MAJALLAT AL-AHKAM AL-ARDLIYYAH
Ketika penulis membaca
tentang disertasi Hukum Islam di luar negeri, penulis terbaca sekilas pada
bagian yang berkaitan dengan Majallat
al-Ahkam al-Ardliyyah.
Kajian ini, memang agak menarik..,Karena itu izinkan penulis mengcopy –nya sedikit..berasal dari disertasi Ahmad Badrut Tamam
Kodifikasi hukum
Islam yang sesungguhnya baru terlaksana pada tahun 1293 H/1876 M oleh Kerajaan
Turki Usmani (Ottoman) dengan menerbitkan kitab yang berjudul Majallat
al-Ahkam al-Ardliyyah yang diberlakukan di seluruh wilayah kekuasaan Turki
Usmani ketika itu sampai dasawarsa ketiga abad ke-20. Kodifikasi hukum yang
dihimpun ulama fiqh di zaman Turki Usmani ini hanya mencakup bidang muamalah
dan hanya bersumber dari Mazhab Hanafi. Mesir dan Suriah, yang tidak tunduk
sepenuhnya kepada kerajaan Turki Usmani, tidak menerima kodifikasi hukum fiqh
tersebut karena mayoritas umat Islam di kedua tempat itu bermazhab Syafi'i.[23]
Setelah perang
dunia ke-2, bermunculan kodifikasi hukum di berbagai negara Arab, yang diawali
oleh Mesir pada tahun 1875 dan diikuti pula oleh kodifikasi tahun 1883.
Kodifikasi Mesir ini merupakan campuran antara hukum Islam dan hukum Barat
(Eropa). Setelah itu, pada tahun 1920, Muhammad Qudri Pasya, seorang pakar
hukum Mesir, membuat kodifikasi hukum Mesir bidang perdata yang diambil secara
murni dari hukum Islam (fiqh). Lebih lanjut, kodifikasi di Mesir mengalami
beberapa kali perubahan, antara lain pada tahun 1920, 1929, dan 1952.[24]
Kajian tersendiri
terhadap masalah hukum keluarga baru dimulai sekitar paruh kedua abad ke-19.
Sebelumnya hukum perseorangan dan keluarga itu tersebar dalam berbagai bab
fiqh. Orang yang pertama memisahkannya dalam suatu kajian tersendiri adalah
Muhammad Qudri Pasya, ahli hukum Islam di Mesir. Dialah orang pertama yang
mengkodifikasikan al-Ahwal as-Syakhsiyyah dalam suatu buku yang berjudul
al-Ahkam as-Syar'iyyah fi al-Ahwal as-Syakhsiyyah (hukum syari'at
atau agama dalam hal keluarga).[25]
Secara historis, pembaharuan
hukum keluarga di Mesir dimulai sekitar tahun 1920. Pada tahun ini, seri
pertama rancangan undang-undang hukum keluarga resmi diundangkan. Pada tahun
1929 dilakukan amandemen kedua terhadap beberapa pasal pada undang-undang
sebelumnya. Setelah itu, tercatat dua kali amandemen terhadap hukum keluarga
Mesir yaitu pada tahun 1979 dan 1985. Reformasi hukum keluarga Mesir antara
lain terkait dengan masalah poligami, wasiat wajibah, warisan, dan pengasuhan
anak.[26]
Hukum Islam dalam bentuk peraturan perundang-undangan
di Mesir antara lain dapat dilihat dalam: (1) Perundang-undangan tentang Status
Personal dan Pemeliharaan (The Laws on Maintenance and Personal Status) yang
