PENDIDIKAN YANG
CACAT EPISTIMOLOGIS
M.Rakib, LPMP Riau
Indonesia.2014
Pendidikan
yang yang hanya mengandalkan kelulusan akademis, tidak bermanfaat secara
sosiologis, merupakan pendidikan yang cacat secara epistimologis. Dalam bidang
keagamaan juga demikian, adanya kekerasan yang ditanamkan dalam fiqih keagamaan,
sampai mirip dengan prinsip teroris, merupakan hal yang cacat secara epistimologis.
Misalnya banyak pemikir
kontemporer memandang ushul fiqh klasik tanpa cacat epistemologis apapun,
karena kajian metodelogi klasik yang dikerangkakan ulama’ masa dahulu memang
sudah tuntas dan sempurna, sehingga kewajiban umat yang datang kemudian bukan
untuk mengubahnya, tetapi mengikuti dan melaksanakannya.
Pemikiran
Ushul Fiqh Kontemporer
A.
Di sinilah cendekiawan muslim modern melontarkan
kritikan, mereka menganggap sebuah metodelogi yang sejatinya lahir dari publik
intelektualitas manusia yang nisbi telah diposisikan sebagai suatu yang mutlak tak terbantah.
Mestinya metodelogi islam klasik diletakkan dalam konfigurasi (bentuk wujud)
dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademi
kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan klasik
tersebut.
B
Titik tolak pemikiran tentang perlunya metodologi baru dalam
memahami teks Al-Qur’an dimulai dengan penelitian historisnya mengenai evolusi
perkembangan empat prinsip dasar (Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad dan Ijma’), yang
diungkapkannya dalam buku Islamic Methodology in History (1965).
Pandangan Fazlur Rahman ini dilatarbelakangi oleh pergumulannya dalam
upaya-upaya pembaruan (hukum) Islam di Pakistan, yang kemudian mengantarkannya
pada agenda yang lebih penting lagi; yaitu perumusan kembali penafsiran
Al-Qur’an yang merupakan titik-pusat ijtihadnya
Dalam kajian historisnya ini, Fazlur
Rahman menemukan adanya hubungan organis antara sunnah ideal Nabi s.a.w. dan
aktifitas ijtihad-ijma’. Bagi Fazlur Rahman, sunnah kaum Muslim awal merupakan
hasil ijtihad personal, melalui instrumen qiyas, terhadap sunnah ideal Nabi
s.a.w. yang kemudian menjelma menjadi ijma’ atau sunnah yang hidup. Di sini,
secara tegas Fazlur Rahman menarik garis yang membedakan antara sunnah ideal
Nabi s.a.w. di satu sisi, dengan sunnah hidup kaum Muslim awal atau ijma’
sahabat di sisi lain.
Dengan demikian, ijma’ pada asalnya
tidaklah statis, melainkan berkembang secara demokratis, kreatif dan
berorientasi ke depan. Namun demikian, karena keberhasilan gerakan penulisan
hadis secara besar-besaran menggantikan proses sunnah-ijtihad-ijma’ tersebut,
proses ijtihad-ijma’ terjungkirbalikkan menjadi ijma’-ijtihad. Akibatnya, ijma’
yang tadinya berorientasi ke depan menjadi statis dan mundur ke belakang:
mengunci rapat kesepakatankesepakatan masa lampau. Puncak dari proses reifikasi
(proses pembendaan, pembakuan) ini adalah tertutupnya pintu ijtihad,
sekitar abad ke empat Hijrah atau sepuluh masehi.
