PENDIDIKAN YANG
CACAT SISI KEPRIBADIAN
M.Rakib, LPMP Riau
Indonesia.2014
CACAT EPISTIMOLOGI BERPNGARUH TERHADAP PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN
Menyontek atau membeli kunci jawaban bangi siswa
SMA- SMP..sangat berpengaruh terhadap kepribadian yang dimiliki siswa atau seseorang
melalui kebiasaan yang tidak baik ia
dilahirkan dan disekolahkan. Lalu apakah yang dapat ketahui tentang cacatnya kepribadian?
1. Pengertian Kepribadian
Kepribadian menunjuk pada pengaturan sikap-sikap
seseorang untuk berbuat, berpikir, dan merasakan, khususnya apabila dia
berhubungan dengan orang lain atau menanggapi suatu keadaan. Kepribadian
mencakup kebiasaan, sikap, dan sifat yang dimiliki seseorang apabila
berhubungan dengan orang lain. Konsep kepribadian merupakan konsep yang sangat
luas, sehingga sulit untuk merumuskan satu definisi yang dapat mencakup
keseluruhannya. Oleh karena itu, pengertian dari satu ahli dengan yang lainnya
pun juga berbeda-beda. Namun demikian, definisi yang berbeda-beda tersebut saling melengkapi
dan memperkaya pemahaman kita tentang konsep kepribadian. Apakah kepribadian
itu? Secara umum yang dimaksud kepribadian adalah sifat hakiki yang tercermin
pada sikap seseorang yang membedakan dengan orang lain. Untuk memahami lebih
jauh mengenai pengertian kepribadian, berikut ini definisi yang dipaparkan oleh
beberapa ahli.
a. M.A.W. Brower
Kepribadian adalah corak tingkah laku sosial yang meliputi
corak kekuatan, dorongan, keinginan, opini, dan sikap-sikap seseorang.
b. Koentjaraningrat
Kepribadian adalah suatu susunan dari unsur-unsur
akal dan jiwa yang menentukan tingkah laku atau tindakan seseorang.
c. Theodore R. Newcomb
Kepribadian adalah organisasi sikap-sikap yang
dimiliki seseorang sebagai latar belakang terhadap perilaku.
d. Yinger
Kepribadian adalah keseluruhan perilaku dari
seorang individu dengan sistem kecenderungan tertentu yang berinteraksi dengan
serangkaian situasi.
e. Roucek dan Warren
Kepribadian adalah organisasi faktor-faktor
biologis, psikologis, dan sosiologis yang mendasari perilaku seseorang. Dari
pengertian yang diungkapkan oleh para ahli di atas, dapat kita simpulkan secara
sederhana bahwa yang dimaksud kepribadian ( personality ) merupakan ciri-ciri dan
sifat-sifat khas yang mewakili sikap atau tabiat seseorang, yang mencakup
polapola pemikiran dan perasaan, konsep diri, perangai, dan mentalitas yang
umumnya sejalan dengan kebiasaan umum.
2. Unsur-Unsur dalam Kepribadian
Kepribadian seseorang bersifat unik dan tidak ada
duanya. Unsur-unsur yang memengaruhi kepribadian seseorang itu adalah
pengetahuan, perasaan, dan dorongan naluri.
a. Pengetahuan
Pengetahuan seseorang bersumber dari pola pikir
yang rasional, yang berisi fantasi, pemahaman, dan pengalaman mengenai
bermacam-macam hal yang diperolehnya dari lingkungan yang ada di sekitarnya.
Semua itu direkam dalam otak dan sedikit demi sedikit diungkapkan dalam bentuk
perilakunya di masyarakat.
b. Perasaan
Perasaan merupakan suatu keadaan dalam kesadaran
manusia yang menghasilkan penilaian positif atau negatif terhadap sesuatu atau
peristiwa tertentu. Perasaan selalu bersifat subjektif, sehingga penilaian seseorang
terhadap suatu hal atau kejadian akan berbeda dengan penilaian orang lain.
Contohnya penilaian terhadap jam pelajaran yang kosong. Mungkin kamu menganggap
sebagai hal yang tidak menyenangkan karena merasa rugi tidak memperoleh
pelajaran. Lain halnya dengan penilaian temanmu yang menganggap sebagai hal
yang menyenangkan. Perasaan mengisi penuh kesadaran manusia dalam hidupnya.
c. Dorongan Naluri
Dorongan naluri merupakan kemauan yang sudah
menjadi naluri setiap manusia. Hal itu dimaksudkan untuk memenuhi berbagai
kebutuhan hidup manusia, baik yang bersifat rohaniah maupun jasmaniah.
Sedikitnya ada tujuh macam dorongan naluri, yaitu untuk mempertahankan hidup,
seksual, mencari makan, bergaul dan berinteraksi dengan sesama manusia, meniru
tingkah laku sesamanya, berbakti, serta keindahan bentuk, warna, suara, dan
gerak.
3. Faktor-Faktor yang Membentuk
Kepribadian
Secara umum, perkembangan kepribadian dipengaruhi
oleh lima faktor, yaitu warisan biologis, warisan lingkungan alam, warisan
sosial, pengalaman kelompok manusia, dan pengalaman unik.
a. Warisan Biologis (Heredity)
Warisan biologis memengaruhi kehidupan manusia
dan setiap manusia mempunyai warisan biologis yang unik, berbeda dari orang
lain. Artinya tidak ada seorang pun di dunia ini yang mempunyai karakteristik fisik yang
sama persis dengan orang lain, bahkan anak kembar sekalipun. Faktor keturunan
berpengaruh terhadap keramah-tamahan, perilaku kompulsif (terpaksa dilakukan),
dan kemudahan dalam membentuk kepemimpinan, pengendalian diri, dorongan hati,
sikap, dan minat. Warisan biologis yang terpenting terletak pada perbedaan
intelegensi dan kematangan biologis. Keadaan ini membawa pengaruh pada
kepribadian seseorang. Tetapi banyak ilmuwan berpendapat bahwa perkembangan
potensi warisan biologis dipengaruhi oleh pengalaman sosial seseorang. Bakat
memerlukan anjuran, pengajaran, dan latihan untuk mengembangkan diri melalui
kehidupan bersama dengan manusia lainnya.
b. Warisan Lingkungan Alam (Natural
Environment)
Perbedaan iklim, topografi, dan sumber daya alam
menyebabkan manusia harus menyesuaikan diri terhadap alam. Melalui penyesuaian
diri itu, dengan sendirinya pola perilaku masyarakat dan kebudayaannyapun
dipengaruhi oleh alam. Misalnya orang yang hidup di pinggir pantai dengan mata
pencaharian sebagai nelayan mempunyai kepribadian yang berbeda dengan orang
yang tinggal di daerah pertanian. Mereka memiliki nada bicara yang lebih keras
daripada orang-orang yang tinggal di daerah pertanian, karena harus menyamai
dengan debur suara ombak. Hal itu terbawa dalam kehidupan sehari-hari dan telah
menjadi kepribadiannya.
c. Warisan Sosial (Social
Heritage) atau Kebudayaan
Kita tahu bahwa antara manusia, alam, dan
kebudayaan mempunyai hubungan yang sangat erat dan saling memengaruhi. Manusia
berusaha untuk mengubah alam agar sesuai dengan kebudayaannya guna memenuhi
kebutuhan hidup. Misalnya manusia membuka hutan untuk dijadikan lahan
pertanian. Sementara itu kebudayaan memberikan andil yang besar dalam
memberikan warna kepribadian anggota masyarakatnya.
d. Pengalaman Kelompok Manusia (Group
Experiences)
Kehidupan manusia dipengaruhi oleh kelompoknya.
Kelompok manusia, sadar atau tidak telah memengaruhi anggota-anggotanya, dan
para anggotanya menyesuaikan diri terhadap kelompoknya. Setiap kelompok
mewariskan pengalaman khas yang tidak diberikan oleh kelompok lain kepada
anggotanya, sehingga timbullah kepribadian khas anggota masyarakat tersebut.
e. Pengalaman Unik ( Unique
Experience )
Setiap orang mempunyai kepribadian yang berbeda
dengan orang lain, walaupun orang itu berasal dari keluarga yang sama,
dibesarkan dalam kebudayaan yang sama, serta mempunyai lingkungan fisik yang
sama pula. Mengapa demikian? Walaupun mereka pernah mendapatkan pengalaman yang
serupa dalam beberapa hal, namun berbeda dalam beberapa hal lainnya. Mengingat
pengalaman setiap orang adalah unik dan tidak ada pengalaman siapapun yang
secara sempurna menyamainya.
Menurut Paul B. Horton,
pengalaman tidaklah sekedar bertambah, akan tetapi menyatu. Pengalaman yang
telah dilewati memberikan warna tersendiri dalam kepribadian dan menyatu dalam
kepribadian itu, setelah itu baru hadir pengalaman berikutnya.
Selain kelima faktor pembentuk kepribadian yang
telah kita bahas di atas, F.G. Robbins dalam Sumadi Suryabrata
(2003), mengemukakan ada lima faktor yang menjadi dasar kepribadian, yaitu
sifat dasar, lingkungan prenatal, perbedaan individual, lingkungan, dan
motivasi.
a. Sifat Dasar
Sifat dasar merupakan keseluruhan potensi yang
dimiliki seseorang yang diwarisi dari ayah dan ibunya. Dalam hal ini, Robbins
lebih menekankan pada sifat biologis yang merupakan salah satu hal yang
diwariskan dari orang tua kepada anaknya.
b. Lingkungan Prenatal
Lingkungan prenatal merupakan lingkungan dalam
kandungan ibu. Pada periode ini individu mendapatkan pengaruh tidak langsung
dari ibu. Maka dari itu, kondisi ibu sangat menentukan kondisi bayi yang ada
dalam kandungannya tersebut, baik secara fisik maupun secara psikis. Banyak
peristiwa yang sudah ada membuktikan bahwa seorang ibu yang pada waktu
mengandung mengalami tekanan psikis yang begitu hebatnya, biasanya pada saat
proses kelahiran bayi ada gangguan atau dapat dikatakan tidak lancar.
c. Perbedaan Individual
Perbedaan individu merupakan salah satu faktor
yang memengaruhi proses sosialisasi sejak lahir. Anak tumbuh dan berkembang
sebagai individu yang unik, berbeda dengan individu lainnya, dan bersikap
selektif terhadap pengaruh dari lingkungan.
d. Lingkungan
Lingkungan meliputi segala kondisi yang ada di
sekeliling individu yang memengaruhi proses sosialisasinya. Proses sosialisasi
individu tersebut akan berpengaruh pada kepribadiannya.
e. Motivasi
Motivasi adalah dorongan-dorongan, baik yang
datang dari dalam maupun luar individu sehingga menggerakkan individu untuk
berbuat atau melakukan sesuatu. Dorongandorongan inilah yang akan membentuk
kepribadian individu sebagai warna dalam kehidupan bermasyarakat.
4. Teori-Teori Perkembangan Kepribadian
Ada beberapa teori yang membahas mengenai
perkembangan kepribadian dalam proses sosialisasi. Teori-teori tersebut antara
lain Teori Tabula Rasa, Teori Cermin Diri, Teori Diri Antisosial, Teori Ralph
Conton, dan Teori Subkultural Soerjono Soekanto.
a. Teori Tabula Rasa
Pada tahun 1690, John Locke
mengemukakan Teori Tabula Rasa dalam bukunya yang berjudul " An Essay
Concerning Human Understanding." Menurut teori ini, manusia yang
baru lahir seperti batu tulis yang bersih dan akan menjadi seperti apa
kepribadian seseorang ditentukan oleh pengalaman yang didapatkannya. Teori
ini mengandaikan bahwa semua individu pada waktu lahir mempunyai potensi
kepribadian yang sama. Kepribadian seseorang setelah itu semata-mata hasil
pengalaman-pengalaman sesudah lahir (Haviland, 1989:398). Perbedaan pengalaman
yang dialami seseorang itulah yang menyebabkan adanya bermacam-macam
kepribadian dan adanya perbedaan kepribadian antara individu yang satu dengan
individu yang lain.
Teori tersebut tidak dapat diterima seluruhnya.
Kita tahu bahwa setiap orang memiliki kecenderungan khas sebagai warisan yang
dibawanya sejak lahir yang akan memengaruhi kepribadiannya pada waktu dewasa.
Akan tetapi juga harus diingat bahwa warisan genetik hanya menentukan potensi
kepribadian setiap orang. Tumbuh dan berkembangnya potensi itu tidak seperti
garis lurus, namun ada kemungkinan terjadi penyimpangan. Kepribadian seseorang
tidak selalu berkembang sesuai dengan potensi yang diwarisinya.
Warisan genetik itu memang memengaruhi
kepribadian, tetapi tidak mutlak menentukan sifat kepribadian seseorang.
Pengalaman hidup, khususnya pengalaman-pengalaman yang diperoleh pada usia
dini, sangat menentukan kepribadian individu.
b. Teori Cermin Diri
Teori Cermin Diri (The Looking Glass Self)
ini dikemukakan oleh Charles H. Cooley . Teori ini merupakan
gambaran bahwa seseorang hanya bisa berkembang dengan bantuan orang lain.
