Tuesday, June 24, 2014

CERMINAN AKHIRAT DALAM RANAH LOGIKA DAN RASA



DUNIA SEBAGAI CERMINAN AKHIRAT DALAM RANAH LOGIKA DAN RASATop of Form

            DUNIA INI BAYANGAN TERBALIKNYA AKHIRAT
            LOGIKA AGAMA, DITAMBAH PRESTASI IBADAT
            RIDO ALLAH, KALAU SUDAH  DIDAPAT
            MASUK SURGA, TIMBANGAN AMALNYA BERAT

IDOLAKU      M.RAKIB
LPMP. RIAU DI PEKANBARU  INDONESIA.2014

        Boleh jadi dunia ini cermin terbalik dari bayangan akhirat. Ranah agama memang berada di irisan antara logika dan rasa. Jika Anda perhatikan baik-baik semua dasar iman yang tertera di agama manapun berada di ranah rasa, hati dan kepercayaan yang sifatnya abstrak dan kadang sulit dibuktikan secara empiris. Tunggu dulu jangan kemudian menghakimi saya sebagai sekuler atau julukan apapun yang sering disematkan kepada orang-orang lain yang mencoba untuk berpendapat, terutama di ranah sensitif ini. Tulisan ini saya buat, karena kekhawatiran saya melihat bagaimana umat beragama (dan yang tidak beragama), agama apapun, memanisfestasikan keberagamaan (dan ketidakberagamaan) mereka dalam bermasyarakat, dalam berkehidupan di dunia. Kekhawatiran saya ini muncul setelah mengamati bagaimana orang-orang saat ini melihat agama hanya dari kacamata rasa saja atau dari kacamata logika saja.
            Beragama hanya dengan rasa saja hanya akan menuntun orang tersebut pada sikap fanatisme buta dengan mengesampingkan rasionalitas. Hal itu tentu saja sangat berbahaya, pengejawantahan ayat-ayat melalui tafsir-tafsir yang tidak rasional kadang berakhir kontraproduktif dengan semangat awal agama tersebut muncul. Sedangkan berpikir dengan logika saja dalam memahami agama, tentu akan menggiring Anda menjadi tidak percaya akan adanya hal-hal yang tidak rasional dalam agama. Seperti saya sebut diawal, dasar agama pun sebagian besar disusun dari hal-hal yang sifatnya tidak rasional. Sehingga tidak sedikit orang yang awalnya berangkat dari logika untuk memahami agama kemudian menjadi tidak percaya adanya Tuhan.
Kemudian mana pendekatan yang benar dalam beragama? Karena agama sendiri ada di kedua ranah rasa dan logika, maka harus dengan keduanyalah kita ber-Tuhan. Tapi bukankah rasa dan logika bertolak belakang? Sebenarnya jika mau jujur, manusia sendiri adalah bukti otentik bahwa hidup bukan hanya sekedar logika ataupun sekedar rasa. Manusia tidak bisa lepas dari keduanya, manusia membangun peradabannya sendiri dengan rasa dan logika. Hidup keseharian manusia pun tidak lepas dari keduanya, dan ketika keduanya mampu hadir berdampingan dalam satu sosok manusia, terkadang kita melabeli manusia tipe ini dengan sebutan sempurna. Baik hati dan juga cerdas dalam berpikir, bukankah itu kombinasi karakter yang hebat.
Nah yang menjadi perdebatan sengit adalah ketika rasa itu sendiri dianggap bukanlah monopoli agama saja. Banyak agnotis dan atheis yang berpikir bahwa tidak valid mengatakan bahwa orang yang tidak percaya agama atau tidak percaya Tuhan tidak bisa menjadi orang baik atau memiliki rasa. Betul sekali, tapi kemudian hal ini menjadi membingungkan. Bagaimana mungkin orang yang berpikir dengan logika terhadap agama dan Tuhan, bisa percaya terhadap rasa yang sifatnya abstrak. Kita sebut saja misalnya cinta, kasih sayang, dan seterusnya. Secara fisik hal tersebut memang tidak ada namun bisa dirasakan, seperti apa yang orang-orang beragama dan ber-Tuhan rasakan terhadap iman mereka. Seperti saya sebutkan sebelumnya, bahwa manusia adalah bukti otentik irisan dari rasa dan logika, sehingga memang wajar semua manusia pasti akan memanisfestasikan keduanya dalam berkehidupan. Terlepas dari beragama atau tidak, ber-Tuhan atau tidak.
