HAM KRITIK MEMUKUL ANAK ADA MASLAHATNYA
Ada maqoshid al-Syari’ah pada
hukuman pukul bagi anak..Ikhwah,
perlu diketahui bahwa seluruh ajaran Islam mengandung maslahat dan
bertujuan untuk meniadakan bahaya bagi hamba. Misalnya Islam melarang rokok,
itu karena adanya maslahat dan supaya hamba terhindar dari bahaya berupa
penyakit dan berujung kematian. Begitu pula jilbab pada wanita misalnya,
tidaklah wanita diperintahkan tanpa ada maslahat, namun ada maksud baik di
balik itu. Wanita akan lebih terjaga ketika mengenakannya. Namun kadang
maslahat tersebut diketahui, kadang masih samar bagi kita.
(QS
Al-Baqarah 2: 127)
Terkait ayat di atas, Ahmad Musthafa Al-Maraghi
menyatakan betapa pentingnya seorang Muslim mengonsumsi makanan yang halal,
bersih, dan lurus.
Halal maksudnya adalah tidak mengandung
kedurhakaan terhadap Allah SWT. Bersih bermakna tidak mengandung perkara yang
melupakan Allah. Sedangkan, lurus berarti rezeki tersebut mampu menahan nafsu
dan memelihara akal.
Kedua, untuk mendapatkan
rezeki yang baik, hendaknya proses yang dilakukan dengan menggunakan cara-cara
yang baik pula. Islam melarang segala bentuk upaya mendapatkan rezeki dengan
cara-cara yang zalim
Riba
(Al-Baqarah [2]: 278-279)
Maka jika kamu tidak mengerjakan [meninggalkan sisa riba], maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.
Dan jika kamu bertaubat [dari pengambilan riba], maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak [pula] dianiaya. (279)
Judi
(Al-Maidah [5]: 90)
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya [meminum] khamar, berjudi,
[berkorban untuk] berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan. (90)
Penipuan (gharar), Suap (risywah), dan Maksiat.
Mengapa Islam menekankan pentingnya rezeki yang halal?
Karena, setiap asupan yang masuk ke dalam tubuh
manusia akan memengaruhinya, baik secara fisik, emosional, psikologis, maupun spiritual.
Rezeki yang halal menghadirkan ketenangan jiwa.
Hidup akan lebih terarah dan menjadikan pintu-pintu keberkahan terbuka semakin
lebar.
Melanjutkan kaedah fikih yang
sebelumnya telah dikaji, saat ini kita membahas kaedah tentang maslahat.
Syaikh As Sa’di rahimahullah mengatakan,
الدين مبني على المصالح
في جلبها والدرء للقبائح
Ajaran Islam dibangun di atas
maslahat
Ajaran tersebut mengandung maslahat
dan menolak mudhorot (bahaya)
Bait sya’ir di atas mengandung
pengertian bahwa ajaran Islam dibangun atas dasar meraih maslahat dan
menolak mudhorot (bahaya).
Maslahat akan Kembali pada Hamba
Maslahat yang dimaksud adalah
manfaat. Maslahat di sini bukanlah kembali pada Allah karena Allah itu ghoni (Maha
Kaya). Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ
الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
“Hai manusia, kamulah yang
berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan
sesuatu) lagi Maha Terpuji” (QS. Fathir: 15). Maslahat atau manfaat yang
dimaksud adalah yang dirasakan oleh hamba.
Maslahat Bukanlah Ditimbang dengan Hawa Nafsu
Maslahat di sini juga bukanlah
menurut hawa nafsu atau yang dikehendaki oleh jiwa. Karena seperti itu sudah
keluar dari makna diin atau ketaatan. Yang namanya ketaatan adalah dengan
mengikuti perintah Allah. Oleh karena itu, syari’at Islam melarang seseorang
untuk memperturut hawa nafsu sebagaimana dalam firman-Nya,
وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ
عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“Dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah” (QS. Shad:
26). Intinya, mengikuti hawa nafsu hanya memberi dampak dhoror (bahaya)
dan tidak mendatangkan maslahat selamanya.
Cara Mengetahui Maslahat dan Mudhorot
Ada beberapa macam metode dalam
mengenali hal ini yang dilakukan oleh beberapa golongan.
1. Golongan Mu’tazilah berpendapat
bahwa maslahat dan mudhorot bagi hamba dinilai dari logika. Inilah prinsip dari
mereka yang mengangumi dan mengedepankan akal.
