non muslim untuk menjaga kedaulatan Madinah. Oleh
ahli hukum, dikatakan bahwa piagam Madinah merupakan
konstitusi negara yang tertulis.[13][13]
Begitu juga di masa
sahabat, ide tentang taqnin belum ditempuh. Ide yang baru muncul
adalah pemushafan Al-Qur’an yang dilakukan oleh Abu Bakar atas usulan Umar ibn
Khattab, dan kemudian dituntaskan pada masa Utsman ibn Affan. Begitu pula pada
masa Umayah, ide yang muncul adalah pentadwinan Hadis baru dimulai pada masa
Umar ibn Abdul Aziz (w. 720 M/102 H), khalifah kedelapan Bani Umayah.
Di masa Abbasiyah
barulah ide tentang taqnin lahir. Salah seorang sekretaris negara, Ibn
Muqaffa (w. 756 H/ 140 H), keturunan Persia, mengusulkan gagasan kepada
khalifah al-Mansyur (khalifah kedua Abbasiyah) untuk meninjau kembali doktrin
yang beraneka ragam, kemudian mengkodifikasikan dan mengundang-undangkan keputusannya
sendiri dengan tujuan menciptakan keseragaman yang mengikat para qadhi.
Undang-undang ini juga harus direvisi oleh para khalifah pengganti. Ibnu
muqaffa mengungkapkan bahwa khalifah memiliki hak untuk memutuskan
kebijakannya. Khalifah dapat membuat aturan atau tatanan yang mengikat kekuasaan
militer dan sipil, dan secara umum pada semua masalah yang tidak ada contoh
sebelumnya, tetap berdasarkan kepada pada Al-Quran dan Sunnah.[14][14]
Perkembangan taqnin
berikutnya mulai lebih konkrit pada masa Utsmani, yakni pada masa Sultan Sulaiman (1520-1560 M) dimana ia secara
serius memberlakukan qanun atau Qanun Name sebagai hukum resmi. Atas usaha itulah Sultan Sulaiman diberi digelar Sulaiman
al-Qanuni (Sulaiman the Legislator). Dalam Qanun Name dikupas secara lengkap
tentang gaji tentara, polisi rakyat yang bukan muslim, urusan kepolisian dan
hukum pidana, hukum pertanahan dan hukum perang. [15][15] Namun menurut Bernart Lewis seperti yang
dikutip oleh Wahiduddin Adams, produk hukum Sulaiman ini belum dapat disebut
undang-undang dalam arti yang sebenarnya, bahkan lebih pantas disebut
lembaran-lembaran untuk memudahkan dalam pengaturan administrasi.[16][16]
Kodifikasi/ kompilasi dan
taqnin paling terkenal di dunia Islam dimulai pada masa Turki Utsmani. Usha ini
dirintis melalui sebuah tim yang diketuai Menteri Kehakiman yang bekerja mulai
tahun 1285 H/1869 M sampai 1293 H/1876 M. pada tahun 1877 M berhasil disusun
kitab undang-undang Hukum Perdata yang diberi nama majallaat al-Ahkam
al-Adliyah. Kitab undang-undang yang berisi 16 bab dan 1851 pasal ini
diberlakukan di negeri-negeri yang tunduk pada kekuasaan Turki Usmani seperti
Mesir, Irak, Suria, Libia, dan Tunisia.[17][17] Kitab hukum tersebut secara umum diambil dari kitab-kitab madzhab
Hanafi. Jika dalam kitab tersebut ditemukan khilafah antara Abu Hanifah
dan pengikutnya, maka pendapat yang diambil adalah yang dianggap cocok dengan
kondisi dan kemaslahatan umum.
Pada masa kekuasan Dinasti Moghul di India juga dihimpun satu aturan hukum yang disebut Fatawa
Alamghirriyah. Alamghirriyah adalah nama yang dinisbatkan kepada sultan
Aurangzeb (1658-1707 M) dari dinasti Moghul. Ketika Inggris menguasai India
(tahun 1772 M), terjadi fusi antara hukum Islam yang telah berjalan di India dengan sistem hukum
Inggris sehingga melahirkan istilah Anglo Muhammadan Law
(Hukum Inggris Islam). Dalam praktek, para hakim-hakim Inggris didampingi oleh
para mufti untuk menyatakan hukum Islam yang benar untuk membantu para hakim
Inggris tersebut.[18][18]
2. Mandeknya
upaya ijtihad. Kodifikasi hukum Islam dapat mengakibatkan kemandekan upaya
ijtihad dikalangan ulama fiqh. Seorang ulama atau hakim bisa saja terpaku pada
fiqh yang telah dikodifikasi tersebut sehingga perkembangan berpikirnya pun
mandek.
3. Munculnya
persoalan taklid baru. Kodifikasi. Kodifikasi hukum Islam bisa memunculkan
persoalan taklid baru karena warga negara yang terikat pada kodifiksi hukum
tersebut hanya terikat pada satu pendapat. Padahal fiqh Islam masih dapat
berkembang, berbeda antara satu pendapa dan pendapat lainnya, sehingga setiap
orang dapat mengikuti pendapat mana saja selama belum mampu berijtihad sendiri.