          Saya tidak membahas lebih jauh tentang apakah Anda harus beragama atau tidak, ber-Tuhan atau tidak. Karena itu kurang lebih akan seperti membicarakan tentang cinta dan akal sehat. Semua terserah Anda dan keputusan personal Anda. Tetapi pada intinya, kadang mereka yang tidak beragama dan ber-Tuhan adalah mereka yang kecewa terhadap agama dan Tuhan. Dan kadang mereka yang beragama dan ber-Tuhan adalah karena mereka mencintai agama dan Tuhan mereka. Subjeknya masih sama-sama agama dan Tuhan. Sebenarnya ada juga jenis ketiga, yaitu mereka yang ikut-ikutan beragama atau tidak beragama, karena tidak punya pilihan baik secara sadar ataupun tidak sadar. Jenis yang mengenaskan.

Nah, yang akan saya kupas sekarang adalah tentang rasa dan logika tadi dalam kehidupan beragama. Hal yang membingungkan adalah bagaimana menyatukan keduanya dalam sikap dan pandangan beragama dan ber-Tuhan. Itulah hal yang paling sulit dilakukan, kapan harus bertindak dan berpikir dengan rasa dan kapan bertindak dan berpikir dengan logika, apalagi jika Anda bersikap dan berucap atas nama agama.
Dalam dunia yang makin kompleks seperti saat ini, setiap orang dituntut untuk dapat bertindak sesuai kaidah-kaidah konsesus sosial kemasyarakatan yang pada dasarnya disusun berdasarkan dialektika yang logis. Entah itu dalam bentuk produk hukum ataupun aturan sosial. Kompleksitas itu mengacu pada bentuk hubungan antar manusia yang ada saat ini. Kemajuan zaman ini menuntut perubahan disana-sini di dalam kaidah-kaidah konsensus tadi. Dan di saat yang bersamaan agama dan segala aturannya terlihat mulai usang dan ketinggalan zaman. Namun apakah benar demikian? Seperti yang pernah saya tulis di salah satu tulisan saya yang berjudul “Tantangan Ber-Islam di Zaman Moderen“, terlihat bahwa sebenernya pada awal kemunculan setiap agama, masing-masing mereka membawa nilai-nilai progresivitas dan inovasi. Yang tentu saja keduanya menjawab permasalahan yang muncul saat itu. Walaupun sebagian besar nilai-nilai itu bersifat spiritualitas yang berada di ranah rasa, tetapi tidak sedikit juga nilai-nilai progesivitas dan inovasi itu merambah ke ranah hubungan antar manusia, yang tentu saja banyak yang mengedepankan logika ketimbang rasa.
Jadi sebenarnya, yang perlu kita lakukan hanyalah menempatkan rasa dan logika di tempat semestinya. Keyakinan, keimanan, kepercayaan yang merupakan ranah rasa sangatlah tepat untuk ditempatkan dalam konteks “why“, sedangkan sikap dan ucapan yang merupakan manifestasi nyata cara berpikir logis dalam kehidupan bermasyarakat akan tepat untuk ditempatkan dalam konteks “how“. Itu bukan berarti bahwa keduanya tidak hadir bersamaan, namun sebaliknya dengan begitu hubungan sebab akibatnya jelas. Bahwa amal sudah seharusnya representasi dari iman.
Jika kita lihat saat ini, banyak orang menempatkan rasa di dalam konteks “how”, sehingga sikap dan ucapan mereka memang didominasi oleh ranah yang kadang memang jauh dari akal sehat. Anda mungkin familiar dengan orang-orang yang melakukan kekerasan atas nama agama. Hubungan antar manusia mereka tidak berjalan baik sehingga yang mereka lakukan memang benar-benar keluar dari pakem konsensus hukum yang mengedepankan logika. Orang-orang yang terjebak dalam ranah rasa ini, seringkali terjebak dalam “bentuk amal”. Ini yang pada akhirnya membuat agama itu jauh dari nilai progesivitas dan inovasi, kita biasanya menyebutnya konservatif atau kolot. Karena yang mereka lakukan hanyalah meniru apa-apa yang orang-orang sebelumnya lakukan, tidak lebih.