2. Golongan Asya’iroh berpendapat
bahwa patokan baik dan buruk adalah syari’at. Dusta misalnya barulah dikatakan
jelek dilihat dari penyandaran perbuatan tersebut, bukan dilihat dari sisi perbuatan
dusta itu sendiri. Dusta baru dibenarkan sebagai hal yang keliru ketika telah
dijelaskan oleh syari’at. Jika tidak, maka tidaklah demikian menurut mereka.
Pernyataan ini jelas bertentangan dengan akal dan dalil syar’i. Setiap orang
pasti sudah mengetahui bahwa dusta itu merupakan perbuatan yang jelek,
sedangkan jujur adalah perbuatan yang baik –walau tidak diterangkan dengan
dalil-. Oleh karena itu, perbuatan jelek sudah dianggap jelek oleh syari’at
sebelum Rasul itu ada. Namun hukuman dari perbuatan jelek tersebut
diperuntukkan jika Rasul telah diutus di suatu kaum. Allah Ta’ala berfirman,
يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ
“Yang menyuruh mereka mengerjakan
yang ma’ruf” (QS. Al A’rof: 157). Menurut Asya’iroh bahwa sandaran
penilaian perbuatan baik dan jelek adalah dari syar’i. Jika yang benar sesuai
pemahaman mereka, seharusnya ayat tadi berbunyi, “Yang menyuruh mereka
mengerjakan sesuai yang diperintahkan pada mereka”. Padahal ayat tersebut
tidak memaksudkan demikian. Karena perbuatan ma’ruf sudahlah dinilai baik
meskipun belum datang syari’at.
Pendapat yang benar mengenai cara menilai sesuatu itu maslahat ataukah
tidak yaitu dengan sendirinya meskipun tidak ada dalil logika maupun dalil
syar’i. Jujur sudah dapat dinilai baik meskipun sebelum adanya syari’at atau
sebelum dinalarkan dengan logika. Namun kapan seseorang baru terkena
hukuman ketika dusta? Untuk masalah hukuman baru ada setelah tegak
dalil, setelah sampainya syari’at atau diutus seorang Rasul sebagai pemberi
keterangan (hujjah). Sebagaimana AllahTa’ala berfirman,
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى
نَبْعَثَ رَسُولًا
“Dan Kami tidak akan meng’azab
sebelum Kami mengutus seorang rasul” (QS. Al Isro’: 15). Demikianlah pemahaman
Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan inilah yang tepat.
Dalil-Dalil Pendukung: Seluruh Ajaran Islam Mengandung Maslahat
Seluruh ajaran Islam itu mengandung
maslahat dan dipastikan pula setiap ajaran Islam bermaksud untuk
mengenyampingkan mudhorot pada hamba. Yang menerangkan bahwa seluruh ajaran
Islam mengandung maslahat dan menolak mudhorot adalah dalil-dalil berikut ini:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً
لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu,
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. Al Anbiya’: 107).
Jika syari’at itu rahmat, maka konsekuensinya pasti ajaran Islam selalu
mendatangkan maslahat dan menolak bahaya.
Begitu pula dalam ayat,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ
دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ
دِينًا
“Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al Maidah: 3).
Sempurnanya nikmat adalah dengan sempurnanya ajaran agama ini. Dan sebagai
tandanya, ajaran ini pasti selalu mendatangkan maslahat dan menolak mudhorot.
Begitu juga dalam berbagai ajaran
Islam jika kita tilik satu per satu, kadang diberikan alasan bahwa ajaran
tersebut mendatangkan maslahat bagi hamba. Sebagaimana dalam hukum qishash,
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا
أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan dalam qishaash itu ada
(jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal,
supaya kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 179).
Semacam pula dalam perintah
menggunakan jilbab bagi wanita, disebutkan pula maslahat di dalamnya.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ
لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ
جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ
غَفُورًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin:
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian
itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu.
Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59).
Saking pentingnya kaedah ini, para
ulama sangat perhatian di dalamnya. Sampai-sampai ada di antara mereka membuat
tulisan tersendiri tentang masalah ini. Semacam Imam Al ‘Izz bin ‘Abdis Salam
menyusun buku yang sempurna yang membahas hal ini. Beliau menjadikan seluruh
ajaran dalam hukum Islam berputar di antara maslahat.
Macam-Macam Maslahat
Jika melihat ajaran Islam, kita akan
temukan bahwa ajaran tersebut ada yang mengandung maslahat yang wajib, seperti
shalat lima waktu. Ada pula yang mengandung maslahat yang sunnah (mustahab)
seperti shalat sunnah. Ada juga yang mengandung maslahat bagi orang banyak dan
jika tidak dikerjakan oleh semua, maka cukup sebagian yang mengerjakannya
seperti dalam shalat jenazah.
Jadi kita dapat membagi maslahat
menjadi:
- Maslahat yang dijalankan dalam masyarakat oleh sebagian orang.
- Maslahat yang dituntunkan untuk dikerjakan oleh setiap individu muslim.
Begitu juga kita dapat membagi
maslahat menjadi:
- Maslahat yang wajib, yaitu mendapati hukuman bagi orang yang meninggalkannya.
- Maslahat yang sunnah, yaitu tidak dampai mendapati hukuman bagi orang yang meninggalkannya.
Mafsadat (bahaya) juga ada yang haram dan ada yang makruh. Yang
haram semisal melanggar harta dan darah muslim yang lain, maka jika
melakukannya akan mendapatkan dosa. Mafsadat seperti ini ada yang berdampak
dosa besar, ada pula yang dosa kecil. Adapun mafsadat yang makruh tidak
berdampak dosa bagi yang melanggarnya, bahkan bisa memperoleh pahala jika
ditinggalkan.
Pembahasan Berbagai
Maslahat
Ada pula tinjauan pembagian maslahat
dari sisi lain. Para ulama juga membagi maslahat menjadi tiga macam:
- Maslahat mu’tabaroh, yaitu maslahat yang dianggap sebagai maslahat oleh syari’at baik ditetapkan oleh dalil Al Qur’an, As Sunnah, ijma’ maupun qiyas. Contohnya adalah dalam masalah qishash dan jilbab yang telah disebutkan di atas.
- Maslahat mulghoh,
yaitu maslahat yang bertentangan dengan syari’at. Contohnya dalam masalah
ini, siapa yang bersumpah lalu ia melanggar sumpahnya, maka ia punya
kewajiban untuk menunaikan kafaroh sumpah. Kafarohnya adalah memberi makan
kepada sepuluh orang miskin atau memberi pakaian kepada sepuluh orang
miskin atau memerdekakan satu orang budak. Jika tidak mampu melakukan
ketiga hal tersebut, barulah menunaikan pilihan berpuasa selama tiga hari.
Sebagaimana hal ini disebutkan dalam surat Al Maidah ayat 89. Namun ada
yang melanggar sumpahnya dan belum melakukan tiga pilihan pertama dari
kafaroh tadi, malah sudah melangkah ke pilihan kedua, yaitu melakukan
puasa selama tiga hari. Puasa itu baik, namun bertentangan dengan aturan
syari’at yang telah disebutkan. Ini yang namanya maslahat mulghoh atau
maslahat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan yang dianggap baik
di sini sebenarnya mafsadat.
Contoh lainnya lagi adalah dalam masalah shalat Jum’at. Di sebagian negeri kafir sangatlah sulit menunaikan shalat Jum’at pada hari Jum’at karena hari Jum’at bukanlah waktu libur. Beda halnya dengan di negara Islam yang memberikan waktu libur pada hari Jum’at. Lalu sebagian orang memberikan solusi, shalat Jum’at sebaiknya dipindahkan saja ke hari Minggu karena hari tersebut adalah hari libur. Mereka anggap, seperti itu adalah maslahat. Namun sebenarnya pemikiran tersebut bertentangan dengan ajaran Islam dan teranggap sebagai maslahat yang mulghoh yang tertolak (tidak teranggap). - Maslahat mursalah, yaitu maslahat yang tidak memiliki dalil, namun tidak bertentangan (ditiadakan) oleh syari’at dan tidak pula dianggap. Mengenai maslahat yang satu ini, para ulama berselisih pendapat apakah bisa dijadikan hujjah (alasan kuat) ataukah tidak. Sebagian ulama ada yang menolaknya sebagai hujjah. Di antara yang berpendapat demikian adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau mengatakan bahwa semua maslahat pasti teranggap oleh syari’at. Jika ada yang menganggapnya sebagai maslahat mursalah, maka hal itu tidak lepas dari dua keadaan:
- Sebenarnya maslahat tersebut adalah mafsadat (mengandung bahaya).
- Sebenarnya ada dalil yang menunjukkan hal yang dimaksud sebagai maslahat, namun mungkin tidak diketahui oleh sebagian mereka.
Pendapat yang dianut oleh Ibnu
Taimiyah adalah pendapat yang kuat. Karena jika kita menetapkan
seperti ini berarti kita menganggap syari’at Islam benar-benar sempurna
sehingga bisa menjadi dalil dan bisa sebagai jawaban dari segala permasalahan,
serta tidak diperlukan qiyas kecuali dalam sedikit masalah
yang tidak ditemukan dalil untuk menjawab permasalah tersebut.
Jika Tidak Diketahui Adanya Maslahat
Para ulama juga menjelaskan bahwa
maslahat dalam hukum dibagi menjadi dua yaitu maslahat ma’lumah (yang
diketahui) dan maslahat majhulah (yang tidak diketahui).
Maslahat majhulah berarti kita dapat pastikan dalam hukum syari’at ada maslahat
tetapi kita tidak mengetahui seperti apa bentuk maslahat tersebut. Seperti
memakan daging unta bisa membatalkan wudhu. Dalilnya adalah hadist dari Jabir
bin Samuroh,
أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْغَنَمِ قَالَ « إِنْ شِئْتَ
فَتَوَضَّأْ وَإِنْ شِئْتَ فَلاَ تَوَضَّأْ ». قَالَ أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ
الإِبِلِ قَالَ « نَعَمْ فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ ».
“Ada seseorang yang bertanya pada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah aku mesti berwudhu setelah
memakan daging kambing?” Beliau bersabda, “Jika engkau mau, berwudhulah.
Namun jika enggan, maka tidak mengapa engkau tidak berwudhu.” Orang tadi
bertanya lagi, “ Apakah seseorang mesti berwudhu setelah memakan daging unta?”
Beliau bersabda, “Iya, engkau harus berwudhu setelah memakan daging unta.”
(HR. Muslim no. 360). Kita tidak mengetahui apa maslahat perintah wudhu setelah
memakan daging unta. Namun kita tidak bisa meninggalkan hukum tersebut karena
tidak mengetahui hikmahnya. Ini yang patut dicatat.
Sedangkan maslahat ma’lumah adalah
suatu maslahat yang diketahui. Seperti dalam pensyari’atan nikah. Dalam nikah
ada maslahat untuk menghasilkan keturunan yang sholeh dan bertambah tenang
karena selalu bersama pasangan hidup. Begitu pula dengan adanya keturunan yang
sholeh, pahala bagi kedua orang tua akan terus mengalir sebagaimana disebutkan
dalam hadits,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ
عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ
وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang meninggal dunia,
maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu
yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631). Ini
adalah maslahat yang jelas kita ketahui.
Bolehkah seseorang dalam beramal berniat untuk menggapai tujuan
duniawiyah?
Guru
kami, Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri hafizhohullah berkata,
“Seharusnya setiap orang berniat untuk meraih pahala dan balasan di sisi Allah,
yang diharapkan adalah wajah Allah dan kebahagiaan di akhirat. Jika seseorang
semata-mata mencari keuntungan duniawi, maka boleh saja ia berniat untuk
seperti itu namun pada amalan yang ada nash (dalil) yang menerangkan adanya
manfaat jika melakukan amalan tersebut. Akan tetapi, jika ia berniat seperti
ini, yaitu ingin menggapai dunia semata –tidak ingin mengharap pahala akhirat
sama sekali-, maka di akhirat ia tidak akan mendapatkan apa-apa. Begitu pula
jika seseorang berniat dalam amalannya dengan niat yang bertentangan dengan
maksud syari’at, maka ia jadinya berdosa. Contohnya adalah yang berniat untuk
menikah karena tujuan membantu temannya yang sudah mentalak istrinya tiga kali
supaya bisa halal kembali, inilah yang disebut nikah tahlil. Ini jelas tujuan
yang bertentangan dengan syari’at dan jadinya berdosa” (Syarh Al Manzhumah As
Sa’diyah, hal. 56).
Tentang masalah niatan duniawi dalam
amalan diterangkan dalam ayat berikut, Allah Ta’ala berfirman,
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ
الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا
لَا يُبْخَسُونَ , أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ إِلَّا
النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang menghendaki
kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan
pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan
dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka
dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan
sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan” (QS. Hud: 15-16).
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma mengatakan, “Sesungguhnya orang yang riya’, mereka hanya ingin
memperoleh balasan kebaikan yang telah mereka lakukan, namun mereka minta
segera dibalas di dunia.”
Ibnu
‘Abbas juga mengatakan, “Barangsiapa yang melakukan amalan puasa, shalat atau
shalat malam namun hanya ingin mengharapkan dunia, maka balasan dari Allah:
“Allah akan memberikan baginya dunia yang dia cari-cari. Namun amalannya akan
sia-sia (lenyap) di akhirat nanti karena mereka hanya ingin mencari dunia. Di
akhirat, mereka juga akan termasuk orang-orang yang merugi”.” Perkataan yang
sama dengan Ibnu ‘Abbas ini juga dikatakan oleh Mujahid, Adh Dhohak dan
selainnya.
Qotadah
mengatakan, “Barangsiapa yang dunia adalah tujuannya, dunia yang selalu dia
cari-cari dengan amalan sholehnya, maka Allah akan memberikan kebaikan
kepadanya di dunia. Namun ketika di akhirat, dia tidak akan memperoleh kebaikan
apa-apa sebagai balasan untuknya. Adapun seorang mukmin yang ikhlash dalam beribadah
(yang hanya ingin mengharapkan wajah Allah), dia akan mendapatkan balasan di
dunia juga dia akan mendapatkan balasan di akhirat” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al
‘Azhim, 7: 422-423).
Intinya, beramal sholeh untuk
menggapai dunia bisa kita rinci menjadi dua:
1. Amalan yang tidak disebutkan di
dalamnya balasan dunia. Namun seseorang melakukan amalan tersebut untuk
mengharapkan balasan dunia, maka semacam ini tidak diperbolehkan bahkan
termasuk kesyirikan. Misalnya: Seseorang melaksanakan shalat Tahajud. Dia berniat
dalam hatinya bahwa pasti dengan melakukan shalat malam ini, anaknya yang akan
lahir nanti adalah laki-laki. Ini tidak dibolehkan karena tidak ada satu dalil
pun yang menyebutkan bahwa dengan melakukan shalat Tahajud akan mendapatkan
anak laki-laki.
2. Amalan yang disebutkan di
dalamnya balasan dunia. Contohnya adalah silaturrahim dan berbakti kepada kedua
orang tua. Semisal silaturrahim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى
رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa senang untuk
dilapangkan rizki dan dipanjangkan umurnya, maka jalinlah tali silaturrahim
(hubungan antar kerabat)” (HR. Bukhari no. 5985 dan Muslim no. 2557). Jika
seseorang melakukan amalan semacam ini, namun hanya ingin mengharapkan balasan
dunia saja dan tidak mengharapkan balasan akhirat, maka orang yang melakukannya
telah terjatuh dalam kesyirikan. Namun, jika dia melakukannya tetap
mengharapkan balasan akhirat dan dunia sekaligus, juga dia melakukannya dengan
ikhlas, maka ini tidak mengapa dan balasan dunia adalah sebagai tambahan nikmat
untuknya karena syari’at telah menunjukkan adanya balasan dunia dalam amalan
ini.
Alhamdulillah, akhirnya kita dapat memahami bagaimana Islam membangun
ajarannya di atas maslahat. Jadi, tidak ada kerugian jika kita melakukan
berbagai ajaran Islam. Dalam hal jilbab, meskipun terasa berat oleh sebagian
wanita, namun pasti jilbab itu mengandung maslahat yaitu lebih menjaga diri
wanita. Begitu pula dalam masalah jenggot, laki-laki diperintahkan untuk
memeliharanya dan dibiarkan begitu saja tanpa dirapikan atau dicukur habis.
Lantas apa maslahatnya? Jika tidak diketahui bentuk maslahatnya pun, tetap kita
mesti menjalaninya. Karena jika kita tidak mengetahui, belum tentu maslahatnya
tidak ada. Dan mengikuti ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam akan mendatangkan maslahat di dunia maupun akhirat. Yakinlah
dengan ajaran Islam yang indah …
Masih berlanjut pada keadah yang
berikutnya, semoga Allah mudahkan.
Wallahu waliyyut taufiq.
No comments:
Post a Comment