Saturday, June 21, 2014

Jangan terlalu banyak, hari libur, Agar murid, jangan menganggur,



PELUANG DAN TANTANGAN

 Jangan terlalu banyak, hari libur,
Agar murid, jangan menganggur,
Jiwa malasnya, harus digempur,
Rajin bekerja, serta jujur.    

          Peluang muncul akibat adanya pemberlakuan kurikulum, Sebuah tren baru perubahan, perlu disikapi dengan kesiapan untuk mengaplikasikannya di lokal dan ruang belajar. Tantangan Guru, tentu saja berkaitan dengan Materi dan bahan ajar  yang bertambah, dan perlu dikuasai dengan cepat oleh pasukan UMAR BAKRI. Inilah yang merupakan kegiatan menyenangkan bagi Guru untuk menguasai bahan ajar baru yang sesuai dengan kurikulum 2013.

       Bagi Guru hal ini  perlu diberikan Diklat untuk menghadapi kurikulum baru, pembekalan metode belajar, penyiapan buku dan materi ajar yang sinkron dengan kurikulum. Guru Indonesia sudah terbiasa dengan perubahan kurikulum sehingga tak begitu kawatir, selalu siap dan menjadi agen perubahan dalam ilmu pengetahuan dan tehnologi.


BAB     II
KURIKULUM ANTI KEMISKINAN
       
          Sekolah TEMPE (Tehnik Mengatasi Penjajahan Ekonomi).Inilah dahulu yang adfa dalam hayalan penulis, ketika masih kuliah tingkat satu, S 1, tahun tahun 1980 di IAIN Suska, yang kini bernama UIN. Lasannya, karena penulis melihat begitu banayak orang miskin.
          Terkejutlah wahai Dikbud, tingkat kemiskinan di Indonesia adalah 11,96 persen. Apabila angka tersebut dikonversikan ke jumlah penduduk, maka ditemukan angka 29,13 juta jiwa penduduk masih masuk dalam kategori sangat miskin. Meski terkesan masih tinggi, Armida mengatakan tingkat kemiskinan saat ini sudah lebih baik dibanding tahun 2011. Pada tahun 2011, di periode yang sama, tingkat kemiskinan nasional adalah 12,49 persen. Angka ini menurun dibandingkan tahun 2010 yang sebesar 13,33 persen. Tingkat kemiskinan tersebut, kata Armida, terus bertahan di kisaran 12 persen hingga akhir tahun 2011. "Sekarang, terhitung pada Maret, sudah 11,96 persen. Jadi bisa dibilang cukup baik," ujar Armida.


        Armida menambahkan, angka tingkat kemiskinan nasional masih bisa turun lebih banyak lagi dibanding apa yang sudah dicapai. Pasalnya, realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal pertama sendiri cukup bagus, 6,3 persen. Namun, Indonesia terkendala angka poverty basket inflation (inflasi yang dirasakan masyarakat miskin) yang masih tinggi. Armida menuturkan, pada triwulan pertama, Indonesia mencatat angka poverty basket inflation sebesar 6,52 persen. Angka tersebut karena tingkat konsumsi masyarakat miskin terhadap pangan yang rendah akibat kelangkaan dan naiknya harga pangan. "Sebagai contoh tahun 2005, meski terjadi pertumbuhan ekonomi, angka kemiskinannya malah naik. Masalahnya, pada tahun itu, poverty basket inflation-nya 12,87 persen akibat melonjaknya harga BBM. Kemampuan konsumsi oleh masyarakat miskin jadi faktor di sini," ucapnya.


          Pada tahun 2013, katanya, pemerintah berharap angka kemiskinan bisa ditekan dikisaran angka 9,5-10,5 persen. “Angka itu, sudah tercatat di RAPBN 2013.”
Masalah kemiskinan dan pengangguran hingga kini masih menjadi masalah di Indonesia. Meski begitu, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebutkan masalah ini bisa diatasi dengan kerja keras seluruh masyarakat. "Kalau semua bekerja keras, saya yakin kita bisa keluar dari kemiskinan dan pengangguran ini," kata Kalla dalam orasi ilmiah pada wisuda mahasiswa Universitas Nasional di Jakarta Convention Center, Selasa, 11 Oktober 2011.