mengalami perubahan-perubahan dalam rentang tahun 1920-1929, (2) Undang-undang
tentang Pemeliharaan, Wasiat, dan Wakaf (The Laws on In-heritance, Wills,
and Endowment) dalam rentang tahun 1943-1952, (3) Kitab Undang-undang Hukum
Perdata dan Undang-undang tentang Peradilan (Civil Codes and Laws on Courts)
dalam rentang 1931-1955, (4) Pembentukan Lembaga Pengawas hukum personal (Executory
Legislation Relating to Personal Law) dalam rentang 1955-1976, (5)
Amandemen Hukum Status Personal (Personal Status [Amandment] Law) tahun 1985.[27]
Kodifikasi hukum
keluarga itu meliputi hukum perkawinan, perceraian, wasiat, ahliyyah
(kecakapan bertindak hukum), harta warisan, dan hibah. Meskipun belum
dinyatakan resmi berlaku oleh pemerintah, kodifikasi tersebut telah dijadikan
sebagai bahan rujukan oleh para hakim dalam memutuskan berbagai masalah pribadi
dan keluarga di pengadilan. Dalam perkembangan selanjutnya, kodifikasi itu
dijadikan pedoman dan diterapkan pada Mahkamah Syar'iyyah Mesir. Pasal
13 Kitab Undang-undang Acara Peradilan Mesir menyebutkan bahwa al-Ahwal
as-Syakhsiyyah menyangkut masalah-masalah yang berhubungan dengan pribadi, ahliyyah,
dan keluarga (seperti perkawinan dan akibat hukumnya, pengampuan, orang mafqud
dan harta warisan).[28]
Setelah Mesir
melakukan pembaruan hukum keluarga berikutnya muncul berbagai kodifikasi hukum
di beberapa negara muslim lainnya, seperti Irak (tahun 1951 dan 1959 dan diubah
tahun 1963 dan 1978), di Yordania (tahun 1951 dan diubah pada tahun 1976),
Libanon (tahun 1917 dan 1934), Suriah (tahun 1949, 1953 dan 1975), Libya (tahun
1953), Maroko (tahun 1913 dan 1957), Tunisia (tahun 1906, 1913, dan 1958),
Sudan (tahun 1967), Kuwait (tahun 1983, Uni Emirat Arab (tahun 1979, 1980,
1984, 1985, dan 1986) dan Indonesia (tahun1954, 1974, 1975, 1991, dan 2006).[29]
3. Positivisasi Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Agama sebagai
sebuah institusi memiliki kepentingan yang signifikan atas keluarga, sebab
keluarga sebagai satuan kelompok sosial terkecil memiliki peran penting dalam
melakukan sosialisasi nilai-nilai yang ada dalam agama. Sementara itu negara,
sebagai institusi modern pun tak bisa mengabaikan keluarga dalam mengatur dan
menciptakan tertib warganya. Meskipun kepentingan negara ini tidak selalu sama dalam setiap masa pemerintahan.
Ketika zaman
Kolonial misalnya, Hindia Belanda berkepentingan untuk mengukuhkan
pengaruh dan kekuasaannya atas warga jajahan dengan cara mengatur mereka
melalui serangkaian produk undang-undang, termasuk di dalamnya hukum
perkawinan, yang merupakan rekomendasi dari hasil kongres Perempuan ke-2.
Melalui pengaturan inilah tata kependudukan negara jajahan diatur. Pada masa
itu pembuatan dan pembahasan RUU Perkawinan (Ordonansi) dari pemerintah
penjajah tidak sepenuhnya sesuai dengan harapan warga bangsa, bahkan terkesan
setengah hati, karena isinya disamping berlaku untuk seluruh penduduk bumi
putra tanpa membedakan agama dan suku bangsa, juga sangat banyak bertentangan
dengan hukum Islam, sehingga oleh organisasi-orgaisasi Islam rancangan
ordonansi itu ditolak, dan akhirnya urung dibicarakan dalam Dewan Rakyat (Volksraad)
saat itu.[30]
Begitu juga di
awal kemerdekaan, orde lama menggunakan pengaturan bidang perkawinan (UU
No. 22 Tahun 1946) sebagai kompromi dengan kepentingan berbagai kelompok yang
menghendaki kesatuan antara hukum negara dan agama dalam kehidupan umum,
artinya pembentukan perundang-undangan tentang perkawinan harus berbentuk
unifikasi, dan berlaku bagi seluruh penduduk Indonesia.[31]
Di sini perempuan lebih parah nasibnya, karena dalam perkembangannya di
kemudian hari banyak terjadi perceraian yang sewenang-wenang dan perkawinan
perempuan di bawah umur.[32]
Demikian juga jauh
sebelum kemerdekaan, Raden Ajeng Kartini (1879-1904) di Jawa Tengah dan Rohana
Kudus di Minangkabau adalah tokoh yang telah lama mengkritik
keburukan-keburukan yang diakibatkan oleh perkawinan di bawah umur, perkawinan
paksa, poligami dan talak. Khusus pada kasus poligami, Puteri Indonesia bekerja
sama Persaudaraan Isteri, Perrsatuan Isteri dan Wanita Sejat pada
tanggal 13 Oktober 1929 membuat kesepakatan tentang larangan poligami. Sejalan
dengan itu, pada bulan Juli 1931 kongres Isteri Sedar memperkuat
larangan poligami yang kemudian ditetapkan pada tanggal 13 Oktober 1929.[33]
Sementara pada
masa Orde Baru, pemerintah menggunakan pengaturan perkawinan sebagai
sarana pendukung strategi pembangunan, meskipun harus berkompromi dengan
kepentingan kelompok dominan Islam, sehingga sempat menghasilkan RUU Perkawinan
khusus untuk umat Islam walaupun akhirnya gagal diundangkan. Penegasan serupa
kembali dikumandangkan pemerintah dalam sidang MPR hasil pemilu 1971, dimana
dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dijelaskan bahwa posisi Agama
tidak dapat secara etis dibandingkan dengan hukum-hukum yang berlaku dalam
Negara. Hukum Islam merupakan syariat yang mengikat kepada pemeluknya semata,
dan norma-norma yang ada merupakan nilai yang sifatnya pribadi dan menyangkut
hubungan manusia sebagai makhluk dengan Tuhan-Nya sebagai pencipta.[34]
a. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974
Lahirnya UU Nomor
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan merupakan hasil kompromi anggota-anggota
Parlemen, yang sebelumnya telah dilalui dengan perjuangan dan perdebatan
panjang yang melelahkan. Perjuangan dan Perdebatan panjang yang dimaksud karena
sebelum UU Nomor 1 tahun 1974 disahkan oleh DPR (2 Januari 1974), telah ada dua
RUU perkawinan yang masuk dan dibahas di Parlemen, yakni RUU tentang perkawinan
Umat Islam (22 Mei 1967) dan RUU tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Perkawinan
(7 September 1968). Namun kedua RUU tersebut tidak bisa diselesaikan
sebagaimana yang diharapkan karena tidak ada kata sepakat di antara anggota
Parlemen ketika itu sehingga Presiden menarik kembali kedua RUU tersebut pada
tanggal 31 Juli 1973. [35]
Ketidaksepakatan anggota
parlemen tersebut lebih disebabkan oleh masalah kepentingan golongan yang sejak
semula telah menampakkan diri. Paling tidak ada tiga kelompok besar sepanjang
sejarah Indonesia yang berusaha selalu melibatkan diri untuk memunculkan wacana
UU Perkawinan, yakni kelompok keagamaan, negara dan kaum perempuan, dimana
kelompok yang menamakan dirinya nasionalis Islami menginginkan bahwa dalam hal
perkawian, umat Islam sudah ada petunjuk yang jelas, dan tidak bisa
ditawar-tawar lagi. Sedangkan kelompok nasionalis sekuler tetap menginginkan
bahwa adanya UU perkawinan yang sifatnya nasional tanpa membedakan-bedakan
agama, adat, dan suku bangsa.[36]
Sebagai respon
atas kegagalan diundangkannya dua RUU perkawinan di atas, muncul berbagai
tuntutan kepada pemerintah untuk segera membuat UU perkawinan dan
memberlakukannya kepada seluruh warga Indonesia. Tuntutan itu di antaranya datang
dari ISWI (Ikatan Sarjana Wanita Indonesia) dan badan Musyawarah
Organisasi-organisasi Wanita Islam Indonesia).[37]
Pada tanggal 22
Desember 1973, Pemerintah mengajukan kembali RUU perkawinan yang baru. Setelah
dibahas di DPR kurang lebih selama tiga bulan dan mengalami beberapa perubahan,
akhirnya pada sidang paripurna (tanggal 2 Januari 1974) RUU tersebut disahkan dan
diundangkan sebagai UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Lembaran Negara
(LN) Nomor 1 Tahun 1974, Tambahan LN Nomor Tahun 3019/1974.[38]
Dari uraian di
atas, kelihatan sekali bahwa secara historis ada beberapa faktor yang
menyebabkan munculnya UU Nomor 1 Tahun 1974 antara lain:
1. Kebutuhan Bersama
2. Semangat Nasionalisme (menjaga ke-behinnekaan)
3. Pelaksanaan pasal 29 ayat (2) UUD 1945
4. Perbedaan Pendapat Di kalangan Umat Islam
b. Latar Belakang Lahirnya Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum
Islam (Inpres Nomor 1
Tahun 1991) hanyalah merupakan jalan pintas yang bersifat
sementara, dengan harapan suatu saat nanti akan lahir Kitab Undang-Undang
Pertada Islam yang lebih permanen. Dikatakan sebagai jalan pintas karena memang
sangat mendesak dan dibutuhkan, dimana lembaga Peradilan Agama (PA) yang
dinyatakan sah berdiri sejajar dengan badan peradilan lainnya melalui UU Nomor
14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan kemudian dipertegas
melalui UU Nomor 7 tahun 1989, ternyata tidak memiliki hukum materiil yang
seragam (unifikatif) secara nasional, sehingga dapat menimbulkan putusan yang
berbeda di antara pengadilan agama yang satu dengan yang lain walaupun dalam
kasus yang serupa, disamping itu juga membuat kehadiran PA sebagai salah satu
kekuasaan kehakiman menjadi tidak terpenuhi persyaratannya.
Untuk memenuhi
kebutuhan tersebut, ada wacana agar menempuh jalur formil sesuai dengan kententuan pasal 5 ayat 1 jo pasal 20 UUD 1945,
dengan demikian hukum materiil yang akan dimiliki berbentuk hukum
positif yang sederajat dengan undang-undang dan keabsahannya benar-benar bersifat legalistik (Legal law). Akan
tetapi, dapat dibayangkan betapa jauhnya jarak yang akan dilalui. Berbagai
tahap harus ditempuh, mulai dari menyusun draft RUU-nya sampai kepada
pembahasannya di Parlemen. Bukan hanya itu, faktor-faktor non teknis pun sangat
sulit untuk ditembus, seperti iklim politik yang kurang mendukung, serta faktor
psikologis. Memang satu segi secara konstitusional kehadiran dan keberadaan
Peradilan Agama telah diakui semua pihak, namun di segi lain barangkali belum
terpupus sikap alergi dan emosional yang sangat reaktif terhadap keharusan
adanya Hukum Perdata Islam dalam jangka waktu singkat, jika jalur yang ditempuh
melalui saluran formil perundang-undangan.[39]
Menyikapi dan juga memperhatikan kondisi tersebut, serta dikaitkan dengan kebutuhan yang sangat mendesak di sisi lain, maka dicapai