Setiap orang menggambarkan diri mereka sendiri dengan cara bagaimana
orang-orang lain memandang mereka. Misalnya ada orang tua dan keluarga yang
mengatakan bahwa anak gadisnya cantik. Jika hal itu sering diulang secara konsisten
oleh orang-orang yang berbedabeda, akhirnya gadis tersebut akan merasa dan
bertindak seperti seorang yang cantik. Teori ini didasarkan pada analogi dengan
cara bercermin dan mengumpamakan gambar yang tampak pada cermin tersebut
sebagai gambaran diri kita yang terlihat orang lain.
Gambaran diri seseorang tidak selalu berkaitan
dengan faktafakta objektif. Misalnya, seorang gadis yang sebenarnya cantik,
tetapi tidak pernah merasa yakin bahwa dia cantik, karena mulai dari awal
hidupnya selalu diperlakukan orang tuanya sebagai anak yang tidak menarik.
Jadi, melalui tanggapan orang lain, seseorang menentukan apakah dia cantik atau
jelek, hebat atau bodoh, dermawan atau pelit, dan yang lainnya.
Ada tiga langkah dalam proses pembentukan cermin
diri.
1) Imajinasi tentang pandangan orang lain
terhadap diri seseorang, seperti bagaimana pakaian atau tingkah lakunya di mata
orang lain.
2) Imajinasi terhadap penilaian orang lain
tentang apa yang terdapat pada diri masing-masing orang. Misalnya, pakaian yang
dipakai.
3) Perasaan seseorang tentang penilaian-penilaian
itu, seperti bangga, kecewa, gembira, atau rendah diri.
Meskipun demikian, teori ini memiliki dua
kelemahan yang menjadi sorotan banyak pihak. Apa sajakah itu?
Pertama, pandangan Cooley
dinilai lebih cocok untuk memahami kelompok tertentu saja di dalam masyarakat
yang memang berbeda dengan kelompok-kelompok lainnya. Misalnya anak-anak
belasan tahun, memang peka menerima pendapat orang lain tentang dirinya.
Sedangkan orang dewasa tidak mengacuhkan atau menghiraukan pandangan orang
lain, apabila memang tidak cocok dengan dirinya.
Kedua, teori ini dianggap
terlalu sederhana. Cooley tidak menjelaskan tentang suatu
kepribadian dewasa yang bisa menilai tingkah laku orang lain dan juga dirinya.
c. Teori Diri Antisosial
Teori ini dikemukakan oleh Sigmund Freud
. Dia berpendapat bahwa diri manusia mempunyai tiga bagian, yaitu id,
superego, dan ego.
1) Id adalah pusat nafsu serta dorongan
yang bersifat naluriah, tidak sosial, rakus, dan antisosial.
2) Ego adalah bagian yang bersifat sadar
dan rasional yang mengatur pengendalian superego terhadap id. Ego
secara kasar dapat disebut sebagai akal pikiran.
3) Superego adalah kompleks dari
cita-cita dan nilai-nilai sosial yang dihayati seseorang serta membentuk hati
nurani atau disebut sebagai kesadaran sosial.
Gagasan pokok teori ini adalah bahwa masyarakat
atau lingkungan sosial selamanya akan mengalami konflik dengan kedirian dan
selamanya menghalangi seseorang untuk mencapai kesenangannya. Masyarakat selalu
menghambat pengungkapan agresi, nafsu seksual, dan dorongan-dorongan lainnya
atau dengan kata lain, id selalu berperang dengan superego . Id
biasanya ditekan tetapi sewaktu-waktu ia akan lepas menantang superego,
sehingga menyebabkan beban rasa bersalah yang sulit dipikul oleh diri.
Kecemasan yang mencekam diri seseorang itu dapat diukur dengan bertitik tolak
pada jauhnya superego berkuasa terhadap id dan ego .
Dengan cara demikian, Freud menekankan aspek-aspek tekanan jiwa dan frustasi
sebagai akibat hidup berkelompok.
d. Teori Ralph dan Conton
Teori ini mengatakan bahwa setiap kebudayaan
menekankan serangkaian pengaruh umum terhadap individu yang tumbuh di bawah
kebudayaan itu. Pengaruh-pengaruh ini berbeda antara kebudayaan yang satu
dengan kebudayaan yang lain, tetapi semuanya merupakan bagian dari pengalaman
bagi setiap orang yang termasuk dalam masyarakat tertentu (Horton, 1993:97).
Setiap masyarakat akan memberikan pengalaman tertentu yang tidak diberikan oleh
masyarakat lain kepada anggotanya. Dari pengalaman sosial itu timbul
pembentukan kepribadian yang khas dari masyarakat tersebut. Selanjutnya dari
pembentukan kepribadian yang khas ini kita mengenal ciri umum masyarakat
tertentu sebagai wujud kepribadian masyarakat tersebut.
e. Teori Subkultural Soerjono Soekanto
Teori ini mencoba melihat kaitan antara
kebudayaan dan kepribadian dalam ruang lingkup yang lebih sempit, yaitu
kebudayaan khusus (subcultural). Dia menyebutkan ada beberapa tipe
kebudayaan khusus yang memengaruhi kepribadian, yaitu sebagai berikut.
1) Kebudayaan Khusus Atas Dasar Faktor
Kedaerahan
Di sini dijumpai kepribadian yang berbeda dari
individuindividu yang merupakan anggota suatu masyarakat tertentu, oleh karena
masing-masing tinggal di daerahdaerah yang berlainan dengan kebudayaan khusus
yang berbeda pula.
2) Cara Hidup di Kota dan di Desa yang
Berbeda
Ciri khas yang dapat dilihat pada anggota
masyarakat yang hidup di kota besar adalah sikap individualistik. Sedangkan
orang desa lebih menampakkan diri sebagai masyarakat yang mempunyai sikap
gotong royong yang sangat tinggi.
3) Kebudayaan Khusus Kelas Sosial
Dalam kenyataan di masyarakat, setiap kelas
sosial mengembangkan kebudayaan yang saling berbeda, yang pada akhirnya
menghasilkan kepribadian yang berbeda pula pada masing-masing anggotanya.
Misalnya kebiasaan orang-orang yang berasal dari kelas atas dalam mengisi waktu
liburannya ke luar negeri. Kebiasaan tersebut akan menghasilkan kepribadian
yang berbeda dengan kelas sosial lainnya di masyarakat.
4) Kebudayaan Khusus Atas Dasar Agama
Agama juga mempunyai pengaruh yang besar untuk
membentuk kepribadian individu. Adanya mazhabmazhab tertentu dalam suatu agama
dapat melahirkan kepribadian yang berbeda-beda di kalangan anggotaanggota
mazhab yang berlainan itu.
5) Kebudayaan Khusus Atas Dasar Pekerjaan
atau Keahlian
Pekerjaan atau keahlian yang dimiliki seseorang
juga mempunyai pengaruh terhadap kepribadiannya. Contohnya kepribadian seorang
guru pasti berbeda dengan militer. Profesi-profesi tersebut mempunyai cara yang
berbeda dalam mendidik anak dan cara bergaul.
5. Tahap-Tahap Perkembangan Kepribadian
Tahap-tahap perkembangan kepribadian setiap
individu tidak dapat disamakan satu dengan yang lainnya. Tetapi secara umum
dapat dirumuskan sebagai berikut.
a. Fase Pertama
Fase pertama dimulai sejak anak berusia satu
sampai dua tahun, ketika anak mulai mengenal dirinya sendiri. Pada fase ini,
kita dapat membedakan kepribadian seseorang menjadi dua bagian penting, yaitu
sebagai berikut.
1) Bagian yang pertama berisi unsur-unsur dasar
atas berbagai sikap yang disebut dengan attitudes yang kurang lebih
bersifat permanen dan tidak mudah berubah di kemudian hari. Unsur-unsur itu
adalah struktur dasar kepribadian (basic personality structure) dan capital
personality . Kedua unsur ini merupakan sifat dasar dari manusia yang
telah dimiliki sebagai warisan biologis dari orang tuanya.
2) Bagian kedua berisi unsur-unsur yang terdiri
atas keyakinan-keyakinan atau anggapan-anggapan yang lebih fleksibel yang
sifatnya mudah berubah atau dapat ditinjau kembali di kemudian hari.
b. Fase Kedua
Fase ini merupakan fase yang sangat efektif dalam
membentuk dan mengembangkan bakat-bakat yang ada pada diri seorang anak. Fase
ini diawali dari usia dua sampai tiga tahun. Fase ini merupakan fase
perkembangan di mana rasa aku yang telah dimiliki seorang anak mulai berkembang
karakternya sesuai dengan tipe pergaulan yang ada di lingkungannya, termasuk
struktur tata nilai maupun struktur budayanya.
Fase ini berlangsung relatif panjang hingga anak
menjelang masa kedewasaannya sampai kepribadian tersebut mulai tampak dengan
tipe-tipe perilaku yang khas yang tampak dalam hal-hal berikut ini.
1) Dorongan-Dorongan (Drives)
Unsur ini merupakan pusat dari kehendak manusia
untuk melakukan suatu aktivitas yang selanjutnya akan membentuk motif-motif
tertentu untuk mewujudkan suatu keinginan. Drivers ini dibedakan atas
kehendak dan nafsu-nafsu. Kehendak merupakan dorongan-dorongan yang bersifat
kultural, artinya sesuai dengan tingkat peradaban dan tingkat perekonomian
seseorang. Sedangkan nafsu-nafsu merupakan kehendak yang terdorong oleh
kebutuhan biologis, misalnya nafsu makan, birahi (seksual), amarah, dan yang
lainnya.
2) Naluri (Instinct)
Naluri merupakan suatu dorongan yang bersifat
kodrati yang melekat dengan hakikat makhluk hidup. Misalnya seorang ibu
mempunyai naluri yang kuat untuk mempunyai anak, mengasuh, dan membesarkan
hingga dewasa. Naluri ini dapat dilakukan pada setiap makhluk hidup tanpa harus
belajar lebih dahulu seolah-olah telah menyatu dengan hakikat makhluk hidup.
3) Getaran Hati (Emosi)
Emosi atau getaran hati merupakan sesuatu yang
abstrak yang menjadi sumber perasaan manusia. Emosi dapat menjadi pengukur
segala sesuatu yang ada pada jiwa manusia, seperti senang, sedih, indah,
serasi, dan yang lainnya.
4) Perangai
Perangai merupakan perwujudan dari perpaduan
antara hati dan pikiran manusia yang tampak dari raut muka maupun gerak-gerik
seseorang. Perangai ini merupakan salah satu unsur dari kepribadian yang mulai
riil, dapat dilihat, dan diidentifikasi oleh orang lain.
5) Inteligensi (Intelligence
Quetient-IQ)
Inteligensi adalah tingkat kemampuan berpikir
yang dimiliki oleh seseorang. Sesuatu yang termasuk dalam intelegensi adalah
IQ, memori-memori pengetahuan, serta pengalaman-pengalaman yang telah diperoleh
seseorang selama melakukan sosialisasi.
6) Bakat (Talent)
Bakat pada hakikatnya merupakan sesuatu yang
abstrak yang diperoleh seseorang karena warisan biologis yang diturunkan oleh
leluhurnya, seperti bakat seni, olahraga, berdagang, berpolitik, dan lainnya.
Bakat merupakan sesuatu yang sangat mendasar dalam mengembangkan
keterampilan-keterampilan yang ada pada seseorang. Setiap orang memiliki bakat
yang berbeda-beda, walaupun berasal dari ayah dan ibu yang sama.
c. Fase Ketiga
Pada proses perkembangan kepribadian seseorang,
fase ini merupakan fase terakhir yang ditandai dengan semakin stabilnya
perilaku-perilaku yang khas dari orang tersebut.
Pada fase ketiga terjadi perkembangan yang
relatif tetap, yaitu dengan terbentuknya perilaku-perilaku yang khas sebagai
perwujudan kepribadian yang bersifat abstrak. Setelah kepribadian terbentuk
secara permanen, maka dapat diklasifikasikan tiga tipe kepribadian, yaitu
kepribadian normatif, kepribadian otoriter, dan kepribadian perbatasan.
1) Kepribadian Normatif ( Normative
Man )
Kepribadian ini merupakan tipe kepribadian yang
ideal, di mana seseorang mempunyai prinsip-prinsip yang kuat untuk menerapkan
nilai-nilai sentral yang ada dalam dirinya sebagai hasil sosialisasi pada masa
sebelumnya. Seseorang memiliki kepribadian normatif apabila terjadi proses
sosialisasi antara perlakuan terhadap dirinya dan perlakuan terhadap orang lain
sesuai dengan tata nilai yang ada di dalam masyarakat. Tipe ini ditandai dengan
kemampuan menyesuaikan diri yang sangat tinggi dan dapat menampung banyak
aspirasi dari orang lain.
2) Kepribadian Otoriter ( Otoriter
Man )
Tipe ini terbentuk melalui proses sosialisasi
individu yang lebih mementingkan kepentingan diri sendiri daripada kepentingan
orang lain. Situasi ini sering terjadi pada anak tunggal, anak yang sejak kecil
mendapat dukungan dan perlindungan yang lebih dari lingkungan orang-orang di
sekitarnya, serta anak yang sejak kecil memimpin kelompoknya.
3) Kepribadian Perbatasan ( "text-align:
justify;">Kepribadian ini merupakan tipe kepribadian yang relatif labil
di mana ciri khas dari prinsip-prinsip dan perilakunya seringkali mengalami
perubahan-perubahan, sehingga seolah-olah seseorang itu mempunyai lebih dari
satu corak kepribadian. Seseorang dikatakan memiliki kepribadian perbatasan
apabila orang ini memiliki dualisme budaya, misalnya karena proses perkawinan
atau karena situasi tertentu hingga mereka harus mengabdi pada dua struktur
budaya masyarakat yang berbeda.
Pendidikan
yang yang hanya mengandalkan kelulusan akademis, tidak bermanfaat secara
sosiologis, merupakan pendidikan yang cacat secara epistimologis. Dalam bidang
keagamaan juga demikian, adanya kekerasan yang ditanamkan dalam fiqih keagamaan,
sampai mirip dengan prinsip teroris, merupakan hal yang cacat secara epistimologis.
Misalnya banyak pemikir
kontemporer memandang ushul fiqh klasik tanpa cacat epistemologis apapun,
karena kajian metodelogi klasik yang dikerangkakan ulama’ masa dahulu memang
sudah tuntas dan sempurna, sehingga kewajiban umat yang datang kemudian bukan
untuk mengubahnya, tetapi mengikuti dan melaksanakannya.
Pemikiran
Ushul Fiqh Kontemporer
A.
Di sinilah cendekiawan muslim modern melontarkan
kritikan, mereka menganggap sebuah metodelogi yang sejatinya lahir dari publik
intelektualitas manusia yang nisbi telah diposisikan sebagai suatu yang mutlak tak terbantah.
Mestinya metodelogi islam klasik diletakkan dalam konfigurasi (bentuk wujud)
dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademi
kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan klasik
tersebut.
B
Titik tolak pemikiran tentang perlunya metodologi baru dalam
memahami teks Al-Qur’an dimulai dengan penelitian historisnya mengenai evolusi
perkembangan empat prinsip dasar (Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad dan Ijma’), yang
diungkapkannya dalam buku Islamic Methodology in History (1965).
Pandangan Fazlur Rahman ini dilatarbelakangi oleh pergumulannya dalam
upaya-upaya pembaruan (hukum) Islam di Pakistan, yang kemudian mengantarkannya
pada agenda yang lebih penting lagi; yaitu perumusan kembali penafsiran
Al-Qur’an yang merupakan titik-pusat ijtihadnya
Dalam kajian historisnya ini, Fazlur
Rahman menemukan adanya hubungan organis antara sunnah ideal Nabi s.a.w. dan
aktifitas ijtihad-ijma’. Bagi Fazlur Rahman, sunnah kaum Muslim awal merupakan
hasil ijtihad personal, melalui instrumen qiyas, terhadap sunnah ideal Nabi
s.a.w. yang kemudian menjelma menjadi ijma’ atau sunnah yang hidup. Di sini,
secara tegas Fazlur Rahman menarik garis yang membedakan antara sunnah ideal
Nabi s.a.w. di satu sisi, dengan sunnah hidup kaum Muslim awal atau ijma’
sahabat di sisi lain.
Dengan demikian, ijma’ pada asalnya
tidaklah statis, melainkan berkembang secara demokratis, kreatif dan
berorientasi ke depan. Namun demikian, karena keberhasilan gerakan penulisan
hadis secara besar-besaran menggantikan proses sunnah-ijtihad-ijma’ tersebut,
proses ijtihad-ijma’ terjungkirbalikkan menjadi ijma’-ijtihad. Akibatnya, ijma’
yang tadinya berorientasi ke depan menjadi statis dan mundur ke belakang:
mengunci rapat kesepakatankesepakatan masa lampau. Puncak dari proses reifikasi
(proses pembendaan, pembakuan) ini adalah tertutupnya pintu ijtihad,
sekitar abad ke empat Hijrah atau sepuluh masehi.
Dari hasil kajian historisnya ini, Fazlur Rahman kemudian
menolak doktrin tertutupnya pintu ijtihad, ataupun pemilahannya ke dalam ijtihad
muthlaq, ijtihad fil masail, dan ijtihad fil madzhab. Fazlur
Rahman mengkritik doktrin ini, menurutnya “ijtihad bukanlah hak privilege eksklusif
golongan tertentu dalam masyarakat Muslim”, dia juga menolak kualifikasi ganjil
mengenai ilmu gaib misterius sebagai syarat ijtihad; kemudian dia mengajukan
perlunya memperluas cakupan ranah ijtihad klasik. Hasilnya adalah satu
kesimpulan Fazlur Rahman: ijtihad baik secara teoritis maupun secara praktis
senantiasa terbuka dan tidak pernah tertutup.
Sementara itu untuk mengantisipasi
pertumbuhan ijtihad yang liar, sewenang-wenang, serampangan dan tidak
bertanggung jawab, Fazlur Rahman mengajukan metodologi tafsirnya, yang disusun
belakangan pada periode Chicago. Dalam konteks inilah metodologi tafsir Fazlur
Rahman yang dipandangnya sebagai “the correct prosedure for understanding
the Qur’an” atau “ the correct method of Interpreteting The Qur’an”
memainkan peran sentral dalam seluruh bangunan pemikirannya. Metodologi tafsir
Fazlur Rahman merupakan jantung ijtihadnya sendiri. Hal ini selain didasarkan
pada fakta bahwa Al-Qur’an sebagai sumber pokok ijtihad, juga yang lebih
penting lagi adalah didasarkan pada pandangannya bahwa seluruh bangunan
syari’ah harus diperiksa di bawah sinaran bukti Al-Qur’an:
“Seluruh kandungan syari’ah mesti menjadi sasaran penilikan
yang segar dalam sinaran bukti Al-Qur’an. Suatu penafsiran Al-Qur’an yang
sistematis dan berani harus dilakukan.”
Akan tetapi, persoalannya terleetak pada kemampuan kaum
Muslim untuk mengkonsepsi Al-Qur’an secara benar. Fazlur Rahman menegaskan:
“..bukan
hanya kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah sebagai mana yang dilakukan pada masa
lalu, tetapi suatu pemahaman terhadap keduanyalah yang akan memberikan pimpinan
kepada kita dewasa ini. Kembali ke masa lampau secara sederhana, tentu saja
kembali keliang kubur. Dan ketika kita kembali kepada generasi Muslim awal,
pasti kita temui pemahaman yang hidup terhadap Al-Qur’an dan sunnah.”
b. Muhammad Syahrur
Syahrur mengusung satu model, yaitu kembali ke teks (return
to texts). Apa yang dimaksud dengan kembali ke teks menurut Syahrur adalah
upaya membaca kitab suci dengan perangkat epistemologi yang diturunkan dari
teks suci. Dalam pembacaannya, Syahrur mendasarkan pada asumsi-asumsi dasar
yang dapat kita lihat pada Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-qur’an bahwa ”Jika
Islam bersifat relevan pada setiap ruang dan waktu, maka harus dipahami bahwa
al-Kitab juga diturunkan kepada kita yang hidup dua puluh ini, seolah-olah Nabi
Muhammad baru saja wafat dan telah menyampaikan sendiri kepada kita.”. Oleh
sebab itu, Syahrur memahami al-Kitab dengan nalar zaman abad dua puluh sehingga
al-Kitab dapat merefleksikan problemtika sosial, ekonomi dan politik sesuai
zamannya.
Disini, Syahrur lebih bermain pada linguistik dengan
bersandar pada tiga pondasi, yaitu metode linguistik Abu Ali al-Farisi,
perspektif linguistik Ibnu Jinni dan Abdul Qadir al-Jurjani. Hingga
menghasilkan produk akhir ilmu linguistik modern yang menyatakan bahwa bahasa
manapun tidak memiliki karakter sinonim.
Syahrur membedakan istilah al-Kitab dan Al-qur’an. Al-Kitab
ialah sekumpulan tema yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad yang terdiri dari
ayat-ayat dalam mushaf. Sedangkan Al-qur’an ialah ayat-ayat mutasyabihat yang
sering dinamakan as-sab’ al-masani. Perbedaan antara al-kitab dan al-qur’an
sejajar dengan perbedaan konsep Nubuwwah (kenabian) dan al-Risalah
(kerasulan). Yang pertama menunjukkan perbedaan antara realitas dan khayalan
atau ilusi, sedangkan yang kedua berisi hukum dan aturan tingkah laku. Dengan
kata lain yang pertama bersifat objektif dan independen sementara yang kedua
bersifat subjektif dan tergantung pada pengetahuan manusia.
Metode ijtihadnya antara lain, Syahrur hanyalah merupakan
pseudo ijtihad sebagai tandingan dalam mendekonstruksi hukum-hukum Islam,
mengesampingkan keterangan muhkamat dan tsawabit menjadi mutasyabihat dan
mutaghayyirat.
Syahrur telah keluar dari epistemologi Islam yang mengugat
dan mendekonstruksi ushul fiqih dengan epistemologi berlandaskan worldview
(pandangan dunia) Barat yang mengedepankan rasionalitas yang tunduk pada
realitas dengan pendekatan hermeneutika. Sunnah Nabi saw. yang selama 15 abad
diyakini sebagai sumber hukum, sebagai bayan Al-qur’an dinegasikan posisinya
oleh akal yang mempertimbangkan kondisi sosial. Sumber hukum Islam lainnya
seperti Ijma’ pun didekonstruksi. Selain itu, Ia pun menggugurkan konsep qiyas,
yang dikatakannya mengacu dan membawa masalah ke masa lampau serta tidak
berarti sama sekali. Karena menurutnya, dia berulang kali katakan, bahwa
penerapan hukum pada alam realitas adalah aplikasi relatif-historis. Prinsip
yang ia gunakan hanya akal pikiran dengan realitas objektif.
Buah dari pemikirannya tersebut melahirkan sebuah teori yang
aplikatif, yakni nazhariyyah al-hudud (limit theory/teori batas). Teori batas
ini terdiri dari batas bawah (al-hadd al-adna/minimal) dan batas atas (al-hadd
al-a’la/maksimal). Syahrur mendasarkan konsepnya dalam menyusun teori batas ini
pada Alqur’an surat an-Nisa’ ayat 13-14. Ia membagi enam bentuk dalam
teori batas yang dapat digambarkan dalam bentuk matematis, yaitu Halah al-had
al-a’la (posisi batas maksimal), Halah al-hadd al-adna (posisi batas minimal),
Halah al-haddayn al-a’la wa al-adna ma’an (posisi batas maksimal bersamaan
dengan batas minimal), Halah al-mustaqim (posisi lurus tanpa alternatif), Halah
al-hadd al-a’la li hadd al-muqarib duna al-mamas bi al-hadd abadan (posisi
batas maksimal cenderung mendekat tanpa bersentuhan), dan Halah al-hadd al-a’la
mujaban wa al-hadd al-adna saliban (posisi batas maksimal positif dan batas
minimal negatif).
Wilayah ijitihad manusia, menurut Syahrur berada di antara
batas minimum dan maksimum itu tadi. Elastisitas dan fleksibilitas hukum Allah
tadi dapat digambarkan seperti posisi pemain bola yang bebas bermain bola,
asalkan tetap berada pada garis-garis lapangan yang telah ada. Pendek kata,
selagi seorang muslim masih berada dalam wilayah hudud-u-lLah (ketentuan Allah
antara batas minimum dan maksimum tadi), maka dia tidak dapat dianggap keluar
dari hukum Allah.
Contoh aplikasi dalam teori batas
mengenai pakaian dan aurat wanita. ketika menafsirkan QS. [24]: 31, “Atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita”. Syahrur mengartikan aurat
dengan apa yang membuat seseorang malu apabila terlihat dan aurat tidak
berkaitan dengan halal haram, baik dari dekat maupun jauh. Ia membuat contoh,
“Apabila ada orang yang botak dan tidak suka orang melihat kepalanya yang
botak, maka dia akan memakai rambut palsu, sebab ia menganggap botak kepalanya
sebagai aurat. Kemudian ia mengutip hadits Nabi, “Barang siapa menutupi aurat
mukmin, niscaya Allah akan menutupi auratnya.” Dia berkomentar, menutupi aurat
mukmin dalam hadits itu, bukan berarti meletakkan baju padanya agar tidak
terlihat. Maka ia menyimpulkan bahwa aurat berangkat dari rasa malu, yakni
ketidaksukaan seseorang ketika terlihatnya sesuatu, baik dari tubuhnya maupun
perilakunya. Sedang malu menurutnya relatif, berubah-ubah sesuai dengan adat
istiadat, zaman, dan tempat. Maka ketika ada ayat yang menyuruh memakai jilbab
dalam QS. [33]: 59.
c.
Hasan al-Turabi
Hasan al-Turabi mengusulkan perluasan makna qiyās dan
istishāb. Menurut al-Turabi, sebenarnya pengertian qiyās luas sekali, mencakup
makna lepas (‘afw) dan makna teknis yang harus dipatuhi oleh para ahli fikih
dalam menyamakan hukum far` dengan hukum ashl karena memiliki alasan hukum
(‘illah) yang serupa, syarat hukum asal, hukum cabang, dan tujuan hukum.
Berbagai persoalan khusus (juz’iyat) dalam qiyās harus diperluas dengan
menentukan sekumpulan nash dan mengambil konklusi tentang tujuan atau
kemaslahatan agama dari berbagai situasi dan peristiwa itu. Kemudian diterapkan
untuk situasi dan peristiwa baru. Pola kerja seperti ini, menurut al-Turabi
yang dimaksud dengan fikih Umar ibn al-Khattab. Sebuah fikih kemaslahatan umum
yang tidak membahas secara terperinci penyesuaian berbagai peristiwa khusus dan
kemudian menghukuminya berdasarkan analogi dengan berbagai peristiwa serupa
sebelumnya. Akan tetapi, ia berangkat dari orientasi perjalanan syariat awal
dan dengannya berusaha mengarahkan kehidupan saat ini. Jadi setiap qiyās
mengharuskan adanya abstraksi kondisi tertentu sebelumnya berdasarkan nash.
Sebagai contoh al-Turabi menukil sebuah riwayat di mana
seorang pria datang pada Nabi SAW dan berkata:” Celakalah aku. Aku telah
menggauli istri pada siang hari di bulan Ramadhan…”. Menurut al-Turabi, kasus
seperti ini tidak akan pernah terulang lagi secara persis sama. Mungkin kasus
serupa bisa terjadi pada orang lain dengan istrinya sendiri, tapi kita tidak
mengambil pelajaran (i’tibār) dari peristiwa itu dan menjatuhkan hukum di
antara keduanya. Karena bisa jadi penyebab batal puasanya adalah persoalan lain
semisal makan atau minum. Persoalannya kemudian, apakah kita juga akan
mengabstraksikannya dengan menganggap cara itu dan berpegang pada segala bentuk
pembatalan puasa dan kemudian memperluas penentuan hukumnya? Selanjutnya
al-Turabi menyatakan bahwa keluasan dan kesempitan qiyās yang dipergunakan
ditentukan pada taraf abstraksi kondisi pertama untuk memperoleh tujuan hukum
utama. Qiyās mujmal yang lebih luas atau qiyās mashlahah mursalah lebih tinggi
derajatnya dalam mencari inti tujuan hukum dengan cara mengambil sejumlah hukum
agama yang disandarkan pada sejumlah peristiwa dan diambil unsur kemaslahatan
umum darinya.
d. Abdullahi Ahmed an Na’im
Setiap tokoh pasti memiliki ciri dan karakter tersendiri
dalam merumuskan pemikiran yang merupakan hasil dari pemahaman masing-masing,
Model paradigma barunya An-Na’im, beliau berpendapat bahwa syari’ah tidak
cukup hanya dengan reformasi hukum Islam akan tetapi lebih dari itu yaitu
dengan rekonstruksi, reaktualisasi atau bahkan mungkin harus dengan
dekonstruksi. Karena Islam lahir dalam setting masyarakat yang sama
sekali berbeda dengan masyarakat kontemporer yang tengah berlangsung dalam
kehidupan modern saat ini.
Pemikiran dekonstruksi Abdullahi
Ahmed an-Naim nampaknya layak dan bisa menjadi garansi atas wacana pembaharuan
hukum Islam kontemporer. Bagi Abdullahi Ahmed an-Na’im seperti bisa dibaca pada
karyanya kesempurnaan syari’ah Islam bukanlah terletak pada kebekuannya
(yang dianggap sudah berakhir dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW), melainkan
justru pada kemampuannya untuk terus berkembang maju sesuai dengan tuntutan
kehidupan yang juga semakin berkembang maju. An-Naim membangun metodologi
dengan teori yang selama ini baru. Hukum islam harus didekrontuksi secara
total, agar bisa koheren dengan modernitas, namun tetap islam. Pemikiran
rekronstuktifnya An-Na’im cenderung skeptipis dan apatis terhadap metodelogi
yang telah ada sebelumnya yaitu fiqh klasik.
e.
Hassan Hanafi
Hasan
Hanafi menengarai perlunya sikap kritis terhadap tradisi kita dan tradisi mereka.
Proyeknya yang terkenal adalah al-turats wa al-tajdid yang berupaya
meletakkan landasan teoritis pada kerangka lingkaran piramida peradaban.
Kerangka teoritis tersebut berisi bahwa manusia tidak bisa dipisahkan dari tiga
akar pijakan berfikir; kemarin (al-madhi), yang dipersonifikasikan
dengan turats qodim (khazanah klasik). Esok (al-mustaqbal) yang
dipersonifikasikan dengan turats gharbi (khazanah barat), dan sekarang (al-hali),
yang dipersonifikasikan dengan al waqi’ (realitas kontemporer).
f.
Nashr Hamid Abū Zayd
Sementara
Nashr Hamid dengan konsep makna dan signifikansi (maghzā) mencoba melakukan
pembacaan ulang konsep ‘illah dalam ushul fikih. Dalam pandangan Abū Zayd,
perbedaan antara makna dan signifikansi dapat dilihat dari dua dimensi yang
tidak terpisahkan satu sama lainnya. Dimensi pertama, bahwa makna memiliki ciri
historis, maksudnya bahwa ia dapat diraih hanya dengan pengetahuan yang cermat
mengenai konteks linguistik (internal) dan konteks kultural-sosiologis
(eksternal). Sementara signifikansi (maghzā), meskipun tidak dapat dipisahkan
dari makna, bahkan saling bersentuhan dan berangkat dari makna, memiliki corak
kontemporer dalam pengertian ia merupakan hasil dari pembacaan masa di luar
atau berbeda dengan masa (terbentuknya) teks.
Dimensi
kedua dan ini dianggap sebagai konsekuensi dari dimensi pertama, adalah bahwa
makna memiliki aksentuasi yang relatif stabil dan mapan, sementara signifikansi
memiliki corak yang bergerak (dinamis) seiring dengan perubahan horison-horison
pembacaan, meskipun hubungannya dengan makna mengendalikan dan mengarahkan
geraknya, karena memang demikianlah yang harus dilakukan (oleh pembacaan).
Apabila dicermati, model pembacaan ini, yakni keharusan maghzā (signifikansi)
bersentuhan dengan makna dan harus berangkat dari horison-horisonnya tampak
tidak berbeda secara mendasar dengan analogi fiqhiyah yang didasarkan pada
temuan ‘illah, dan menjadikan temuan tersebut sebagai pengikat bagi
pengembangan pengertian ke peristiwa-peristiwa yang serupa yang tidak dieksplisitkan
teks.
Namun
demikian, kemiripan ini hanya tampak di permukaan saja, sementara perbedaannya
sangat mendasar dan dalam. ‘Illah yang merupakan tempat bergantungnya hukum
menurut ulama ahli fikih bisa jadi merupakan bagian dari pengertian dan makna,
maksudnya ditegaskan secara eksplisit atau implisit, dan terkadang dicapai
hanya dengan sekedar ijtihad ahli fiqh. Dalam kedua konteks ini analogi
bersifat partikular (parsial), maksudnya berkaitan dengan hukum partikular dari
hukum-hukum syariat, dan tidak melampauinya sampai pada hukum-hukum lainnya,
apalagi merambah pada teks-teks non-hukum. Ahli fiqh kuna tidaklah
menyingkapkan signifikansi, dan puncak yang diraihnya hanya pembicaraan
mengenai tujuan-tujuan umum (al-maqāshid al-kulliyyah) yang sudah dibatasi pada
upaya memelihara agama, jiwa, harga diri dan harta. Kata “memelihara” di sini
tidak lepas dari konotasi yang menyingkapkan watak dari sikap fikih lama.
Dengan demikian, signifikansi,
bagi Abū-Zayd, bukan merupakan tujuan-tujuan umum (maqāshid kulliyah)
sebagaimana yang didefinisikan oleh para ulama fikih. Hal ini karena dua alasan
mendasar. Pertama, signifikansi merupakan hasil dari pengukuran gerak yang
ditimbulkan oleh teks dalam struktur bahasa, dan karenanya juga dalam
kebudayaan dan realitas. Bersamaan dengan pengukuran gerak, orientasi gerak
harus dibatasi, sebab beberapa tidak hanya mengulang bahasa yang sudah umum,
dan karenanya memapankan gerak realitas dan kebudayaan semata, tetapi juga
dalam struktur bahasanya kembali ke masa lalu dengan mengulanginya dan
mengembalikan kebudayaan dan realitas ke belakang. Kedua, signifikansi
ditentukan secara lebih ketat oleh tujuan-tujuan real wahyu.
Bertolak
dari pembedaan makna dan signifikansi tersebut, kemudian Abū-Zayd merumuskan
prosedur pembacaan teks yang harus ditaati seorang penganalisis. Menurutnya,
sekalipun pembacaan berangkat dari signifikansi kontemporer, namun ia harus
tetap berpangkal pada makna historis teks terlebih dahulu. Sebab, makna
historis teks selain dapat memberikan “objektivitas” pemahaman, ia juga yang
menentukan batas-batas yang mengarahkan pergeseran teks. Sementara itu,
signifikansi juga memiliki peran di dalam menentukan segi-segi tertentu dari
teks yang hendak diungkapkan. Ini karena, sifat signifikansi yang mengajukan “kriteria
kontemporer” bagi upaya penyingkapan makna historis teks itu sendiri. Dalam
pengertian ini, makna bukanlah sesuatu yang sudah final, tetapi turut
ditentukan oleh horison harapan pembaca. Hal ini menunjukkan bahwa pembacaan
merupakan gerak dialektika antara makna dan signifikansi, antara masa lampau
dan masa kini, dan antara teks dan pembacanya. Mengabaikan salah satu unsur
tersebut akan menjerumuskan pembacaan kepada ideologisasi (qirā’ah talwiniyah).
2) Kasus-kasus fiqh kontemporer
·
Lembaga perbankan adalah suatu
lembaga yang belum dikenal pada masa Nabi. Maka pada masa sekarang ini, ketika
perbankan (khususnya perbankan konveksional) memperkenalkan sistem bunga,
pertanyaan muncul apakah ini termasuk kategori riba? Disinilah awal dari
perdebatan itu. Persoalan prinsip ada pada uang apakah ia bisa dijadikan
sebagai alat komoditi? Karena pada dasarnya bank adalah lembaga yang bergerak
dalam usaha dagang. Karenanya, keuntungan menjadi sasaran penting dalam
usahanya, dan barang dagang bank adalah uang dan jasa. Untuk menyelesaikan
persoalan bunga bank itu riba atau bukan, maka alat yang digunakan untuk
menganalisis masalah ini adalah melalui penalaran bayani yang lebih
menitihberatkan pada pemahaman teks. Dan penalaran ta’lili, yang lebih berusaha
mencari ‘illat hukum diharamkannya riba. Sehingga tidak terjebak pada pemaknaan
riba adalah semata-mata “penambahan atas modal”, tanpa melihat kausa prima
diharamkannya riba.
· Dalam masalah poligami
Ayat Al-Qur’an 4:3 mensyaratkan
keadilan di antara para isteri sebagai persyaratan poligami, Artinya:” Dan jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, Maka kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”
Dan karena ayat 4:129 menyatakan bahwa keadilan yang
dipersyaratkan itu tidak mungkin dicapai dalam praktik, Allah berfirman “Dan
kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isterimu,
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Maka selanjutnya dikatakan bahwa sesungguhnya maksud Al-
Qur’an adalah menghapuskan poligami. Jadi seluruh teks itu disebut oleh para
intelektual muslim modernis dalam rangka mendukung pembatasan poligami justru
membolehkan poligami untuk suatu pengecualian. Inilah hasil konsep nasakh yang
ditawarkan Abdullahi Ahmed an Na’im.
·
kasus pelarangan atas rokok menurut
syahrur. Selama ini, para ulama menyatakan bahwa hukumnya rokok adalah makruh
dengan didasarkan pada riwayat hadis Nabi yang lemah. Bagi Syahrūr, adanya
hukum yang melarang merokok adalah didasarkan pada kenyataan objektif atau
bukti ilmiah yang dihasilkan oleh ilmu kedokteran bahwa di dalam rokok terdapat
zat-zat yang berbahaya bagi tubuh manusia terutama jantung dan paru-paru.
Temuan ilmiah kedokteran inilah yang menurutnya menjadi al-syāhid al-awwal
dalam konsep qiyās, dan manusia yang hidup di masa ini adalah al-syāhid
al-tsānī .
D. SIMPULAN.
Gagasan teori Ushul Fiqh Kontemporer itu lebih
menekankan metodologi menafsirkan atau menemukan hukum yang tidak hanya mengacu
pada teks, tapi harus berpacu pada realitas sosial bukan pada undang-undang
atau kepastian hukum semata.
Fazlur Rahman, dengan menggunakan konsep double movmentnya, Rahman mencoba menafsirkan ayat atau undang-undang dengan menghubungkan unsur yang dialektis antara dua unsur yang terdapat dalam Al-Qur'an yaitu wahyu ketuhanan yang suci di satu sisi dan sebagai sejarah kemanusian yang profan disisi yang lain. Muhammad Syahrur dengan teori batasnya, yang menghubungkan antara garis lurus teks dengan menguhungungkan dengan realitas masyrakat sekarang
Fazlur Rahman, dengan menggunakan konsep double movmentnya, Rahman mencoba menafsirkan ayat atau undang-undang dengan menghubungkan unsur yang dialektis antara dua unsur yang terdapat dalam Al-Qur'an yaitu wahyu ketuhanan yang suci di satu sisi dan sebagai sejarah kemanusian yang profan disisi yang lain. Muhammad Syahrur dengan teori batasnya, yang menghubungkan antara garis lurus teks dengan menguhungungkan dengan realitas masyrakat sekarang
Nasr Hamid Abu Zaid dengan teori ta'wilnya. Yaitu dihubungkan dengan panafsiran yang tidak hanya mengungkap makna teks secara linguistik gramatikal saja tetapi lebih jauh lagi menyentuh pada spirit teks yang nantinya akan terartikulasikan dalam makna signifikansi.
E.
No comments:
Post a Comment