Banyak juga yang menempatkan logika di wilayah “why” dimana kepercayaan, keyakinan dan keimanan berada. Tentu saja inipun tidak tepat, bagaimana Anda mau menjelaskan Tuhan, malaikat, hari akhir, neraka dan akhirat jika parameter dan alat untuk mengukurnya saja tidak ada. Kalaupun ada, Anda tahu ini dari kitab suci masing-masing. Di titik ini jelas manusia terbatas terhadap konsep-konsep rasa. Ini sama saja seperti menanyakan seberapa besar cinta Anda pada pasangan Anda, jika ingin diukur dalam skala yang valid. Tetapi bukan berarti hal itu tidak ada. Konsep ke-Tuhan-an itu jelas ada mengiringi sejarah umat manusia. (Ini akan jadi bahasan yang menarik jika berdiskusi dengan teman-teman atheis).
Kita harus sadari bahwa dunia sendiri adalah pengejawantahan dari logika, sehingga pendekatan dan alat untuk memahaminya pun adalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Semua yang ada didalamnya pun merupakan pengejawantahan logika yang kemudian manusia tuangkan dalam ilmu pengetahuan. Hanya manusialah yang kemudian memasukkan rasa pada dunia dan seluruh isinya, tanpa manusia siapa yang akan menyebut dunia ini dunia, dan tanpa manusia apakah dunia akan seperti dunia saat ini? Jadi sebisa mungkin jangan menempatkan rasa dan logika di tempat yang salah. Jadikan rasa sebagai alasan dan logika sebagai amalan, dan keduanya muncul dalam satu kesatuan, kepribadian.
“Man tamanthaqa faqad fazandaqa”, demikian ungkapan terkenal dari tokoh besar di dunia Islam, Ibn Taimiyyah. Arti harfiahnya kira-kira adalah, “Barang siapa menggunakan logika maka ia telah kafir”.
Apakah sikap seperti ini dapat dibenarkan? Ataukah memang mutlak salah? Apa implikasi jika sikap seperti ini dibenarkan? Dan apa pula konsekuensinya jika ia mutlak salah? Ataukah sikap seperti ini relatif, bisa benar sekaligus bisa salah secara bersamaan atau secara fuzzy ? Dan apa-kah konsekuensinya jika kebenaran sikap seperti ini fuzzy atau relatif?
Logika adalah kaidah-kaidah berfikir. Subyeknya akal-akal rasional. Obyeknya adalah proposisi bahasa. Proposisi bahasa mencerminkan realitas, apakah itu realitas di alam nyata ataupun realitas di alam fikiran. Kaidah-kaidah berfikir dalam logika bersifat niscaya atau mesti. Penolakan terhadap kaidah berfikir ini mustahil (tidak mungkin). Bahkan mustahil pula dalam semua khayalan yang mungkin (all possible intelligebles). Contohnya, sesuatu apapun pasti sama dengan dirinya sendiri, dan tidak sama dengan yang bukan dirinya.
Prinsip berfikir ini telah tertanam secara niscaya sejak manusia lahir. Tertanam secara spontan. Dan selalu hadir kapan saja fikiran digunakan. Dan harus selalu diterima kapan saja realitas apapun dipahami. Bahkan, lebih jauh, prinsip ini sesungguhnya adalah satu dari watak niscaya seluruh yang maujud (the very property of being). Tidak mengakui prinsip ini, yang biasa disebut dengan prinsip non-kontradiksi, akan menghancurkan seluruh kebenaran dalam alam bahasa maupun dalam semua alam lain. Tidak menerimanya berarti meruntuhkan seluruh bagunan agama, filsafat, sains dan teknologi, dan seluruh pengetahuan manusia.
Sebagai contoh perkataan ‘Ibn Taimiyyah di atas, jika misal pernyataan itu benar, maka menggunakan kaidah logika adalah salah. Karena menggunakan kaidah logika salah, maka prinsip non-kontradiksi salah. Kalau prinsip non-kontradiksi salah . Artinya seluruh kebenaran tiada bermakna, tidak bisa dibenarkan ataupun disalahkan, atau bisa dibenarkan dan disalahkan sekaligus. Kalalu seluruh keberadaan tidak bermakna, maka pernyataan itu sendiri “Man tamanthaqa faqad fazandaqa” juga nafi. Tak bermakna. Tak perlu dipikirkan.
Menerima kebenaran pernyataan beliau tersebut sama saja dengan mengkafirkan beliau. Karena jika peenyataan tersebut benar, maka untuk membenarkannya telah digunakan kaidah logika. Dan karena beliau telah menggunakan kaidah logika, menurut pernyataan-nya sendiri beliau kafir. Jadi sebaiknya pernyataan pengkafiran orang yang menggunakan logika ini benar-benar ditolak. Pernyataan ini salah. Salah. Dan mustahil benar. Karena kalau benar, semua orang yang berfikir benar kafir. Dan ini mustahil.
“Wa qul jaa ‘al-haqqa wazahaaqal-baathil, innal-baathila kaana zahuuqa.” Dalam pandangan saya, Islam jelas menentang adanya relativisme Kebenaran. Dalam Islam yang benar pasti benar dan tidak mungkin salah. Sedang yang salah pasti salah dan tak mungkin benar. Dalam dunia dikenali adanya golongan relativis kebenaran yang disebut sufastaiyyah. Golongan relativis kebenaran ini merupakan pewaris mazhab pemikiran sophisme, yang bermula pada abad ke-5 dan ke-4 SM di Yunani melalui pemikiran Protagoras, Hippias, Prodicus, Giorgias dan lain-lain.
Beberapa pemikiran yang mendasari gelombang filsafat pasca-modernis juga merupakan cerminan dari pandangan golongan ini. Dalam majalah Ummat No.3/Thn.I/7 Agustus 1995, hal 76, DR.Wan Mohd Nor Wan Daud menjelaskan bahwa Akidah Islam jelas menentang keras sikap golongan sufastaiyyah ini. Bagi golongan sufastaiyyah, benar itu bisa salah dan salah itu bisa benar. Bagi golongan shopisme Yunsni, semua yang jelas-jelas ada ini dianggap tidak memiliki keberadaan. Jadi ada dan tiada sama saja. Bagi golongan positivis pasca- Renaisance, semua yang tidak bisa diukur tidak bisa ditentukan benar salahnya. Bagi pengikut Marx dan Hegel, kontradiksibukan saja mungkin terjadi, tapi menjadi arah gerakan alam yang sering disebut sebagai dialektika Hegel. Bagi golongan relativis pasca-modern, yang mendasarkan pemiokirannya pada language games ala Wittgenstein ataupun Russel seyiap propisisi adalah bahasa, dan setiap bahasa nilai kebenarannya relatif, karena itu setiap keberanan itu relatif.
Adapun sufastaiyyah, misalnya sama. Menghancurkan kaidah dasar logoka. Yaitu prinsip non-kontradiksi. Hanya Protagoras meniadakannya dalam tingkatan ada-tidaknya segala sesuatu, para positivis meniadakannya pada tingkatan hal yang tidak bisa diindra, Marx dan Hegel meniadaknnya sebagai watak umum segala yang maujud, dan Wittgenstein maupun Russel menghilangkan otoritas fikiran untuk menerapkan kaidahnaya kepada alam di luar fikiran. Hasilnya sama. Runtuhnya seluruh bangunan pengetahuan manusia. Runtuhnya suatu bangunan keyakinan manusia. Bahkan keyakinan tentang adanya dirinya sendiri ! Na’uudzubihi min dzaalik.
Penerapan kaidah-kaidah berfikir yang benar telah menghantarkan para filosof besar pada keyakinan yang pasti akan keberadaan Tuhan. Socraets dengan The Most Beauty -nya. Plato dengan archetype -nya. Aristoteles dengan prime-mover-nya.. ‘Ibn Arabi dengan al-jam’u bainal-‘addaad (coincindentia in oppositorium) nya. Suhrawardi dengan Nur-i-qahir nya. Mulla Shadra dan Mulla Hadi Sabzavary dengan Al-Wujud Al-Muthlaq-nya. Jelas-jelas penerapan logika bagi mereka tidak menentang agama. Malah sebaliknya, me-real-kan agama sampai ke seluruh pori-pori rohaninya yang mingkin. Atau dengan kata lain, mencapai hakikat. Dalam dialog terakhir Socrates, digambarkan betapa figur filsuf ini mati tersenyum setelah menyebut nama Tuhan sebelum akhir hayatnya.
Tentang Aristoteles, sebuah riwayat menyatakan bahwa ia adalah seorang nabi yang didustakan ummatnya. Tentang ‘Ibn ‘Arabi, tidak ada yang menyangsingkan sebagai salah seorang sufi terbesar sepanjang sejarah dengan tak terhitung pengalaman ruhani yang tertulis di kurang lebih 700 kitabnya. Sedang Mulla Shadra , tujuh kali haji ke Mekkah dengan berjalan dari Qum (Iran) hanya untuk memenuhi panggilan kekasih-Nya. Alih-alih logika menentang agama, malah logika adalah kendaraan super-executive untuk mencapai hakikat. Dan sekali lagi alih-alih logika menentang agama , tanpa logika agama tak-kan dapat terpahami. Jadi apakah logika menentang agama?
saya kagum dg ibn taimiyah. Bagaimanapun beliau salah seorang tokoh filsuf islam terkemuka. Sumbangsih pemikirannya sangat nyata kita rasakan hingga saat ini. Semoga Allah senantiasa meridhainya. Kita disini dg kekinian kita saat ini tentu dg pemahaman kita sendiri dan kekinian kita sendiri. Usaha untuk memahami jalan pikiran seoran ibn taimiyah dg kacamata kekinian mustahil akan menghasilkan kesimpulan yg benar2 valid. Apa yg terucap tentu dilatarbelakangi situasi saat itu.dan tdk ada seorangpun manusia yg bisa menggaransi originalitas informasi tentang seorang ibn taimiyah kpd kita sampai sekarang ini.maka kurang bijak jika kita serta merta menggambarkan ibn taimiyah dgn sgl kekurangannya dan mencapnya secara negatif.

qta sebagai manusia tidak boleh memandang selalu sisi negatif seseorang,,,,ibnu taimiyah seorang filosof yang hebat,,,,,,
(anak tuhan)

Orang baru tidak percaya logika,ketika melihat sesuatu yang tidak bisa dilogikakan. Misal;bisakah dilogikakan kenapa angin tidak bisa dilihat mata?Kenapa burung berbeda warna bulunya?Dan banyak lagi hal diluar logika kita.Kenapa harus melogikan keyakinan?Sedang hal nyatapun kadang diluar logika kita..
  1.  

dan perumpamaan – perumpamaan itu Kami jadikan untuk manusia, dan tiada yang memahaminya melainkan orang – orang yang berilmu.
Allah menciptakan langit dan bumi dengan sebenarnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah sesuatu tanda (kekuasaaan Allah) bagi orang-orang mukmin.
QS. Al Ankabuut 43 – 44
saya berpendapat, bahwa akal adalah untuk yang pertama melangkan memilih mana yang positif dan sebaliknya. nah apabila akal sudah menerima yang positif, barulah hati menerimanya dengan ikhlas.

“Man tamanthaqa faqad fazandaqa” (Ibn Taimiyyah), bisa mohon dijelaskan makna “kafir” yang dimaksudnya. Karena ada macam-macam kafir.
  1. Bagaimanapun hebatnya seseorang pasti mempunyai kekurangan, karena statusnya sebagai manusia, itu yang meniscayakan kekurangannya… namun dalam masalah ini (Pemikiran Ibnu Taymiyah dalam masalah logika) mungkin perlu di jelaskan dan dikaji lebih lusa lagi, tidak hanya mwngkaji statement yang menyatakan >>>>>>>>>
    “Man tamanthaqa faqad fazandaqa”, demikian ungkapan terkenal dari tokoh besar di dunia Islam, Ibn Taimiyyah. Arti harfiahnya kira-kira adalah, “Barang siapa menggunakan logika maka ia telah kafir”…… kemudian berhenti sampai disitu dan mengambil kesimpulan sendiri tentang pemikiaran Ibnu Taymiyah tentang LOGIKA…
    Saya rasa Ibnu T juga tidak mungkin sepicik itu dalam mengartikan penggunaan LOGIKA,
    jadi paling tidak yang perlu kita kaji,
    Apa yang melatarbelakangi Ibnu T sehingga mengeluarkan statement seperti itu..?