kesepakatan antara Menteri Agama dengan Ketua Mahkamah Agung saat itu untuk mencarikan solusi dengan menempuh jalur singkat dalam bentuk
Kompilasi, maka kemudian
lahirlah Surat Keputusan Bersama (SKB) aantara Ketua mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 No.07/KMA/1985
dan No.25 tahun 1985 yang menugaskan penyusunan hukum positif Perdata Islam
dalam Kitab Hukum Kompilasi kepada Panitia, dengan ketentuan harus menggali dan
mengkaji sedalam dan seluas mungkin sumber-sumber hukum Islam yang terdapat
dalam al-Quran dan Sunnah, disamping kitab-kitab fiqh Imam Mazhab yang kemudian
dijadikan orientasi, bahkan juga sempat melakukan studi banding ke
berbagai negara-negara yang berbasis Islam.[40]
Untuk melegalkan,
maka direkayasalah Kompilasi tersebut dalam bentuk Intruksi Presiden pada
tanggal 10 Juni 1991. Dan pernyataan berlakunya dikukuhkan dengan Keputusan
Menteri Agama Nomor 154 tahun 1991, tanggal 22 Juli 1991. Dengan demikian sejak
itu pula Kitab Kompilasi Hukum Islam (KHI) resmi berlaku sebagai hukum yang
dipergunakan dan diterapkan oleh instansi Pemerintah dan masyarakat yang
memerlukannya dalam penyelesaian masalah-masalah yang berkenaan dengan
perkawinan, hibah, wakaf dan kewarisan.
Uraian di atas
telah menunjukan benang merah sebagai gambaran bahwa yang menjadi faktor
penyebab lahirnya KHI tersebut antara lain:
1. Kekosongan Hukum
2. Amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
3. Banyaknya Mazhab Fiqh yang dianut di Indonesia serta tidak adanya
persamaan persepsi dalam mendefinisikan hukum Islam, antara syariat dengan
fiqh
E. Penutup
Hukum Islam selalu
mampu bergerak dan berjalan seiring dengan pergerakan dan perkembangan kemajuan
masyarakat dimanapun dan kapanpun, tanpa harus meninggalkan keaslian dan
prinsip-prinsip ajarannya. Hal ini dimungkinkan karena Allah yang Maha
Bijaksana telah membuat pola nash (aturan syari’at) sedemikian rupa, sehingga
pada persoalan yang akan berkembang terus, para mujtahid di setiap waktu dapat
melakukan ijtihad, karena nash yang mengatur masalah itu, hanya merupakan
prinsip umum dan aturan pokok saja, yang pengembangannya dapat dilakukan setiap
saat.
Untuk tercapainya
keluarga sakinah yang dipenuhi oleh mawaddah dan rahmah, dan hubungan yang
harmonis antara suami dan istri, serta anggota keluarga, maka perlu
diperhatikan dan diindahkannya aturan yang telah ditetapkan syari’. Kreasi dan
inovasi hanya dapat dilakukan pada masalah-masalah yang belum ada ketentuannya
secara pasti.
Upaya umat Islam
di beberapa negara muslim di dunia untuk memformalisasikan ajaran Islam dalam
bentuk perundang-undangan sehingga ajaran Islam menjadi hukum yang hidup di
tengah masyarakat adalah upaya yang sangat pantas disyukuri. Kalaupun ternyata
undang-undang dan aturan yang dihasilkan belum lagi seideal yang diharapkan,
itu adalah suatu proses yang harus dilalui dan membutuhkan pemikiran semua
kalangan untuk mewujudkannya.
Wallahu a’lamu bi as-Shawab.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, Falsafah Kalam di Era
Postmodernisme, cet. ke-1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
Bashari, Agus Hasan, Mewaspadai Gerakan
Kontekstualisasi Al-Qur’an, Surabaya: Pustaka Sunnah, 2003.
Dawi,
Ahsan, Pembaruan Hukum Keluarga di Turki (Studi Atas Perundang-Undangan
Perkawinan), www.badilag.net/.../Pembaruan%20Hukum
%20Keluarga%20Di%20 Turki.pdf, akses tanggal 1 November 2010.
Firdaus, Ushul Fiqh: Metode Mengkaji dan
Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif, cet. ke-1, Jakarta: Zikrul Hakim,
2004.
Hanafi,
Syafiq Mahmadah dan Fatma Amilia, “Fiqh dan Ushul Fiqh Pada Periode Taqlid”
dalam Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer,
Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2002.
Hasan,
K.N. Sofyan dan Warkum Sumitro, Dasar-Dasar Memahami Hukum Islam di
Indonesia, Surabaya: Usaha Nasional, 1994.
Kharlie, Ahmad Tholabi, Legislasi Hukum Islam Di Dunia Muslim Modern, http://jurnalalrisalah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=93:legislasi-hukum-islam-di-dunia-muslim-modern&catid=41:-al-risalah-volume-9-nomor-1juni2009&Itemid=57,
akses 1 November 2010.
Manan,
Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Indonesia, cet. ke-1, Jakarta:
Kencana, 2006.
Mualim,
Amir dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam,, Yogyakarta: UII
Press, 2001.
Mudzhar,
Atho’, Membaca Gelombang Ijtihad; Antara Tradisi Dan Liberasi, cet.
ke-2, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2000.
--------,Hukum
Keluarga Di Dunia Islam Modern, cet. I, Jakarta: Ciputat Press, 2003.
Nasution,
Khoiruddin, Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, cet. ke-1,
Yogyakarta: Tazzafa dan Accamedia, 2007.
--------,
Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum Perkawinan
Di Dunia Muslim, cet. ke-1, Yogyakarta: Acamedia dan Tazzafa, 2009.
Pokja
Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI, Menuju Kompilasi Hukum Islam
(KHI) Indonesia Yang Adil Gender, http://www.fahmina.
or.id/pemikiran-fahmina/fiqh-perempuan/703-menuju-kompilasi-hukum-islam-khi-indonesia-yang-adil-gender.html,
akses 1 November 2010.
Rahman,
Fazlur, Islam, alih bahasa Ahsin Mohammad, cet. ke-4, Bandung:Pustaka,
2000.
Syams,
Husni, Urgensi
Kodifikasi Hukum Keluarga, http://www.husnisyams. co.cc/2010/02/kodifikasi-hukum-keluarga-pada-masa.html,
akses tanggal 1 November 2010.
Wahid,
Abdurrahman, Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung:
Rosdakarya, 1990.
Wahidin,
Samsul dan Abdurrahman, Perkembangan Ringkas Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:
Akademika Pressindo, 1984.
Yafie, Ali,
Sistem Pengambilan Hukum oleh A’immatu al-Mazahib dalam Kontroversi
Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990.
Zahid, Moh., Dua Puluh
Lima Tahun Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan. Badan Litbang Departemen
Agama RI. 2003.
Zaidan, Abdul Karim, al-Madkhal li Dirasah al-Syar’iyyah
al-Islamiyyah, Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1981.
[1] Makalah ini disusun
guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perkawinan dan Perceraian di Dunia
Islam, dosen pengampu Prof. Dr. H. Khoiruddin Nasution, M.A.
[2] Penulis adalah
mahasiswa program Magister (S2) Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Program Studi
Hukum Islam, Konsentrasi Hukum Keluarga, angkatan 2010.
[4] M. Amin Abdullah, Falsafah
Kalam di Era Postmodernisme, cet. ke-1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995),
hlm. 5.
[5] Firdaus, Ushul
Fiqh: Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif, cet.
ke-1 (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), hlm. 73
[6] Agus Hasan Bashari, Mewaspadai
Gerakan Kontekstualisasi Al-Qur’an (Surabaya: Pustaka Sunnah, 2003), hlm.
152-153.
[7] Abdul Karim Zaidan, al-Madkhal
li Dirasah al-Syar’iyyah al-Islamiyyah, (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah,
1981), hlm. 63.
[9] Masalah perkembangan
ini dalam kaidah fiqh dinyatakan dalam sebuah kaidah “Yugtafaru fi
al-wasa’il ma la yugtafaru fi al-maqasid”. Lebih lanjut lihat Ali Yafie, Sistem
Pengambilan Hukum oleh A’immatu al-Mazahib dalam Kontroversi Pemikiran
Islam di Indonesia (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990), hlm. 14.
[10] Syafiq Mahmadah
Hanafi dan Fatma Amilia, “Fiqh dan Ushul Fiqh Pada Periode Taqlid” dalam
Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Press, 2002), hlm. 86-88.
[11] Atho’ Mudzhar, Membaca
Gelombang Ijtihad; Antara Tradisi Dan Liberasi, cet. ke-2 (Yogyakarta:
Titian Ilahi Press, 2000), hlm. 174-175. Lihat Juga Amir Mualim dan
Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam (Yogyakarta: UII Press,
2001), hlm. 7.
[12] Akan tetapi khusus
dalam hukum keluarga yang diterapkan seringkali porsi yang banyak diberikan
adalah hukum Islam sebagaimana dipahami oleh kelompok pertama.
[13] Khoiruddin Nasution,
Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, cet. ke-1 (Yogyakarta: Tazzafa
dan Accamedia, 2007), hlm. 43.
[17] Fazlur Rahman, Islam,
alih bahasa Ahsin Mohammad, cet. ke-4 (Bandung: Pustaka, 2000), hlm. 108.
[18] Khoiruddin Nasution,
Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan
Di Dunia Muslim, cet. ke-1 (Yogyakarta: Acamedia dan Tazzafa, 2009),
hlm. 166.
[19] Isroqunnajah, Hukum
Keluarga Islam Di Republik Turki, dalam Atho’ Muzdhar dan Khoiruddin
Nasution (ed), Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern, cet. ke-1 (Jakarta:
Ciputat Press, 2003), hlm. 39.
[21] Ahsan Dawi, Pembaruan
Hukum Keluarga di Turki (Studi Atas Perundang-Undangan Perkawinan), www.badilag.net/.../Pembaruan%20Hukum%20Keluarga%20Di%20
Turki.pdf, akses tanggal 1 November 2010.
[23] Husni Syams, Urgensi Kodifikasi Hukum Keluarga, http://www.husnisyams.co.cc/
2010/02/kodifikasi-hukum-keluarga-pada-masa.html, akses tanggal 1 November
2010.
[26] Pokja
Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI, Menuju Kompilasi Hukum Islam
(KHI) Indonesia Yang Adil Gender,
http://www.fahmina.or.id/pemikiran-fahmina/fiqh-perempuan/703-menuju-kompilasi-hukum-islam-khi-indonesia-yang-adil-gender.html.
[27] Khoiruddin Nasution,
Hukum Perdata, hlm. 168. Lihat juga Atho’ Muzdhar, Hukum Keluarga,
hlm. 13. Keterangan serupa juga dapat dibaca pada Ahmad Tholabi Kharlie,
Legislasi Hukum Islam Di Dunia Muslim Modern, http://jurnalalrisalah.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=93:legislasi-hukum-islam-di-dunia-muslim-modern&
catid=41:-al-risalah-volume-9-nomor-1juni-2009&Itemid=57, akses 1 Novemmber
2010.
[29] Khoiruddin Nasution,
Sejarah singkat Pembaruan Hukum Keluarga Muslim, dalam Atho’ Muzdhar dan
Khoiruddin Nasution (ed), Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern, hlm.
10-19.
[30] Moh. Zahid, Dua Puluh Lima Tahun Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan.
(Badan Litbang Departemen Agama RI. 2003), hlm. 12.
[34] Samsul Wahidin dan
Abdurrahman, Perkembangan Ringkas Hukum Islam di Indonesia (Jakarta:
Akademika Pressindo, 1984), hlm. 99.
[36] K.N. Sofyan Hasan
dan Warkum Sumitro, Dasar-Dasar Memahami Hukum Islam di Indonesia (Surabaya:
Usaha Nasional, 1994), hal. 122.
No comments:
Post a Comment