WAHYU
TUHAN, TERNYATA TIDAK MAMPU BERHADAPAN
DENGAN
UJIAN PERUBAHAN ZAMAN?
Drs.M.Rakib, S.H.,M.Ag.
Pekanbaru Riau Indonesia
WAHYU TUHAN, ternyata tidak mampu berhadapan dengan ujian perubahan zaman, sehingga
wahyu menjadi tidak dapat “difungsikan” dan “dirasakan” sebagai mana mestinya”.
Demikian, agar wahyu ini dapat “difungsikan” dan “dirasakan” sebagai mana
mestinya, manusia harus mengerti dan memahami substansi nilai yang terkandung
di dalamnya. Manusia harus melakukan apresiasi intelektual atas “doktrin ideal”
tersebut yang ditopang dengan kerangka metodologi yang tepat. Prasarat yang
harus ditepati adalah harus ada “kesepakatan” untuk melakukan pemahaman
intelektual bahwa agama adalah sistem simbolik yang tidak cukup difahami
sebagai formula-formula abstrak tentang kepercayaan dan nilai saja.
Wahyu dan akal merupakan perangkat
yang diberikan Tuhan kepada manusia. Inilah yang membedakannya dengan makhluk
lain. Meskipun Malaikat diberi akal oleh Tuhan, namun derajatnya masih di bawah
manusia, jika manusia dapat menggunakan akalnya sesuai dengan ketentuan Tuhan.
Oleh karena itu, tidak berlebihan jika manusia menduduki derajat tertinggi di
sisi Tuhan. Menurut al-Jurjani (w. 793 H), akal merupakan perangkat yang
berdiri sendiri dari susunan organ tubuh, namun menjadi kreator penggerak dan operator
organ lain.Ada yang mengatakan akal merupakan cahaya dalam hati yang berfungsi
untuk memilah antara baik dan buruk. Dari dua pengertian ini, dapat diambil
konglusi bahwa terlepas dari bentuk wujudnya, peran akal memang sangatlah
penting bagi perjalanan kehidupan manusia.
Sedangkan wahyu adalah informasi yang
diberikan Tuhan kepada para Nabi dan Rasul –‘alaihim al-salam, tentang
yang dikehendaki-Nya, baik berupa perintah dan larangan syara’ ataupun
berita sepanjang masa. Ada tiga cara Tuhan dalam penyampaian wahyu ini; melalui
ilham, belakang hijab, dan perantara Malaikat. Wahyu ini terkhusus
disampaikan kepada para Nabi dan Rasul –‘alaihim al-salam. Hal inilah
yang membedakannya dengan ilham. Satu segi wahyu lebih spesifik daripada ilham,
karena hanya disampaikan kepada para utusan-Nya. Namun dari segi lain
sebaliknya, karena ilham hanya disampaikan dalam keadaan samar dan spontan.
Dalam
ranah teologi yang memang berkisar seputar ketuhanan dan segala hal yang
berkaitan dengan-Nya, pasti akan menyinggung diskursus mengenai akal dan wahyu.
Keduanya dianggap mempunyai andil dalam pengetahuan tentang ketuhanan dan
kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan. Akal sebagai daya nalar yang
terdapat dalam diri manusia berusaha keras untuk dapat “mencapai” Tuhan.
Sedangkan wahyu diberikan sebagai informasi Tuhan melalui media yang dinamakan
Rasul untuk diketahui dan dilakukan menurut kandungan informasi tersebut.
Pertanyaan yang timbul kemudian
adalah seberapa besar potensi akal dan fungsi wahyu untuk dapat mengetahui dan
menentukan sikap atas Tuhan. Dapat mengetahui Tuhan berarti manusia mengetahui
bahwa Tuhan itu ada sebagai sang Pencipta yang kemudian muncul konsekwensi
bahwa manusia wajib mengetahui Tuhan itu ada. Sedangkan menentukan sikap atas
Tuhan berarti manusia harus mengetahui perihal baik dan buruk yang merupakan
pilihan untuk dilaksanakan dan ditinggalkan sebagai wujud rasa terima kasih dan
pengabdian kepada-Nya.
Perbedaaan porsi antara peran akal
dan wahyu inilah yang menjadi tarik ulur di kalangan teolog Islam.
Satu kalangan menyatakan bahwa peran akal yang paling dominan menanggapi
hal-hal di atas. Sedangkan kalangan lain menyatakan sebaliknya. Namun demikian
semua kalangan satu suara dalam memahami adanya Tuhan dapat dijangkau akal
manusia tanpa bantuan wahyu. Hal ini terbukti pada kisah nabi Ibrahim A.S yang
berusaha dengan akalnya untuk mencari tahu siapa Tuhan yang sebenarnya. Sebelum
berpikir seperti ini, pasti Nabi Ibrahim A.S mengetahui dan yakin dengan adanya
Tuhan yang menciptakannya hanya dengan akalnya. Mungkin juga awal proses pemikiran
tersebut berasal dari kondisi religius pada saat itu, dimana mayoritas
masyarakatnya menyembah berhala, sehingga menimbulkan gejolak keraguan dalam
pikiran dan jiwanya. Akhirnya dimulailah pengembaraan dalam akalnya untuk
mengetahui Tuhan yang sebenarnya. Dan jelaslah proses ini sama sekali tidak
memerlukan bantuan wahyu.
Selanjutnya, apakah perbuatan baik
dan buruk cukup dijangkau akal saja sehingga sesuatu yang menurut akal baik
atau buruk, manusia harus mengambil sikap dengan melaksanakan dan meninggalkannya,
meskipun belum terdapat ketentuan syara’ yang menjustifikasi sesuatu
itu? Dan jika manusia dituntut demikian, akankah mendapatkan imbalan atau
siksaan sebagai balasan terhadap perbuatannya sebelum turun wahyu atasnya?
Ataukah tidak ada jalan lain selain menunggu pertolongan wahyu, dan dengan
demikian sesuatu yang diperintahkan syara’ adalah baik dan yang
dilarangnya adalah buruk, serta tidak ada balasan apapun sebelum adanya utusan?
Serta yang terpenting, kewajiban mengetahui Tuhan cukup dengan nalar logika
ataukah juga dengan bantuan wahyu? Sederet jawaban atas beberapa pertanyaan di
atas yang diperbincangkan kalangan teolog Islam sebagai dampak tarik
ulur dua hal yang mendasar yang menjadi sumbernya, yaitu akal manusia dan
wahyu Tuhan.
Mengenai kewajiban mengetahui Tuhan,
menurut Mu’tazilah dapat diperoleh dengan penalaran yang mendalam. Jika
demikian, berterima kasih kepada Tuhan sebelum adanya utusan adalah wajib. Dan
jika manusia tidak berterima kasih kepada-Nya, maka akan mendapat hukuman.
Konsep dasar pendapat ini sebagaimana dipaparkan Abdul Jabbar, bahwa kewajiban
pertama manusia berpikir untuk mencapai pengetahuan tentang adanya Tuhan,
karena keberadaan Tuhan itu tidak dapat diketahui dengan penglihatan nyata,
melainkan dengan jalan berpikir dan bernalar. Bahkan al-Murdar (w. 226 H) salah
satu pakar Mu’tazilah menyatakan bahwa termasuk yang dapat dinalar akal adalah
kewajiban mengetahui sifat-sifat syari’at
dan hukum-hukum Tuhan, meskipun belum ada wahyu mengenai hal itu.
Paham yang sama juga dianut sebagian
kalangan Maturidiyyah, yaitu mereka yang menetap di Samarkand. Mereka
memaparkan akal dapat menjangkau kewajiban mengetahui Tuhan dan berterima kasih
kepada-Nya. Agaknya, al-Maturidi juga berkeyakinan seperti itu. Menurutnya,
akal seorang anak yang telah mencapai kematangan wajib mengetahui dan berterima
kasih kepada Tuhan tanpa menunggu adanya wahyu. Oleh karena itu, jika dia mati
sebelum mengetahui Tuhan, maka akan mendapatkan siksaan Namun di luar itu,
kalangan Maturidiyyah Bukhara berpendapat sebaliknya. Kewajiban mengetahui
Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya hanya dapat diketahui melalui wahyu. Bagi
mereka, akal hanya alat untuk mengetahui hukum. Dan yang menentukan hukum
segala sesuatu adalah Tuhan, termasuk hukum wajib mengetahui-Nya, karena Dia
bertindak sebagai al-Hakim bagi makhluk-Nya. Sedangkan proses penentuan suatu
hukum dari Tuhan hanya dapat diraba melalui wahyu.
Agaknya paham Maturidiyyah Bukhara
ini sesuai dengan satu segi dari tindakan Nabi Muhammad SAW. Dalam memutuskan
perkara yang belum ada kejelasan hukum sebelumnya, beliau memilih diam tanpa
memberi komentar atas perkara itu. Diam yang dilakukan Nabi SAW ini semata
hanya menunggu datangnya Jibril A.S yang membawa wahyu terkait dengan perkara
yang sedang dihadapi. Jika saja akal dapat menentukan kejelasan hukum itu,
niscaya akal Nabi SAW lebih berhak dan lebih mampu untuk melakukannya. Namun,
tidak demikian yang dilakukan beliau. Artinya, ada satu titik temu antara
tindakan Nabi SAW dan paham Maturidiyyah Bukhara di atas, yaitu hanya wahyu
yang dapat menentukan kejelasan hukum suatu masalah, bukanlah akal yang hanya
berfungsi sebagai pencerna hukum yang diusung wahyu. Jika akal dipaksa untuk
menelurkan suatu hukum, maka tidak akan mampu karena bukan kapasitasnya untuk
itu. Satu-satunya pembuat hukum adalah Tuhan, dan disampaikan manusia melalui
wahyu.
Asya’irah juga mengatakan demikian.
Mereka tidak sepaham dengan Mu’tazilah ataupu Maturidiyyah Smarkand. Al-Asy’ari
sendiri berpendapat bahwa kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui
wahyu. Oleh karena itu, sebelum turunnya wahyu tidak ada kewajiban ataupun
larangan bagi manusia, karena status mereka bukanlah mukallaf. Dan jika
ada seseorang yang dapat mengetahuinya sebelum wahyu ada, maka orang tersebut
berstatus mukmin, namun tidak berhak mendapatkan imbalan Tuhan. Begitu
juga sebaliknya, jika seseorang tidak beriman sebelum adanya wahyu, maka orang
tersebut belum tentu mendapatkan siksaan. Hal ini semata-mata Tuhan berkuasa
mutlak atas selain-Nya, sehingga tidak ada yang dapat mengatur dan
mengekang-Nya.
Perihal baik dan buruk juga mendapat
sorotan tajam dari ketiga kalangan teolog ini. Dalam satu segi mereka
memaparkan kesepakatan. Namun dalam segi lainnya, mereka mempertentangkannya.
Mereka sepaham bahwa akal dapat memilah antara baik dan buruk dalam dua hal. Pertama,
sesuatu dianggap baik jika sesuai dengan watak manusiawi, seperti: rasa
manis, suara yang merdu, rupawan, sehat, dan hal-hal lain yang dapat membuat
perasaan menjadi bahagia. Sebaliknya, dikatakan buruk jika tidak sesuai dengan
watak, seperti: rasa pahit, muka jelek, sakit, suara gaduh, dan hal-hal lain
yang dapat mengganggu ketenangan dan kesenangan jiwa. Kedua, baik adalah
segala hal yang dikaitkan dan dilekatkan kepada sifat kamaliyyah, seperti
pandai dan jujur. Sedangkan buruk adalah hal yang bersandar pada sifat cacat
dan kurang, seperti bodoh dan pendusta[1].
Adapun pangkal perbedaan berawal
dari pengertian baik adalah segala sesuatu yang menuai pujian bagi pelakunya di
dunia dan mendapatkan imbalan di akhirat. Dan buruk adalah segala sesuatu yang
menyebabkan pelakunya dicela di dunia dan disiksa di akhirat kelak[2]. Dari sini timbul silang pendapat. Apakah
akal mampu menalar baik dan buruk sesuai dengan pengertian ini? Ataukah wahyu
yang berperan penting dan dominan dalam hal ini?
Menurut Asya’irah, perihal baik dan
buruk hanya dapat ditentukan oleh syara’ sehingga segala sesuatu yang
diperintahkannya pasti baik. Begitu juga segala hal yang dilarang syara’ dinyatakan
buruk. Lebih lanjut, meskipun kemudian syara’ memerintahkan keburukan,
maka keburukan itu tetap dinilai baik. Hal ini sebagaimana dilegalkannya qishash
dan ‘uqubah. Artinya, meskipun mengandung unsur mafsadah,
keduanya dinilai baik karena pada dasarnya mafsadah yang ditimbulkan
hanya berskala kecil, dan tujuan utamanya untuk mencegah terjadinya mafsadah
yang berskala lebih besar, yakni tidak ada sanksi tegas bagi pembunuh yang
akhirnya memberi peluang untuk mengulangi perbuatannya.
Ataupun jika syara’ melarang
kebaikan, maka kebaikan itu tetap dinyatakan keburukan. Satu contoh kecil
adalah larangan mengawini musyrik atau musyrikah. Bukankah
perkawinan itu baik? Dengan perkawinan dapat memberikan keturunan. Dengan
perkawinan pula dapat mempererat tali persaudaraan antar sesama. Kedua hal itu
termasuk sisi positif adanya perkawinan. Namun ternyata hal itu dilarang syara’
jika salah satu dari kedua mempelai berstatus syirik. Akhirnya
perkawinan semacam inipun harus dianggap buruk, karena perkawinan ini
ditengarai akan membawa madlarat bagi pelakunya. Oleh sebab itu syara’
menetapkan keburukannya.
Memang, mayoritas informasi syara’
hanya mencantumkan perintah dan larangan. Namun jika ditelaah lebih dalam,
akan ditemukan dengan sendirinya bahwa segala hal yang diperintahkan itu
berlabelkan baik. Begitu juga segala hal yang dilarang mempunyai label buruk.
Karena tidaklah mungkin syara’ akan menyesatkan manusia.
Dan adanya informasi ini tidak lain
bermula dari wahyu yang disampaikan kepada para Nabi –‘alaihim al-salam. Atas
dasar inilah, Asya’irah berpendapat bahwa pemilahan baik ataupun buruk dan
kewajiban melakukan kebaikan ataupun keburukan hanya didapatkan dari wahyu
tanpa mengandalkan proses penalaran akal. Dan karena ini, jika wahyu belum
turun atas manusia, maka dia tidak dituntut melakukan dan meninggalkan sesuatu,
meskipun akalnya dapat memilah baik dan buruk. Karena sebagaimana di atas,
bukan kapasitas akal untuk menentukan hukum-hukum Tuhan atas perbuatan manusia.
Menanggapi persoalan baik dan buruk,
secara umum Maturidiyyah sepaham dengan Mu’tazilah yang menganggap keduanya
dapat dijangkau akal. Artinya, tanpa menunggu turunnya wahyu, akal dapat
mengidentifikasi dan mengklasifikasi suatu perbuatan sehingga dapat diketahui
label perbuatan itu. Namun, apa yang disebut baik dan buruk menurut
Maturidiyyah ini lebih luas daripada yang dipahami oleh Mu’tazilah. Menurut
Maturidiyyah, terkadang baik dan buruk dapat dilihat dari hakikat dan inti
perbuatan itu, terkadang dapat dilihat pula dari sifat dasarnya, ataupun dari
faktor-faktor eksternal.
Hal itu menurut mereka sangatlah
sederhana. Jika perbuatan itu baik, maka untuk dikerjakan. Dan jika perbuatan
itu buruk, maka untuk ditinggalkan. Al-Maturidi memaparkan bahwa akal
mengetahui sifat baik dalam yang baik dan mengetahui sifat buruk dalam yang
buruk. Dengan demikian akal juga memahami berbuat baik itu baik dan berbuat
buruk itu buruk. Dan akal selanjutnya memerintahkan manusia untuk melakukan
kebaikan dan meninggalkan keburukan[1]. Hal ini juga dipahami oleh Hanafiyyah[2].
Argumen yang ditampilkan
Maturidiyyah untuk menguatkan pendapatnya adalah apabila baik dan buruk
tidak dapat diketahui kecuali dengan syara’, maka pada hakikatnya antara
shalat dan zina adalah sama. Oleh karena itu, jika dijustifikasi salah satunya
sebagai kewajiban dan lainnya sebagai keharaman, maka hal tersebut tidak
mendasar. Di samping itu, jika keduanya hanya bergantung pada wahyu, maka
adanya utusan agama merupakan bencana bagi alam. Dengan kata lain, sesungguhnya
sebelum adanya agama dan diutusnya para Nabi –‘alaihim al-salam, manusia
dalam keadaan mutlak merdeka, karena tidak ada aturan yang mengikat. Mereka
bisa berbuat sekehendak hati dan melarang perbuatan yang mereka benci.
Merekapun tidak memikirkan imbalan <!--[if !mso]> <!
st1\:*{behavior:url(#ieooui) } -->
dan hukuman sebagai dampak perbuatan mereka. Kemudian utusan
datang dengan membawa syari’at yang membatasi itu semua sehingga
terbelah menjadi dua; halal dan haram, iman dan kufur, serta surga dan neraka.
Maka sekali lagi, adanya tasyri’ ini dapat memberikan madlarat
bagi mereka. Padahal ini tidak benar, karena adanya utusan merupakan rahmat
bagi seluruh alam.
Setelah ditelaah lebih jauh, ternyata paham yang dipegang
Maturidiyyah ini terbelah menjadi dua sebagaimana dalam memahami masalah
ketuhanan di atas. Namun, redaksi yang digunakan Wahbah al-Zuhayli bukan
Maturidiyyah Samarkand dan Bukhara, melainkan mutaqaddimu al-Maturidiyyah dan
muta’akhiruhum[1]. Perbedaan yang ada adalah seputar belum atau
sudah datangnya syara’ atas manusia dan konsekwensinya.
Mutaqaddimun
menyatakan
akal terkadang dapat meraba dan menentukan hukum-hukum Tuhan, seperti wajibnya
iman dan haramnya kufur. Hal ini terlepas dari belum atau sudah sampainya
wahyu. Bahkan, anak kecil yang telah berakal juga dapat melakukannya. Oleh
karenanya, tanggung jawab seorang hamba tergantung kemampuan akalnya. Siapa
saja yang tidak beriman, maka akan dihukum jika Tuhan tidak mengampuninya. Abu
Hanifah berkata: “Tidak ada alasan bagi seseorang dalam ketidaktahuannya
mengenai sang Pencipta, karena pada dasarnya akal dapat meraba bukti-bukti yang
telah ada.” Maksudnya adalah setelah adanya perenungan yang mendalam. Karena
akal sebagai pengganti dakwah Rasul dalam memperingatkan hati manusia. Dan
lamanya perenungan ini berbeda-beda antara satu dengan lainnya karena kemampuan
akal yang berbeda-beda pula. Kalangan ini sejalan dengan Mu’tazilah mengenai
penilaian terhadap segala hal yang tampak baik ataupun buruk. Akan tetapi,
mereka tidak menyatakan manusia wajib diberi balasan sesuai perbuatannya
sebelum adanya wahyu sebagaimana pendapat Mu’tazilah. Karena bagaimanapun juga
Tuhan tidak dapat dituntut mengenai hal itu. Kewenangan dan kekuasaan Tuhan
sangat mutlak.
Sedangkan muta’akhirun mengatakan
baik dan buruk dapat dijangkau akal, sebagaimana pendapat Mu’tazilah. Akan
tetapi yang membedakannya dengan Mu’tazilah adalah baik dan buruk tidak sampai
menyebabkan tuntutan hukum terhadap manusia. Karena sumber hukum hanyalah
Tuhan. Segala sesuatu yang tidak dihukumi tidak ada hukum atasnya. Oleh
karenanya, mereka mensyaratkan adanya dakwah dalam penentuan tuntutan terhadap
manusia. Hal ini yang tidak dianut oleh Mu’tazilah ataupun mutaqaddimun[2].
Kalangan lainnya yang berpedoman terhadap potensi akal
Mu’tazilah. Tidak terkecuali dalam membahas masalah baik dan buruk. Menurut
mereka, tidak perlu bantuan wahyu dalam mengetahui baik dan buruk. Wahyu dengan
muatan syara’ berfungsi sebagai penguat hukum yang telah diidentifikasi
akal. Di samping itu, wahyu berfungsi untuk mengetahui tata cara beribadah
kepada Tuhan, kadar imbalan dan hukuman Tuhan, juga untuk mengingatkan manusia
jika mereka lalai.
Menurut pandangan Mu’tazilah, kemampuan akal untuk
mengidentifikasi baik dan buruk terbagi menjadi tiga. Pertama, kemampuan
tersebut bersifat pasti dan spontan, seperti baiknya jujur yang bermanfaat dan
buruknya dusta yang membawa madlarat. Kedua, akal dapat memilah
baik dan buruk setelah adanya proses penalaran panjang. Hal ini seperti adanya
kerugian dalam kejujuran bagi sebagian orang, ataupun adanya manfaat dalam
kedustaan bagi sebagian lainnya. Proses penalaran panjang dalam kedua masalah
ini menunjukkan kepada manusia bahwa terkadang sesuatu yang pada dasarnya baik
dapat berubah menjadi buruk sesuai dengan madlarat yang menimpa pelakunya.
Ataupun sebaliknya, suatu yang dianggap buruk pada dasarnya dapat menjadi baik
sesuai dengan mashlahah yang diterima pelakunya.
Ketiga,
akal dapat mengidentifikasi baik dan buruk dengan optimal setelah adanya wahyu[1]. Jika saja wahyu tidak ada, maka akal tidak dapat
mengidentifikasinya dengan jelas. Hal ini menurut mereka, wahyu hanya sebagai
penguat dan penjelas terhadap sesuatu yang diterima akal dengan samar. Satu
contoh, akal menyatakan shalat itu baik. Namun, akal tidak dapat menentukan
tata cara, waktu, dan bilangan rakaat shalat yang disebut baik itu. Sehingga
datangnya wahyu hanya membantu apa yang telah dinyatakan akal sebelumnya, yaitu
shalat itu baik. Adapun tata cara, waktu, dan bilangan rakaat shalat akal tidak
dapat menjangkaunya.
Mengenai esensi baik dan buruk,
dalam tubuh Mu’tazilah terdapat perselisihan. Mutaqaddimu al-mu’tazilah
beranggapan baik dan buruk dalam suatu perbuatan merupakan hakikat perbuatan
itu sendiri. Timbulnya label baik dan buruk tidak disebabkan faktor eksternal
sebagai akibatnya. Sehingga dengan pendapat ini, terjadi peluang kemungkinan
bahwa meskipun akibat perbuatan itu buruk, tetap diyakini baik. Sedangkan
menurut al-Jubba’iyyah[2], baik dan buruk itu ditentukan oleh sifat yang tidak
berlawanan yang terdapat di dalamnya. Bahkan, sebagian kalangan Mu’tazilah
lainnya beranggapan baik dan buruk bukanlah sifat ataupun hakikat perbuatan
itu, melainkan dari faktor eksternal yang berbeda-beda menurut mashlahah yang
diterima pelakunya[3].
Pendapat yang terakhir ini memungkinkan mengakomodir perbuatan yang pada
dasarnya buruk dapat masuk ke dalamnya. Misalnya pencurian yang berdalih
hasilnya diserahkan kepada fakir miskin. Perbuatan ini pada dasarnya buruk, namun
jika dilihat akibatnya dapat dikategorikan baik.
SAKLEK (sakelijk).
Bagaimana jika fiqih itu SAKLEK? Saklek memiliki
arti tidak bisa ditawar-tawar lagi atau harus dilakukan. Dalam komunikasi,
pengertian dan kelapangan dada untuk mengerti kondisi lawan bicara sangatlah
dibutuhkan. Sikap saklek
seolah membuat lawan bicara dituntut untuk melakukan keinginan yang memuaskan
Anda. Komunikasi yang baik seharusnya bisa menempatkan kepentingan bersama di
atas kepentingan dan keinginan pribadi. Komunikasi yang saklek akan membuat
lawan bicara tak nyaman saat berkomunikasi dengan Anda.LETTERLIJK ZAKELIJK, jadi "saklek" alias
ndak bisa/mau fleksibel. Padahal arti aslinya berarti "business" verdieping,
jadi lantai atas yang dibuat dari beton.
Sakileknya fiqih, ada pengelompokan
pemikiran Islam, terbagi kedalam Islam
pluralis, Islam liberal, dan Islam substantif telah masuk ke dalam
relung-relung masyarakat dan budaya Islam melalui banyak tulisan. Hal ini
terjadi sebagai proses interaksi pemikiran, meskipun pemasungan dan hujatan
dari kelompok-kelompok yang tidak sepaham, telah dapat dihindari, model
pemikiran Islam kategoritatif tidak pernah akan surut.
Islam
Sebagai Syari’ah
Lapangan syari’ah lebih luas daripada
lapangan fiqih, karena lapangan syari’ah adalah apa saja yang tercakup dalam
ilmu tauhid, ilmu fiqih dan ilmu tasawuf / akhlaq. Atau dengan kata lain, fiqih
adalah sebagian dari isi syari’ah, karena pengertian syari’ah ialah keseluruhan
agama bukan fiqih ansich. Segi pemisahan yang lain ialah bahwa fiqih
tidak mendapat kedudukan dan penghormatan yang tinggi seperti syari’ah, karena
fiqih sebagai ilmu adalah hasil pikiran manusia, sedang syari’ah datang dari
Tuhan.
Fiqih
Sebagai Hasil Interpretasi Syari’ah
Dalam epistomologi keilmuan Islam
klasik, Fiqih sebagai salah satu cabang keilmuan dalam Islam seakan topik
bahasan yang tidak ada habisnya, topik-topik keilmuan fiqih pada zaman klasik
dianggap sebagai (mahadewa) yang tiada tandingannya. Konsepsi tentang fiqih
yang dianggap sebagai (Undang-Undang Ketiga) dan yang berkuasa mengatur
kehidupan umat Islam seakan menyamai popularitas dari (Teologi Kalam) yang
pernah ada dan mensejarah dalam kazanah keilmuan Islam.
Fiqih klasik yang diplot menjadi produk ilmu hukum Islam yang mengatur pelaksanaan ibada-ibadah ritual, yang menguraikan tentang detail perilaku Muslim dan kaitannya dengan lima prinsip pokok (wajib, sunnah, haram, makruh, mubah), serta yang membahas tentang hukum-hukum kemasyarakat (muamalat), sampai saat ini dirasa oleh sebagian kalangan sebagai ilmu yang sempurna, dan seakan tidak akan pernah tergoyahkan dan bahkan tidak sedikit dari berbagai kalangan tersebut melestarikan tadisi fiqih yang menjadi produk keilmuan pada masa lalu.
Sebuah pertanyaan besar yang ada di
masa sekarang adalah, apakah fiqih klasik masih dapat dan bisa digunakan
sebagai solusi untuk menjawab persoalan-persoalan ke-ummatan, sedangkan fiqih
klasik adalah produk lama yang dimiliki ummat Islam, dan dengan melihat motif,
illat (sebab), dan kondisi sosial yang jauh berbeda dengan masa sekarang,
apakah pola fikir klasik juga tidak perlu direkontruksi? Jawaban dari pertanyaan itulah yang mendasari pemikiran imajiner tehadap
kemunculan istilah fiqih kontemporer dengan berlandaskan dari sebuah Ijtihad
kontemporer.
Dalam masa sekarang ini, kelompok Islam modernis (kontemporer) yang
dimotori oleh para pembaharu Islam seperti Yusuf Al-Qordhawi dan yang lain,
memandang bahwa kajian fiqih seharusnya tidak saklek dan menjustifikasi sebuah
hukum pada masa lampau sebagai sebuah kebenaran mutlaq, dan harusnya fiqih
menjadi bahasan aktulal yang mendorong terhadap adanya kemungkinan untuk
melakukan sebuah Ijtihad baru yang benar dan dipertanggungjawabkan . Pendapat
ini didasarkan atas pemikiran bahwa dalam sejarah fiqih Islam, fungsi Ijtihad
ini pernah mengalami kemandekan, karena munculnya institusi ijtihad yang telah
dibatasi oleh kelembagaan para mujtahid mutlaq, seperti istitusi empat Imam
Mazhab yang sangat populer.
Senada dengan pertimbangan di atas, banyak dari beberapa tokoh kontemporer yang menyatakan bahwa akibat dari timbulnya empat mazhab, ummat Islam banyak mengalami kemunduran dan era taqlid yang begitu panjang, dan terlepas dari kualitas dasar-dasar fiqih (Ushul Fiqih dan Qawaidul Fiqih) yang telah ditatarkan oleh para imam tersebut , disisi lain mereka menganggap bahwa persoalan keilmuan fiqih tidak hanya berhenti di situ saja, persoalan sosial yang masuk dalam kajian ilmu fiqih selalu berkembang sesuai dengan konteks dan perkembangan zaman.
Nalar-kritis
Metode-metode Klasik
Perkembangan pemikiran keislaman dalam sepanjang sejarahnya telah
menunjukkan adanya varian-varian yang khas sesuai dengan semangat zamannya.
Varian-varian itu berupa semacam metode, visi, dan kerangka berpikir yang
berbeda-beda antara satu pemikiran dengan pemikiran lainnya.
Ajaran dan semangat Islam akan bersifat universal (melintasi batas-batas
zaman, ras, dan agama), rasional (akal dan hati nurani manusia sebagai partner
dialog), dan necessary (suatu keniscayaan dan keharusan yang fitri),
tetapi respon historis manusia dimana tantangan zaman yang mereka hadapi sangat
berbeda dan bervariasi, maka secara otomatis akan menimbulkan corak dan
pemahaman yang berbeda pula. Dalam konteks ini, ijtihad merupakan
sesuatu yang tak pernah ditutup tetapi harus selalu digelorakan.
Dalam kontek mengelorakan ijtihad, Ilmu ushul Fiqih merupakan
perangkat metodologi baku yang telah dibuktikan perannya oleh para pemikir
Islam semisal Imam mazhab dalam menggali hukum Islam, dan dalam bidang yang
lain, dari sumber aslinya (al-Qur’an dan as-Sunnah). Namun dewasa ini fiqih
Islam dianggap mandul karena peran kerangka teoritik ilmu ushul fiqih dirasa
kurang relevan lagi untuk menjawab problem kontemporer. Hal ini memunculkan
kesulitan-kesulitan dalam menjawab problem kontemporer.
Kesulitan-kesulitan yang dihadapi pemikiran Islam kontemporer menjadi
lebih akut oleh kenyataan bahwa penggunaan metode muslim klasik tidak dapat
dengan mudah menggantikan tugas menanggulangi ketidakcukupan ilmu-ilmu Barat.
Ini karena ilmu-ilmu klasik dengan sendirinya tidak memadai untuk mengarahkan
aktivitas-aktivitas ilmiah modern. Ketidak cukupan ini telah menjadi sorotan
sejumlah pakar muslim. Al-Faruqi misalnya menyatakan bahwa ketidakcukupan
metode-metode tersebut terungkap dalam dua kecenderungan yang saling
berlawanan secara diametral. Kecenderungan pertama adalah pembatasan
lapangan ijtihad ke dalam penalaran legalistik yakni memasukkan problem-problem
modern di bawah kategori-kategori legal, sehingga dengan cara demikian
mereduksi mujtahid kepada faqih (jurist) dan mereduksi ilmu ke
dalam fiqih. Kecenderungan kedua adalah menghilangkan seluruh criteria
dan standar rasional dengan menggunakan "metodologi yang murni intuitif
dan esoteris".
Keprihatinan serupa juga disampaikan oleh Abdul Hamid Sulayman yang
mengaitkan krisi intelektualisme muslim modern dengan ketidakcukupan
metodologis yang menimpa pemikiran muslim kontemporer, yang memanifestasikan
dengan sendirinya dalam penggunaan pola pikir yang semata-mata linguistik dan
legalistik. Konsekuensinya meskipun seorang faqih dididik untuk
menangani problem-problem legal spesifik, kenyataannya dia terus dipahami
sebagai orang yang serba bisa, intelektual universal yang mampu memecahkan
seluruh problem masyarakat modern. Akibatnya untuk menjawab problem-problem
kontemporer masih selalu mengandalkan informasi dari kitab-kitab klasik secara
tektual tanpa diimbangi kemauan menangkap makna substansinya apalagi metode
berpikirnya.
Aspek lain dari ketidakcukupan metode-metode klasik diungkapkan oleh
Muna Abu Fadl. Alasan metode klasik tidak memadai, menurutnya, adalah bahwa
bila studi fenomena sosial mengharuskan suatu pendekatan holistic yang dengan
cara itu relasi-relasi sosial disistematisasikan menurut aturan-aturan
universal, metode klasik bersifat atomistik yang pada dasarnya disandarkan pada
penalaran analogis. Oleh karenanya, kiranya cukup alasan jika muncul banyak
tawaran metodologi baru dari para pakar Islam kontemporer dalam usaha menggali
hukum Islam dari sumber aslinya untuk disesuaikan dengan dinamika kemajuan
zaman.
Kenyataan ini tidak bisa ditolak karena fenomena keangkuhan modernitas
dan industrialisasi global telah menghegemoni seluruh lini kehidupan anak
manusia sehingga memicu dinamika pemikiran Islam kontemporer dengan segala
perangkat-perangkatnya termasuk metodologi ushul al-fiqh dan qawaid
al-Fiqhiyyah. Dinamika yang dimaksud adalah bahwa perlu dilakukan upaya
inkorporasi wahyu ke dalam penelitian ilmiah guna membebaskan sarjana- sarjana
muslim dari paksaan epistemologi Barat. Hal ini merupakan pekerjaan besar yang
harus dilakukan dalam rangka membangun cita diri Islam di tengah kehidupan
modern yang senantiasa berubah dan berkembang. Di Indonesia pada dasawarsa
terakhir telah muncul perkembangan pemikiran hukum Islam yang disesuaikan
dengan kondisi riil kehidupan di Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh
kesadaran bahwa fiqih klasik sudah tidak mampu menjawab persoalan-persoalan
kontemporer.
Fikih
Kontemporer Sebagai Korporasi Wahyu
dan Metode Ilmiah (Pendekatan Burhani)
Menjadi kebiasaan para mujtahid, mereka
tidak pernah memaksakan hasil ijtihadnya kepada orang lain untuk mengikutinya,
bahkan mempersilahkan meninggalkannya ketika didapatkan hasil ijtihad yang
lebih valid.
Pada zaman modern, Islam berada dalam ujian yang sangat berat, khususnya
ujian epistemologis. Ilmu ushul fiqih yang mestinya dapat berperan sebagai
metodologi baku bagi seluruh pemikiran intelektual Islam, dipersempit wilayah
kerjanya hanya terbatas dalam bidang hukum Islam. Oleh karenanya sangat
beralasan jika dikatakan bahwa kemunduran fiqih Islam dikarenakan kurang
relevannya perangkat teoritik ilmu ushul fiqih untuk memecahkan masalah-masalah
kontemporer. Hal inilah yang kemudian menjadikan pekerjaan besar bagi para pemikir
Islam untuk merumuskan dan memberikan solusi intelektual terhadap permasalahan
tersebut. Al-Jabiri misalnya melihat ada tiga tipologi dalam wacana pemikiran
Islam, yaitu modernis (‘asraniyyun, hadathiyyun), tradisionalis (salafiyyun),
dan eklektis (taufiqiyyun). Menurut al-Jabiri, bahwa tipologi itu
terjadi karena terdapat relasi signifikan pada titik tertentu antara satu
konstruksi pemikiran dengan realitas sosial sebagai respon dan dialektika
pemikiran terhadap fenomena yang sedang terjadi dan berkembang di masyarakat.
Doktrin ideal yang bersumber dari wahyu Tuhan, ternyata tidak mampu
berhadapan dengan ujian yang satu ini, sehingga wahyu menjadi tidak dapat
“difungsikan” dan “dirasakan” sebagai mana mestinya”. Demikian, agar wahyu ini
dapat “difungsikan” dan “dirasakan” sebagai mana mestinya, manusia harus
mengerti dan memahami substansi nilai yang terkandung di dalamnya. Manusia
harus melakukan apresiasi intelektuil atas “doktrin ideal” tersebut yang
ditopang dengan kerangka metodologi yang tepat. Prasarat yang harus ditepati
adalah harus ada “kesepakatan” untuk melakukan pemahaman intelektual bahwa
agama adalah sistem simbolik yang tidak cukup difahami sebagai formula-formula
abstrak tentang kepercayaan dan nilai saja.
Apresiasi atas agama harus dilakukan pengungkapan makna dibalik teks
kemudian dilakukan penafsiran. Dari sana akan tergambarkan bahwa Islam adalah
ajaran yang dinamis. Dinamisme itu berada di antara Islam Ideal dan Islam
Sejarah. Kedinamisan itu terletak dalam ajarannya yang menganjurkan agar akal
dapat memahami ayat atau tanda yang terdapat dalam ayat. Di situlah Islam
mengenal konsep ijtihad yang digunakan sebagai metode untuk
merekonstruksi pemikiran Islam. Melalui cara seperti ini seorang mujtahid dapat
memastikan posisi akal pikirannya dalam mencampuri hukum Allah. Ini berarti,
antara akal dan wahyu harus ditempatkan pada posisi yang proporsional dalam
artian bahwa wahyu tidak akan mengebiri akal tetapi akal dalam perannya tidak
boleh melampaui wahyu karena, kebenaran wahyu bersifat mutlak dan kebenaran
akal manusia bersifat relatif (nisbi). Keduanya tidak boleh saling
menegasikan tetapi harus berkelindan untuk memberikan solusi terhadap
problematika kehidupan. Karena wahyu sebagai teks suci dan problematika sebagai
realita pada hekekatnya berasal dari sumber yang sama. Oleh karenanya dalam
memahami teks harus tidak boleh terlepas dari konteks.
Hal itu penting, karena kalau kita mencoba mengkontekkan antara nash
(teks suci) dan al-Waqi’ (kenyataan) maka prasarat yang harus dipahami
adalah bahwa keduanya merupakan dua wilayah yang jika dapat dikawinkan maka
akan memunculkan pemahaman yang komprehensip. Corak dalam membaca teks menurut
asy-Syatibi ada tiga yaitu qira’ah salafiyyah, qira’ah ta’wiliyyah, dan
qira’ah maqashidiyyah. Sementara dalam wilayah al-Waqi’ ada
beberapa disiplin ilmu yang digunakan dalam memahami fenomena-fenomena sosial,
politik dan sebagainya misalnya sosiologi, antropologi, dan seterusnya. Pada
wilayah inilah metode ilmiah cukup baik untuk menjadi komandan kajian. Dengan
demikian idealnya adalah ketika melakukan pembacaan teks kemudian dikontekkan
pada fenomena sosial seharusnya tidak boleh meninggalkan disiplin ilmu dengan
segala perangkat metode ilmiah yang ada pada wilayah al-Waqi’. Jika
tidak maka pemahaman atas teks tersebut akan out of date, sehingga tidak
applicable.
Pemikiran Islam
Kontemporer; Contoh Kasus Sosial-Kemanusiaan
Kemunculan kasus-kasus aktual yang mengiringi zaman modern dan arus
globalisasi seperti sekarang yang terjadi dalam konteks kekinian. Seperti pertama,
kesehatan seperti kasus aborsi dan penjual belian organ tubuh mayat, seakan
memperjelas bahwasnya fiqih masa klasik harus dicermati ulang dan
direkonstruksi kembali, karena sudah jelas bahwa produk fiqih dibuat
permasalahan-permasalahan tersebut belum ada, dan secara dialektika maka fiqih
klasik tidak akan mampu menjawab persoalan-persoalan tersebut.
Kasus lain kedua yang menjadi agenda dari format fiqih dan Ijtihad kontemporer adalah kasus ibadah haji. Seperti kita tahu semua, ibadah haji adalah ibadah yang bukan hanya melibatkan sang Kholiq (Allah SWT) dengan makhluq-Nya, karena dalam prosesi ibadah hajji terdapat interaksi sosial antar manusia. Banyaknya kasus menyedihkan sekaligus mencengangkan seperti meninggalnya jama’ah haji pada saat pelemparan jumrah aqabah karena terinjak-injak oleh sesama jama’ah haji yang lain dan berbagai kasus yang lain dan mengakibatkan meninggalnya jama’ah haji.
Dari beberapa kasus di atas seakan menjali cambuk betapa besar agenda
tentang rekonsrtuksi terhadap metodologi hokum Islam klasik yang menjadi
cakupan fiqih harus segera dilaksanaksan.
Penulis tertarik pada apa yang ditulis oleh: Khusnul Azhar, bahwa dalam
pandangan fiqih baru, syariah diharapkan tidak lagi bercorak vertikalistik, yang hanya mengupas hubungan
manusia dengan Tuhan, melainkan proses ijtihad ini di arahkan pada
masalah-masalah kemanusiaan. Fiqih kontemporer harus didesak kearah
problema-probelama aktual. Dengan mendinamiskan format fiqih yang seperti ini,
diharapkan menjadi langkah awal untuk merekonstruksi syariah dari wajahnya yang
statis, eksklusif dan diskriminatif menjadi wajah syariah yang dinamis,
eksklusif, egaliter, rasional, empirik dengan tetap bermuara pada ranah
transedental.
Penutup
Dengan kehadiran dari konsep dan format tentang fiqih kontemporer yang dihasilkan lewat sebuah proses yang kontemporer, seakan membawa angin segar dalam khazanah keilmuan Islam dalam mengartikan dan mengamalkan syariah Islam dengan penuh nitatan ikhlas dan selalu di bangun atas dasar mencari ridho Allah SWT. Fiqih kontemporer juga seakan memberikan solusi yang amat sangat signifikan untuk menjawab masalah-masalah ke-ummmat-an yang terjadi pada masa kekinian.
Diharapkan dalam format fiqih kontemporer kita sebagai manusia
yang aktif dengan berbagai perkembangan yang mengikuti lebih dapat dihargai
eksistensinya, dengan segala kekekurangan yang ada. Pada akhirnnya kita sebagai
manusia yang hanya diberi sedikit rasio dari semua kebenaran hakiki yang di
punyai oleh Allah, berusaha semaksimal mungkin menjalankan apa yang telah di
perintahkan sesuai dengan kemapuan keterbatasan kita.
No comments:
Post a Comment