         Menurut Kalla, jika diukur 20 tahun terakhir di atas kertas, pendapatan per kapita Indonesia memang selalu naik. Namun bila dibandingkan dengan negara seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura, pendapatan per kapita Indonesia masih jauh di bawah. Indonesia, kata Kalla, belum mampu menjadi negara besar di bidang ekonomi. "Tidak ada bangsa yang bermartabat tanpa adanya kemajuan ekonomi," ujar Kalla.


            Kalla menyebutkan salah satu ciri tingginya kemiskinan adalah masih banyaknya pengangguran. Meski diakuinya tidak semua orang miskin menganggur, rata-rata orang yang menganggur adalah miskin. Karenanya, untuk mengurangi pengangguran, hal pertama yang dilakukan adalah menghilangkan kemiskinan. Menurut Kalla, kemiskinan tidak hanya dilihat sebagai angka statistik semata. Kemiskinan harus dilihat sebagai masalah multidimensional, yang harus ditangani dengan program makro dan komprehensif. Saat ini, dia menilai pemerintah masih saja sibuk melihat seberapa besar ekonomi dapat tumbuh. Padahal, menurut dia, pertumbuhan ekonomi tidak dapat dijadikan indikator tunggal dalam menyatakan adanya perbaikan kesejahteraan rakyat. "Di sinilah diperlukan peran aktif seluruh komponen bangsa, baik negara lembaga keuangan, civil society, maupun akademisi," ujar Kalla.


         Dalam mengurangi kemiskinan ini, Kalla meminta pemerintah lebih memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan kualitas maupun kuantitas pendidikan di Indonesia. Pemerintah, kata Kalla, harus mulai mengembangkan kebijakan ekonomi yang merakyat. Salah satunya dengan mendorong industri dan ekonomi kerakyatan yang meningkatkan nilai tambah dan tidak hanya fokus pada kuantitas. "Tapi ini semua memerlukan kerja keras semua komponen bangsa, tidak ada bangsa yang makmur tanpa kerja keras."


           Selain itu, Kalla juga menyebutkan komponen lain dalam mengurangi kemiskinan dan pengangguran dalam peningkatan peran perguruan tinggi. Perguruan tinggi diminta mampu menghasilkan lulusan yang mampu memahami masyarakat dengan lebih baik. Lulusan perguruan tinggi juga harus mampu merasakan degup jantung rakyat dan mampu berempati pada masyarakat banyak. "Perguruan tinggi harus mampu melahirkan lulusan yang memiliki kemampuan untuk memberdayakan rakyat miskin."
Dalam menyusun kurikulum perguruan tinggi, Kalla menyarankan agar setiap perguruan tinggi memasukkan pembelajaran "experiential learning". "Jadi, salah satu kunci pengentasan kemiskinan dan pengangguran terletak pada peningkatan pendidikan."
         Kata ‘sejahtera’ sangat populer dan tidak asing didengar oleh telinga masyarakat Indonesia. Kata sejahtera biasanya diletakkan paling akhir dari suatu tujuan , seperti contoh berikut: ‘masyarakat adil, makmur dan sejahtera’, ‘keluarga bahagia sejahtera’, ‘bangsa yang maju dan sejahtera’, dsb,dsb. ‘sejahtera’ menjadi sesuatu “impian” yang hendak diwujudkan baik dalam konteks individu, organisasi, masyarakat maupun Negara. Sehingga, kuranglah ‘afdol’ rasanya.. apabila dalam menyusun dokumen perencanaan, pidato-pidato, penyusunan visi-misi organisasi, individu ataupun partai politik tidak dicantumkan kata ‘sejahtera’. Masalahnya sekarang bagaimana mewujudkan ‘sejahtera’ itu?


          Untuk mewujudkan ‘sejahtera’ perlu dipahami terlebih dahulu pengertian, dan indikator kesejahteraan yang akan sangat berfariasi tergantung kepada konteks dan luas cakupannya. Namun, secara sederhana dapat diartikan ; ‘sebagai suatu kondisi dimana terwujudnya (need) kebutuhan pada tingkat tertentu (baik individu, keluarga, masyarakat, bangsa). Moslow mengklasifikasikan kebutuhan (need) setiap individu bertingkat mulai dari kebutuhan akan sandang pangan, perumahan, pendidikan, derajat sosial. Tingkat kesejahteraan sesorang diukur dari sejauhmana tingkat kebutuhan dasar tersebut dipenuhi. Dalam pelajaran ekonomi klasik dikatakan; “welfare (kesejahteraan) terwujud ketika terjadinya full employment ( angkatan kerja tidak ada yang menganggur). Artinya, kesejahteraan bisa tercapai apabila semua angkatan kerja bekerja (produktif), baik sebagai pekerja maupun menciptakan pekerjaan sendiri.


       Dari pemahaman tersebut, dapat kita simpulkan bahwa kesejahteraan masyarakat tidak mungkin terwujud apabila masyarakat masih banyak miskin dan menganggur. Sehingga kemudian, sejak pemerintahan orde baru s/d sekarang, Program pengentasan kemiskinan dan ketenagakerjaan tetap menjadi prioritas. Masalahnya, sudah sedemikian banyak program pengentasan kemiskinan dan ketenagakerjaan namun kemiskinan dan pengangguran tetap tidak bisa ‘terentaskan’ bahkan sepertinya dilapangan semakin meningkat ?!. Alasan klasik seperti resesi ekonomi, gejolak politik, dsb, bisa saja dikemukakan sebagai penyebab. Ada beberapa kelemahan mendasar dalam upaya pengentasan kemiskinan dan ketenagakerjaan selama ini (menurut saya) a.l:

1. Tidak adanya indicator yang pasti tentang kemiskinan dan pengangguran yang bisa dijadikan rujukan bersama, serta tidak adanya data pendukung yang lengkap terhadap orang miskin dan menganggur yg bisa diakses bersama, sehingga bisa ditentukan program yang tepat bagi masing-masing individu yang miskin dan menganggur (masalah data dan informasi).

2. Sebagian Program pengentasan kemiskinan dan ketenagaakerjaan lebih bersifat jangka pendek (recovery) dan tidak mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran, Seperti; Bantuan Tunai Langsung (BTL), Program Padat Karya (masyarakat menganggur disuruh bekerja dan dibayar). Selesai program mereka tetap miskin dan menganggur

3. Program kemiskinan dan ketenagaakerjaan sangat diminati (ibarat gula dikerubutin semut). Sehingga pada era sebelum otonomi daerah berbagai departemen meluncurkan program dengan metode dan target sasaran sendiri-sendiri, lemahnya koordinasi antar instansi. Sehingga, kesannya orang miskin dan menganggur menjadi ‘obyek’ bukan lagi ‘subyek’. Parahnya lagi, ada kelompok masyarakat yang senang menjadi penerima bantuan tapi ekonomi mereka tidak meningkat-ningkat juga.

4. Ada bebarapa program pengentasan kemiskinan dan ketenagakerjaan yang bersifat jangka panjang dan pengembangan kapasitas kelompok sasaran, baik berupa pelatihan, pembukaan lapangan usaha, maupun modal bergulir. Namun, tetap saja selesai program tidak ada lagi kelanjutan pengelolaan, atau diciptakan program yang kelihatannya baru tapi sebenarnya sama. Alhasil, tetap saja program tersebut putus ditengan jalan.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook