Saturday, June 21, 2014

MUTIARA HIKMAH USUL FIQIH Kaidah Ushul Fiqh



 MUTIARA HIKMAH USUL FIQIH
Kaidah Ushul Fiqh  


M.RAKIB KETIKA DI MADINAH.2013

Ushul fiqih (bahasa Arab:أصول الفقه) adalah ilmu hukum dalam Islam yang mempelajari kaidah-kaidah, teori-teori dan sumber-sumber secara terperinci dalam rangka menghasilkan hukum Islam yang diambil dari sumber-sumber tersebut. [1]
Sumber-sumber hukum islam
Mekanisme pengambilan hukum dalam Islam harus berdasarkan sumber-sumber hukum yang telah dipaparkan ulama. Berikut ini empat sumber utama:
Pada mulanya, para ulama terlebih dahulu menyusun ilmu fiqh sesuai dengan Al-Qur an, Hadits, dan Ijtihad para Sahabat. Setelah Islam semakin berkembang, dan mulai banyak negara yang masuk kedalam daulah Islamiyah, maka semakin banyak kebudayaan yang masuk, dan menimbulkan pertanyaan mengenai budaya baru ini yang tidak ada di zaman Rosulullah. Maka para Ulama ahli usul Fiqh menyusun kaidah sesuai dengan gramatika bahasa Arab dan sesuai dengan dalil yang digunakan oleh Ulama penyusun ilmu Fiqh [2]
Usaha pertama dilakukan oleh Imam Syafi'i dalam kitabnya Arrisalah. Dalam kitab ini ia membicarakan tentang Qur'an, kedudukan hadits, Ijma, Qiyas dan pokok-pokok peraturan mengambil hukum. Usaha Imam Syafi'i ini merupakan batu pertama dari ilmu ushul fiqih yang kemudian dilanjutkan oleh para ahli ushul fiqih sesudahnya. Para ulama ushul fiqih dalam pembahasannya mengenai ushul fiqih tidak selalu sama, baik tentang istilah-istilah maupun tentang jalan pembicaraannya. Karena itu maka terdapat dua golongan yaitu; golongan Mutakallimin dan golongan Hanafiyah.[3]
Golongan Mutakallimin dalam pembahasannya selalu mengikuti cara-cara yang lazim digunakan dalam ilmu kalam, yaitu dengan memakai akal-pikiran dan alasan-alasan yang kuat dalam menetapkan peraturan-peraturan pokok (ushul), tanpa memperhatikan apakah peraturan-peraturan tersebut sesuai dengan persoalan cabang (furu') atau tidak. Di antara kitab-kitab yang ditulis oleh golongan ini adalah;
  1. Al-Mu'tamad oleh Muhammad bin Ali
  2. Al-Burhan oleh Al-Juwaini
  3. Al-Mustashfa oleh Al-Ghazali




KAIDAH-KAIDAH FIQHWawan Budi's photo.
Definisi Qaidah Fiqh



Secara etimologi, arti qaidah adalah asas (dasar), yaitu yang menjadi dasar berdirinya sesuatu. Bias juga diartikan dasar sesuatu dan fondasinya (pokoknya).(Al-Asfahani: 409, Az-Jaidy:171)
Adapun menurut istilah atau nterminologi, ulama ushul membuat beberapa definisi, sebagaimana ditulis dalam beberapa kitab di bawah ini:
1. Dalam kitab At-Ta’rifat:

قضية كلية منطبق على جميع جزئيتها
Artinya: “Ketentuan universal yang bersesuaian dengan bagian-bagiannya (juz-juznya).”
2. Dalam kitab Syarah Jamu’ al-Jawami’:
قضية كلية يتعرف منها احكام جزئيتها
Artinaya: “Ketentuan pernyataan universal yang memberikan pengetahuan tentang berbagai hokum dan bagian-bagiannya”.
3. Dalam kitab At-Talwih ‘ala at-Taudih:
حكم كلي ينطبق على جزئياته يتعرف احكامها منه
Artinya: “Hukum universal (kulli) yang bersesuaian dengan bagiannya, dan bisa diketahui hukumnya.”
4. Dalam kitab Al-Ashbah wa An-nadzair:
الامر الكلي الذي ينطبق على جزئيات كثيرة تفهم احكامها منها
Artinya: “Ketentuan universal yang bisa bersesuaian dengan bagian-bagiannya serta bisa di fahami hukumnya dari perkara tersebut”.
5. Dalam kitab Syarh Mukhtashor al-Raudah fi Ushul Fiqh:
القضايا الكلية التي يعرف بالنظر فيها قضايا جزئية
Artinya: “Ketentuan universalyang bisa menemukan bagian-bagiannya melalui penalaran.”
B. Faedah Mengetahuinya
Sebagaimana telah dikatakan oleh ulama ushul bahwa qaidah fiqhiyah itu adalah kaidah-kaidah umum yang meliputi seluruh cabang masalah-masalah fiqhi yang menjadi pedoman untuk menetapkan hokum setiap peristiwa fiqhiyah baik yang telah ditunjuk oleh nash yang sharih maupun yang belum ada nashnya sama sekali. Oleh karena itu dengan mempelajari qaidah fiqhiyah seseorang telah mempunyai pedoman untuk menetapkan hulkum untuk setiap peristiwa fiqhiyah.
Disamping itu juga berfungsi sebagai tempat bagi para mujtahid untuk mengembalikan seluruh seluk beluk masalah fiqhiyah dan sebagai kaidah (dalil) untuk menetapkan hukum masalah-masalah baru yang tidak ditunjuk oleh nash yang sharih yang sangat memerlukan untuk ditentukan hukumnya. Oleh karena itu, setiap orang yang sanggup menguasai kaidah-kaidah fiqhiyah niscaya mampu menguasai seluruh bagian masalah fiqh dan sanggup menetapkan ketentuan hokum setiap peristiwa yang belum atau tidak ada nashnya.
Di bawah ini akan diterangan beberapa alasan yang mendukung pandangan d atas, antara lain:
a. Imam Sarkhasi berkata dalam kitab Khitamu Ba’dul Fusuli: “Siapa saja yang menhukimi suatu masalah cabang dengan ashl dan ia benar-benar memahaminya maka akan mudah baginya untuk mengambil kesimpulannya.”
b. Imam Al- Mardinami berkata dalam kitab Al-Ma’akil: “Barang siapa yang menghukumi ashal dengan yang sebenarnya, ia akan bisa mengeluarkan hukum sesuai dengan keinginannya, baik berdasarkan pandangannya ataupun yang berlawaqnan.”
c. Pendapat Iamam Al-Qarafi dalam permasalahan ini sangat bagus, sebagaimana teks dibawah ini: “Qaidah ini sangat penting dalam fiqih dan besar sekali manfaatnya. Mereka yang betul-betul menelaahnya akan menjadi seorang faqih dan mendapatkan kemulyaan, serta akan mendapatkan rahasia-rahasia fiqih. Ilmu ini juga akan memudahkan dalam memberikan fatwa. Dan barang siapa yang memutuskan suatu cabang permasalahan hanya bersandarkan pada juziyah saja dan tidak memprehatikan kulliyah, dipastikan cabang tersebut bertentangan dengan cabang-cabang yang lain, sehingga menimbulkan kebingungan dan menyempitkan dirinya. Dan barang siapa yang berhujjah dengan hanya menghafal juziyah saja, hujjahnya itu tidak akan ada batasnya, serta akan menghabiskan umurnya tanpa bisa mencapai cita-citanya. Sebaliknya, mereka yang memperdalam fiqih melalui qaidah-qaidah fiqih tidak harus menghafalkan berbagai macam juz fiqih, karena telah tercakup dalam kulliyah. Selain itu, iapun dapat menyatakan berbagai macam perpecahan dan pertentangan. Dengan demikian, ia bisa menjawab berbagai macam permasalahan yang rumit dalam waktu singkat, dan lapanglah dadanya karena dapat menemukan pemecahan berbagai permasalahan yang diinginkannya.” (Al-Faruq, 1 : 3). Qaidah fiqhiyyah merupakan petunjuk arah bagi penggali hukum.
Sebenarnya masih banyak pendapat para ulama lainnya, namun pendapat mereka dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Dengan menggunakan hukum ashal serta berbagai cabangnya, seseorang betul-betul dapat mendalami fiqih dan menjadikannya mampu untuk menganalisis berbagai maslah.
b. Dengan mempelajarinya, hal itu akan membantu penghapalan dan penetapan berbagai masalah yang berdekatan, dan mampu mencapai ketetapan hukum tanpa merasa lelah dan memerlukan waktu yang panjang. Hal itu, sesuai dengan fungsi qaidah yaitu untuk mengahasilkan berbagai hukum.
c. Kebutuhan para penggali hokum untuk menghapal qaidah, dewasa ini semankin mendesak. Hal itu antara lain, karena semakin kompleksnya berbagai masalah dalam kehidupan.
d. Kurangnya perhatian terhadap qaidah fiqih, menurut Muhammad at-Thahir ‘Assyura, termasuk diantara penyebab terbelakangnya fiqih, sebagaimana pendapatnya, “Tidak adanya perhatian terhadap ashal, atau kurangnya upaya untuk mengumpulkan berbagai pandangan dan qaidah untuk menetapkan suatu cabang, kemudian menyatukan keduanya, menyebabkan berhentinya usaha mengeluarkan berbagai cabang lainnya, bahkan cabang tersebut seakan-akan telah menjadi qaidah”.
C. Dasar-dasar Pengambilannya.
Yang dimaksud dengan dasar pengambilan dalam uraian ini ialah dasar-dasar perumusan qaidah fiqhiyah, meliputi dasar pormil dan materielnya. Dasar formil maksudnya apakah yang dijadikan dasar ulama dalam merumuskan kaidah fiqhiyyah itu, jelasnya nash-nash manakah yang menjadi pegangan ulama sebagai sumber motivasi penyusunan kaidak fiqhiyyah.
Adakah ayat Al-Qu’an atau hadits yang mengandung ketentuan untuk dirumuskannya kaidah fiqhiyyah itu. Kalau tidak ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah lalu apa dasarnya? Adapun dasar materiel maksudnya dari mana materi kaidah fiqhiyyah itu dirumuskan. Apakah semata-mata hasil pemikiran ulama atau mengambil dari ayat atau sunnah, kemudian disimpulkan atau diformulasikan dengan kata-kata yang berbeda.
1. Dasar Formal.
Hukum-hukum furu’ yang ada dalam untaian satu kaidah yang memuat satu masalah tertentu, ditetapkan atas dasar nash, baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah. Seperti dari firman Allah pada surat al-Bayyinah (98) : 5 dan hadits Nabi riwayat Bukhori dan Muslim dari sahabat Ibnu Umar:
انما الاعمال بالنيات
“Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung pada niatnya”.
Diistimbatkan hukum melakukan niat untuk setiap perbuatan ibadah. Karena persoalan niat juga mempunyai arti penting dalam soal-soal lain, maka dirumuskan kaidah fiqhiyyah:
الامور بمقاصدها
“Setiap perkara tergantung kepada maksud megerjakannya”.
Jadi perumusan kaidah fiqhiyyah itu berdasar al-Qur’an dan as-Sunnah dalam rangkah untuk mempermudah pelaksanaan istinbath dan ijtihad.
2. Dasar Materiel
Adapun dasar materiel atau tegasnya bahan-bahan yang dijadikan rumusan kata-kata kaidah itu, adakalanya dari nash hadits, seperti kaidah yang berbunyi:
الضرر يزال
“Kemudharatan itu harus dihilangkan”.
Qaidah ini, berasal dari hadits Nabi:
لاضرارولاضرار (رواه ابن ماجه)
“Tidak boleh membuat mudharat diri sendiri dan tidak boleh memudharatkan orang lain”
Qaidah yang berasal dari hadits tersebut berlaku untuk semua lapangan hokum, baik mu’amalah, ibadah, munakahat, maupun jinayat.
Di samping qaidah fiqhiyyah yang dirumuskan dari lafadh hadits, seperti tersebut di atas, maka dapat dipastikan bahwa hasil qaidah fiqhiyyah itu hasil perumusan ulama yang kebanyakan sukar ditetapkan siapa perumusnya.
D. Lima Kaidah Pokok, Pengertian, Sumber, Cabang , dan Aplikasinya.
Qaidah pertama:
الامور بمقاصدها
“Setiap perkara tergantung kepada maksud mengerjakannya”
Qaidah ini memberikan pengertian bahwa setiap amal perbuatan manusia, baik yang berwujud perkataan maupun perbuatan diukur menurut niat sipelaku. Untuk mengetahui sejauh mana niat si pelaku, haruslah diliha adanya qarinah-qarinah yang dapat dijadikan petenjuk untuk mengetahui jenis niat dari pelakunya.
Yang melandasi rumusan qaidah ini ialah firman Allah:
وما امروا الا ليعبدواالله مخلصين له الدين (البينة : ه)
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan (niat) ketaatan kepada-Nya”. (al-Bayyinah (98): 5).
Hadits Nabi:
انما الاعمال بالنيات واما لكل امرئ ما نوى (رواه البخاري)
“Bahwasannya perbuatan itu tergantung pada niatnya. Dan setiap orang akan memperoleh sesuai dengan yang diniatkan”. (HR. al-Bukhory).
Cabang- cabangnya
1. Qaidah
مالا يشترط التعرض له جملة وتفصيلا اذ عينه واخطء لم يضر
“Suatu amal yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan, baik secara global atau terperinci, bila dipastikan dan ternyata salah, maka kesalahannya tidak membahayakan ( tidak membatalkan ).”
2. Qaidah
وما يشترط فيه التعرض فالخطء فيه مبطل
“Sutu amal yang disyaratkan penjelasannya, maka kesalahannya membatalkan perbuatan tersebut.”
3. Qaidah
النية فى اليمين تخصص اللفظ العام ولا تعم الخاص
“Niat dalam sumpah engkhususklan lafadz umum dan tidak pula menjadikan umum pada lafadz yang khusus.”
Contoh aplikasinya
1. Dalam sholat tidak disyaratkan niat menyebutkan jumlah rakaat, maka bila seorang muslim berniat melaksanakan sholat Magrib 4 rakaat, tetapi ia tetap melaksanakan tiga rakaat, makasholatnya sah.
2. Seseorang yang akan melaksanakan sholat Dzhuhur, tapi niatnya melaksanakan sholat asahr maka sholatnya tidak sah.
3. Seseorang bersumpah tidak akan berbicara dengan seseorang dan maksudnya dengan ahmad, maka sumpahnya hanya berlaku pada dia saja.
Qaidah kedua:
اليقين لايزال بالشك
“Sesuatu yang sudah yakin tidak dapat dihilangkan dengan adanya sesuatu
keraguan”
Jadi maksud qaidah ini ialah: Apabila seseorang telah meyakini suatu perkara, maka yang telah yakin ini tidak dapat dihilangkan dengan keraguan.
Berdasarkan qaidah ini, manakala seseorang menjumpai sutu keraguan mengenai hukum suatu perkara, maka diperlakukan hokum yang telah ada atau yang ditetapkan pada masa yang telah lewat, sampai ada hukum lain yang merubahnya, karena apa yang telah ada lebih dapat diyakini.
Qaidah ini disimpulkan berdasarka hadits:
اذاشك احدكم فى صلاته فلم يدر كم صلى اثلاثا ام اربعا فليطرح الشك واليقين على مااستيقن
“Jika salah seorang diantara kamu ragu-ragu dalam mengerjakan sholat dan tidak tahu berapa rakaat ia telah sholat. Apakah telah mengerjakan tiga atau empat rakaat, maka hendaklah menghilangkan keraguan itu dan hendaknya menetapkan dengan apa yang diyakininya”.(HR.Muslim)
Cabang-cabangnya
1. Qaidah
الاصول بقاء ما كان على ما كان
“Yang menjadi dasar adalah tetapnya apa yang telah ada atas apa yang telah ada”.
2. Qaidah
الاصل براءة الذ مة
“ Asal itu bebas dari tanggungan”
3. Qoidah
الاصل فى اللاشياء الاباحة
“ Asal dari sesuatu adalah kebolehan.”
4. Qaidah
الاصل فى الاباحة التحريم
“ Asal dari dalam kemubahan adalah keharaman.”
5. Qaidah
الاصل فى الكلام الحقيقة
“ Asal dari ucapan adalah hakikat ucapan tersebut.”
Contoh aplikasinya.
Apabila seseorang sedang melakukan sholat Ashar, kemudian dia ragu apakah sudah empat rakaat atau baru tiga rakaat maka ambillah yang lebih yakin yaitu tiga rakaat. Namun, sebelum salam disunnahkan sujud sahwi dua kali.
Qaidah ketiga:
الضرر يزال
“Kemudhorotan itu harus dihilangkan”
Redaksi kata-kata dalam qaidah ini, menunjukkan bahwa kemudhoratan yang telah terjadi wajib dihilangkan.
Sedangkan arena daripada qaidah ini sangat luas, mencakup sebagian besar dari masalah-masalah fiqh. Diantaranya ia mengembalikan barang telah dibeli, karena adanya cacat, disyari’aqtrkannya berbagai macam khiyar, syuf’ah dan hudud.
Qaidah ini berasal dari hadits:
لاضرارولاضرار (رواه ابن ماجه)
“Tidak boleh membuat kemodhoratan dan membalas dengan kemudhoratan”. (HR. Ibnu Majah).
Cabang-cabangnya
1. Qaidah
الضررلا يزال بمثله
“Kemudhorotan tidak boleh dihilangkan dengan kemudhorotan yang sebanding”.
2. Qaidah
الضرورات تبيح المحظورات
“Keadaan dharurat itu membolehkan larangan-larangan”.
3. Qaidah
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“ Menolak kemafsadatan didahulukan dari pada mengambil kemaslahatan”
Contoh aplikasinya
1. Tidak boleh bagi seseorang yang sedang kelaparan mengambil makanan orang lain yang juga akan mati kelaparan apabila makanannya hilang
2. Begitu juga dilarang bagi dokter mengobati pasien yang memerlukan darah, dengan mengambil darah orang lain yang apabila diambil darahnya akan mengalami penyakit kekurangan darah.
Qaidah keempat:
المشقة تجلب التيسير
“Kesukaran itu mendatangkan kemudharatan”
Qaidah di atas memberikan arti bahwa setiap kesepitan yang dihadapi oleh seseorang atau masyarakat harus diperlonggar sedemikian rupa, sehingga benar-benar akan terasa adanya kebahagiaan dengan datangnya syari’at Islam.
Sedangkan mengenai kadar yang harus dipakai untuk menghilangkan kesempitan ini syari’at Islam telah meletakkan aturan-aturannya yang difahami dari qidah-qaidah berikut.
Qaidah ini berdasarkan kepada:
وما جعل عليكم فى الدين من حرج
”Dan Dia (Allah) tidak menjadikan untuk kamu dalam agama ini suatu kesulitan”. (al-Hajj: 78)
يريدالله بكم اليسر ولايريد بكم العسر
“Allah menghendaki menghendaki bagimu kemudahan dan tidak menghenbaki bagimu kesulitan”. (al-Baqarah: 8)
فمن اضطر غيرباغ ولاعاد فلا اثم عليه
“Tetapi barang sispa dalam keadaan terpaksa (memakannya)sedang ia tidak menginginkannyadan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya”.
(al: Baqarah: 173).
Cabang-cabangnya
1. Qaidah
الامر اذا ضاق اتسع
“Suatu perkara apabila sempit menjadi luas”.
2. Qaidah
الرخصة لا تناط بالمعاصى
“ Rukhsoh –rukhsoh itu tidak boleh dihubungkan dengan kemaksiatan.”
3. Qaidah
الرخصة لا تناط بالشك
“ Rukhsoh –rukhsoh itu tidak boleh dihubungkan dengan keraguan.”
Contoh aplikasinya
1. Dalam keadaan musafir, dibolehkan mengqoshor shalat, dari empat rakaat menjadi dua rakaat.
2. Bolehnya buka puasa ketika bepergian atau sakit
3. Dibolehkan tidak ada wajib qobil dalam jual barang-barang yang tidak berharga.
4. Tidak ada kelonggaran untuk melaksanakan maksiat apapun alasannya, tapi diharuskan untuk menghindarinya
Qaidah kelima:
العادة محكمة
“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.
Maksud dari qaidah ini adalah suatu kebiasaan bisa dijadikan patokan hukum. Kebiasaan dalam istilah hukum sering disebut sebagai urf atau adat.
Adapun sampai di mana sutu peristiwa yang terjadi dalam masyarakat dapat disebut adap. Para fuqaha memberikan definisi sebagai berikut:
العادة ما تعاررفه الناس وساروا عليه فى مجرى حياتهم سواءكان قولا ام فعلا
“Adat ialah segala yang telah dikenal manusia, sehingga hal itu telah menjadi suatu kebiasaan yang berlaku dalamkehidupan mereka baik betupa perkataan maupun pebuatan”.
Qaidah ini ditetapkan berdasarkan firman Allah:
واءمر بالعرف واعرض عن الجاهلين
“Dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang yang bodoh”. (al-A’rof: 199).
Cabang-cabangnya
1. Qaidah
المعروف عرفا كالمشروط شرط
“Yang baik itu menjadi ‘urf sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat.”
2. Qaidah
الثابت بالمعروف كالثابت بالنص
“Yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash.”
Contoh aplikasinya
1. Menjual buah di pohon adalah tidak boleh menurut qiyas karena tidak jelas jumlahnya, tapi karena sudah menjadi kebiasaan ( adat ) maka ulama membolehkannya.
2. Mereka yang mengajarkan al- Qur’an dibolehkan menerima gaji, hal itu antara lain agar al-Qur’an tetap eksis dikalangan umat islam.
KESIMPULAN
Secara etimologi, arti qaidah adalah asas (dasar), yaitu yang menjadi dasar berdirinya sesuatu. Bias juga diartikan dasar sesuatu dan fondasinya (pokoknya).(Al-Asfahani: 409, Az-Jaidy:171)
Adapun menurut istilah atau nterminologi, ulama ushul membuat beberapa definisi, sebagai berikut:
a. Ketentuan universal yang bersesuaian dengan bagian-bagiannya (juz-juznya).
b. Ketentuan pernyataan universal yang memberikan pengetahuan tentang berbagai hukum dan bagian-bagiannya.
c. Hukum universal (kulli) yang bersesuaian dengan bagiannya, dan bisa diketahui hukumny.
d. Ketentuan universal yang bisa bersesuaian dengan bagian-bagiannya serta bisa di fahami hukumnya dari perkara tersebut.
Imam Sarkhasi berkata dalam kitab Khitamu Ba’dul Fusuli: “Siapa saja yang menhukimi suatu masalah cabang dengan ashl dan ia benar-benar memahaminya maka akan mudah baginya untuk mengambil kesimpulannya.”
Imam Al- Mardinami berkata dalam kitab Al-Ma’akil: “Barang siapa yang menghukumi ashal dengan yang sebenarnya, ia akan bisa mengeluarkan hukum sesuai dengan keinginannya, baik berdasarkan pandangannya ataupun yang berlawaqnan.”
Lima qaidah pokok:
1. Setiap perkara tergantung kepada maksud mengerjakannya
2. Sesuatu yang sudah yakin tidak dapat dihilangkan dengan adanya sesuatu
keraguan
3. Kemudhorotan itu harus dihilangkan
4. Kesukaran itu mendatangkan kemudharatan
5. Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Miftahul, Faishal Haq, Ushul Fiqh, Surabaya: CV. Citra Media, 1997
Hamid, Abdul Hakim, Mabady Awwaliyyah, Jakarta: Maktabah Sa’adiyah Putra,
Syafe’I, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007
Sumber: Pemuda Muslim

1 comment:

Komentar Facebook