Hal ini juga memberikan kesan mengenai sempit dan sulitnya fiqh, serta
berlawanan dengan ungkapan iktilaf ala al-aimmah rahmah li al-ummah (perbedaan
pendapat dikalangan ulama merupakan rahmat bagi umat). Apabila suatu hukkum
telah dikodifikasi, maka hukum itu harus dipatuhi olehh seluruh warga negara
dan bersifat mengikat bagi para pelaku hukum. Apabila hakim menentukan hukum
secara berbeda daengan hukum yang telah dikodifikasi, maka hakim tersebut
melanggar perundang-undangan yang sah.
Disamping
sisi negatif di atas, ulama fiqh juga mengemukakan sisi positif adanya
kodifikasi hukum Islam tersebut, antara lain :
1. memudahkan
para praktisi hhukum untuk merujuk hukum sesuai dengan keinginannya.
Kitab-kitab fiqh yag tersebar di dunia Islam penuh dengan perbedaan pendapat
yang kadang-kadang membingungkan dan menyulitkan. Dengan adanya kodifikasi
hukum, para praktisi hukum tidak perlu lagi mentarjih berbagai pendapat dalam
literatur fiqh.
2.
Mengukuhkan fiqh Islam dengan mengemukakan pendapat paling kuat. Fiqh Islam
penuh dengan perbedaan pendapat, bukan hanya antar mazhab, tetapi juga
perbedaan antarulama dalam mazhab yang sama, sehingga sulit untuk menentukan
pendapat terkuat dari sekian banyak pendapat dalam satu mazhab. Keadaan seperti
ini sangat menyulitkan praktisi hukum (apalagi orang awam) untuk memilih hukum
yang akan diterapkan, belum lagi meneliti apakah orang itu bermazhab Hambali
atau Syafi’I, sehingga hasil ijtihad Mazhab Hanafi atau Maliki tidak diterapkan
kepadanya. Dalam kaitan ini, kodifikasi hukum Islam yang sesuai dengan pendapat
yang kuat akan lebih prakti dan mudah dirujuk oleh para praktisi hukum, apabila
di zaman modern ini para hakim pada umumnya belum memenuhi syarat-syarat
mujtahid, sebagaimana yang ditetapkan oleh ulama.
3.
menghindari sikap taklid mazhab di kalangan praktis hukum, yang selama ini
menjadi kendala dalam lembaga-lembaga hukum.
4.
Menciptakan unifikasi hukum bagi lembaga – lembaga peradilan. Apabila hukum
dalam suatu negara tidah hanya satu, maka akan muncul perbedaan keputusan
antara satu peradilan dan peradilan lainnya. Hal ini bukan hanya membingungkan
umat, tetapi juga mengganggu stabilitas keputusan yang saling bertentangan
antara satu peradian dan peradilann lainnya. Dalam kaitan ini, Wahbah Zuhaili,
ahli fiqh dan usul fiqh kontemporer Suriah berkomentar bahwa kodifikasi hukum
di zaman sekarang merupakan tuntutan zaman dan tidak dapat dihindari karena
tidak semua orang mampu merujuk kitab-kitab fiqh dalam berbagai mazhab,
khususnya orang yang tidak menguasai bahasa Arab. Namun demikian, menurutnya,
kodifikasi hukum Islam tidak bersifat kaku. Artinya, kalau dikemudian hari ternyata
tuntutan zaman dan perubahan masyarakat menghendaki hukum lain dan penerapan
sebagian materi hhukum yang telah dikodifikasi tidak sesuai lagi dengan
kemaslahatan masyarakat, maka pihak pemerintah harus melakukan perubahan materi
hukum tersebut.[8] Dalam kaitan dengan ini, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah
berlaku kaidah, “Perubahan hukum sesuai perubahan situasi dan kondisi
masyarakat dan lingkungannya.
Sekalipun
ada kecemasan terhadap sisi – sisi negatif kodifikasi hukum Islam tersebut,
seperti mandeknya ijtihad dan tidak berkembangnya hukum, akhirnya ulama Islam
di zaman modern lebih banyak mendukung ide kodifikasi hukum di negeri
masing-masing karena terdesak oleh situasi dan kondisi sosio – kultural dan
politik. Bahkan di berbagai negara Islam, kodifikasi hukum disesuaikan dengan
kebutuhan zaman dan bidangnya masing-masing, seperti kodifikasi bidang hukum
perdata, pidana perseorangan serta keluarga, peradilan, tata usaha negara,
administrasi negara dan keuangan negara.
[27][9]
Abdurrahman ibn
Sa’d ibn ‘Ali al-Syatsri, Hukm Taqnin al-Syari’ah al-Islamiyah, (Riyadh:
Dar al-hami’i li al-Nasyri wa al-Tausi’i, 1428 H), hal. 15
[29][11] Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar
Ilmu Perundang-undangan Indonesia, (bandung: Mandar Maju,1998), h. 10.
[31][13] Salah satu uraian
tentang piagam madinah dapat dilihat dalam Deddy ismatullah, Gagasan
Peerintahan Modern dalam Konstitusi Madinah, (Bandung: Sahifa, 2006).
[35][17]
Lihat Hanafi, Pengantar dan ejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1966), hal. 219, lihat juga Umar Sulaiman, Tarikh al-Fiqh al-Islamiy,
(Kuwait: Maktabah al-Kalali, 1982), hal 193-194
[38][20] Hartono Mardjono, Menegakkan
Syari`at Islam dalam Konteks Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1997), h. 125.
[43][25] Abdul Aziz Dahlan dkk, Ensiklopedi
Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru vanH Hoeve, 1996), vol. 4, h. 1094.
No comments:
Post a Comment