Dari hasil kajian historisnya ini, Fazlur Rahman kemudian
menolak doktrin tertutupnya pintu ijtihad, ataupun pemilahannya ke dalam ijtihad
muthlaq, ijtihad fil masail, dan ijtihad fil madzhab. Fazlur
Rahman mengkritik doktrin ini, menurutnya “ijtihad bukanlah hak privilege eksklusif
golongan tertentu dalam masyarakat Muslim”, dia juga menolak kualifikasi ganjil
mengenai ilmu gaib misterius sebagai syarat ijtihad; kemudian dia mengajukan
perlunya memperluas cakupan ranah ijtihad klasik. Hasilnya adalah satu
kesimpulan Fazlur Rahman: ijtihad baik secara teoritis maupun secara praktis
senantiasa terbuka dan tidak pernah tertutup.
Sementara itu untuk mengantisipasi
pertumbuhan ijtihad yang liar, sewenang-wenang, serampangan dan tidak
bertanggung jawab, Fazlur Rahman mengajukan metodologi tafsirnya, yang disusun
belakangan pada periode Chicago. Dalam konteks inilah metodologi tafsir Fazlur
Rahman yang dipandangnya sebagai “the correct prosedure for understanding
the Qur’an” atau “ the correct method of Interpreteting The Qur’an”
memainkan peran sentral dalam seluruh bangunan pemikirannya. Metodologi tafsir
Fazlur Rahman merupakan jantung ijtihadnya sendiri. Hal ini selain didasarkan
pada fakta bahwa Al-Qur’an sebagai sumber pokok ijtihad, juga yang lebih
penting lagi adalah didasarkan pada pandangannya bahwa seluruh bangunan
syari’ah harus diperiksa di bawah sinaran bukti Al-Qur’an:
“Seluruh kandungan syari’ah mesti menjadi sasaran penilikan
yang segar dalam sinaran bukti Al-Qur’an. Suatu penafsiran Al-Qur’an yang
sistematis dan berani harus dilakukan.”
Akan tetapi, persoalannya terleetak pada kemampuan kaum
Muslim untuk mengkonsepsi Al-Qur’an secara benar. Fazlur Rahman menegaskan:
“..bukan
hanya kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah sebagai mana yang dilakukan pada masa
lalu, tetapi suatu pemahaman terhadap keduanyalah yang akan memberikan pimpinan
kepada kita dewasa ini. Kembali ke masa lampau secara sederhana, tentu saja
kembali keliang kubur. Dan ketika kita kembali kepada generasi Muslim awal,
pasti kita temui pemahaman yang hidup terhadap Al-Qur’an dan sunnah.”
b. Muhammad Syahrur
Syahrur mengusung satu model, yaitu kembali ke teks (return
to texts). Apa yang dimaksud dengan kembali ke teks menurut Syahrur adalah
upaya membaca kitab suci dengan perangkat epistemologi yang diturunkan dari
teks suci. Dalam pembacaannya, Syahrur mendasarkan pada asumsi-asumsi dasar
yang dapat kita lihat pada Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-qur’an bahwa ”Jika
Islam bersifat relevan pada setiap ruang dan waktu, maka harus dipahami bahwa
al-Kitab juga diturunkan kepada kita yang hidup dua puluh ini, seolah-olah Nabi
Muhammad baru saja wafat dan telah menyampaikan sendiri kepada kita.”. Oleh
sebab itu, Syahrur memahami al-Kitab dengan nalar zaman abad dua puluh sehingga
al-Kitab dapat merefleksikan problemtika sosial, ekonomi dan politik sesuai
zamannya.
Disini, Syahrur lebih bermain pada linguistik dengan
bersandar pada tiga pondasi, yaitu metode linguistik Abu Ali al-Farisi,
perspektif linguistik Ibnu Jinni dan Abdul Qadir al-Jurjani. Hingga
menghasilkan produk akhir ilmu linguistik modern yang menyatakan bahwa bahasa
manapun tidak memiliki karakter sinonim.
