FIQIH TIDAK SAKLEK
Drs.M.Rakib, S.H.,M.Ag.
Pekanbaru Riau Indonesia
SAKLEK (sakelijk).
Bagaimana jika fiqih itu SAKLEK? Saklek memiliki
arti tidak bisa ditawar-tawar lagi atau harus dilakukan. Dalam komunikasi,
pengertian dan kelapangan dada untuk mengerti kondisi lawan bicara sangatlah
dibutuhkan. Sikap saklek
seolah membuat lawan bicara dituntut untuk melakukan keinginan yang memuaskan
Anda. Komunikasi yang baik seharusnya bisa menempatkan kepentingan bersama di
atas kepentingan dan keinginan pribadi. Komunikasi yang saklek akan membuat
lawan bicara tak nyaman saat berkomunikasi dengan Anda.LETTERLIJK ZAKELIJK, jadi "saklek" alias
ndak bisa/mau fleksibel. Padahal arti aslinya berarti "business" verdieping,
jadi lantai atas yang dibuat dari beton.
Sakleknya fiqih, ada pengelompokan
pemikiran Islam, terbagi kedalam Islam
pluralis, Islam liberal, dan Islam substantif telah masuk ke dalam
relung-relung masyarakat dan budaya Islam melalui banyak tulisan. Hal ini
terjadi sebagai proses interaksi pemikiran, meskipun pemasungan dan hujatan
dari kelompok-kelompok yang tidak sepaham, telah dapat dihindari, model
pemikiran Islam kategoritatif tidak pernah akan surut.
Islam
Sebagai Syari’ah
Lapangan syari’ah lebih luas daripada
lapangan fiqih, karena lapangan syari’ah adalah apa saja yang tercakup dalam
ilmu tauhid, ilmu fiqih dan ilmu tasawuf / akhlaq. Atau dengan kata lain, fiqih
adalah sebagian dari isi syari’ah, karena pengertian syari’ah ialah keseluruhan
agama bukan fiqih ansich. Segi pemisahan yang lain ialah bahwa fiqih
tidak mendapat kedudukan dan penghormatan yang tinggi seperti syari’ah, karena
fiqih sebagai ilmu adalah hasil pikiran manusia, sedang syari’ah datang dari
Tuhan.
Fiqih
Sebagai Hasil Interpretasi Syari’ah
Dalam epistomologi keilmuan Islam
klasik, Fiqih sebagai salah satu cabang keilmuan dalam Islam seakan topik
bahasan yang tidak ada habisnya, topik-topik keilmuan fiqih pada zaman klasik
dianggap sebagai (mahadewa) yang tiada tandingannya. Konsepsi tentang fiqih
yang dianggap sebagai (Undang-Undang Ketiga) dan yang berkuasa mengatur
kehidupan umat Islam seakan menyamai popularitas dari (Teologi Kalam) yang
pernah ada dan mensejarah dalam kazanah keilmuan Islam.
Fiqih klasik yang diplot menjadi produk ilmu hukum Islam yang mengatur pelaksanaan ibada-ibadah ritual, yang menguraikan tentang detail perilaku Muslim dan kaitannya dengan lima prinsip pokok (wajib, sunnah, haram, makruh, mubah), serta yang membahas tentang hukum-hukum kemasyarakat (muamalat), sampai saat ini dirasa oleh sebagian kalangan sebagai ilmu yang sempurna, dan seakan tidak akan pernah tergoyahkan dan bahkan tidak sedikit dari berbagai kalangan tersebut melestarikan tadisi fiqih yang menjadi produk keilmuan pada masa lalu.
Sebuah pertanyaan besar yang ada di
masa sekarang adalah, apakah fiqih klasik masih dapat dan bisa digunakan
sebagai solusi untuk menjawab persoalan-persoalan ke-ummatan, sedangkan fiqih
klasik adalah produk lama yang dimiliki ummat Islam, dan dengan melihat motif,
illat (sebab), dan kondisi sosial yang jauh berbeda dengan masa sekarang,
apakah pola fikir klasik juga tidak perlu direkontruksi? Jawaban dari pertanyaan itulah yang mendasari pemikiran imajiner tehadap
kemunculan istilah fiqih kontemporer dengan berlandaskan dari sebuah Ijtihad
kontemporer.
Dalam masa sekarang ini, kelompok Islam modernis (kontemporer) yang
dimotori oleh para pembaharu Islam seperti Yusuf Al-Qordhawi dan yang lain,
memandang bahwa kajian fiqih seharusnya tidak saklek dan menjustifikasi sebuah
hukum pada masa lampau sebagai sebuah kebenaran mutlaq, dan harusnya fiqih
menjadi bahasan aktulal yang mendorong terhadap adanya kemungkinan untuk
melakukan sebuah Ijtihad baru yang benar dan dipertanggungjawabkan . Pendapat
ini didasarkan atas pemikiran bahwa dalam sejarah fiqih Islam, fungsi Ijtihad
ini pernah mengalami kemandekan, karena munculnya institusi ijtihad yang telah
dibatasi oleh kelembagaan para mujtahid mutlaq, seperti istitusi empat Imam
Mazhab yang sangat populer.
Senada dengan pertimbangan di atas, banyak dari beberapa tokoh kontemporer yang menyatakan bahwa akibat dari timbulnya empat mazhab, ummat Islam banyak mengalami kemunduran dan era taqlid yang begitu panjang, dan terlepas dari kualitas dasar-dasar fiqih (Ushul Fiqih dan Qawaidul Fiqih) yang telah ditatarkan oleh para imam tersebut , disisi lain mereka menganggap bahwa persoalan keilmuan fiqih tidak hanya berhenti di situ saja, persoalan sosial yang masuk dalam kajian ilmu fiqih selalu berkembang sesuai dengan konteks dan perkembangan zaman.
Nalar-kritis
Metode-metode Klasik
Perkembangan pemikiran keislaman dalam sepanjang sejarahnya telah
menunjukkan adanya varian-varian yang khas sesuai dengan semangat zamannya.
Varian-varian itu berupa semacam metode, visi, dan kerangka berpikir yang
berbeda-beda antara satu pemikiran dengan pemikiran lainnya.
Ajaran dan semangat Islam akan bersifat universal (melintasi batas-batas
zaman, ras, dan agama), rasional (akal dan hati nurani manusia sebagai partner
dialog), dan necessary (suatu keniscayaan dan keharusan yang fitri),
tetapi respon historis manusia dimana tantangan zaman yang mereka hadapi sangat
berbeda dan bervariasi, maka secara otomatis akan menimbulkan corak dan
pemahaman yang berbeda pula. Dalam konteks ini, ijtihad merupakan
sesuatu yang tak pernah ditutup tetapi harus selalu digelorakan.
Dalam kontek mengelorakan ijtihad, Ilmu ushul Fiqih merupakan
perangkat metodologi baku yang telah dibuktikan perannya oleh para pemikir
Islam semisal Imam mazhab dalam menggali hukum Islam, dan dalam bidang yang
lain, dari sumber aslinya (al-Qur’an dan as-Sunnah). Namun dewasa ini fiqih
Islam dianggap mandul karena peran kerangka teoritik ilmu ushul fiqih dirasa
kurang relevan lagi untuk menjawab problem kontemporer. Hal ini memunculkan
kesulitan-kesulitan dalam menjawab problem kontemporer.
Kesulitan-kesulitan yang dihadapi pemikiran Islam kontemporer menjadi
lebih akut oleh kenyataan bahwa penggunaan metode muslim klasik tidak dapat
dengan mudah menggantikan tugas menanggulangi ketidakcukupan ilmu-ilmu Barat.
Ini karena ilmu-ilmu klasik dengan sendirinya tidak memadai untuk mengarahkan
aktivitas-aktivitas ilmiah modern. Ketidak cukupan ini telah menjadi sorotan
sejumlah pakar muslim. Al-Faruqi misalnya menyatakan bahwa ketidakcukupan
metode-metode tersebut terungkap dalam dua kecenderungan yang saling
berlawanan secara diametral. Kecenderungan pertama adalah pembatasan
lapangan ijtihad ke dalam penalaran legalistik yakni memasukkan problem-problem
modern di bawah kategori-kategori legal, sehingga dengan cara demikian
mereduksi mujtahid kepada faqih (jurist) dan mereduksi ilmu ke
dalam fiqih. Kecenderungan kedua adalah menghilangkan seluruh criteria
dan standar rasional dengan menggunakan "metodologi yang murni intuitif
dan esoteris".
Keprihatinan serupa juga disampaikan oleh Abdul Hamid Sulayman yang
mengaitkan krisi intelektualisme muslim modern dengan ketidakcukupan
metodologis yang menimpa pemikiran muslim kontemporer, yang memanifestasikan
dengan sendirinya dalam penggunaan pola pikir yang semata-mata linguistik dan
legalistik. Konsekuensinya meskipun seorang faqih dididik untuk
menangani problem-problem legal spesifik, kenyataannya dia terus dipahami
sebagai orang yang serba bisa, intelektual universal yang mampu memecahkan
seluruh problem masyarakat modern. Akibatnya untuk menjawab problem-problem
kontemporer masih selalu mengandalkan informasi dari kitab-kitab klasik secara
tektual tanpa diimbangi kemauan menangkap makna substansinya apalagi metode
berpikirnya.
Aspek lain dari ketidakcukupan metode-metode klasik diungkapkan oleh
Muna Abu Fadl. Alasan metode klasik tidak memadai, menurutnya, adalah bahwa
bila studi fenomena sosial mengharuskan suatu pendekatan holistic yang dengan
cara itu relasi-relasi sosial disistematisasikan menurut aturan-aturan
universal, metode klasik bersifat atomistik yang pada dasarnya disandarkan pada
penalaran analogis. Oleh karenanya, kiranya cukup alasan jika muncul banyak
tawaran metodologi baru dari para pakar Islam kontemporer dalam usaha menggali
hukum Islam dari sumber aslinya untuk disesuaikan dengan dinamika kemajuan
zaman.
Kenyataan ini tidak bisa ditolak karena fenomena keangkuhan modernitas
dan industrialisasi global telah menghegemoni seluruh lini kehidupan anak
manusia sehingga memicu dinamika pemikiran Islam kontemporer dengan segala
perangkat-perangkatnya termasuk metodologi ushul al-fiqh dan qawaid
al-Fiqhiyyah. Dinamika yang dimaksud adalah bahwa perlu dilakukan upaya
inkorporasi wahyu ke dalam penelitian ilmiah guna membebaskan sarjana- sarjana
muslim dari paksaan epistemologi Barat. Hal ini merupakan pekerjaan besar yang
harus dilakukan dalam rangka membangun cita diri Islam di tengah kehidupan
modern yang senantiasa berubah dan berkembang. Di Indonesia pada dasawarsa
terakhir telah muncul perkembangan pemikiran hukum Islam yang disesuaikan
dengan kondisi riil kehidupan di Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh
kesadaran bahwa fiqih klasik sudah tidak mampu menjawab persoalan-persoalan
kontemporer.
Fikih
Kontemporer Sebagai Korporasi Wahyu
dan Metode Ilmiah (Pendekatan Burhani)
Menjadi kebiasaan para mujtahid, mereka
tidak pernah memaksakan hasil ijtihadnya kepada orang lain untuk mengikutinya,
bahkan mempersilahkan meninggalkannya ketika didapatkan hasil ijtihad yang
lebih valid.