    Bagaimana situasi sosio-kultural-politis saat Ibnu T mengeluarkan statement itu..?
    Bagaimana Pendapat-pendapat Ibnu T dalam karyanya yan lain…
    Dan sebagainya…
    sehingga dengan pengkajian yang lebih komprehensif seperti itu kita tidak terjebak pada kerancuan asumsi terhadap seseorang, apalagi kita tau Ibnu Taimiah merupakan ulama besar yang sangat berpengaruh terhadap pemahaman umat tentang Agama Islam…
    Kalau pembacaan yang mentah seperti di atas, kita bukannya mendiskusikan pemikiran Ibnu T tentang Logika tapi mendiskusikan pemahaman ADMIN tentang Ibnu taimiah yang notabnenenya mengambil kesimpualan yang sangat mentah…
    demikian Wallahua’lam bisshowab..
  2.  

Bagaimanapun hebatnya seseorang pasti mempunyai kekurangan, karena statusnya sebagai manusia, itu yang meniscayakan kekurangannya… namun dalam masalah ini (Pemikiran Ibnu Taymiyah dalam masalah logika) mungkin perlu di jelaskan dan dikaji lebih luas lagi, tidak hanya mengkaji statement yang menyatakan >>>>>>>>>
“Man tamanthaqa faqad fazandaqa”, demikian ungkapan terkenal dari tokoh besar di dunia Islam, Ibn Taimiyyah. Arti harfiahnya kira-kira adalah, “Barang siapa menggunakan logika maka ia telah kafir”…… kemudian berhenti sampai disitu dan mengambil kesimpulan sendiri tentang pemikiaran Ibnu Taymiyah tentang LOGIKA…
Saya rasa Ibnu T juga tidak mungkin sepicik itu dalam mengartikan penggunaan LOGIKA,
jadi paling tidak yang perlu kita kaji,
Apa yang melatarbelakangi Ibnu T sehingga mengeluarkan statement seperti itu..?
Bagaimana situasi sosio-kultural-politis saat Ibnu T mengeluarkan statement itu..?
Bagaimana Pendapat-pendapat Ibnu T dalam karyanya yan lain…
Dan sebagainya…
sehingga dengan pengkajian yang lebih komprehensif seperti itu kita tidak terjebak pada kerancuan asumsi terhadap seseorang, apalagi kita tau Ibnu Taimiah merupakan ulama besar yang sangat berpengaruh terhadap pemahaman umat tentang Agama Islam…
Kalau pembacaan yang mentah seperti di atas, kita bukannya mendiskusikan pemikiran Ibnu T tentang Logika tapi mendiskusikan pemahaman ADMIN tentang Ibnu taimiah yang notabnenenya mengambil kesimpualan yang sangat mentah…
demikian Wallahua’lam bisshowab..
  1. http://0.gravatar.com/avatar/a1728142ab06790c691de146b3629436?s=32&d=http%3A%2F%2F0.gravatar.com%2Favatar%2Fad516503a11cd5ca435acc9bb6523536%3Fs%3D32&r=G Di masa kini ke depan Sunda akan melahirkan Para Filsuf Handal yang siap menghancurkan kesalahan cara berpikir & manipulasi ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh Para Filsuf Dunia.
    MARI KITA MEMBUAT KARYA FILSAFAT AGAR KITA MENJADI SEORANG FILSUF, YANG BERTANGGUNG JAWAB MENGHADIRKAN KEMBALI KEBENARAN ILMU SANG MAHA PENCIPTA, sebagai mana yang dilakukan oleh Filsuf Sunda Mandalajati Niskala, yang sebagian hipotesisnya sbb:
1) Menurut para akhli di seluruh Dunia bahwa GRAVITASI BUMI EFEK DARI ROTASI BUMI.
Menurut Filsuf Sunda Mandalajati Niskala SALAH BESAR, bahwa Gravitasi Bumi TIDAK ADA KAITANNYA DENGAN ROTASI BUMI. Sekalipun bumi berhenti berputar Gravitasi Bumi tetap ada.
2) Bahkan kesalahan lainnya yaitu semua akhli sepakat bahwa panas di bagian Inti Matahari mencapai 15 Juta Derajat Celcius.
Menurut Filsuf Sunda Mandalajati Niskala panas Inti Matahari SEDINGIN AIR PEGUNUNGAN”.
Beliau menambahkan:“KALAU TIDAK PERCAYA SILAKAN BUKTIKAN SENDIRI”.
3) Filsuf Sunda Mandalajati Niskala sangat logis menjelaskan kepada banyak pihak bahwa MATAHARI ADALAH GUMPALAN BOLA AIR RAKSASA YANG BERADA PADA RUANG HAMPA BERTEKANAN MINUS, SEHINGGA DI BAGIAN SELURUH SISI BOLA AIR RAKSASA TERSEBUT IKATAN H2O PUTUS MENJADI GAS HIDROGEN DAN GAS OKSIGEN, YANG SERTA MERTA AKAN TERBAKAR DISAAT TERJADI PEMUTUSAN IKATAN TERSEBUT. Suhu kulit Matahari menjadi sangat panas karena Oksigen dan Hidrogen terbakar, tapi suhu Inti Matahari TETAP SEDINGIN AIR PEGUNUNGAN.
4) Filsuf Sunda Mandalajati Niskala menegaskan: “CATAT YA SEMUA BINTANG TERBUAT DARI AIR DAN SUHU PANAS INTI BINTANG SEDINGIN AIR PEGUNUNGAN. TITIK”.
5) Menurut para akhli diseluruh Dunia bahwa Gravitasi ditimbulkan oleh adanya massa pada suatu Zat.
Menurut Filsuf Sunda Mandalajati Niskala: “GAYA GRAVITASI BUKAN DITIMBULKAN OLEH ADANYA MASSA PADA SEBUAH ZAT ATAU BENDA”.
Mandalajati Niskala menambahkan: “Silahkan pada mikir & jangan terlalu doyan mengkonmsumsi buku2 Barat.
6) Filsuf Sunda Mandalajati Niskala membuat pertanyaan di bawah ini yang cukup menantang bagi orang-orang yang mau berpikir:
a) BAGAIMANA TERJADINYA GAYA GRAVITASI DI PLANET BUMI?
b) BAGAIMANA MENGHILANGKAN GAYA GRAVITASI DI PLANET BUMI?
c) BAGAIMANA MEMBUAT GAYA GRAVITASI DI PLANET LAIN YG TIDAK MEMILIKI GAYA GRAVITASI?
7) Menurut para akhli diseluruh Dunia bahwa Matahari memiliki Gaya Gravitasi yang sangat besar.
Menurut Filsuf Sunda Mandalajati Niskala Matahari tidak memiliki Gaya Gravitasi tapi memiliki GAYA ANTI GRAVITASI.
8) Pernyataan yang paling menarik dari Filsuf Sunda Mandalajati Niskala yaitu:
“SEMUA ORANG TERMASUK PARA AKHLI DI SELURUH DUNIA TIDAK ADA YANG TAHU JUMLAH BINTANG & JUMLAH GALAKSI DI JAGAT RAYA, MAKA AKU BERI TAHU, SBB:
a) Jumlah Bintang di Alam Semesta adalah 1.000.000.000.000.000.000.000.000.000
b) Jumlah Galaksi di Alam Semesta adalah 80.000.000.000.000
c) Jumlah Bintang di setiap Galaksi adalah sekitar 13.000.000.000.000
9) Dll produk Filsafat seluruh cabang ilmu dari Filsuf Sunda Mandalajati Niskala YANG SIAP MENCENGANGKAN DUNIA seperti Wahyu Cakra Ningrat, Trisula Weda, Sangkan Paraning Dumadi, Manunggaling Diri, Sastra Jendra, Filsafat Ilmu Pengetahuan & Jagat Raya, dll.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook