TAQNIN DITENTANG
OLEH ULAMA WAHABI SAUDI
Taqnin
berlaku juga, bagi yang bukan Islam
Dicontohkan
oleh, junjungan alam
Piagam
Madinah, tak pernah tenggelam
Sehingga
negara, aman tenteram.
HM.RAKIB CIPTAKARYA PEKANBARU INDONESIA.2014
TAQNIN bukanlah sesuatu yang betul-betul baru
sebagaimana dituduhkan oleh para ulama Wahabi Arab Saudi. Sebagaimana diketahui
oleh sejarah, Nabi Muhammad pernah menetapkan Piagam Madinah yang mengatur
kehidupan masyarakat, baik antara sesama muslim maupun dengan non muslim.
Piagam Madinah tersebut merupakan salah satu bentuk taqnin yang pernah
dilakukan oleh pemerintahan Rasulullah SAW saat itu.
Pandangan Ulama Indonesia Dan
Wahabi
A.
Pendahuluan
Sisi Positif dan Negatif Taqnin
Ide Ibnu al-Muqaffa untuk melakukan kodifikasi hukum
Islam (taqnin) tidak terlepas sama sekali dari analisis ulama di zamannya dan
ulama sesudahnya. Mereka melakukan berbagai penelitian dan pembahasan
mengenai sisi negatif serta positif kodifikasi hukum Islam yang diajukan Ibnu
al-Muqaffa tersebut.
Dalam pembahasan para ahli fiqh, dikemukakan beberapa
sisi negatif kodifikasi hukum Islam tersebut antara lain:
1.
Munculnya kekakuan hukum. Manusia dengan segala
persoalan kehidupannya senantiasa berkemdang dan perkembangan ini sering kali
tidak diiringi dengan hukum yang mengaturnya. Dalam persoalan ini ulama fiqh
menyatakan, “Hukum bisa terbatas, sedangkan kasus yang terjadi tidak terbatas.”
Di sisi lain, fiqh Islam tidak dimaksudkan untuk berlaku sepanjang masa, tetapi
hanya untuk menjawab persoalan yang timbul pada suatu kondisi, masa dan tempat
tertentu. Oleh karena itu, hukum senantiasa perlu disesuaikan dengan kondisi,
tempat dan zaman yang lain. Tidak jarang diteukan bahwa peristiwa yang
menghendaki hukum lebih cepat berkembang dibandingkan dengan hukum itu sendiri.
Oleh karena itu, kodifikasi hukum bisa memperlambat perkembangan hukum itu
sendiri.
2.
Mandeknya upaya ijtihad. Kodifikasi hukum Islam dapat
mengakibatkan kemandekan upaya ijtihad dikalangan ulama fiqh. Seorang ulama
atau hakim bisa saja terpaku pada fiqh yang telah dikodifikasi tersebut
sehingga perkembangan berpikirnya pun mandek.
Disamping sisi
negatif di atas, ulama fiqh juga mengemukakan sisi positif adanya kodifikasi
hukum Islam tersebut, antara lain :
1.
memudahkan para
praktisi hhukum untuk merujuk hukum sesuai dengan keinginannya. Kitab-kitab
fiqh yag tersebar di dunia Islam penuh dengan perbedaan pendapat yang
kadang-kadang membingungkan dan menyulitkan. Dengan adanya kodifikasi hukum,
para praktisi hukum tidak perlu lagi mentarjih berbagai pendapat dalam
literatur fiqh.
2.
Mengukuhkan fiqh Islam dengan mengemukakan pendapat
paling kuat. Fiqh Islam penuh dengan perbedaan pendapat, bukan hanya antar
mazhab, tetapi juga perbedaan antarulama dalam mazhab yang sama, sehingga sulit
untuk menentukan pendapat terkuat dari sekian banyak pendapat dalam satu
mazhab. Keadaan seperti ini sangat menyulitkan praktisi hukum (apalagi orang
awam) untuk memilih hukum yang akan diterapkan, belum lagi meneliti apakah
orang itu bermazhab Hambali atau Syafi’I, sehingga hasil ijtihad Mazhab Hanafi
atau Maliki tidak diterapkan kepadanya. Dalam kaitan ini, kodifikasi hukum Islam
yang sesuai dengan pendapat yang kuat akan lebih prakti dan mudah dirujuk oleh
para praktisi hukum, apabila di zaman modern ini para hakim pada umumnya belum
memenuhi syarat-syarat mujtahid, sebagaimana yang ditetapkan oleh ulama.
3.
menghindari sikap taklid mazhab di kalangan praktis
hukum, yang selama ini menjadi kendala dalam lembaga-lembaga hukum.
4.
Menciptakan unifikasi hukum bagi lembaga – lembaga
peradilan. Apabila hukum dalam suatu negara tidah hanya satu, maka akan muncul
perbedaan keputusan antara satu peradilan dan peradilan lainnya. Hal ini bukan
hanya membingungkan umat, tetapi juga mengganggu stabilitas keputusan yang
saling bertentangan antara satu peradian dan peradilann lainnya. Dalam kaitan
ini, Wahbah Zuhaili, ahli fiqh dan usul fiqh kontemporer Suriah berkomentar
bahwa kodifikasi hukum di zaman sekarang merupakan tuntutan zaman dan tidak
dapat dihindari karena tidak semua orang mampu merujuk kitab-kitab fiqh dalam
berbagai mazhab, khususnya orang yang tidak menguasai bahasa Arab. Namun
demikian, menurutnya, kodifikasi hukum Islam tidak bersifat kaku.
Wacana taqnin
al-ahkam dalam hukum Islam merupakan salah satu persoalan yang memicu
kontroversi luas di kalangan umat Islam. Ada kubu yang menyetujui dan ada pula
kubu yang menentangnya, bahkan dengan begitu sengit. Hal itu karena taqnin
al-ahkam termasuk wacana yang relatif baru. Di Indonesia sendiri, wacana taqnin
hukum-hukum Islam juga ramai dibicarakan ketika Orde Baru runtuh dan masuk
Orde Reformasi seiring dengan ditetapkannya kebijakan otonomi di berbagai
daerah. Banyak perda-perda syariat bermunculan di berbagai daerah. Yang paling
banyak menyita perhatian, tentu saja kasus di Aceh yang telah menetapkan
undang-undang (qanun) Syariat tentang beberapa hal tertentu.
Fenomena
perda-perda syariat itu sendiri tak ayal menuai banyak tanggapan baik yang pro
maupun kontra. Kalangan non-muslim tentu saja banyak yang memprotes dan
menganggap bahwa hal itu adalah upaya untuk menjadikan Indonesia sebagai negara
Islam. Di samping itu, orang-orang Islam yang berhaluan liberal juga dengan
gigih menentangnya. Formalisasi syariat dalam bentuk perda-perda, terutama
perda maksiat, dituding mereka sebagai bentuk intervensi pemerintah terhadap
domain privat masyarakat.
B.
Pengertian Taqnin
Secara
etimologis, kata taqnin (تقنين) merupakan bentuk
masdar dari qannana (قَنَّنَ),
yang berarti membentuk undang-undang. Kata ini merupakan serapan dari Bahasa
Romawi. Namun ada juga yang berpendapat, berasal dari Bahasa Persia. Seakar
dengan taqnin adalah kata qanun (قََانُوْن) yang berarti
ukuran segala sesuatu, dan juga berarti jalan atau cara (thariqah).[1]
Secara
terminologis, taqnin al-ahkam berarti mengumpulkan hukum-hukum dan
kaidah-kaidah penetapan hukum (tasyri’) yang berkaitan dengan masalah
hubungan sosial, menyusunnya secara sistematis, serta mengungkapkannya dengan
kalimat-kalimat yang tegas, ringkas, dan jelas dalam bentuk bab, pasal, dan
atau ayat yang memiliki nomor secara berurutan, kemudian menetapkannya sebagai
undang-undang atau peraturan, lantas disahkan oleh pemerintah, sehingga wajib
para penegak hukum menerapkannya di tengah masyarakat.[2]
C.
Sejarah Awal Taqnin
al-Ahkam
Menurut hemat
penulis, taqnin al-ahkam juga bisa dirunut jauh ke masa Rasulullah SAW.
Artinya, taqnin bukanlah sesuatu yang betul-betul baru sebagaimana
dituduhkan oleh para ulama Wahabi Arab Saudi. Sebagaimana diketahui oleh
sejarah, Nabi Muhammad pernah menetapkan Piagam Madinah yang mengatur kehidupan
masyarakat, baik antara sesama muslim maupun dengan non muslim. Piagam Madinah
tersebut merupakan salah satu bentuk taqnin yang pernah dilakukan oleh
pemerintahan Rasulullah SAW saat itu. Namun meski ada upaya taqnin tersebut,
Rasulullah juga masih membuka peluang perbedaan pendapat di kalangan para
sahabatnya. Sikap akomodatif Rasulullah terhadap perbedaan pendapat bisa banyak
ditemukan dalam sejarah hukum Islam.
Dalam
perjalanan sejarah hukum Islam selanjutnya, upaya menyatukan masyarakat dalam
satu pandangan atas suatu putusan hukum juga dipelopori oleh Abdullah bin
al-Muqaffa. Ironisnya, Ibnu al-Muqaffa kemudian dihukum mati oleh penguasa saat
itu dengan tuduhan sebagai seorang zindiq.[3]
Saat itu, ia menyarankan kepada Abu Ja’far al-Manshur untuk menetapkan taqnin
dalam sebuah surat yang ia namakan Risalah ash-Shahabah. Ia
mengusulkan kepada sang khalifah untuk mengumpulkan hukum-hukum fikih dan
mewajibkan para hakim menggunakannya dalam memutuskan perkara.[4]
Usul Ibnu
al-Muqaffa kemudian betul-betul ditindaklanjuti oleh al-Manshur. Saat itu, sang
khalifah bertemu dengan Imam Malik, salah seorang tokoh ulama besar saat itu.
Sang ulama diminta oleh al-Manshur diminta untuk menyusun kompilasi hukum
Islam. Namun, Imam Malik menolak permintaan itu dan berkata, “Masyarakat sudah
terbiasa dengan berbagai macam pendapat. Mereka mendengar banyak hadis dan
meriwayatkan banyak riwayat. Mereka mengambil pendapat yang diarahkan kepada
mereka dan mengamalkannya meskipun mereka juga terbiasa dengan perbedaan
pendapat di tengah para sahabat Rasulullah SAW. Melarang mereka untuk meyakini
apa yang mereka yakini adalah sesuatu yang berbahaya. Biarkan saja masyarakat
apa adanya. Biarkan setiap anggota masyarakat memilih pandangan yang sesuai
dengan kondisi mereka.”[5]
Di dua abad
terakhir ini, di kalangan dunia Islam, memang sudah ada upaya untuk melakukan taqnin
al-ahkam. Salah satunya adalah al-Fatawa al-Hindiyah yang disusun
oleh para ulama India. Dalam karya itu, disusun oleh undang-undang yang
berkaitan tentang ibadah, sanksi (uqubah), dan mu’amalah. Selain al-Fatawa
al-Hindiyah, ada juga al-Ahkam al-Adliyyah yang mengandung sejumlah
hukum tentang jual beli, dakwaan, dan vonis. Kompilasi ini disahkan pada tahun
1869 oleh Kekhalifahan Utsmani dan memuat 1.851 masalah yang umumnya
berdasarkan pada mazhab Hanafi. Kompilasi ini diberlakukan di kebanyakan
negara-negara Arab hingga pada pertengahan abad 10. Hanya saja kompilasi ini
kemudian tidak lagi mencukupi segala persoalan-persoalan baru yang timbul di
masyarakat. Pada perkembangan berikutnya, kompilasi ini kemudian diperbaharui
dan dimasukkan pengaruh-pengaruh dari undang-undang sipil.[6]
Di Arab Saudi
saat diperintah oleh Raja Abdul Aziz, Ahmad bin Abdullah al-Qari, ketua
Mahkamah Tinggi Syari’ah di Mekkah, juga menyusun suatu kompilasi hukum Islam
berdasarkan mazhab Ahmad bin Hanbal. Al-Qari meringkas pandangan-pandangan
hukum Imam Ahmad yang bersumber dari berbagai karya utamanya. Kompilasi ini
mengandung 2.382 masalah dan diterbitkan dengan judul Majallah al-Ahkam
al-Adliyyah. Sayang, para ulama saat itu ramai-ramai menolak kompilasi
tersebut.[7]
D.
Dasar Pemikiran
Taqnin di Kalangan Ulama Klasik
Meskipun
istilah taqnin di kalangan ulama klasik tidak dikenal, namun hal
tersebut bisa ditarik kepada permasalahan tentang hukum mewajibkan para hakim
untuk memegang satu pendapat tertentu yang mereka gunakan untuk memutuskan
suatu perkara dan tidak boleh melanggar pendapat tersebut meskipun secara
pribadi mereka memiliki ijtihad sendiri. Tentang hal ini, para ulama klasik
terbagi menjadi dua kelompok, pertama melarang dan kedua membolehkan.
Menurut kelompok
pertama, tidak boleh mempersyaratkan seorang hakim untuk berpegangan pada
satu mazhab tertentu dalam memutuskan suatu perkara. Pandangan ini merupakan
pandangan mayoritas ulama, baik dari kalangan Maliki, Syafi’i, dan Hambali,
seperti Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan yang notabene keduanya adalah murid
Abu Hanifah. Abu Qudamah juga berpendapat bahwa hal pandangan itu sudah tidak
diperselisihkan lagi.[8]
Ibnu Taimiyyah juga berpendapat demikian dan menyepakati pandangan tersebut.[9]
Para ulama yang
melarang tersebut mendasarkan pandangan mereka pada beberapa dalil, seperti
ayat: Maka putuskanlah hukum di antara manusia dengan kebenaran (QS. Shad:
26). Kebenaran tidaklah terbatas pada mazhab tertentu. Terkadang kebenaran
justru terdapat di luar mazhab yang diikuti oleh seorang hakim.[10]
Dengan demikian, pemerintah tidak berhak melarang masyarakat untuk melaksanakan
hasil ijtihadnya agar bisa meringankan dan memberikan keleluasaan kepada
mereka. Karena itulah, Umar bin Abdul Aziz pernah berkata, “Aku kurang senang
jika para sahabat Rasulullah SAW tidak berbeda pendapat. Hal itu jika mereka
bersepakat atas suatu pendapat, maka jika ada seseorang yang berbeda dengan
pendapat itu maka orang itu pun bisa dianggap tersesat. Namun jika mereka
berbeda pendapat, maka orang pun bisa mengambil salah satu pendapat dan orang
yang lain mengambil pendapat yang lain pula. Dengan demikian, terdapat
keleluasaan untuk memilih.”[11]
Sedangkan
menurut kubu kedua, penguasa boleh mewajibkan kepada para hakim atau aparat
penegak hukum untuk memutuskan suatu perkara dengan satu mazhab tertentu.
Pandangan ini dipegang oleh Abu Hanifah, yang kemudian tidak disetujui oleh
kedua muridnya seperti yang diungkapkan di atas. Abu Hanifah beralasan,
wewenang untuk mengadili dibatasi oleh waktu, tempat dan diberikan kepada orang
tertentu pula. Jika penguasa mengangkat seseorang sebagai hakim, maka jabatan
itu dibatasi pada tertentu, tempat, atau masyarakat tertentu. Hal ini karena
orang tersebut adalah bertugas sebagai wakil penguasa. Jika penguasa melarang
hakim untuk memutuskan perkara berdasarkan berbagai mazhab yang ada, maka hakim
pun tidak boleh melakukannya. Ia hanya boleh memutuskan berdasarkan kitab
undang yang telah disahkan penguasa.[12]
Dari uraian di
atas, tampaknya pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama yang diikuti
oleh mayoritas para ulama. Sedangkan alasan Abu Hanifah maka ia mungkin bisa
dijawab dengan bahwa jika seorang hakim telah mengetahui persoalan sebenarnya
dari perkara yang ia tangani dan ia juga mengerti hukum Allah dan rasul-Nya,
maka ia wajib mengikuti kebenaran yang ia telah ketahui itu. Betapapun hukum
hanyalah milik Allah dan Rasul-Nya. Inilah yang dimaksud dengan adil
(al-adl), dalam ayat Alquran: Dan jika kalian memutuskan suatu perkara
di tengah masyarakat, maka putuskanlah dengan adil (QS: an-Nisa: 58).[13].
E.
Para Pendukung Taqnin
dan Argumentasi Mereka
Mayoritas para
ulama besar kontemporer memperbolehkan taqnin al-ahkam. Di antara mereka
adalah Syaikh Shalih bin Ghashun, Abdul Majid bin Hasan, Abdullah bin Mani’,
Abdullah Khayyath, dan Rasyid bin Khunain.[14]
Selain mereka, yang juga bisa disebut sebagai pendukung taqnin adalah
Musthafa az-Zarqa,[15]
Muhammad Abu Zahrah, Ali al-Khafif, Yusuf al-Qardhawi, Wahbah az-Zuhaili, dan
lain-lain.[16]
Di antara dalil
yang mereka gunakan untuk memperkuat pandangan mereka adalah sebagai berikut:
- Firman Allah Surah an-Nisa: 59
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ…. (النساء: 59)
Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu…..(QS.
an-Nisa: 59).
Bagi mereka, berdasarkan ayat tersebut,
jika pemerintah (ulil amri) tidak memerintahkan suatu kemaksiatan dan
perintah itu tidak bertentangan dengan hukum-hukum syariat, maka wajib bagi
rakyat untuk menaatinya. Dalam konteks ini, keharusan untuk melakukan taqnin
tidaklah mengandung unsur maksiat. Sikap para penegak hukum yang
melaksanakan undang-undang dimana mereka memang diwajibkan untuk mengikutinya
adalah suatu bentuk ketaatan kepada pemerintah sebagaimana diperintahkan oleh
ayat tersebut.[17]
- Keharusan untuk mengikuti satu pendapat tertentu merupakan suatu kebijakan yang pernah terjadi di masa awal Islam pada era pemerintahan Utsman bin Affan saat ia menetapkan Mushaf Utsmani (Mushaf al-Imam) sebagai satu-satunya mushaf Alquran yang resmi. Ia kemudian memerintahkan untuk membakar mushaf-mushaf yang lain selain mushaf resmi tersebut. Hal itu dilakukan demi kemaslahatan umat dan menjaga agar Alquran mempunyai satu mushaf yang resmi sehingga tidak menimbulkan perpecahan di kalangan umat. Kebijakan Utsman bin Affan ini akhirnya diakui sebagai suatu kebijakan yang benar.[18]
- Suatu pendapat tertentu yang kemudian ditetapkan sebagai undang-undang yang harus diikuti oleh semua orang, haruslah dihasilkan dengan pemikiran yang mendalam dan pembahasan yang luas. Undang-undang itu juga ditetapkan harus dengan memperhatikan maqashid syariah demi kemaslahatan umat. Dengan demikian, jika undang-undang itu tidak ditaati, maka berarti menyia-nyiakan usaha keras para ulama yang telah menghasilkannya.
- Di sisi lain, tidak semua para hakim memiliki pengetahuan yang luas dan dalam, sehingga mereka pun tidak mampu melakukan ijtihad dan tidak bisa menetapkan mana pendapat yang paling valid di antara banyak pendapat di berbagai mazhab. Bahkan terkadang dalam satu mazhab pun, banyak pendapat yang saling berbeda satu sama lain.
- Di samping itu, jika pemerintah tidak menetapkan mana pendapat paling valid yang dijadikan sebagai undang-undang sehingga menjamin kepastian hukum, maka hal itu bisa menimbulkan perbedaan putusan antara satu pengadilan dengan pengadilan lain, atau antara satu hakim dengan hakim yang lain. Hal ini tentu saja akan menimbulkan ketidakpastian hukum di tengah masyarakat.
- Pengetahuan para hakim yang tidak sama juga bisa menimbulkan masalah jika tidak ada satu undang-undang tertentu yang harus diikuti bersama. Mungkin seorang hakim yang pengetahuannya luas, bisa memutuskan suatu perkara dengan baik. Namun seorang hakim yang pengetahuannya terbatas bisa menentang putusan itu karena ketidaktahuannya terhadap dasar keputusan itu.[19]
F.
Para Penolak
Taqnin dan Argumentasi Mereka
Mereka yang
menolak taqnin dan menolak kewajiban untuk menaatinya terdiri dari
sebagian para ulama besar kontemporer dari Arab Saudi. Di antara mereka adalah
Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid,[20]
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan,[21]
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam,[22]
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jabirin, Abdurrahman bi Abdullah al-Ajlan, Syaikh
Abdullah bin Muhammad al-Ghunaiman, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah ar-Rajihi,
dan lain-lain.[23]
Mereka mendasarkan pandangan mereka tersebut pada dalil-dalil Alquran,
as-Sunnah, ijma’ dan logika. Berikut adalah argumentasi mereka.
1. Allah telah
memerintahkan untuk memutuskan perkara dengan adil (al-qisth) dalam
firman-Nya:
وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ
بِالْقِسْطِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ. (المائدة: 42)
Dan jika kau memutuskan perkara di antara mereka, maka
putuskanlah dengan adil (al-qisth). Sesungguhnya, Allah mencintai
orang-orang yang berbuat adil (QS. al-Maidah: 42).
Kata al-qisth berarti adil. Bagi
seorang hakim, keputusan yang adil adalah yang sesuai dengan apa yang ia yakini
setelah meneliti dalil-dalil syara’, bukan yang sesuai dengan undang-undang
yang diwajibkan untuk ia ikuti.
2. Dalam
menetapkan hukum, seorang hakim harus tetap memegang teguh prinsip tauhid.
Dalam hal ini, kewajiban untuk mengikuti undang-undang menunjukkan adanya unsur
meremehkan prinsip tauhid, yaitu ketaatan hanya kepada hukum Allah. Hal itu
karena sang hakim yang menaati undang-undang, berarti ia lebih mengutamakan
pendapat yang dihasilkan oleh manusia biasa yang tidak ma’shum daripada
pendapat Rasulullah yang mas’hum. Padahal Allah juga berfirman: Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya (QS.
al-Hujurat: 1).
3. Sabda Rasulullah
SAW:
Hakim itu ada tiga macam, dua masuk
neraka dan hanya satu masuk surga. Satu, hakim yang masuk surga adalah ia yang
mengetahui kebenaran dan memutuskan berdasarkan kebenaran tersebut. Dua, hakim
yang mengetahui kebenaran, namun ia tidak memutuskan berdasarkan kebenaran
tersebut. Hakim ini masuk neraka. Ketiga, hakim yang memutuskan perkara di
antara manusia padahal ia tidak tahu kebenarannya. Hakim ini juga masuk
neraka.”[24]
Hadis di atas merupakan ancaman bagi
para hakim yang memutuskan perkara bukan berdasarkan kebenaran yang ia yakini.
Para ulama sepakat atas haramnya para hakim yang bertindak demikian.
4. Mengharuskan
para hakim untuk memutuskan berdasarkan pendapat yang valid (rajih) yang
telah ditetapkan untuk mereka adalah sesuatu yang tidak sejalan dengan apa yang
telah terjadi di zaman Rasulullah SAW, Khulafa ar-Rasyidin, dan orang-orang
salaf yang saleh. Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya kebijakan seperti
itu terjadi di zaman Dinasti Abbasyiah. Saat itu, Abu Ja’far al-Manshur
mengusulkan kepada Imam Malik, namun beliau menolak usulan tersebut. Dengan
demikian, wacana taqnin adalah sesuatu yang ditolak oleh kaum salaf.
5. Undang-undang
hukum positif yang diterapkan oleh pengadilan-pengadilan sipil di berbagai
negara, ternyata sering kali mengandung kontradiksi dan kekeliruan.
Keputusan-keputusan pengadilan sering kali bertentangan satu sama lain. Dengan
demikian, penetapan undang-undang dan kewajiban untuk mengikutinya tidak
menjamin mencegah terjadi kesalahan dan kontradiksi.
6. Keharusan untuk
mengadakan taqnin akan justru akan membuat masyarakat tidak leluasa
dalam menetapkan keputusan.
7. Perselisihan
dalam masalah hukum merupakan sesuatu yang juga terjadi zaman Khalifah
ar-Rasyidin dan para salaf saleh. Bahkan terkadang seorang hakim bisa
menghasilkan dua keputusan yang mirip. Keputusan yang kedua tidak berarti
menggugurkan keputusan sebelumnya. Hal ini tidak bisa dijadikan alasan untuk
melakukan taqnin dan mengharuskan hakim untuk hanya mengikuti satu
pandangan tertentu saja. Bagaimana pun, orang-orang dulu justru lebih hati-hati
daripada kita sekarang dalam menjaga kepentingan agama dan dalam memelihara
kebebasan masyarakat untuk berbeda pendapat. Perbedaan pendapat tersebut tidak
bisa dijadikan untuk meragukan kemampuan para hakim dan menuduh mereka tidak
kompeten. Bagaimana pun, pada prinsipnya, seorang yang diangkat sebagai hakim
adalah orang yang memiliki ilmu pengetahuan memadai, bisa dipercaya, dan
bertanggung jawab.
8. Ketika melongok
kepada berbagai kitab fiqih, kita pun memaklumi bahwa di sana terdapat banyak
perbedaan pendapat. Para ulama yang memiliki kompetensi memang dituntut untuk
melakukan ijtihad masing-masing. Salah ataupun benar hasil ijtihad mereka,
tetap mereka memperoleh pahala sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW.
Jika memang ada pendapat yang salah, maka adalah kewajiban ulama lain untuk
meluruskannya dan mengembalikannya kepada pendapat yang benar. Para ulama juga
berpendapat, bahwa suatu keputusan hakim tidak bisa digugurkan kecuali jika
memang bertentangan dengan dalil syara’. Dengan demikian, upaya taqnin justru
akan menghilangkan kesempatan ijtihad bagi para ulama.[25]
G.
Penutup
Dari uraian
tentang pandangan para ulama yang mendukung maupun menolak taqnin al-ahkam, tampak
bahwa keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dari
alasan-alasan yang dikemukakan para ulama Arab Saudi yang menolak taqnin
al-ahkam, tampak bahwa mereka memang cenderung dipengaruhi oleh prinsip
Wahabi yang sangat menekankan untuk mengikuti (ittiba’) pada tuntunan
Rasulullah SAW. Upaya taqnin al-ahkam dianggap sebagai sesuatu yang baru
dan tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan oleh salafus salih.
Di samping itu,
prinsip tauhid yang berlebihan juga tampak diyakini sebagian oleh ulama Arab
Saudi dalam melihat taqnin al-ahkam dan kewajiban orang untuk
mengikutinya. Bagi mereka, mewajibkan orang untuk hanya menaati undang-undang
yang telah disahkan penguasa, berarti sesuatu sikap yang lebih mengutamakan
hasil pemikiran manusia biasa yang tidak ma’shum. Hal itu bisa merusak
prinsip tauhid karena Allah dan Rasul-Nya harus lebih diutamakan daripada yang
lain.
Alasan agar
tidak mempersempit pilihan masyarakat sehingga mereka bisa lebih leluasa dan
mempunyai banyak pilihan, merupakan salah satu alasan yang dikemukakan untuk
menolak taqnin. Alasan tersebut memang bagus dan sejalan pula dengan
prinsip pluralisme yang saat ini sering digembor-gemborkan kalangan Islam
Liberal. Namun, hemat penulis, upaya menyatukan pandangan masyarakat dalam
sebuah undang-undang atau pemerintah bukanlah lantas dianggap sebagai sesuatu
yang mempersulit masyarakat dan merusak prinsip pluralisme. Pemerintah memang
berkewajiban untuk menetapkan aturan dan perundang-undangan. Sedangkan rakyat
pun wajib menaati dan mengikutinya. Pada konteks bernegara dalam Islam,
ketaatan kepada undang-undang atau peraturan tersebut selama ia tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat.
Di sisi lain,
harus pula diperhatikan bahwa taqnin al-ahkam juga memiliki kekurangan.
Sebagaimana layaknya hukum undang-undang sipil yang lain, ketika hukum Islam
dirumuskan ke dalam bentuk undang-undang atau peraturan, maka ia pun juga bisa
ditentang, dicabut, dianggap keliru oleh masyarakat dan penguasa. Hal ini tentu
saja jadi mengurangi kewibawaan hukum Islam. Keberadaan sebuah undang-undang
sangat tergantung oleh kebijakan pemerintah dan para pihak berkuasa. Sebagai
contoh kasus di Indonesia, bisa kita lihat bagaimana sejarah ditetapkannya
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Banyak penentangan, baik di kalangan
orang Islam sendiri maupun non Islam, yang terjadi baik sebelum maupun sesudah
undang-undang itu ditetapkan dan disahkan.
Karena resiko
seperti itulah, maka taqnin al-ahkam harus betul-betul melibatkan banyak
pihak yang terkait. Tata cara pembentukan undang-undang (legal drafting) juga
harus betul-betul diperhatikan. Dengan demikian, ketika hukum-hukum Islam itu
sudah menjadi undang-undang (qanun), maka resistensi terhadapnya bisa
ditekan seminimal mungkin karena untuk menafikan sama sekali resistensi,
tampaknya sesuatu yang mustahil. Setiap kebijakan pasti saja menuai pro dan
kontra, sebaik apapun kebijakan itu. Wallahu a’lam.
PUSTAKA
Abdurrahman bin Qasim, Majmu Fatwa
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah, Dar Alam al-Kutub, 1412 H.
Abdurrahman bin Sa’ad asy-Syatri, Taqnin
asy-Syariah bain at-Tahlil wa at-Tahrim, Dar al-Fadhilah, 1426 H.
Abu Abdullah al-Hathtab, Mawahib
al-Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1416 H.
Adz-Dzahabi, Siar A’lam an-Nubala,
Muassasah ar-Risalah, 1412 H.
Al-Bassam, Taqnin asy-Syariah
Adhraruhu wa Mafasiduhu.
An-Nawawi, al-Majmu’ Syarh
al-Muhazzab, Dar al-Fikr.
Bakar Abu Zaid, Fiqh an-Nawazil,
Muassasah ar-Risalah, 1412 H.
Harian al-Jazirah, tanggal 3
Jumadil Akhir 1426 H.
Ibnu Abidin, Radd al-Mukhtar ‘ala
ad-Dar al-Mukhtar, Dar Ihya at-Turats al-Arabi.
Ibnu Kasir, Al-Bidayah wa
an-Nihayah, Dar Hijr, 1419 H.
Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni.
Ibrahim Anis, et. al. Al-Mu’jam
al-Wasith
Manna’ al-Qaththan, at-Tasyri’ wa
al-Fiqh fi al-Islam Tarikhan wa Manhajan, Maktabah Wahbah, 1422 H.
Mushtafa az-Zarqa, al-Madkhal
al-Fiqh al-Am, Dar al-Qalam, 1418 H.
Swiss al-Mahamid, Masirah a-Fiqh
al-Islami al-Mu’ashir, Jam’iyyah Ummal al-Mathabi’, 1422 H.
[8] Lihat, Mawahib
al-Jalil, juz 8, hal. 78; al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, juz 20, hal.
128; al-Mughni, juz 14, hal. 91; Hasyiah Ibnu Abidin, juz 1, hal.
163.
No comments:
Post a Comment