Pada zaman modern, Islam berada dalam ujian yang sangat berat, khususnya
ujian epistemologis. Ilmu ushul fiqih yang mestinya dapat berperan sebagai
metodologi baku bagi seluruh pemikiran intelektual Islam, dipersempit wilayah
kerjanya hanya terbatas dalam bidang hukum Islam. Oleh karenanya sangat
beralasan jika dikatakan bahwa kemunduran fiqih Islam dikarenakan kurang
relevannya perangkat teoritik ilmu ushul fiqih untuk memecahkan masalah-masalah
kontemporer. Hal inilah yang kemudian menjadikan pekerjaan besar bagi para pemikir
Islam untuk merumuskan dan memberikan solusi intelektual terhadap permasalahan
tersebut. Al-Jabiri misalnya melihat ada tiga tipologi dalam wacana pemikiran
Islam, yaitu modernis (‘asraniyyun, hadathiyyun), tradisionalis (salafiyyun),
dan eklektis (taufiqiyyun). Menurut al-Jabiri, bahwa tipologi itu
terjadi karena terdapat relasi signifikan pada titik tertentu antara satu
konstruksi pemikiran dengan realitas sosial sebagai respon dan dialektika
pemikiran terhadap fenomena yang sedang terjadi dan berkembang di masyarakat.
Doktrin ideal yang bersumber dari wahyu Tuhan, ternyata tidak mampu
berhadapan dengan ujian yang satu ini, sehingga wahyu menjadi tidak dapat
“difungsikan” dan “dirasakan” sebagai mana mestinya”. Demikian, agar wahyu ini
dapat “difungsikan” dan “dirasakan” sebagai mana mestinya, manusia harus
mengerti dan memahami substansi nilai yang terkandung di dalamnya. Manusia
harus melakukan apresiasi intelektuil atas “doktrin ideal” tersebut yang
ditopang dengan kerangka metodologi yang tepat. Prasarat yang harus ditepati
adalah harus ada “kesepakatan” untuk melakukan pemahaman intelektual bahwa
agama adalah sistem simbolik yang tidak cukup difahami sebagai formula-formula
abstrak tentang kepercayaan dan nilai saja.
Apresiasi atas agama harus dilakukan pengungkapan makna dibalik teks
kemudian dilakukan penafsiran. Dari sana akan tergambarkan bahwa Islam adalah
ajaran yang dinamis. Dinamisme itu berada di antara Islam Ideal dan Islam
Sejarah. Kedinamisan itu terletak dalam ajarannya yang menganjurkan agar akal
dapat memahami ayat atau tanda yang terdapat dalam ayat. Di situlah Islam
mengenal konsep ijtihad yang digunakan sebagai metode untuk
merekonstruksi pemikiran Islam. Melalui cara seperti ini seorang mujtahid dapat
memastikan posisi akal pikirannya dalam mencampuri hukum Allah. Ini berarti,
antara akal dan wahyu harus ditempatkan pada posisi yang proporsional dalam
artian bahwa wahyu tidak akan mengebiri akal tetapi akal dalam perannya tidak
boleh melampaui wahyu karena, kebenaran wahyu bersifat mutlak dan kebenaran
akal manusia bersifat relatif (nisbi). Keduanya tidak boleh saling
menegasikan tetapi harus berkelindan untuk memberikan solusi terhadap
problematika kehidupan. Karena wahyu sebagai teks suci dan problematika sebagai
realita pada hekekatnya berasal dari sumber yang sama. Oleh karenanya dalam
memahami teks harus tidak boleh terlepas dari konteks.
Hal itu penting, karena kalau kita mencoba mengkontekkan antara nash
(teks suci) dan al-Waqi’ (kenyataan) maka prasarat yang harus dipahami
adalah bahwa keduanya merupakan dua wilayah yang jika dapat dikawinkan maka
akan memunculkan pemahaman yang komprehensip. Corak dalam membaca teks menurut
asy-Syatibi ada tiga yaitu qira’ah salafiyyah, qira’ah ta’wiliyyah, dan
qira’ah maqashidiyyah. Sementara dalam wilayah al-Waqi’ ada
beberapa disiplin ilmu yang digunakan dalam memahami fenomena-fenomena sosial,
politik dan sebagainya misalnya sosiologi, antropologi, dan seterusnya. Pada
wilayah inilah metode ilmiah cukup baik untuk menjadi komandan kajian. Dengan
demikian idealnya adalah ketika melakukan pembacaan teks kemudian dikontekkan
pada fenomena sosial seharusnya tidak boleh meninggalkan disiplin ilmu dengan
segala perangkat metode ilmiah yang ada pada wilayah al-Waqi’. Jika
tidak maka pemahaman atas teks tersebut akan out of date, sehingga tidak
applicable.
