IJTIMA`IYYAH, SOSIULUJIYYAH DAN
ANTRUPULUJIYYAH
Hukum Islam diperoleh dari sumbernya yaitu Al-Quran dan As-Sunnah,
sekurang-kurangnya dilakukan dengan dua cara. Pertama, diperoleh secara
langsung berdasarkan hukum yang terdapat pada ayat Al-Quran atau As-Sunnah.
Cara ini dilakukan terhadap ayat Al-Quran atau As-Sunah yang sudah jelas
menunjukkan suatu hukum tertentu secaara qat’iy. Kedua, dilakukan dengan
mengambil makna yang terkandung dalam suatu ayat Al-Quran atau As-Sunah. Hal
ini dilakukan terhadap ayat Al-Quran atau As-Sunnah yang bersifat dzanny
dengan jalan ijtihad.
Ijtihad dilakukan oleh para ulama yang memenuhi persyaratan tertentu, dengan
mengerahkan segenap kemampuan berfikir yang ditunjang oleh kekuatan dzikir dan
doa, oleh sebab itu ijtihad menjadi sumber hukum pelengkap bagi ummat Islam.
Banyak Ayat-ayat Al-Quran yang cukup mengisyaratkan kepada kita manusia
tentang kedudukan akal yang menghasilkan pendapat dan pemikiran. Akal sebagai
daya berpikir yang ada dalam diri manusia selalu berusaha untuk mendapatkan
penjelasan dan ketetapan hukum peristiwa tertentu ysng tidak disebutkan secara
eksplisit di dalam Al-Quran maupun Sunnah Rasulullah SAW. hadits yang
menerangkan dialog Nabi dengan Mu’adz bin Jabal cukup memperkuat mengenai
kedudukan akal itu.
Perkembangan ijtihad di kalangan umat Islam mengalami pasang surut, bahkan
kondisinya saat ini sangat memprihatinkan, dimana para ilmuwan muslim tidak
banyak yang peduli terhadap perkembangan ilmu, khususnya untuk menjawab
tantangan zaman yang semakin mengglobal. Padahal masalah-masalah yang harus
segera dijawab sudah menumpuk dan semakin menggudang. Yang lebih memprihatikan,
mereka hanya berdebat di sekitar bahasan khilafiah yang tidak pernah berujung.
Salah satu sebabnya, tidak semua orang bersepakat dalam menetapkan penggolongan
sumber hukum Islam kepada qat’iy dan dzanny, bahkan ada yang
berpendapat bahwa yang qat’iy pun masih mungkin diubah mengingat maqosidu
syar’iy atau maqosid at-tasyri’y (maksud-maksud hukum).[1]
IJTIHAD
(Sebagai Metode Pendekatan Menafsirkan Wahyu}
Hukum Islam senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan zaman atau
waktu. Dengan demikian Hukum Islam tidak bersifat statis dan tidak kaku, akan
tetapi senantiasa diterapkan dalam segala keadaan dan kondisi masyarakat,
kapanpun dan dimanapun mereka berada.
Para Ulama sejak dahulu selalu berusaha mendalami hukum hukum yang
terkandung dalam Al-Quran dan As-Sunah yang kadang-kadang di antara mereka
terdapat perbedaan paham dan pendapat dalam menetapkan hukum yang mereka
istimbatkan dari Al-Quran dan As-Sunah tersebut. Hal ini dikarenakan di antara
ayat Al-Quran ataupun Hadits Nabi itu ada yang bersifat dzanni, sehingga
memerlukan pemikiran dan usaha yang sungguh sungguh untuk dapat memahami
nash-nash yang demikian.
Di samping itu seringkali para Ulama menghadapi masalah-masalah dalam
masyarakat yang belum pernah terjadi pada zaman Nabi dan belum ada ketetapan
hukumnya. Dengan demikian mereka harus berusaha dengan segala daya serta
kemampuannya untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah baru tersebut
sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang ada dalam sumber-sumber pokoknya yaitu
Al-Quran dan As-Sunah.
Usaha dan pemikiran yang sungguh-sungguh dari para Ulama untuk menetapkan
hukum Islam inilah yang dikenal dengan sebutan “Ijtihad”, sedangkan para
Ulama yang melakukannya disebut “Mujtahid”. Berusaha mendalami hukum
Islam memang merupakan sesuatu keharusan dalam ajaran Islam, dan orang yang
melakukannya sudah barang tentu memperoleh derajat yang lebih tinggi disbanding
kelompok lainnya.
A.
Pengertian Ijtihad
Dari segi bahasa, Ijtihad berarti berusaha dengan sungguh-sungguh;
mengarjakan sesuatu dengan segala keteguhan. Menurut ilmu ushul fiqh, ijtihad
identik dengan kata “istimbath” yang secara bahasa berarti mengeluarkan sesuatu
dari persembunyiannya.
Ijtihad menurut istilah telah dirumuskan secara bervariasi oleh bebepara
ulama. Antara lain ada yang menyatakan bahwa ijtihad adalah segala upaya yang
dicurahkan mujtahid dalam berbagai bidang ilmu, seperti fiqih, teologi,
filsafat, tasawuf dan sebagainya (Kasuwi Saiban, 2005 : 42). Ada pula yang
menyatakan bahwa ijtihad adalah mengerahkan semua potensi dan kemampuan
semaksimal mungkin untuk menetapkan hukum hukum syari’ah berdasarkan
dalil-dalil syara (Depag RI, 1996 : 23).
Adapun menurut Ibrahim Hosen (1988 : 23) yang mendasarkan pengertian
ijtihad pada praktek sahabat, menyatakan bahwa ijtihad adalah penelitian dan
pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat dengan Kitab Allah dan Sunnah
Rosulullah saw, baik melalui suatu nash maupun melalui maksud dan tujuan umum hikmah
syari’ah yang disebut maslahat. Sedangkan menurut mayoritas ulama ahli ushul,
ijtihad ialah mengerahkan segenap kemampuan oleh seorang ahli fiqih atau
mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dzani mengenai hukum syara.
Definisi tersebut memiliki relevansi dengan yang dikemukakan oleh Ahmad
Azhar Basyir (1988 : 46) yang menyatakan bahwa Ijtihad adalah penggunaan akal
fikiran semaksimal mungkin untuk memperoleh ketentuan hukum syara. Karena yang
dicari adalah hukum syara’ maka yang melakukan ijtihad harus benar-benar
muslim, kukuh aqidahnya, baik ibadahnya, dan mulia akhlaknya.
B.
Hukum Ijtihad
1. Wajib ‘ain yaitu bagi seseorang mujtahid yang ditanya tentang
masalah sedang masalah tersebut akan segera hilang (habis) bila tidak segera
dijawab/diselesaikan. Demikian pula wajib ‘ain apabila masalah tersebut dialami
sendiri oleh seseorang dan ia ingin mengetahui hukumnya.
2. Wajib kifayah, yaitu bagi seseorang mujtahid yang ditanya tentang
sesuatu masalah dan tidak dikhawatirkan habisnya atau hilangnya masalah
tersebut, sedang selain dia sendiri masih ada mujtahid lain. Dalam situasi yang
demikian apabila semuanya meninggalkan ijtihad, mereka berdosa.
3. Sunnat, yaitu ijtihad terhadap sesuatu masalah atau peristiwa
yang belum terjadi baik dinyatakan atau tidak.
C.
Syarat Syarat Ijtihad
1. Memahami Al-Quran dan Al-Haditst. Kalau
tidak memahami salah satunya, maka ia bukan mujtahid dan tidak boleh
berijtihad. Hal ini menjadi syarat utama, karena ijtihad hanya boleh dilakukan
apabila telah diketahui tidak ada penjelasan dari Al-Quran atau Al-Hadits. Baik
tentang ayat ayat Al-Quran maupun hadits hadits tidak disyaratkan hafal, tetapi
cukup apabila dibutuhkan dapat mencarinya dalam Al-Quran dan Kitab-kitab
Hadits. Tentang hadits selain mengetahui keadaan perawi perawi hadits mana yang
tercela dan mana yang tidak
2. Mengetahui hukum hukum yang ditetapkan
dengan Ijma’ sehingg ia tidak memberikan fatwa yang berlainan dengan Ijma’,
kalau ia berpegang kepada Ijma dan memandangnya sebagai dalil.
3. Mengetahui serta memahami bahasa Arab,
Mujtahid juga harus mengatahui lafadz-lafadz yang zhahir, mujmal, yang hakikat,
yang majmaz. Am, khash, muhkam, mutasyabihat, mutlak, muqayad, mantuq, dan
mufham. Semua ini perlu untuk memahami Al-Quran dan Al-Hadits.
4. Mengetahui ilmu Ushul Fiqh dan harus
menguasai ilmu ini dengan kuat, karena ilmu ini menjadi dasar dan pokok
ijtihad. Hendaknya seorang mujtahid menguasai ilmu usuhl fiqh ini sehingga
sampai kepada kebenaran, dengan demikian ia mudah mengambalikan soal soal
cabang kepada soal soal pokoknya
5. Mengetahui nasikh dan mansukhsehingga ia
tidak mengeluarkan hukum berdasarkan dalil yang sudak dimansukh.
Tingkatan Tingkatan Mujtahid
6. mujtahid mutlak, yaitu yang memiliki
syarat syarat ijtihad dan memberikan fatwa dalam segala hukum dengan tidak
terikat oleh sesuatu madzhab
7. mujtahid muntasib yaitu orang yang
mempunyai sarat syarat iujtihad, tetapi menggabungkan dirinya kepada sesuatu
madzhab karena mengikuti cara cara yang ditetapkan oleh imam madzhab tersebut
dalam berijtihad.
D.
Kebenaran Hasil Ijtihad.
Segolongan Ulama berpendapat bahwa semua mujtahid mencapai kebenaran dalam
hasil berijtihadnya, menurut Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i. Tidak semua
mujtahid mencapai kebenaran dalam ijtihadnya tetapi ada yang mencapai kebenaran
dan ada yang tidak. Sabda Rasululloh saw.
Artinya : “seorang hakim apabila berijtihad kemudian ternyata ijtihadnya
benar, maka ia mendapat dua pahala apabila ia berijtihad dan ternyata keliru
(tidak mencapai kebenaran) maka ia mendapat satu pahala (HR. Bukhari )
Hadits tersebut menunjukan, bahwa kebenaran itu hanya satu. Sebagian
mujtahid dapat mencapainya, maka ia dikatakan yang mencapai kebenaran dan ia
akan mendapat dua pahala. Sebagian lagi tidak dapat mencapai kebenaran dan ia
akan mendapat satu pahala; pahala ini karena ijtihadnya, bukan karena
kekeliruannya
E.
Model Ijtihad
بِذلُ الْجُهْدِ لِتَحْصِيْلِ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ
Ijtihad adalah memberi segala daya
kemampuan dalam usaha mengetahui sesuatu hukum syara’.
Dari segi teknik, ijtihad dibedakan
menjadi tiga:
1. Ijtihad bayani yaitu ijtihad
yang berhubungan dengan penjelasan kebahasaan yang terdapat di al-Qur’an dan
Sunnah
2. Ijtihad qiyasi yaitu ijtihad
untuk menyelesaikan suatu sengketa atau persoalan yang di dalam al-Qur’an dan
as-Sunnah yang tidak ada ketentuan hukumnya, dan ulama menyelesaikan dengan
cara qiyas atau istihsan.
3. Ijtihad istishlahi yaitu
ijtihad dengan menggunakan ra’y (akal) yang tidak menggunakan ayat-ayat
al-Qur’an atau hadits tentang secara khusus.[2]
Ijtihad pada dasarnya adalah upaya yang
sungguh-sungguh dalam memahami maksud-maksud Allah. Oleh karena itu ijtihad
pasti menggunakan akal (ra’y).
Dengan pendekatan lafazh dan makna, Abd
al-Majid Shubh membedakan ijtihad menjadi dua :
1.
Ijtihad yang mengutamakan kata (susunan dan relasinya) yang utamanya disebut ash
hab al lafazh
2.
Ijtihad yang mengutamakan “ideal moral” atau (مَاوَرَاءَ النَّصِّ) yang kemudian utamanya disebut ash hab al-ma’na.
Ijtihad adalah suatu usaha darurat di
dalam sejarah perkembangan syariat, karena ijtihad jalan untuk mengistimbathkan
hukum dari dalil, baik yang naqli maupun yang aqli.[3]
Orang yang mempunyai kelengkapan syarat
ijtihad ditugaskan mengistinbathkan hukum atas dasar fardlu kifayah. Ada ulama
yang berkata : kita perlu membayangkan hal-hal yang mungkin terjadi lalu kita
bahas hukumnya, agar ketika terjadi hal-hal itu hukum telah ada. Inilah jalan
yang ditempuh oleh fuqaha akhir ra’yi dan golongan Hanafiyah. Dan haram
berijtihad pada masalah-masalah yang telah terjadi ijma’.
Batas berlakunya hukum yang diperoleh
dari ijtihad:
1. Hukum
yang diperoleh dari ijtihad hanya harus dipakai oleh mujtahid sendiri dan oleh
orang yang meminta fatwa kepadanya, tak dapat dimestikan seseorang mengikuti
dan melaksanakannya.
2. Hukum
yang diijtihadkan itu, tak dapat diyakini bahwa dia hukum syara’.
3. Hukum
yang diperoleh dari ijtihad, merupakan hujah bagi seseorang yang meminta fatwa,
tak perlu orang yang meminta fatwa itu mengetahui dalil, karena mujtahid itu
merupakan dalil bagi hukum itu.
Dalam bidang yang telah ada nash yang
qath’i tersebut dan dalalahnya naik dari Kitabullah maupun sunnah mutawatir,
tidak dapat dilakukan ijtihad lagi, demikian pula dalam bidang yang sudah ada
batasan-batasannya dalam syara’, seperti bilangan rakaat, waktu sembahyang dan
amalan-amalan haji.
F.
Jenis Ijtihad
Ijtihad fardi adalah
setiap ijtihad yang dilakukan oleh orang seseorang atau beberapa orang, tak ada
keterangan bahwa seluruh mujtahid yang belum menyetujuinya.
Ijtihad jama’i adalah
Ijtihad terhadap sesuatu masalah yang disepakati oleh semua mujtahid.[4]
Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada para Rasul, sebagai
hidayah daan rahmah Allah bagi umat manusia sepanjang masa, yang menjamin
kesejahteraan hidup matrial dan spiritual, duniawi-ukhrawi. Agama Islam, yakni
agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad sebagai Nabi akhir jaman, ialah agama
yang diturunkan Allah yang tercantum dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi yang
Shahih (Sunnah Maqbulah), berupa perintah-perintah, larangan-larangan,
dan petunjuk-petunjuk untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat.
Ajaran Islam bersifat kaffah, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisah-pisahkan, meliputi bidang-bidang aqidah, akhlak, ibadah dan muamalah
dunyawiyyah.
Dengan pengamalan Islam yang sepenuh hati dan sungguh-sungguh, akan
melahirkan manusia yang memiliki kepribadian Muslim, kepribadian Mukmin,
kepribadian Muhsin dan Kepribadian Muttaqin. Setiap muslimin yang memiliki
kepribadian di atas dituntut memiliki aqidah berdasarkan al-tauhid al-khalis
(tauhid yang bersih) dan istiqamah, terhindar dari kemusyrikan, bid'ah dan
khurafat. Memiliki cara berpikir bayani (faham dan komitmen terhadap nash
al-Quran dan al-Hadith), burhani (rasional, logis dan ilmiah), dan irfani
(ketajaman hatinurani, stabilitas emosi, dan kekuatan spiritual-intuisi), yang
selanjutnya berimplikasi kepada ucapan, pikiran dan tindakan yang mencerminkan
Akhlak Karimah dan rahmatan lil 'alamin.
G.
Rusaknya ijtihad
Ringkasnya lapangan ijtihad ada dua macam. Dalam perkara syari’ah
yang tidak ada nashnya sama sekali dan dalam perkara syari’ah yang nashnya ada
tapi tidak qoth’i (tidak ada peluang untuk berijtihad mengenai sesuatu
yang ada nashnya yang bersifat qoth’i).[5]
Menariknya, kalangan JIL yang memaksudkan ijtihad dengan maksud yang
berbeda. Karena menurut JIL ijtihad hanya dikesankan untuk mengadakan
kegiatan berpikir tentang ajaran Islam. Tegasnya, disaat dalil Al-Qur'an dan
As-sunnah ada dan cukup tegas, mereka masih tetap melakukan ijtihad. Jadi
istilah ijtihad dirusak dan dipakai secara tersamar.
Sebagai contoh, Abd Moqsith Ghazali, seorang pentolan aktivis JIL dalam
makalah yang berjudul “Ijtihad, Upaya Menembus Kawasan Tak Terpikirkan” membuat
kaidah yang bisa dikatakan lucu. Ia mengutip, “in khâlafa al-`aql wa
al-naql, quddima al-`aqlu bitharîqi al-takhshîsh wa al-bayân.” [6]
Artinya, ketika terjadi ketegangan antara pendapat akal dan bunyi
harfiah teks ajaran maka yang dimenangkan adalah pertimbangan akal dengan jalan
takhshîsh (spesifikasi ajaran) dan bayân (penjelasan rasional).
Kaidah ini sangat bertentangan dengan pengertian dasar ijtihad yang
telah dibuat oleh para ulama berabad-abad lamanya. Jelas sekali, ijitihad berlaku
jika tidak ada nash yang jelas dari Al-Qur’an dan As-sunnah dan itupun harus
mengambil istimbath (kesimpulan) dari dalil-dalil yang ada. Jadi sangat
ngawur bila ijtihad digunakan untuk menafikan hukum dalam Al-Qur’an dan
As-sunnah. Nampaknya sang penulis belum memahami arti ijtihad, namun
anehnya sudah berlagak sebagai ulama besar abad ini yang kemudian membuat
kaidah ijtihad.
Cara berpikir bayani, burhani dan irfani tersebut menjadi kerangka
metodologi pemikiran keislaman, dengan rincian sebagai berikut:
a.
Pendekatan Tekstual (Bayani)
Pendekatan bayani merupakan studi filosofis terhadap sistem bangunan
pengetahuan yang menempatkan teks (wahyu) sebagai suatu kebenaran
mutlak. Adapun akal hanya menempat kedudukan skunder, yang bertugas menjelaskan
dan membela teks yang ada. Dengan kata lain, kaum bayani hanya bekerja pada
dataran teks (nizam al-kitab) melebihi dataran akal (nizam al-'aql). Oleh
karenanya kekuatan pendekatan ini terletak pada bahasa, baik pada dataran
gramatikal dan struktur (nahwu-saraf) maupun sastra (balaghah: bayan, mani' dan
badi').[7]
Dalam konteks ini, bahasa tidak semata-mata sebagai alat komunikasi,
tetapi juga sebagai media transformasi budaya. Bahasa Arab sebagai media
transformasi budaya Arab (termasuk dalam pengertian mode of thought dalam
tradisi Arab) dan membentuk kerangka rujukan asasi kaum bayani. Salah satu
implikasinya, lafaz dan makna mendapatkan posisi yang cukup terhormat, terutama
dalam diskursus usul fiqh.
Dalam ilmu kalam, diskursus tentang lafaz-makna dapat dijumpai dalam
perdebatan tentang "kemakhlukan al-Quran", atau tentang sifat-sifat
Allah (antara ithbat al-sifat dan ta'til) dan juga tentang taqdir.
Pendekatan bayani ini sangat diperlukan dalam rangka komitmennya kepada
teks ajaran Islam, yaitu al-Quran dan al-sunnah al-maqbulah, sebagai al-wahyu
al-matluw dan al-wahyu ghairu al-matluw, serta teks-teks dari
warisan intelektual Islam, baik salaf maupun khalaf.
b.
Pendekatan Rasional, Logis dan ilmiah (Burhani)
Pendekatan burhani atau pendekatan rasional argumentatif adalah
pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio yang dilakukan melalui
dalil-dalil logika. Pendekatan ini menjadikan realitas teks maupun konteks
sebagai sumber kajian. Dalam pendekatan burhani tercakup metode ta'lili yang
berupaya memahami realitas teks berdasarkan rasionalitas; dan metode istislahi
yang berusaha mendekati dan memahami realitas objektif atau konteks berdasarkan
filosofi. Realitas tersebut meliputi realitas alam (realitas kauniyyah),
realitas sejarah (tarikhiyyah), realitas sosial (ijtima`iyyah)
maupun realitas budaya (thaqafiyyah). Dalam pendekatan ini, teks dan
konteks "sebagai dua sumber kajian" berada dalam satu wilayah
yang saling berkaitan. Teks tidak berdiri sendiri, ia selalu terkait dengan
konteks yang mengelilingi dan mengadakannya sekaligus konteks darimana teks itu
dibaca dan ditafsirkan, sehingga pemahaman bayani akan lebih kuat. Untuk itu,
pemahaman terhadap realitas kehidupan sosial-keagamaan dan sosial keislaman
menjadi lebih memadai apabila dipergunakan pendekatan-pendekatan sosiologi (ijtima`iyyah),
antropologi (antrupulujiyyah), kebudayaan (thaqafiyyah) dan
sejarah (tarikhiyyah).
Pendekatan sosiologis digunakan dalam pemikiran Islam untuk memahami
realitas sosial-keagamaan dari sudut pandang interaksi antara anggota
masyarakat. Dengan metode ini, konteks sosial suatu perilaku keberagamaan dapat
didekati secara lebih tepat, dan dengan metode ini pula kita bisa melakukan
reka cipta masyarakat utama. Metode antropologi bermanfaat untuk mendekati
masalah-masalah kemanusiaan dalam rangka melakukan reka cipta budaya Islam.
Tentu saja untuk melakukan reka cipta budaya Islam juga dibutuhkan
metode kebudayaan (thaqafiyyah) yang erat kaitannya dengan dimensi pemikiran,
ajaran-ajaran, dan konsep-konsep, nilai-nilai dan pandangan dunia Islam yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat Muslim. Untuk itu, di sini juga
dibutuhkan metode sejarah (tarikhiyyah), yang menempuh empat tahap: pelacakan
jejak sejarah, kritik sumber sejarah, interpretasi data sejarah dan
historiografi.[8]
Hal ini agar konteks sejarah masa lalu, kini dan akan datang berada
dalam satu kaitan yang kuat dan kesatuan yang utuh. Ini bermanfaat agar upaya
pembaharuan pemikiran Islam tidak kehilangan jejak historis. Ada kesinambungan
historis antara bangunan pemikiran lama yang baik dengan lahirnya pemikiran
keislaman baru yang lebih memadai dan up to date.
Demikian juga perlu pendekatan sosiologis dan antropologis melalui
analisis fenomenologi, struktural, fungsional, struktural-fungsional, konflik,
sosial-kritis, pendulum, maupun etnometodologi.
Oleh karena itu, dalam model pendekatan burhani, keempat metode "ijtima`iyyah,
tarikhiyyah, sosiulujiyyah dan antrupulujiyyah" berada dalam
posisi yang saling berhubungan secara dialektik dan saling melengkapi membentuk
jaringan keilmuan.[9]
Dalam kepentingan pengembangan pemikiran Islam dapat digunakan metode
dialektik, baik dialektika antropologis Islam untuk rekabudaya Islam (budaya
utama) maupun dialektika sosiologis Islam rekasosial Islam (masyarakat utama).
Metode Islam dialektik ada tiga tahap, yaitu internalisasi, objektivisasi, dan
eksternalisasi. Internalisasi merupakan tahap pemahaman dan penghayatan
terhadap teks atau konteks. Sedangkan objektivisasi merupakan tahap aktualisasi
atau visualisasi dari pemahaman dan penghayatan terhadap teks atau konteks.
Adapun eksternalisasi adalah tahap kreativisasi pemikiran Islam yang
konstruktif spiritualistik.
c. Pendekatan
Spiritual-Intuitif-Etis (Irfani)
Al-Irfan secara istilah menurut Al-Asfahani diartikan memahami sesuatu
dengan pemikiran dan pengkajian yang mendalam atas apa yang ada di balik
sesuatu. (al-'irfan idraku al-syai' bi tafakur wa tadabbur li atsarih). [10]
Menurut Raghib Al-Asfihani, dengan pengertian tersebut, pengetahuan
manusia (hamba) kepada Allah adalah pengetahuan al-irfanatau al-ma'rifah.
Sebab, manusia tidak langsung mengetahui Allah sebagai maf'ul (objek) yang
tunggal, tetapi menyertakan yang lain, yaitu mengetahui ayat-ayat-Nya baik
qawliyyah maupun kawniyyah, dan melalui taqarub dan ketaatan menjalankan
perintah dan menjauhi larangan-Nya.[11]
Oleh sebab itu pendekatan emosional-spiritual (al-irfan) adalah
pendekatan pemahaman yang bertumpu pada pengalaman batini, zauq, qalb, wijdan,
basirah dan intuisi. Pendekatan ini berangkat dari makna ihsan yang terdapat
dalam hadith Jibril, yaitu bahwa ihsan adalah mengabdi kepada Allah seakan-akan
seseorang melihat-Nya, atau yakin bahwa Allah selalu melihatnya. Pendekatan ini
berintikan taqarrub illah (pendekatan diri kepada Allah) dan ma'iyyatullah
(rasa selalu bersama di dampingi, diawasi, dan dibimbing oleh Allah.
Dengan demikian, pendekatan al-'irfan adalah penelitian dan perenungan
yang mendalam disertai dengan penajaman dan ketajaman hatinurani, yang dibangun
melalui munajat wa taqarrub illallah (memohon hidayah-keselamatan dan
mendekatkan diri kepada Allah) banyak melaksanakan ibadah masyru'ah, tadabbur
al-Quran, dan berakhlak karimah adalah upaya penguatan potensi kecerdasan
spiritual. Di sini terdapat untuk pengalaman dan penghayatan keagamaan yang
mendalam sebagai perangkat untuk memahami dan menjelaskan agama. Dalam pendekatan
'irfani ini terdapat unsur humanitas (rasa kemanusiaan), tetapi humanitas
ilahiyah, yakni rasa kemanusia yang timbul setelah banyak melakukan mujahadah
dan munajat kepada Allah. Orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam
munajat dan mujahadah kepada Allah akan dibukakan hijab yang menutup antara
dirinya dengan Allah, sehingga tiada lagi batas, tiada lagi hijab. (Al-Ankabut:
69)
Dalam kitab Madarij al-Salikin, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menyebutkan ada
sepuluh hijab yang menutupi hati nurani manusia dalam memperoleh kasyf ilahi
(tersingkapnya kebenaran Ilahi), yaitu: hijab al-syirk, hijab al-ta'til
(meniadakan sifat-sifat Allah), hijab al-bid'ah al-qawliyyah (bid'ah ucapan),
hijab al-bid'ah al-'amaliyyah (bid'ah perbuatan), hijab ahlul kabair
al-batiniyyah (dosa-dosa besar batin), hijab ahlul kabair al-zahiriyyah
(dosa-dosa besar lahir), hijab ahl al-shaghair (dosa-dosa kecil), hijab ahl
al-fudhalat (dosa orang-orang yang gila kehormatan, hijab ahli al-ghaflah
(hijab kelalaian), dan hijab ahlu al-Suluk wa al-Mujtahid, yang menyimpang dari
tujuan hakikinya.
Sepuluh hijab di atas tumbuh dari empat anasir, yaitu: nafs, syaithan,
duniawi dan hawa nafsu. Seseorang tidak dapat mencapai irfan atau kasyf bila
unsur-unsur tersebut bercokol pada dirinya, karena telah terputus jalan, amal
dan tujuannya untuk mencapai kebenaran ilahi.
Dengan demikian pengetahuan Irfani adalah terbukanya hijab yang
menghalangi hubungan manusia dengan Khaliknya, sehingga tiada lagi pembatas
antara keduanya dan sang hamba memperoleh pengetahuan tentang al-Haqq setelah
melalui riyadhah dan mujahadah masyru'ah, sebagaimana dituntunkan oleh Al-Quran
dan Al-Sunnah al-Maqbulah. Seperti bangun dan menghidupkan malam dengan qiyamul
lail, tartil dan tadabur al-Quran, serta banyak melakukan amal sunnah lainnya,
dan memperbanyak dzikrullah, baik dzikr qalbi, dzkir lisan maupun dzikr amal,
yang buahnya berupa ihsan dan akhlak yang mulia. Pengetahuan kasyfi atau irfani
yang demikian akan mengantarkan seseorang mencapai basirah.
Basirah adalah cahaya hati yang sangat tajam untuk melihat janji dan ancaman
Allah, surga dan neraka, serta yang segala yang disediakan Allah untuk para
kekasih-Nya. Dengan basirah seakan seseorang terbuka mata hatinya untuk melihat
peristiwa-peristiwa ukhrawi dan melihat dunia segera fana. Basirah adalah
cahaya yang dipancarkan Allah ke dalam hati setiap orang yang menjadi
kekasih-Nya, karena riyadhah dan mujahadah yang dilakukannya, sikap
ma'iyyatullah (rasa selalu melihat, dilihat, diawasi dan didampingi Allah) yang
dimilikinya. Dengan basirah inilah seseorang akan mencapai mukasyafah dan
musyahadah dengan Allah, sehingga seluruh pemikiran dan tindakannya selalu
dalam petunjuk dan bimbingan-Nya.
Bagaimanan dengan wahyu Qurani? Apakah ia merupakan penghayatan irfani
atau bukan? Dan kalau ia merupakan penghayatan irfani, bukankah nanti akan
muncul pembuat-pembuat Quran baru?
Menurut hemat penulis, menilik bagaimana proses dan pengalaman ruhani
Rasulullah menerima wahyu dapat dikategorikan pengetahuan irfani yang bersifat
khusus, karena memang dikhususkan oleh Allah bagi para Nabi dan Rasul-Nya.
Kekhususan tersebut tidak akan diberikan kepada manusia selain Nabi dan Rasul.
Oleh karena itu tidak akan lahir pembuat-pembuat Quran baru. Apalagi
Muhammadiyah harus membatasi pendekatan Irfani yang dikembangkan adalah dalam
rangka ittiba' Rasulullah. Irfan yang dapat dicapai oleh manusia bukan Nabi
atau Rasul dalam terminologi aqidah Islam sering disebut ilham, atau dalam
bahasa lainnya basirah, yang berarti intuisi yang dalam dan bercahaya dalam
hati, dan tidak akan sampai kepada derajat wahyu.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah menyebutkan ada dua ekstremitas penghayatan
Irfani (kasyfi), yaitu al-kasyf al-rahmani dan al-kasyf al-syaithani. Al-Kasyf
al-rahmani adalah terbukanya hijab, hingga terjadi mukasyafah dan musyahadah
antara hamba dan Khalik, sehingga tampak jelas petunjuk dan kebenaran Ilahi
untuk ditepati dengan istiqamah, menyadari kesalahan untuk diperbaiki, mengakui
dosa untuk ditaubati, setelah riyadhah dan mujahadah masyru'ah. Sedangkan al-kasyf
al-syaithani adalah perasaan kasyf setelah melakukan mujahadah dan riyadah
bid'iyyah, yang kemudian diikuti oleh perkataan (syatahat) dan prilaku yang
aneh yang menyimpang dari aqidah dan syari'ah Islam, seperti ajaran hulul,
ittihad, wahdatul wujud dan wahdatul adyan.[12]
Dengan makna dan penjelasan tersebut, menurut hemat kami trio pendekatan
bayani, burhani dan Irfani yang digunakan justru akan menguatkan visi dan missi
ketauhidan, dan memperkokoh gerakan tajdid, yang memadukan antara purifikasi
dan dinamisasi.
Dalam konteks pengembangan pemikiran keislaman, pendekatan Irfani akan
berperan dalam banyak fungsi. Sebagai contoh dalam fiqh ibadah mahdhah, pendekatan
ini digunakan untuk menguatkan dan memperdalam makna ibadah yang telah
diistinbatkan melalui jalan bayani dan mungkin burhani. Penguatan dan
pendalaman makna itu dengan menjelaskan ruh dan hikmah yang terkandung dalam
ibadah.
Sementara dalam wilayah kehidupan keumatan seperti masalah sosial
budaya, politik, ekonomi dan sebagainya, pendekatan Irfani dapat difungsikan
sebagai metode dan pendekatan dalam memahami persoalan keumatan mendamping
pendekatan bayani dan burhani, terutama pada sisi humanitas, terutama sikap
empati terhadap orang lain secara lintas kultural bahkan lintas agama. Dengan
begitu, ada pegangan teologis yang bersumber pada nash,
pertimbangan-pertimbangan empiris-logis, dan pertimbangan-pertimbangan
humanitas yang mengedepan hatinurani ilahiyah. Dalam bidang sosial keumatan
ini, tidak hanya melihat aspek hukum-hukum formalnya, yang bersifat
bayani-deduktif, tetapi lebih dari itu akan melihat realitas keumatan dengan
dilandasi oleh humanitas dan empati yang mendalam kepada orang lain sebagai
hamba dan makhluk Allah dibawah bimbingan dan hidayah Allah, di samping juga
tetap menjadi adab al-ijtihad.
H.
Metodologi Pendekatan Alternatif
Ijtihad Maqashidy
Tidak ada yang tidak mengalami perubahan dan perkembangan di dunia ini
kecuali revolusi (perubahan) itu sendiri yang bersifat permanent . Manusia yang
hidup didalamnya secara otomatis juga mengalami perkembangan dan perubahan
dalam mewujudkan kemaslahatannya. Hukum Islam yang mendapat legitimasi dari
Tuhan dengan kesempurnaannya memang diperuntukan untuk mewujudkan kemaslahatan
itu. ia mempunyai slogan ” li tahqiq maslahah li an-Nas “(untuk
kemaslahatan manusia) dan ” Rahmatan lil’alamin “(menjadi rahmat bagi alam
semesta). Kondisi yang terus berubah ini oleh para ulama dapat ditangani dengan
jalan ijtihad. Ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh dari kalangan pakar Hukum
Islam dalam meng-istinbath (formulasi) hukum. [13]
Kalau meng-istimbath hukum hanya secara teks menurut penulis, tentu akan
mengalami kegagalan mewujudkan slogan tersebut. Karena akan melahirkan produk
hukum yang kaku dan tidak lentur serta tidak menyentuh hal yang esensi dari
tujuan hukum tersebut. Ijtihad maqashidy oleh para ulama juga dipahami dengan
sebutan fiqh maqashid atau fikru maqashid .
Ijtihad maqashidy menurut penulis, bukanlah hal yang benar-benar baru dalam
ranah ushulfiqh dan fiqh namun hanya lebih menekankan arti penting dari
maqashid syari’ah dalam memformulasi hukum, karena ijtihad model ini sudah
dipraktekan sejak masa Rasulullah walaupun belum menggunakan istilah ini,
sedangkan para ulama setelahnya mempunyai andil dalam proses mengembangkan
metode ini menjadikannya sebuah disiplin ilmu tersendiri . Sebagaimana Imam
Syatibi dengan “ Muwafaqat ” mengembangkan konsep ini secara lebih sistematis.
Ijtihad Maqashidy sebagai sebuah konsep pemikiran yang tidak lahir diruang
kosong, tapi merupakan respon terhadap situasi dan perkembangan yang
mengitarinya . Munculnya konsep ini secara otomatis menimbulkan respon yang
beragam dari kalangan ulama fiqh dan ushul . diantaranya : kelompok ulama yang
menerima serta menjadikannya dalil mustaqil untuk menetapkan hukum sebagai
pondasi atau tarjihan (giving preponderance), kelompok ulama yang menolak
konsep ini mentah- mentah dan kelompok ulama yang lebih moderat (
at-Tawasuth ) .[14]
Beragam reaksi ini menunjukan sebuah apresiasi positif dalam menyikapi
sebuah konsep Maqashid Syariah dalam hal ini Ijtihad Maqashidy . Maka sudah
seyogyanya untuk mengkaji konsep ini lebih jauh dan menggunakanya untuk mencari
solusi hukum yang mungkin kurang pas jika menggunakan metode lain .
Adapun ulama kontemporer mendefinisikan
ungkapan ini secara etimologi adalah dengan jalan yang lurus (istiqamah),
keadilan, tawasuth, dan lain-lain.
Dari definisi-definisi yang ada garis
kesepakatan bahwa Maqashid Syari’ah mempunyai pengertian, orientasi dan tujuan
yang sama walaupun dengan bahasa yang berbeda yaitu tahqiq al-Maslahah li
an-Nas (mewujudkan kemaslahatan manusia) dengan jalb al-Manfa’ah (mengambil
manfaat) dan daf’u al-Mafsadah (menghindari kerusakan ).Jadi Ijtihad
Maqshidy adalah sebuah cara ber-ijtihad dengan menggunakan konsep Maqashid
Syari’ah dalam mewujudkan “ Tahqiq al-Maslahah li an-Nas ” tersebut .
I. Ikhtilaf
Ikhtilaf memiliki beberapa makna yang saling berdekatan, diantaranya ; tidak
sepaham atau tidak sama. Anda bisa mengatakan khalaftuhu-mukhalafatan-wa
khilaafan atau takhaalafa alqaumi wakhtalafuu apabila masing-masing berbeda
pendapat dengan yang lainnya. Jadi ikhtilaf itu adalah perbedaan jalan,
perbedaan pendapat atau perbedaan manhaj yang ditempuh oleh seseorang atau
sekelompok orang dengan yang lainnya.
Macam-macam dan sebab ikhtilaf atau perselisihan:
Faktor akhlaq, antara lain karena:
·
membanggakan diri dan kagum pendapat
sendiri
·
buruk sangka dan mudah menuduh orang
tanpa bukti
·
egoisme dan mengikuti hawa nafsu
·
fanatik kepada pendapat orang,
mazhab atau golongan
·
fanatik kepada negeri, daerah,
partai, jama’ah atau pemimpin
Faktor
Pemikiran, timbul karena
perbedaan sudut pandang mengenai suatu masalah:
·
masalah ilmiah, perbedaan menyangkut
cabang syari’at dan beberaa maslah aqidah yang tidak menyentuh prinsip-prinsip
pasti
·
masalah alamiah, perbedaan mengenai
sikap politik dan pengambilan keputusan atas berbagai masalah
·
masalah politik, perbedaan yang
bersifat politis dan fiqhi
Ikhtilaf fikriah, perbedaan pandangan mengenai penilaian terhadap
sebagian ilmu pengetahuan atau mengenai penilaian terhadap sebagian peristiwa
sejarah.
Sebab – Sebab Terjadinya Ikhtilaf dapat disimpulkan dan
dikelompokkan kedalam empat sebab utama:
1. Perbedaan pendapat
tentang valid - tidaknya suatu teks dalil syar’i tertentu sebagai hujjah (tentu
saja ini tertuju kepada teks hadits, yang memang ada yang shahih dan ada yang
dha’if, dan tidak tertuju kepada teks ayat Al-Qur’an, karena seluruh ayat
Al-Qur’an disepakati valid, shahih dan bahkan mutawatir).
2. Perbedaan pendapat
dalam menginterpretasikan teks dalil syar’i tertentu. Jadi meskipun suatu dalil
telah disepakati keshahihannya, namun potensi perbedaan dan perselisihan tetap
saja terbuka lebar. Dan hal itu disebabkan karena adanya perbedaan dan
perselisihan para ulama dalam memahami, menafsirkan dan menginterpretasikannya,
juga dalam melakukan pemaduan atau pentarjihan antara dalil tersebut dan
dalil-dalil lain yang terkait.
3. Perbedaan pendapat
tentang beberapa kaidah ushul fiqh dan beberapa dalil (sumber) hukum syar’i
(dalam masalah-masalah yang tidak ada nash-nya) yang memang diperselisihkan di
antara para ulama, seperti qiyas, istihsan, mashalih mursalah, ’urf, saddudz-dzara-i’,
syar’u man qablana, dan lain-lain.
4. Perbedaan pendapat
yang dilatar belakangi oleh perubahan realita kehidupan, situasi, kondisi,
tempat, masyarakat, dan semacamnya. Oleh karenanya, di kalangan para ulama
dikenal ungkapan bahwa, suatu fatwa tentang hukum syar’i tertentu bisa saja
berubah karena berubahnya faktor zaman, tempat dan faktor manusia (masyarakat).
Dan sebagai contoh misalnya, dalam beberapa masalah di madzhab Imam Asy-Syafi’i
rahimahullah dikenal terdapat qaul qadiim (pendapat lama, yakni saat beliau
tinggal di Baghdad Iraq) dan qaul jadiid (pendapat baru , yakni setelah beliau
tinggal di Kairo Mesir). Begitu pula dalam madzhab Imam Ahmad rahimahullah,
dikenal banyak sekali riwayat-riwayat yang berbeda-beda dari beliau tentang
hukum masalah-masalah tertentu.
J.
Ikhtilaf dalam Penafsiran Al-Qur’an
DR. Wasim Fathullah mendefinisikan ikhtilaf dalam penafsiran al-Qur’an
sebagai “ketidaksepakatan para pengkaji al-Qur’an dalam memahami penunjukan
suatu ayat atau lafazh al-Qur’an terkait dengan kesesuaiannya dengan kehendak
Allah Ta’ala dari ayat itu, dimana sang mufassir kemudian menyimpulkan sebuah
makna yang tidak disimpulkan oleh mufassir lainnya.”
Definisi ini memberikan gambaran bahwa setiap perbedaan pemahaman dalam
menafsirkan al-Qur’an, sekecil apapun, maka ia dikategorikan sebagai sebuah
ikhtilaf. Akan tetapi, -sebagaimana akan diuraikan kemudian- dari sisi lain,
ikhtilaf sendiri kemudian dibagi menjadi 2 jenis:
1. Ikhtilaf tanawwu’
(perbedaan yang bersifat variatif).
2. Ikhtilaf tadhadh
(perbedaan yang bersifat kontradiktif)
Adapun yang dimaksud dengan ikhtilaf tanawwu’ adalah (1) sebuah kondisi
dimana memungkinkan penerapan makna-makna yang berbeda itu ke dalam ayat
dimaksud, dan ini hanya memungkinkan jika makna-makna itu adalah makna yang
shahih, atau (2) makna-makna yang berbeda itu sebenarnya semakna satu sama
lain, namun diungkapkan dengan cara yang berbeda, atau (3) terkadang
makna-makna itu berbeda namun tidak saling menafikan, keduanya memiliki makna
yang shahih.
Sedangkan ikhtilaf tadhadh adalah ketika makna-makna itu saling
menafikan satu sama lain, dan tidak mungkin diterapkan secara bersamaan. Bila
satu diantaranya diucapkan, maka yang lain harus ditinggalkan.
Sementara dari sudut apa yang menyebabkan terjadinya ikhtilaf dalam
tafsir al-Qur’an, Ibnu Taimiyah menyimpulkannya dalam 2 hal: yaitu ikhtilaf
yang didasari sandaran nash, dan ikhtilaf yang didasari oleh selain nash –dalam
hal ini adalah ra’yu.[5] Dengan kata lain, penyebab terjadinya ikhtilaf itu secara
garis besar dapat dikatakan berbeda-beda bila ditinjau dari sisi tafsir
bil-ma’tsur dan tafsir bil-ra’yi. Dan itulah yang akan dijelaskan berikut ini.
1)
Ikhtilaf dalam Tafsir bil-Ma’tsur
Seperti telah dijelaskan bahwa landasan yang menyebabkan terjadinya
ikhtilaf dalam tafsir bil-Ma’tsur adalah nash. Artinya, terdapat beberapa nash
atau riwayat yang tidak sepakat dalam menungkapkan penjelasan terhadap suatu
ayat atau lafazh qur’ani tertentu. Dalam kasus ini, kita akan menemukan
–misalnya- beberapa penjelasan tentang suatu ayat yang sama yang secara sekilas
nampak berbeda atau bertentangan.
Setelah meneliti lebih dalam, Ibnu Taimiyah menyimpulkan bahwa ikhtilaf
dalam kategori sangat mungkin terjadi karena sebab-sebab berikut:
Pertama, ketika sebuah lafazh ditafsirkan oleh setiap ulama dengan penjelasan
yang berbeda, padahal makna-makna itu sebenarnya ada dalam lafazh yang
dimaksud.[6]
Penjelasannya adalah bahwa sesuatu seringkali memiliki beberapa sifat
atau karakteristik, namun ini tidak berarti bahwa sesuatu itu pun berbilang
mengikuti berbilangnya sifat yang ia miliki. Sifat atau karakteristik apapun
yang disebutkan oleh sang mufassir, maka itu mengarah kepada satu hal yang
sama.
Contoh paling sederhana –misalnya- adalah lafazh “Hari Kiamat” (Yaum al-Qiyamah).
Hakikatnya satu, namun terkadang diungkapkan dengan makna-maknanya yang lain,
tapi semuanya tercakup dalam kata Yaum al-Qiyamah. Kita mengenal kata “Yaum
al-Din” (Hari Pembalasan), “Yaum al-Hasyr” (Hari Pengumpulan), dan “Yaum
al-Taghabun” (Hari saling menuntut) –misalnya- dimana setiap kata ini memiliki
makna yang berbeda, namun semua makna itu tercakup dalam “Yaum al-Qiyamah”
Kedua, al-Qur’an menyebutkan sesuatu dengan lafazh yang bersifat umum,
lalu kemudian setiap mufassir menafsirkannya dengan menyebut salah satu
bagiannya yang khusus saja. Biasanya ini bertujuan untuk memberikan ‘stressing’
pada hal yang dimaksud, dan bukan untuk membatasi pengertian lafazh yang umum
tersebut.
Terkadang lafazh yang umum sulit untuk dijelaskan dengan sebuah batasan
yang bersifat mutlak. Hal ini kemudian mendorong sang mufassir untuk
menjelaskannya dengan memberikan dan mengetengahkan “contoh” yang merupakan
salah satu bagian dari lafazh yang umum itu.
Seperti dalam surah Fathir, ayat 32:
Dalam ayat ini, dijelaskan 3 kategori
hamba-hamba Allah: (1) Yang zhalim pada dirinya sendiri (al-zhalim li nafsihi),
(2) yang bersikap pertengahan (muqtashid), dan (3) yang berkompetisi dalam
kebaikan (al-sabiq bi al-khairat). Bila kita merujuk pada bagaimana para ahli
tafsir menafsirkan masing-masing kategori ini, sekilas kita akan menemukan
perbedaan. Ada yang menafsirkan bahwa yang zhalim itu adalah yang membaca
al-Qur’an tapi tidak mengamalkannya, yang pertengahan adalah yang membaca
al-Qur’an dan mengamalkannya, dan yang berkompetisi dalam kebaikan adalah yang
membaca al-Qur’an, memahaminya dan mengamalkannya. Ada yang menafsirkan bahwa
yang zhalim itu adalah yang lalai dari shalat sehingga kehilangan waktu dan
jama’ah, yang pertengahan adalah yang tidak kehilangan waktu namun ketinggalan
jamaah, sementara yang berkompetisi adalah yang selalu menjaga waktu dan
jamaahnya. Ada pula yang menafsirkan bahwa yang berkompetisi adalah yang masuk
ke mesjid sebelum adzan dikumandangkan, yang pertengahan adalah yang masuk ke
mesjid setelah adzan dikumandangkan, dan yang zhalim adalah yang masuk setelah
shalat ditegakkan. Dan banyak lagi penafsiran lain seputar ini.
Ibnu Taimiyah mengomentari hal ini
dengan mengatakan,
“Sudah dimaklumi, bahwa ‘yang zhalim
pada dirinya’ itu mencakup orang yang menyia-nyiakan semua kewajiban dan
melanggar semua larangan, ‘yang pertengahan’ adalah yang mengerjakan semua
kewajiban dan meninggalkan larangan, dan ‘yang berkompetisi’ mencakup orang
yang mengerjakan kebajikan-kebajikan lain disamping yang wajib...Lalu kemudian
setiap mufassir menyebutkan salah satu dari jenis ketaatan tersebut. Maka
setiap pendapat yang menyebutkan salah satu jenis itu tercakup dalam ayat.
Tujuannya adalah memberitahukan orang yang mendengarkan ayat itu bahwa ia
mencakupi jenis ketaatan tersebut, dan memberikan penekanan terhadap (jenis
ketaatan) yang lainnya.”
Dalam kasus lain, kategori ini dapat
terjadi disebabkan adanya beberapa asbab al-Nuzul dalam satu ayat. Hal ini
kemudian menyebabkan seorang mufassir menafsirkan ayat berdasarkan salah satu
asbab al-Nuzulnya, sedangkan mufassir yang lain menafsirkannya berdasarkan
asbab al-Nuzul yang lain. Seperti yang terjadi pada ayat tentang li’an dalam
surah al-Nur, ayat 6:
Terkait dengan kategori ini, ada
beberapa hal menyebabkan terjadinya ikhtilaf dalam tafsir sebagai berikut:
1. Lafazh
yang memiliki lebih dari satu makna.
Seperti yang terjadi dalam surah
al-Muddatstsir, ayat 51:
Lafazh qaswarah ditafsirkan dengan
singa, atau pemanah, atau pemburu. Ketiga makna itu memungkinkan untuk kata
qaswarah, maka setiap mufassir pun menafsirkannya dengan mengambil satu dari
makna-makna itu. Ibnu Taimiyah memberikan catatan penting bahwa lafazh semacam
ini berulang dalam al-Qur’an, maka setiap maknanya boleh jadi tepat di suatu
tempat, sementara makna yang lain tepat pada tempat lain. Jenis inipun dapat
dimasukkan dalam ikhtilaf tanawwu’.
2. Adanya
beberapa lafazh yang memiliki makna yang mendekati makna lafazh qur’ani.
Kondisi kemudian membuat para mufassir
berusaha menjelaskannya dengan salah satu dari beberapa lafazh itu. Meskipun
lafazh itu tidak benar-benar tepat menggambarkan makna lafazh qur’ani dimaksud,
tapi para mufassir berusaha untuk mendekatkan maknanya sedekat mungkin.
Seperti dalam surah al-Nisa’, ayat 163:
Kata Auhaina (Kami wahyukan) dijelaskan
dengan ungkapan yang berbeda-beda. Ada yang menafsirkannya dengan
“pemberitahuan” (al-I’lam), adapula yang menafsirkannya dengan “menurunkan”
(al-Inzal). Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa kedua makna ini hanyalah sebuah
upaya pendekatan kepada makna wahyu, tidak benar-benar tepat menjelaskan
hakikat wahyu itu. Sebab wahyu iu sendiri –menurut Ibnu Taimiyah- adalah
“pemberitahuan yang terjadi secara cepat dan tersembunyi.” Bila dicermati, ini
juga dapat dikatakan sebagai salah satu contoh ikhtilaf tanawwu’.
3.
Perbedaan qira’at.
Ketika satu ayat memiliki qira’at yang
berbeda, maka perbedaan penafsiran dan penjelasan sangat mungkin terjadi, sebab
setiap mufassir memberikan tafsir sesuai dengan qira’at yang ia gunakan.
2)
Ikhtilaf dalam Tafsir bil-Ra’yi
Terjadinya ikhtilaf pada ranah tafsir
ini memiliki kuantitas yang jauh lebih banyak dari ranah sebelumnya (tafsir
bil-ma’tsur). Ini tidaklah mengherankan, sebab landasan dan pijakan jenis
tafsir ini adalah hasil ijtihad, tafakkur dan istinbath yang kualitasnya
berbeda-beda pada setiap mufassir. Pada umumnya, kesalahan ijtihad yang terjadi
dalam jenis ini disebabkan oleh 2 sebab besar berikut:
Pertama, meyakini makna tertentu
sebelum menafsirkan al-Qur’an, lalu kemudian membawa lafazh-lafazh qur’ani
kepada makna yang telah diyakini sebelumnya itu.
Ada orang yang sebelumnya telah
“tertawan” oleh keyakinan atau ide tertentu, lalu kemudian berusaha mencari
pembenaran dengan ayat-ayat al-Qur’an. Usaha itu kemudian nampak sebagai
sesuatu yang sangat dipaksakan, karena kesimpulan yang lahir kemudian bukanlah
kesimpulan yang tercakup dalam teks-teks al-Qur’an, tetapi kesimpulan yang
dipaksa-paksakan untuk masuk kedalamnya.
Salah satu contoh paling jelas
–misalnya- apa yang dilakukan kelompok Bathiniyah saat menafsirkan surah Yusuf,
ayat 4:
Mereka mengatakan, “Dalam ini, yang
dimaksud dengan ‘Yusuf’ tak lain adalah diri Rasulullah dan cucunya, Husain ibn
Ali ibn Abi Thalib...dimana Husain berkata kepada ayahnya pada suatu ketika,
‘Sesungguhnya aku telah melihat 11 bintang, matahari dan bulan bersujud’. Dan
yang dimaksud matahari adalah Fathimah, bulan adalah Muhammad, dan 11 bintang
adalah para imam..”
Kedua, menafsirkan al-Qur’an hanya
berdasarkan asumsi bahwa penafsiran itu mungkin secara bahasa, tanpa
mempertimbangkan bahwa al-Qur’an adalah Kalamullah, yang diturunkan kepada
Muhammad saw untuk disampaikan kepada jin dan manusia. [20]
Dengan kata lain, para penempuh metode
ini hanya memperlakukan al-Qur’an sebagai sebuah teks Arab, sehingga dalam
menafsirkannya mereka tidak merasa perlu merujuk pada hal-hal lain yang
mengitarinya; seperti asbab al-nuzul, dan yang lainnya.
Menafsirkan al-Qur’an dengan metode ini
(dikenal dengan tafsir al-Qur’an bi al-Lughah) tidaklah sepenuhnya keliru,
sebab tidak dapat dipungkiri bahwa al-Qur’an memang diturunkan dalam bahasa
Arab, sehingga pemahaman yang kuat terhadap bahasa ini mutlak dibutuhkan.
Tetapi tidak cukup dengan itu. Para ulama tafsir telah menyimpulkan berbagai
kaidah untuk menuntun model penafsiran ini agar tidak menyimpang dari
semestinya. Salah satunya adalah menjadikan asbab al-nuzul sebagai panduan
dalam memahami teks al-Qur’an. Seperti saat memahami ayat:
Kata “al-Nasi’” bila ditinjau dari
sudut bahasa saja adalah “al-ta’khir” atau pengakhiran. Tapi dengan membaca
kisah ayat ini kita dapat memahami bahwa yang dimaksud adalah pengakhiran
bulan-bulan haram dan menghalalkan apa yang diharamkan didalamnya.
Hal inilah yang menyebabkan Abu
‘Ubaidah Ma’mar ibn al-Mutsanna (w. 210H) -misalnya- menuai kritik, termasuk
dari ulama sezamannya, seperti: al-Ashma’iy, Abu Hatim al-Sijistany, al-Farra’
dan al-Thabary. Sebabnya tidak lain karena ia hanya memperlakukan al-Qur’an
sebagai sebuah teks Arab murni, tanpa mempertimbangkan asbab al-nuzul dan
hal-hal lain yang mengitarinya.
Metode ini sendiri telah ada sejak
zaman Rasulullah saw. Salah satu contoh paling jelas adalah ketika turunnya
firman Allah,
“Orang-orang beriman dan iman mereka
tidak diliputi oleh kezhaliman.”
Para sahabat merasa gelisah. “Siapakah
di antara kita yang tidak pernah berbuat zhalim?” tanya mereka. Ini berarti
ketika ayat ini turun, mereka serta memahaminya dari sudut kebahasaan saja.
Sampai akhirnya Rasulullah saw menjelaskan bahwa “kezhaliman” dalam ayat ini
tidak seperti yang mereka pahami, karena yang dimaksud adalah kesyirikan.
Seperti yang terdapat dalam surah Luqman, ayat 13
Akhirnya, memang tak dapat dipungkiri
bahwa pada umumnya ikhtilaf yang terjadi dalam lingkup tafsir bi al-ra’yi ini
termasuk dalam kategori ikhtilaf tadhadh. Dan berkembangnya berbagai firqah
dalam Islam adalah merupakan bukti nyata akan hal ini.
KESIMPULAN
Hukum Allah mengendalikan pula
tumbuh-tumbuhan dengan kekuatan bertumbuh dan berkembang biak; kekuatan
bertumbuh itu dapat melawan kekuatan gravitasi yaitu bertumbuh ke atas melawan
tarikan gravitasi ke bawah. Adapun pada binatang ditambah pula lagi dengan
kekuatan naluri dengan perlengkapan pancaindera. Dengan kekuatan naluri dan
perlengkapan pancaindera itu binatang dapat bergerak ke mana saja menurut
kemauannya atas dorongan nalurinya. Allah meniupkan ruh ke dalam diri
manusia, yang tidak diberikanNya kepada makhluq bumi yang lain. Karena manusia
mempunyai ruh, ia mempunyai kekuatan ruhaniyah yaitu akal. Dengan akal itu
manusia mempunyai kesadaran akan wujud dirinya. Dengan otak sebagai mekanisme,
akal manusia dapat berpikir dan dengan qalbu (hati nurani) sebagai mekanisme
akal manusia dapat merasa. Allah menciptakan manusia dalam keadaan, "fiy
ahsani taqwiym" (95:4), sebaik-baik kejadian.
Kemampuan akal untuk berpikir dan
merasa tumbuh sesuai dengan pertumbuhan diri manusia. Agar manusia dapat
mempergunakan akalnya untuk berpikir dan merasa, ia perlu mendapatkan informasi
dan pengalaman hidup. Mutu hasil pemikiran dan renungan akal tergantung pada jumlah,
mutu dan jenis informasi yang didapatkannya dan dialaminya. Ilmu eksakta,
non-eksakta, ilmu filsafat adalah hasil olah akal dengan mekanisme otak.
Kesenian dan ilmu tasawuf adalah hasil olah akal dengan qalbu sebagai
mekanisme.
Hasil pemikiran dan renungan anak
tammatan SMA lebih bermutu ketimbang hasil pemikiran anak tammatan SD, karena
anak tammatan SMA lebih besar jumlah, lebih bermutu dan lebih beragam jenis
informasi yang diperolehnya dan pengalaman yang dialaminya. Jadi kemampuan akal
manusia itu relatif sifatnya, baik dalam hal evolusi pertumbuhan mekanisme otak
dan qalbunya, maupun dalam hal jumlah, mutu dan ragam informasi yang
diperolehnya dan dialaminya. Dengan demikian akan relatif juga, baik untuk
memikirkan pemecahan masalah, maupun untuk merenung baik buruknya
sesuatu.
Oleh karena akal manusia itu terbatas,
Allah Yang Maha Pengatur (ArRabb) memberikan pula sumber informasi berupa wahyu
yang diturunkan kepada para Rasul yang kemudian disebar luaskan kepada manusia.
Nabi Muhammad RasuluLlah SAW adalah nabi dan rasul yang terakhir. Setelah
beliau, Allah tidak lagi menurunkan wahyu. Dalam shalat kita minta kepada
Allah: Ihdina shShira-tha lMustqiym (1:6), tuntunlah kami ke jalan yang lurus.
Maka Allah menjawab: Alif, Lam, Mim. Dza-lika lKita-bu la- Rayba fiyhi Hudan
lilMuttaqiyn (s. alBaqarah, 1-2), inilah kitab tak ada keraguan dalamnya
penuntun bagi Muttaqiyn (s. Sapi betina, 2:1-2). Al Quran yang tak ada keraguan
dalamnya memberikan informasi kepada manusia tentang perkara-perkara yang manusia
tidak sanggup mendapatkannya sendiri dengan kekuatan akalnya: 'Allama lInsa-na
Ma-lam Ya'lam (s. al'Alaq, 5), (Allah) mengajar manusia apa yang tidak
diketahuinya.
Kebenaran mutlak (Al Haqq) tidak
mungkin dapat dicapai oleh manusia dengan kekuatan akalnya. Kebenaran mutlak
tidak mungkin diperoleh dengan upaya pemikiran mekanisme otak yang berwujud
filsafat. Juga kebenaran mutlak tidak dapat dicapai manusia dengan upaya
renungan mekanisme qalbu dalam wujud tasawuf. Al Haqq tidak dapat dicapai melalui
filsafat ataupun tasawuf. Al Haqqu min rabbikum (s. alKahf, 29), artinya Al
Haqq itu dari Rabb kamu (s. Gua 18:29). Alam ghaib juga tidak mungkin diketahui
manusia dengan kekuatan akalnya. Filsafat dan tasawuf tidak mungkin dapat
menyentuh alam ghaib.
Demikianlah tolok ukur produk pemikiran
dan renungan yang berupa filsafat dan tasawuf itu adalah: "Dza-lika
lKita-bu la- Rayba fiyhi Hudan lil Muttaqin". Filsafat dan tasawuf harus
dibingkai oleh Al Quran dan Hadits shahih, sebab kalau tidak demikian, maka
filsafat dan tasawuf itu menjadi liar. Sungguh-sungguh suatu keniscayaan, para
penganut dan pengamal filsafat dan tasawuf tanpa kendali itu menjadi sesat.
Terjadilah fenomena yang naif, lucu, tetapi mengibakan, yaitu antara lain
filosof itu berimajinasi tentang pantheisme, sufi itu ber"kasyaf"
terbuka hijab, merasa bersatu dengan Allah. Adapun indikator penganut dan
pengamal filsafat dan tasawuf tanpa kendali itu, adalah upaya yang sia-sia
untuk mempersatukan segala agama. Inilah yang selalu kita mohonkan kepada Allah
SAW setiap shalat, agar tidak terperosok ke dalam golongan
"Dha-lluwn", kaum sesat.
Hudan lil Muttaqiyn, demikianlah wahyu itu menuntun akal para Muttaqiyn
untuk berolah akal, yaitu berpikir/berfilsafat dan merasa/bertasawuf. Akal
harus ditempatkan di bawah wahyu dan ilmu filsafat serta ilmu tasawuf harus
ditempatkan di bawah iman, singkatnya wahyu di atas akal dan iman di atas ilmu.
REFERENSI
- Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999),
- Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2002), Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Hukum Islam)
·
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 1999.
·
www.FIQH.PEDIA.com
- usiknan Azhari. Epistemologi Bayani: Diskursus Lafaz dan Makna dalam Usul Fiqh. Makalah pada Program Doktor IAIN Suka, 1997
·
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Hukum Islam
- Azhar Basyir, Pokok-pokok Manjaj Tarjih dalam Melakukan Istinbat Hukum. Makalah tidak diterbitkan.
- Metra Wirman Alidin, Ijtihad Maqashidy : Metodologi Pendekatan Alternatif, www.Syariatislam.com
·
Imam Syatibi, Muwafaqa, (Cairo Dar al-Hadits )
·
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Al-KASYF
[1] Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 1999), h. 202.
[4] Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 1999. h. 207-208.
[7] Susiknan
Azhari. Epistemologi Bayani: Diskursus Lafaz dan Makna dalam Usul Fiqh.
Makalah pada Program Doktor IAIN Suka, 1997
[9] A. Azhar
Basyir, Pokok-pokok Manjaj Tarjih dalam Melakukan Istinbat Hukum.
Makalah tidak diterbitkan.
[13] Metra Wirman Alidin, Ijtihad Maqashidy : Metodologi
Pendekatan Alternatif, www.Syariatislam.com
Related
Post:
- HUKUM TAKLIFI Seruan Allah yang berkaitan dengan perbuatan manusia, baik yang berkaitan dengan tuntutan (iqtidhâ') maupun pilihan (takhyîr) adalah seruan yang menjelaskan hukum-hukum perbuatan manusia, dan itulah yang disebut dengan khithâb at-taklîf. Sebelum me… Read More
- HUKUM (al-Hukm) Lafadz al-hukm (hukum), secara etimologis, bermakna halangan (al-man'),[1] sedangkan secara terminologis berarti pandangan mengenai masalah tertentu yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Jika pandangan tersebut bersumber dari pembuat syariat (as… Read More
- PEMBUAT HUKUM (al-Hâkim) Pembahasan mengenai siapakah pembuat hukum merupakan pembahasan terpenting dan mendesak untuk dijelaskan. Karena dari sinilah pembahasan mengenai hukum dengan berbagai ragam dan klasifikasinya itu kemudian bisa dijelaskan. Al-Hâkim dalam konteks in… Read More
- Maqashid Syari'ah Dalam Penetapan Hukum Islam I.PENDAHULUAN Hukum yang diturunkan oleh Allah SWT kepada manusia, pasti memiliki tujuan untuk kemaslahatan manusia, karena hukum diciptakan oleh Allah tentu bukan untuk Allah sebagai Syari’ (Lawgiver) karena Allah tidak membutuhkan suatu h… Read More
- HUKUM KULLI Mengenai hukum kullî, adalah hukum yang disandarkan pada lafadz kullî, yaitu setiap lafadz ganda yang bisa melahirkan konotasi lain, sebagai bagian-bagian (juz'iyyât)-nya. Contoh frasa: Mâ lâ yatimm[u] al-wâjib[u] illâ bih[i] fahuwa wâjib[un] adala… Read More
Invansi Pemikiran Ghazwul Fikri Islam
A. Pengertian
Ghazwul Fikri (GF)
Secara Bahasa: Ghazwul Fikri terdiri dari dua suku kata
yaitu Ghazwah dan Fikr. Ghazwah berarti serangan, serbuan atau invansi.
Sedangkan Fikr berarti pemikiran. Jadi, menurut bahasa Ghazwul Fikri adalah
serangan atau serbuan didalam qital (perang) atau Ghazwul Fikri secara bahasa diartikan
sebagai invansi pemikiran.
Secara Istilah: Ghazwul Fikri adalah
penyerangan dengan berbagai cara terhadap pemikiran umat islam guna merubah apa
yang ada didalamnya sehingga tidak lagi bisa mengeluarkan darinya hal – hal
yang benar karena telah tercampur aduk dengan hal – hal yang tidak islami.
B. Makna
Invansi Pemikiran (Ghazwul Fikri (GF))
Invansi / serangan pemikiran atau dalam bahasa
arab dinamakan ghazwul fikri dan dalam bahasa inggris disebut dengan brain
washing, thought control, menticide adalah istilah yang menunjukkan kepada
suatu program yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis dan terstruktur
oleh musuh – musuh islam untuk melakukan pendangkalan pemikiran dan cuci otak
kepada kaum muslimin. Hal ini mereka lakukan agar kaum muslimin tunduk dan
mengikuti cara hidup mereka sehingga melanggengkan kepentingan mereka untuk
menjajah / mengeksploitasi sumber daya milik kaum muslimin.
C. Kelebihan –
Kelebihan Invansi Pemikiran (Ghazwul Fikri (GF))
Invansi pemikiran atau ghazwul fikri (GF)
dilakukan oleh para musuh islam dengan pertimbangan – pertimbangan bahwa
dibandingkan dengan melakukan peperangan militer atau fisik, maka ghazwul fikri
(GF) memiliki kelebihan – kelebihan sebagai berikut :
ASPEK
|
PERANG FISIK
|
GAZWUL FIKR
|
Biaya
|
Sangat mahal
|
Murah dan
dikembalikan
|
Jangkauan
|
Terbatas di
front
|
Sampai ke
rumah-rumah
|
Obyek
|
Obyek
merasakan
|
Sama sekali
tidak merasa
|
Dampak
|
Mengadakan
perlawanan
|
Menjadikan
idola
|
Persenjataan
|
Senjata berat
|
Slogan,
teori, iklan
|
D. Sejarah
Ghazwul Fikri (GF)
Sejarah Ghazwul Fikri (GF) sudah ada setua umur
manusia, makhluk yang pertama kali melakukannya adalah iblis laknatullah ketika
berkata kepada Adam as., “ Sesungguhnya Allah melarang kalian memakan buah ini
supaya kalian berdua tidak menjadi malaikat dan tidak dapat hidup abadi. “
(Q.S.Al – A’Raaf:20)
Dalam perkataannya ini iblis tidak menyatakan
bahwa Allah tidak melarang kalian…karena itu akan bertentangan dengan informasi
yang telah diterima oleh Adam as., tetapi iblis mengemas dan menyimpangkan makna
perintah Allah SWT. Sesuai dengan keinginannya, yaitu dengan menambahkan alas
an pelarangan Allah yang dibuat sendiri. Iblis tahu bahwa Adam as tidak punya
pengetahuan tentang sebab tersebut. Demikianlah para murid – murid iblis dimasa
kini selalu berusaha melakukan ghazwul fikri dengan menyimpangkan fakta dan
informasi yang ada sesuai dengan maksud jahatnya. Setan melakukannya dengan
cara yang sangat halus dan licin. Akibatnya, hanya orang – orang yang dirahmati
Allah SWT yang mampu mengetahuinya.
E. Bidang –
Bidang Yang di serang
1. Pendidikan
Pendidikan adalah aspek penting yang menentukan
maju atau mundurnya suatu bangsa. Oleh sebab itu, bidang pendidikan merupakan
target utama dari ghazwul fikri (GF). Ghazwul fikri (GF) yang dilakukan
dibidang pendidikan, diantaranya dengan membuat sedikitnya porsi pendidikan
agama di sekolah – sekolah umum (hanya 2 jam sepekan).
Hal ini berdampak fatal pada fondasi agama yang
dimiliki oleh para siswa. Dengan lemahnya basis agama mereka, maka terjadilah
tawuran, seks bebas pelajar yang meningkatkan AIDS, penyalahgunaan narkoba,
vandalism, dan sebagaimananya. Ini adalah dampak jangka pendek.
Sedangkan dampak jangka panjangnya lebih
berbahaya, yaitu rendahnya kualitas pemahaman agama para calon pemimpin bangsa
dimasa depan. Ghazwul fikri (GF) lainnya dibidang ini adalah pada teknis
belajarnya yang campur baur antara pria dan wanita yang jelas tidak sesuai dan
banyak menimbulkan pelanggaran terhadap syariat.
2. Sejarah
Sejarah yang diajarkan perlu ditinjau ulang dan
disesuaikan dengan semangat islam. Materi tentang sejarah dunia dan ilmu
pengetahuan telah ghazwul fikri (GF) habis – habisan sehingga hamper tidak
ditemui sama sekali pemaparan tentang sejarah para ilmuan islam dan
sumbangannya dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Dalam sejarah yang dibahas hanyalah ilmuan
kafir yang pada akhirnya membuat generasi muda menjadi silau dengan tokoh –
tokoh kafir dan minder terhadap sejarahnya sendiri. Ketika berbicara tentang
sejarah islam, di benak mereka hanyalah terbayang sejarah peperangan dengan
pedang dan darah sebagaimana yang selalu digambarkan dalam kaca mata barat.
Hal ini lebih diperparah dengan sejarah
nasional dan penamaan perguruan tinggi, gedung – gedung, perlambangan,
penghargaan dan pusat ilmu lainnya dengan bahasa Hindu Sanksekerta, sehinga
semakin hilanglah mutiara kegemilangan islam dihati para generasi muda.
3. Ekonomi
Ghazwul fikri
(GF) yang terjadi dibidang ekonomi adalah konsekuensi dari motto ekonomi yaitu,
mencari keuntungan sebesar – besarnya dengan pengorbanan sekecil – kecilnya.
Ketika motto ini ditelan habis – habisan tanpa dilakukan filterisasi, maka
tidak lagi memperhatikan halal atau haram, yang penting adalah bagaimana supaya
untung sebesar – besarnya.
Hal lain yang perlu dicermati dalam system
ekonomi kapitalisme, yaitu monopoli, riba dan pemihakan elit kepada para
konglomerat. Mengenai monopoli sudah tidak perlu dibahas lagi, cukup jika
dikatakan bahwa Amerika Serikat sendiri telah diberlakukan UU anti – trust
(bagaimana di Indonesia?). Tentang riba dan haramnya bunga bank rasanya bukan
pada tempatnya jika dibahas disini, cukup dikatakan bahwa munculnya dan
berkembangnya bank tanpa bunga (bagi hasil), fatwa MUI, fatwa Universita Al
Azhar Mesir, kesepakatan para ulama islam dunia membuktikan bahaya bunga bank
dan haramnya dalam islam. Tentang keberpihakan kepada para konglomerat, semoga
dengan perkembangan era reformasi saat ini dapat diperbaiki.
4. Ilmu Alam
dan Sosial
Pada bidang ilmu – ilmu alam, ghazwul fikrii
terbesar yang dilakukan adlah dengan dilakukannya sekularisasi antara ilmu
pengetahuan dengan ilmu agama. Bahaya lainnya adalah penisbatan teori – teori
ilmu pengetahuan kepada para ilmuan tanpa mengembalikannya kepada sang pemberi
dan pemilik ilmu, sehingga mengakibatkan kekaguman dan pujian hanya berhenti
pada diri para ilmuwan dan tidak bermuara kepada Allah SWT.
Hal lain adalah berkembangnya berbagai teori –
teori sesaat yang sebenarnya belum diterima secara ilmiah, tetapi disebarkan
secara besar – besaran oleh kelompok – kelompok tertentu untuk menimbulkan
keraguan pada agama. Misalnya, teori tentang asal usul makhluk hidup (the
origins of species) dari Darwin (yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari
penemuan Herbert Spencer) yang sebenarnya masih ada the missing link yang belum
dapat menghubungkan antara manusia dank era, tapi sudah “ diindoktrinasikan “
kemana – mana. Atau, teori Libido seksualnya Freud, yang menyatakan bahwa jika
manusia tidak dibebaskan sebebas – bebasnya keinginan seksualnya akan
mengakibatkan terjadinya gangguan kejiwaan. Teori ini sudah dibantah secara
ilmiah dan pencetusnya sendiri (Freud) yang terus menggembar – gemborkan
kebebasan seksual, ternyata mati karena menderita penyakit kejiwaan
(psikopath).
5. Bahasa
Ghazwul fikri (GF) dibidang bahasa adalah
dengan tidak diajarkannya bahasa Al – Qur’an di sekolah – sekolah karena
menganggapnya tidak perlu. Hal yang nampaknya remeh ini sebenarnya sanagt besar
akibatnya dan menjadi bencana bagi kaum muslimin Indonesia secara umum. Dengan
tidak memahami Al – Qur’an, mayoritas kaum muslimin menjadi tidak mengerti apa
kandungan Al – Qur’an, seperti firman Allah dalam surah Al Baqarah:78 artinya “
Dan diantara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al – Kitab (taurat),
kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga – duga “. Akibatnya,
Al – Qur’an menjadi sekedar bacaan tanpa arti (Al – Qur’an hanya dinikmati
iramanya seperti layaknya lagu – lagu dan nyayian belaka, yang akhirnya
ditinggalkan seperti yang disebutkan dalam surah Al Furqaan:30 yang artinya “
Berkata Rasul : Ya tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al – Qur’an ini
suatu yang tidak diacuhkan “ dan surah Al Furqaan:31 yang artinya “ Dan seperti
itulah, setelah kami adakan bagi tiap – tiap nabi, musuh dari orang – orang
yang berdosa dan cukuplah Tuhanmu menjadi pemberi petunjuk dan penolong. “)
Dampak lain dari kebodohan terhadap bahasa Al –
Qur’an adalah terputusnya hubungan kaum muslimin dengan perbendaharaan ilmu –
ilmu keislaman yang telah disusun dan dibukukan selama hamper 1000 tahun oleh
para pakar dan ilmuwan islam terdahulu yang jumlahnya mencapai jutaan judul
buku, mencakup bidang – bidang akidah, tafsir, hadist, fiqih, sirah, tarikh,
ulumul qur’an, tazkiyyah dan sebagainya.
6. Hukum
Ghazwul fikri (GF) pada aspek hukum adalah penggunaan
acuan hukum warisan kolonial yang masih dipertahankan sebagai hukum yang
berlaku, reduksi, dan penghapusan hukum Allah SWT dan Rasul – Nya. Rasa takut
dan alergi terhadap segala yang berbau syariat islam merupakan keberhasilan
ghazwul fikri (GF) dibidang ini. Penggambaran potong tangan bagi pencuri dan
rajam bagi penzina selalu ditonjolkan saat pembicaraan – pembicaraan tentang
kemungkinan adopsi terhadap beberapa hukum islam. Mereka melupakan bahwa hukum
islam berpihak (melindungi) korban kejahatan, sehingga hukuman keras dijatuhkan
kepada pelaku kejahatan agar perbuatannya tidak terulang dan orang lain takut
untuk berbuat yang sama.
Sebaliknya, hukum barat berpihak (melindungi)
pelaku kejahatan, sehingga dengan hukuman tersebut memungkinkannya untuk
mengulang lagi kejahatannya karena ringannya hukuman tersebut. Laporan
menunjukkan bahwa tingkat perkosaan yang terjadi di Kanada selama sehari sama
dengan kejahatan yang sama di Kuwait selama 12 tahun, bahkan pooling yang
dilakukan di masyarakat Amerika Serikat menunjukkan bahwa 1 dari 3 masyarakat
Amerika Serikat menyetujui dijatuhkannya hukuman mati untuk pemerkosa.
7. Pengiriman
pelajar dan mahasiswa ke Luar Negeri
Ghazwul fikri (GF) dibidang ini terjadi dalam
dua aspek, yaitu : Brain drain dan Brain Washing. Brain drain adalah pelarian
para intelektual dari negara – negara islam ke negara – negara maju karena
insentif yang lebih besar dan fasilitas hidup yang lebih mewah bagi para
pekerja disana. Hal ini menyebabkan lambatnya pembangunan di negara – negara
islam dan semakin cepatnya kemajuan di negara – negara barat.
Data penelitian tahun 1996 menyebutkan bahwa
perbandingan SDM bergelar doctor (S3) di Indonesia baru 60 per sejuta penduduk,
di Amerika Serikat dan Eropa antara 2500 – 3000 orang per sejuta, dan di Israel
mencapai 16.000 per sejuta penduduk.
Sementara brain
washing (cuci otak) dialami oleh para intelektual yang sebagian besar berangkat
ke negara – negara barat tanpa dibekali dengan dasar – dasar keislaman yang
cukup. Akibatnya, mereka pulang dengan membawa pola piker dan perilaku yang
bertentangan dengan nilai – nilai islam. Bahkan secara sadar atau tidak, mereka
ikut andil dalam membantu melanggengkan kepentingan barat dinegara mereka.
8. Media massa
Berbicara mengenai ghazwul fikri (GF) yang
terjadi dalam media massa, maka dapat dipilah pada aspek – aspek sebagai
berikut :
· Aspek
kehadirannya
Terjadinya perubahan penjadwalan kegiatan
sehari – hari dalam keluarga muslim, missal TV. Dulu selepas maghrib, anak –
anak biasanya mengaji dan belajar agama. Sekarang, selepas maghrib anak – anak
menonton acara – acara TV yang kebanyakan merusak dan tidak bermanfaat.
Sementara bagi para remaja dan orang tua dibandingkan dating ke pengajian dan
majlis – majlis taklim, mereka lebih senang menghabiskan waktunya dengan
menonton TV.
Sebenarnya TV dapat menjadi srana dakwah yang
luar biasa (sesuai dengan teori komunikasi yang menyatkan bahwa media audio –
visual memiliki pengaruh yang tertinggi dalam membentuk kepribadian baik pada
tingkat individu maupun masyarakat) asal dikemas dan dirancang sesuai dengan
nilai – nilai islam.
· Aspek isinya
Berbicara mengenai isi yang ditampilkan oleh
media massa yang merupakan produk ghazwul fikri (GF) diantaranya adalah
mengenai penokohan – penokohan atau orang – orang yang diidolakan. Media massa
yang ada tidak berusaha ikut mendidik bangsa dan masyarakat dengan menokohkan
para ulama, ilmuwan, dan orang – orang yang dapat mendorong membangun bangsa
agar mencapai kemajuan IMTAK dan IPTEK sebagaimana yang digembar – gemborkan.
Tetapi sebaliknya, justru tokoh yang terus menerus diekspos dan ditampilkan
adalah para selebriti yang menjalankan gaya hidup borjuis, menghambur –
hamburkan uang (tabdzir), jauh dari memiliki IPTEK apalagi nilai – nilai agama.
Hal ini jelas besar dampaknya pada generasi
muda dalam memilih dan menentukan gaya hidup, cita – citanya dan tentunya pada
kualitas bangsa dan Negara. Rpoduk lain dari ghazwul fikri (GF) yang menonjol
dalam media TV, misalnya porsi film – film islami yang dapat dikatakan tidak
ada. Film yang diputar 90% adalah film bergaya barat, sisanya adalah film
nasional (yang juga bergaya barat), film – film mandarin, dan film – film
india.
F. Sasaran
dilakukannya Invansi Pemikiran (Ghazwul Fikri (GF))
Sasaran dari
ghazwul fikri (GF) adalah sebagai berikut :
1. Agar kaum
muslimin menjadi condong sedikit terhadap gaya, perilaku dan pola pikir barat,
seperti dalam Q.S. Al Israa:73 yang artinya “ Dan sesungguhnya mereka hampir
memalingkan kamu dari apa yang telah kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat
yang lain secara bohong terhadap kami, dan kalau sudah begitu tentulah mereka
mengambil kamu jadi sahabat yang setia. “ Q.S. Al Israa:74 yang artinya “ Dan
kalau kami tidak memperkuatkan (hati)mu, niscaya kamu hampir condong sedikit
kepada mereka.” Q.S. Al Israa:75 yang artinya “ Kalau terjadi demikian, benar –
benarlah kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat – lipat ganda didunia
ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan
mendapat seorang penolongpun terhadap kami.” Dan Q.S.Al Israa:76 yang artinya “
Dan sesungguhnya benar – benar mereka hamper membuatmu gelisah di negeri
(mekah) untuk mengusirmu daripadanya dan kalau terjadi demikian, niscaya
sepeninggalmu mereka tidak tinggal sebentar saja.”
2. Setelah kaum
muslimin condong sedikit, tahapan selanjutnya adalah agar kaum muslimin
mengikuti sebagian dari gaya, perilaku dan pola pikir mereka. Sebagaimana
disebutkan dalam Q.S.Ad Dukhan:25 yang artinya “ Alangkah banyaknya taman dan
mata air yang mereka tinggalkan.” Dan Q.S.Ad Dukhan:26 yang artinya “ Dan kebun
– kebun serta tempat – tempat yang indah – indah.”
3. Pada tahap
ini diharapkan kaum muslimin beriman pada sebagiannya ayat – ayat Al – Qur’an
dan Hadist Rasulullah SAW, tetapi kafir terhadap sebagian yang lainnya.
Sebagaimana dalam Q.S.Al Baqarah:85 yang artinya “ Kemudian kamu (bani israil)
membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan dari pada kamu
dari kampong halaman. Kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa
dan permusuhan tetapi jika mereka dating kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus
mereka. Padahal mengusir itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman pada
sebagian Al Kitab(taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah
balasan bagi orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan dalam
kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang
sangat berat, Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.”
4. Pada tahap
akhir, mereka menginginkan agar generasi kaum muslimin mengikuti syahwat dan
meninggalkan shalat. Sebagaimana dalam Q.S.Maryam:59 yang artinya “ Maka
datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia – nyiakan shalat
dan memperturutkan hawa nafsu, maka mereka akan menemui kesesatan.”
G. Tujuan
Ghazwul Fikri (GF)
1. Menghambat
kemajuan umat islam agar tetap menjadi pengekor barat. Berbagai macam pendapat
nyeleneh yang ditebarkan para orientalis lewat media cetak dan elektronik
berhasil menyita perhatian umat islam dan mengetuk sebagian besar
potensinya,baik untuk melakukan kajian, bantahan dan pelurusan.
2. Menjauhkan
umat islam dari Al – Qur’an dan As Sunnah serta ajaran – ajarannya. Dengan
keraguan – raguan dan penyesatan terhadap umat islam, ghazwul fikri (GF)
menyeret orang – orang awam ke jurang yang memisahkan mereka dari keislaman –
Nya. Bahkan ada sebagian yang keluar dari islam dan berpindah ke agama lain.
3. Memurtadkan
umat islam. Inilah yang digambarkan Al – Qur’an dalam Surah Al Baqarah:217 yang
artinya “ Mereka tidak henti – hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat)
mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup.
Barangsiapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam
kekafiran, maka mereka itulah sia – sia amalannya di dunia dan akhirat, dan
mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal didalamnya.”
H. Dampak
Positif dan Negatif Gahzwul Fikri (GF)
1. Dampak
Positif dari Ghazwul Fikri (GF) Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang mempermudah memberikan pekerjaan pada manusia
yang ada di Negara ini.
2. Dampak
Negatif dari Ghazwul Fikri (GF) Perusakan
akhlak umat islam terutama yang masih berusia muda dan Berusaha menggiring
umat islam kepada kekafiran, khususnya umat islam yang tipis pemahaman
keislamannya. dan Menjauhkan umat islam dari agamanya dan mendekatkannya
pada kekafiran.
Related
Post:
- SASARAN HUKUM (al-Mahkûm fîh) Pembahasan mengenai perbuatan manusia sebagai sasaran hukum harus dibedakan menjadi dua: Pertama, substansi perbuatan yang dikenakan hukum; Kedua, sandaran perbuatan kepada manusia. Dalam konteks yang pertama, Allah SWT memang telah menetapka… Read More
- MAKALAH HUKUM ISLAM MASA ABBASYIAH A. Pembentukan Madzhab dan pembukuan hadits Setelah kekuasaan Umayyah berakhir, kendali pemerintahan islam sealanjutnya depegang oleh dynasti Abasyiah. Berbeda dengan fase sebelumnya yang duitandai dengan perluasan wilayah, fase ini… Read More
- Mencegah Kehamilan Islam sangat menganjurkan umatnya untuk memiliki keturunan untuk dididik dengan baik sehingga mengisi alam semesta ini dengan manusia yang shalih dan beriman. Sejak dari memilih calon istri, Rasulullah SAW mengisyaratkan untuk mendapatkan istri… Read More
- METODE IJTIHAD BAYANI (KAJIAN FILSAFAT) BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hukum Islam diperoleh dari sumbernya yaitu Al-Quran dan As-Sunnah, sekurang-kurangnya dilakukan dengan dua cara. Pertama, diperoleh secara langsung berdasarkan hukum yang terdapat pada ayat Al-Quran … Read More
- PRINSIP DASAR FIQIH ISLAM Prinsip-prinsip dasar fiqih Islam (al-qawaid al-fiqhiyah) sebenarnya sangat banyak sekali, karena masing-masing ulama madzhab memiliki prinsip hukum sendiri-sendiri sebagai metode meneliti dan menganalisis suatu kasus hukum. Selanjutnya
No comments:
Post a Comment