Syahrur membedakan istilah al-Kitab dan Al-qur’an. Al-Kitab
ialah sekumpulan tema yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad yang terdiri dari
ayat-ayat dalam mushaf. Sedangkan Al-qur’an ialah ayat-ayat mutasyabihat yang
sering dinamakan as-sab’ al-masani. Perbedaan antara al-kitab dan al-qur’an
sejajar dengan perbedaan konsep Nubuwwah (kenabian) dan al-Risalah
(kerasulan). Yang pertama menunjukkan perbedaan antara realitas dan khayalan
atau ilusi, sedangkan yang kedua berisi hukum dan aturan tingkah laku. Dengan
kata lain yang pertama bersifat objektif dan independen sementara yang kedua
bersifat subjektif dan tergantung pada pengetahuan manusia.
Metode ijtihadnya antara lain, Syahrur hanyalah merupakan
pseudo ijtihad sebagai tandingan dalam mendekonstruksi hukum-hukum Islam,
mengesampingkan keterangan muhkamat dan tsawabit menjadi mutasyabihat dan
mutaghayyirat.
Syahrur telah keluar dari epistemologi Islam yang mengugat
dan mendekonstruksi ushul fiqih dengan epistemologi berlandaskan worldview
(pandangan dunia) Barat yang mengedepankan rasionalitas yang tunduk pada
realitas dengan pendekatan hermeneutika. Sunnah Nabi saw. yang selama 15 abad
diyakini sebagai sumber hukum, sebagai bayan Al-qur’an dinegasikan posisinya
oleh akal yang mempertimbangkan kondisi sosial. Sumber hukum Islam lainnya
seperti Ijma’ pun didekonstruksi. Selain itu, Ia pun menggugurkan konsep qiyas,
yang dikatakannya mengacu dan membawa masalah ke masa lampau serta tidak
berarti sama sekali. Karena menurutnya, dia berulang kali katakan, bahwa
penerapan hukum pada alam realitas adalah aplikasi relatif-historis. Prinsip
yang ia gunakan hanya akal pikiran dengan realitas objektif.
Buah dari pemikirannya tersebut melahirkan sebuah teori yang
aplikatif, yakni nazhariyyah al-hudud (limit theory/teori batas). Teori batas
ini terdiri dari batas bawah (al-hadd al-adna/minimal) dan batas atas (al-hadd
al-a’la/maksimal). Syahrur mendasarkan konsepnya dalam menyusun teori batas ini
pada Alqur’an surat an-Nisa’ ayat 13-14. Ia membagi enam bentuk dalam
teori batas yang dapat digambarkan dalam bentuk matematis, yaitu Halah al-had
al-a’la (posisi batas maksimal), Halah al-hadd al-adna (posisi batas minimal),
Halah al-haddayn al-a’la wa al-adna ma’an (posisi batas maksimal bersamaan
dengan batas minimal), Halah al-mustaqim (posisi lurus tanpa alternatif), Halah
al-hadd al-a’la li hadd al-muqarib duna al-mamas bi al-hadd abadan (posisi
batas maksimal cenderung mendekat tanpa bersentuhan), dan Halah al-hadd al-a’la
mujaban wa al-hadd al-adna saliban (posisi batas maksimal positif dan batas
minimal negatif).
Wilayah ijitihad manusia, menurut Syahrur berada di antara
batas minimum dan maksimum itu tadi. Elastisitas dan fleksibilitas hukum Allah
tadi dapat digambarkan seperti posisi pemain bola yang bebas bermain bola,
asalkan tetap berada pada garis-garis lapangan yang telah ada. Pendek kata,
selagi seorang muslim masih berada dalam wilayah hudud-u-lLah (ketentuan Allah
antara batas minimum dan maksimum tadi), maka dia tidak dapat dianggap keluar
dari hukum Allah.
Contoh aplikasi dalam teori batas
mengenai pakaian dan aurat wanita. ketika menafsirkan QS. [24]: 31, “Atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita”. Syahrur mengartikan aurat
dengan apa yang membuat seseorang malu apabila terlihat dan aurat tidak
berkaitan dengan halal haram, baik dari dekat maupun jauh. Ia membuat contoh,
“Apabila ada orang yang botak dan tidak suka orang melihat kepalanya yang
botak, maka dia akan memakai rambut palsu, sebab ia menganggap botak kepalanya
sebagai aurat. Kemudian ia mengutip hadits Nabi, “Barang siapa menutupi aurat
mukmin, niscaya Allah akan menutupi auratnya.” Dia berkomentar, menutupi aurat
mukmin dalam hadits itu, bukan berarti meletakkan baju padanya agar tidak
terlihat. Maka ia menyimpulkan bahwa aurat berangkat dari rasa malu, yakni
ketidaksukaan seseorang ketika terlihatnya sesuatu, baik dari tubuhnya maupun
perilakunya. Sedang malu menurutnya relatif, berubah-ubah sesuai dengan adat
istiadat, zaman, dan tempat. Maka ketika ada ayat yang menyuruh memakai jilbab
dalam QS. [33]: 59.
c.
Hasan al-Turabi
Hasan al-Turabi mengusulkan perluasan makna qiyās dan
istishāb. Menurut al-Turabi, sebenarnya pengertian qiyās luas sekali, mencakup
makna lepas (‘afw) dan makna teknis yang harus dipatuhi oleh para ahli fikih
dalam menyamakan hukum far` dengan hukum ashl karena memiliki alasan hukum
(‘illah) yang serupa, syarat hukum asal, hukum cabang, dan tujuan hukum.
Berbagai persoalan khusus (juz’iyat) dalam qiyās harus diperluas dengan
menentukan sekumpulan nash dan mengambil konklusi tentang tujuan atau
kemaslahatan agama dari berbagai situasi dan peristiwa itu. Kemudian diterapkan
untuk situasi dan peristiwa baru. Pola kerja seperti ini, menurut al-Turabi
yang dimaksud dengan fikih Umar ibn al-Khattab. Sebuah fikih kemaslahatan umum
yang tidak membahas secara terperinci penyesuaian berbagai peristiwa khusus dan
kemudian menghukuminya berdasarkan analogi dengan berbagai peristiwa serupa
sebelumnya. Akan tetapi, ia berangkat dari orientasi perjalanan syariat awal
dan dengannya berusaha mengarahkan kehidupan saat ini. Jadi setiap qiyās
mengharuskan adanya abstraksi kondisi tertentu sebelumnya berdasarkan nash.
Sebagai contoh al-Turabi menukil sebuah riwayat di mana
seorang pria datang pada Nabi SAW dan berkata:” Celakalah aku. Aku telah
menggauli istri pada siang hari di bulan Ramadhan…”. Menurut al-Turabi, kasus
seperti ini tidak akan pernah terulang lagi secara persis sama. Mungkin kasus
serupa bisa terjadi pada orang lain dengan istrinya sendiri, tapi kita tidak
mengambil pelajaran (i’tibār) dari peristiwa itu dan menjatuhkan hukum di
antara keduanya. Karena bisa jadi penyebab batal puasanya adalah persoalan lain
semisal makan atau minum. Persoalannya kemudian, apakah kita juga akan
mengabstraksikannya dengan menganggap cara itu dan berpegang pada segala bentuk
pembatalan puasa dan kemudian memperluas penentuan hukumnya? Selanjutnya
al-Turabi menyatakan bahwa keluasan dan kesempitan qiyās yang dipergunakan
ditentukan pada taraf abstraksi kondisi pertama untuk memperoleh tujuan hukum
utama. Qiyās mujmal yang lebih luas atau qiyās mashlahah mursalah lebih tinggi
derajatnya dalam mencari inti tujuan hukum dengan cara mengambil sejumlah hukum
agama yang disandarkan pada sejumlah peristiwa dan diambil unsur kemaslahatan
umum darinya.
d. Abdullahi Ahmed an Na’im
Setiap tokoh pasti memiliki ciri dan karakter tersendiri
dalam merumuskan pemikiran yang merupakan hasil dari pemahaman masing-masing,
Model paradigma barunya An-Na’im, beliau berpendapat bahwa syari’ah tidak
cukup hanya dengan reformasi hukum Islam akan tetapi lebih dari itu yaitu
dengan rekonstruksi, reaktualisasi atau bahkan mungkin harus dengan
dekonstruksi. Karena Islam lahir dalam setting masyarakat yang sama
sekali berbeda dengan masyarakat kontemporer yang tengah berlangsung dalam
kehidupan modern saat ini.
Pemikiran dekonstruksi Abdullahi
Ahmed an-Naim nampaknya layak dan bisa menjadi garansi atas wacana pembaharuan
hukum Islam kontemporer. Bagi Abdullahi Ahmed an-Na’im seperti bisa dibaca pada
karyanya kesempurnaan syari’ah Islam bukanlah terletak pada kebekuannya
(yang dianggap sudah berakhir dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW), melainkan
justru pada kemampuannya untuk terus berkembang maju sesuai dengan tuntutan
kehidupan yang juga semakin berkembang maju. An-Naim membangun metodologi
dengan teori yang selama ini baru. Hukum islam harus didekrontuksi secara
total, agar bisa koheren dengan modernitas, namun tetap islam. Pemikiran
rekronstuktifnya An-Na’im cenderung skeptipis dan apatis terhadap metodelogi
yang telah ada sebelumnya yaitu fiqh klasik.
e.
Hassan Hanafi
Hasan
Hanafi menengarai perlunya sikap kritis terhadap tradisi kita dan tradisi mereka.
Proyeknya yang terkenal adalah al-turats wa al-tajdid yang berupaya
meletakkan landasan teoritis pada kerangka lingkaran piramida peradaban.
Kerangka teoritis tersebut berisi bahwa manusia tidak bisa dipisahkan dari tiga
akar pijakan berfikir; kemarin (al-madhi), yang dipersonifikasikan
dengan turats qodim (khazanah klasik). Esok (al-mustaqbal) yang
dipersonifikasikan dengan turats gharbi (khazanah barat), dan sekarang (al-hali),
yang dipersonifikasikan dengan al waqi’ (realitas kontemporer).
f.
Nashr Hamid Abū Zayd
Sementara
Nashr Hamid dengan konsep makna dan signifikansi (maghzā) mencoba melakukan
pembacaan ulang konsep ‘illah dalam ushul fikih. Dalam pandangan Abū Zayd,
perbedaan antara makna dan signifikansi dapat dilihat dari dua dimensi yang
tidak terpisahkan satu sama lainnya. Dimensi pertama, bahwa makna memiliki ciri
historis, maksudnya bahwa ia dapat diraih hanya dengan pengetahuan yang cermat
mengenai konteks linguistik (internal) dan konteks kultural-sosiologis
(eksternal). Sementara signifikansi (maghzā), meskipun tidak dapat dipisahkan
dari makna, bahkan saling bersentuhan dan berangkat dari makna, memiliki corak
kontemporer dalam pengertian ia merupakan hasil dari pembacaan masa di luar
atau berbeda dengan masa (terbentuknya) teks.
Dimensi
kedua dan ini dianggap sebagai konsekuensi dari dimensi pertama, adalah bahwa
makna memiliki aksentuasi yang relatif stabil dan mapan, sementara signifikansi
memiliki corak yang bergerak (dinamis) seiring dengan perubahan horison-horison
pembacaan, meskipun hubungannya dengan makna mengendalikan dan mengarahkan
geraknya, karena memang demikianlah yang harus dilakukan (oleh pembacaan).
Apabila dicermati, model pembacaan ini, yakni keharusan maghzā (signifikansi)
bersentuhan dengan makna dan harus berangkat dari horison-horisonnya tampak
tidak berbeda secara mendasar dengan analogi fiqhiyah yang didasarkan pada
temuan ‘illah, dan menjadikan temuan tersebut sebagai pengikat bagi
pengembangan pengertian ke peristiwa-peristiwa yang serupa yang tidak dieksplisitkan
teks.
Namun
demikian, kemiripan ini hanya tampak di permukaan saja, sementara perbedaannya
sangat mendasar dan dalam. ‘Illah yang merupakan tempat bergantungnya hukum
menurut ulama ahli fikih bisa jadi merupakan bagian dari pengertian dan makna,
maksudnya ditegaskan secara eksplisit atau implisit, dan terkadang dicapai
hanya dengan sekedar ijtihad ahli fiqh. Dalam kedua konteks ini analogi
bersifat partikular (parsial), maksudnya berkaitan dengan hukum partikular dari
hukum-hukum syariat, dan tidak melampauinya sampai pada hukum-hukum lainnya,
apalagi merambah pada teks-teks non-hukum. Ahli fiqh kuna tidaklah
menyingkapkan signifikansi, dan puncak yang diraihnya hanya pembicaraan
mengenai tujuan-tujuan umum (al-maqāshid al-kulliyyah) yang sudah dibatasi pada
upaya memelihara agama, jiwa, harga diri dan harta. Kata “memelihara” di sini
tidak lepas dari konotasi yang menyingkapkan watak dari sikap fikih lama.
Dengan demikian, signifikansi,
bagi Abū-Zayd, bukan merupakan tujuan-tujuan umum (maqāshid kulliyah)
sebagaimana yang didefinisikan oleh para ulama fikih. Hal ini karena dua alasan
mendasar. Pertama, signifikansi merupakan hasil dari pengukuran gerak yang
ditimbulkan oleh teks dalam struktur bahasa, dan karenanya juga dalam
kebudayaan dan realitas. Bersamaan dengan pengukuran gerak, orientasi gerak
harus dibatasi, sebab beberapa tidak hanya mengulang bahasa yang sudah umum,
dan karenanya memapankan gerak realitas dan kebudayaan semata, tetapi juga
dalam struktur bahasanya kembali ke masa lalu dengan mengulanginya dan
mengembalikan kebudayaan dan realitas ke belakang. Kedua, signifikansi
ditentukan secara lebih ketat oleh tujuan-tujuan real wahyu.
Bertolak
dari pembedaan makna dan signifikansi tersebut, kemudian Abū-Zayd merumuskan
prosedur pembacaan teks yang harus ditaati seorang penganalisis. Menurutnya,
sekalipun pembacaan berangkat dari signifikansi kontemporer, namun ia harus
tetap berpangkal pada makna historis teks terlebih dahulu. Sebab, makna
historis teks selain dapat memberikan “objektivitas” pemahaman, ia juga yang
menentukan batas-batas yang mengarahkan pergeseran teks. Sementara itu,
signifikansi juga memiliki peran di dalam menentukan segi-segi tertentu dari
teks yang hendak diungkapkan. Ini karena, sifat signifikansi yang mengajukan “kriteria
kontemporer” bagi upaya penyingkapan makna historis teks itu sendiri. Dalam
pengertian ini, makna bukanlah sesuatu yang sudah final, tetapi turut
ditentukan oleh horison harapan pembaca. Hal ini menunjukkan bahwa pembacaan
merupakan gerak dialektika antara makna dan signifikansi, antara masa lampau
dan masa kini, dan antara teks dan pembacanya. Mengabaikan salah satu unsur
tersebut akan menjerumuskan pembacaan kepada ideologisasi (qirā’ah talwiniyah).