Pemikiran Islam
Kontemporer; Contoh Kasus Sosial-Kemanusiaan
Kemunculan kasus-kasus aktual yang mengiringi zaman modern dan arus
globalisasi seperti sekarang yang terjadi dalam konteks kekinian. Seperti pertama,
kesehatan seperti kasus aborsi dan penjual belian organ tubuh mayat, seakan
memperjelas bahwasnya fiqih masa klasik harus dicermati ulang dan
direkonstruksi kembali, karena sudah jelas bahwa produk fiqih dibuat
permasalahan-permasalahan tersebut belum ada, dan secara dialektika maka fiqih
klasik tidak akan mampu menjawab persoalan-persoalan tersebut.
Kasus lain kedua yang menjadi agenda dari format fiqih dan Ijtihad kontemporer adalah kasus ibadah haji. Seperti kita tahu semua, ibadah haji adalah ibadah yang bukan hanya melibatkan sang Kholiq (Allah SWT) dengan makhluq-Nya, karena dalam prosesi ibadah hajji terdapat interaksi sosial antar manusia. Banyaknya kasus menyedihkan sekaligus mencengangkan seperti meninggalnya jama’ah haji pada saat pelemparan jumrah aqabah karena terinjak-injak oleh sesama jama’ah haji yang lain dan berbagai kasus yang lain dan mengakibatkan meninggalnya jama’ah haji.
Dari beberapa kasus di atas seakan menjali cambuk betapa besar agenda
tentang rekonsrtuksi terhadap metodologi hokum Islam klasik yang menjadi
cakupan fiqih harus segera dilaksanaksan.
Penulis tertarik pada apa yang ditulis oleh: Khusnul Azhar, bahwa dalam
pandangan fiqih baru, syariah diharapkan tidak lagi bercorak vertikalistik, yang hanya mengupas hubungan
manusia dengan Tuhan, melainkan proses ijtihad ini di arahkan pada
masalah-masalah kemanusiaan. Fiqih kontemporer harus didesak kearah
problema-probelama aktual. Dengan mendinamiskan format fiqih yang seperti ini,
diharapkan menjadi langkah awal untuk merekonstruksi syariah dari wajahnya yang
statis, eksklusif dan diskriminatif menjadi wajah syariah yang dinamis,
eksklusif, egaliter, rasional, empirik dengan tetap bermuara pada ranah
transedental.
Penutup
Dengan kehadiran dari konsep dan format tentang fiqih kontemporer yang dihasilkan lewat sebuah proses yang kontemporer, seakan membawa angin segar dalam khazanah keilmuan Islam dalam mengartikan dan mengamalkan syariah Islam dengan penuh nitatan ikhlas dan selalu di bangun atas dasar mencari ridho Allah SWT. Fiqih kontemporer juga seakan memberikan solusi yang amat sangat signifikan untuk menjawab masalah-masalah ke-ummmat-an yang terjadi pada masa kekinian.
Diharapkan dalam format fiqih kontemporer kita sebagai manusia
yang aktif dengan berbagai perkembangan yang mengikuti lebih dapat dihargai
eksistensinya, dengan segala kekekurangan yang ada. Pada akhirnnya kita sebagai
manusia yang hanya diberi sedikit rasio dari semua kebenaran hakiki yang di
punyai oleh Allah, berusaha semaksimal mungkin menjalankan apa yang telah di
perintahkan sesuai dengan kemapuan keterbatasan kita.
No comments:
Post a Comment