2) Kasus-kasus fiqh kontemporer
·
Lembaga perbankan adalah suatu
lembaga yang belum dikenal pada masa Nabi. Maka pada masa sekarang ini, ketika
perbankan (khususnya perbankan konveksional) memperkenalkan sistem bunga,
pertanyaan muncul apakah ini termasuk kategori riba? Disinilah awal dari
perdebatan itu. Persoalan prinsip ada pada uang apakah ia bisa dijadikan
sebagai alat komoditi? Karena pada dasarnya bank adalah lembaga yang bergerak
dalam usaha dagang. Karenanya, keuntungan menjadi sasaran penting dalam
usahanya, dan barang dagang bank adalah uang dan jasa. Untuk menyelesaikan
persoalan bunga bank itu riba atau bukan, maka alat yang digunakan untuk
menganalisis masalah ini adalah melalui penalaran bayani yang lebih
menitihberatkan pada pemahaman teks. Dan penalaran ta’lili, yang lebih berusaha
mencari ‘illat hukum diharamkannya riba. Sehingga tidak terjebak pada pemaknaan
riba adalah semata-mata “penambahan atas modal”, tanpa melihat kausa prima
diharamkannya riba.
· Dalam masalah poligami
Ayat Al-Qur’an 4:3 mensyaratkan
keadilan di antara para isteri sebagai persyaratan poligami, Artinya:” Dan jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, Maka kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”
Dan karena ayat 4:129 menyatakan bahwa keadilan yang
dipersyaratkan itu tidak mungkin dicapai dalam praktik, Allah berfirman “Dan
kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isterimu,
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Maka selanjutnya dikatakan bahwa sesungguhnya maksud Al-
Qur’an adalah menghapuskan poligami. Jadi seluruh teks itu disebut oleh para
intelektual muslim modernis dalam rangka mendukung pembatasan poligami justru
membolehkan poligami untuk suatu pengecualian. Inilah hasil konsep nasakh yang
ditawarkan Abdullahi Ahmed an Na’im.
·
kasus pelarangan atas rokok menurut
syahrur. Selama ini, para ulama menyatakan bahwa hukumnya rokok adalah makruh
dengan didasarkan pada riwayat hadis Nabi yang lemah. Bagi Syahrūr, adanya
hukum yang melarang merokok adalah didasarkan pada kenyataan objektif atau
bukti ilmiah yang dihasilkan oleh ilmu kedokteran bahwa di dalam rokok terdapat
zat-zat yang berbahaya bagi tubuh manusia terutama jantung dan paru-paru.
Temuan ilmiah kedokteran inilah yang menurutnya menjadi al-syāhid al-awwal
dalam konsep qiyās, dan manusia yang hidup di masa ini adalah al-syāhid
al-tsānī .
D. SIMPULAN.
Gagasan teori Ushul Fiqh Kontemporer itu lebih
menekankan metodologi menafsirkan atau menemukan hukum yang tidak hanya mengacu
pada teks, tapi harus berpacu pada realitas sosial bukan pada undang-undang
atau kepastian hukum semata.
Fazlur Rahman, dengan menggunakan konsep double movmentnya, Rahman mencoba menafsirkan ayat atau undang-undang dengan menghubungkan unsur yang dialektis antara dua unsur yang terdapat dalam Al-Qur'an yaitu wahyu ketuhanan yang suci di satu sisi dan sebagai sejarah kemanusian yang profan disisi yang lain. Muhammad Syahrur dengan teori batasnya, yang menghubungkan antara garis lurus teks dengan menguhungungkan dengan realitas masyrakat sekarang
Fazlur Rahman, dengan menggunakan konsep double movmentnya, Rahman mencoba menafsirkan ayat atau undang-undang dengan menghubungkan unsur yang dialektis antara dua unsur yang terdapat dalam Al-Qur'an yaitu wahyu ketuhanan yang suci di satu sisi dan sebagai sejarah kemanusian yang profan disisi yang lain. Muhammad Syahrur dengan teori batasnya, yang menghubungkan antara garis lurus teks dengan menguhungungkan dengan realitas masyrakat sekarang
Nasr Hamid Abu Zaid dengan teori ta'wilnya. Yaitu dihubungkan dengan panafsiran yang tidak hanya mengungkap makna teks secara linguistik gramatikal saja tetapi lebih jauh lagi menyentuh pada spirit teks yang nantinya akan terartikulasikan dalam makna signifikansi.
E.
No comments:
Post a Comment