Wednesday, June 11, 2014

SEKARANG TAK BOLEH DILAKUKAN MELANGGAR HAM ORANG KATAKAN



KONSEP BENAR-SALAH MENJADI HILANG DENGAN ADANYA UU PERLINDUNGAN ANAK.


HUKUMAN, DALAM PENDIDIKAN
DAHULUNYA, PUKULAN ROTAN
SEKARANG TAK BOLEH DILAKUKAN
MELANGGAR  HAM ORANG KATAKAN

Hukuman dengan cara yang berlebihan dan diikuti oleh tindakan kekerasan tidak pernah diinginkan oleh siapapun, apa lagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara edukatif. Namun tidak bisa ditampik, di lembaga ini ternyata masih sering terjadi tindak kekerasan.




By M.Rakib Janib Jamari.Jl.Ciptakarya Pekenbaru Indonesia.2014
        Ketika  murid beberapa kali mendapat hukuman dari guru, dilihat pada masa kini, bisa merupakan bentuk penganiayaan. Hukuman diberikan karena memang murid  salah. Apapun kesalahan, pasti mendapatkan hukuman. Itulah yang berlaku saat itu. Ketika pelajaran menggambar, beberapa murid  lupa membawa pengaris, lalu disuruh maju ke depan kelas, menyodorkan tangan, guru menghantamkan penggaris kayu besar (panjang sekitar 1 meter dengan ketebalan sekitar 1 cm) mendarat di punggung dan telapak tangan siswa. Penggaris hancur. Ada murid perempuan sampai menangis, sedangkan  yang laki-laki hanya bisa meringis. Hasil hukuman hari itu bukan hanya tangan memar, tapi hari itu murid tidak bisa menulis.

          Untuk jenis hukuman tempeleng,  sudah menjadi kebiasaan, karena seringkali guru menempeleng murid untuk kategori pelanggaran ringan. Pernah yang ditempeleng dengan  jari guru mengenai mata. Kalau pelanggaran berat,  dipukul di betis dengan menggunakan kayu rotan. Sekalipun murid sering mendapatkan kekerasan dari guru, tidak ada yang berani melaporkan peristiwa itu kepada orang tua. Bukan lantaran diancam oleh guru, melainkan karena takut mendapat hukuman tambahan dari orang tua. Dahulu di kampung   pada umumnya, jika di sekolah murid  dihukum dan diketahui oleh orang tua, berarti  akan mendapatkan lagi hukuman dari orang tua. Justru karena hukuman itu banyak orang  yang sukses dan berhasil. Mereka-mereka ini berhasil menghadapi hukuman karena bagian dari proses pendidikan dan pembinaan. Dengan hukuman itu murid belajar mengetahui kesalahan dan menemukan kebenaran dan kebaikan. Orang yang tidak berani menghadapi hukuman dengan cara lari meninggalkan sekolah, orang-orang ini yang gagal dalam hidupnya.
         Sejak tanggal 22 Oktober 2002, Pemerintah Republik Indonesia, mengundangkan UU Perlindungan Anak ( UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Praktis, sejak saat itu keberadaan sanksi terhadap anak di sekolah akan menjadi sensasi berita yang hangat. UU Perlindungan anak, khususnya pasal 13 ayat (1), menyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a.       diskriminasi;
b.       eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c.       penelantaran;
d.       kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e.       ketidakadilan; dan
f.       perlakuan salah lainnya.
Apa yang diungkapkan dalam pasal 13 ayat (1) ditegaskan dalam pasal 16 ayat (1) dan (2) yang berbunyi:
(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
Dengan adanya UU Perlindungan Anak, guru di sekolah tidak lagi berani memberikan hukuman kepada anak. Guru takut karena sanksi hukumannya tidak main-main. Mengenai sanksi hukuman terhadap tindakan penganiayaan anak tertuang dalam pasal 80. Di sana dinyatakan:
(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Ternyata bukan cuma UU Perlindungan Anak saja yang menjadi instrumen perlindungan anak, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga mengatur soal penganiayaan. Hal itu terdapat dalam pasal Pasal 351 jo. 352 KUHP.
“Penganiayaan” Masih Ada
Sekalipun UU Perlindungan Anak sudah diundangkan, ternyata tindakan memberi hukuman, yang masuk kategori penganiayaan, masih kerap terjadi. Kasus penamparan oleh oknum guru terhadap murid SD Harmoni di Batam. Dikatakan bahwa bekas tamparan itu meninggalkan luka lebam di pipi anak kecil itu sehingga dia jadi trauma ke sekolah. Orang tua sudah melaporkan kasus itu ke polisi.
 “Sebagaimana diberitakan, guru M dilaporkan ke Polsek diduga melakukan penganiayaan terhadap muridnya, Dias Ganang Fardian yang mengaku ditampar satu kali sehingga mengalami luka lebam di bawah mata kirinya. Alasan pemukulan itu, karena korban melanggar disiplin saat upacara bendera, Senin pagi. Sedangkan Kepala SMK Gajah Mungkur 1 Wuryantoro, Saryanto membantah perlakuan guru terhadap muridnya itu sebagai tindakan penganiayaan. “Itu cuma pembinaan karena murid ini ramai bercanda dengan temannya saat upacara berlangsung,” jelasnya. Saryanto mengakui pembinaan dan penegakan disiplin siswa di sekolahnya memang cukup ketat.”
Apa yang dilakukan para guru dengan menghukum muridnya tidak salah 100 %, masih dalam taraf wajar, sekalipun menimbulkan luka memar. Demi kebaikan murid itu sendiri. Guru memegang prinsip: yang salah harus dihukum. Tidak mungkin guru menghukum murid yang baik. Dengan hukuman, anak disadarkan. UU Perlindungan Anak dapat membuat anak tidak menemukan kesalahan dirinya. Dia merasa  benar. Buktinya, dia dibela dan sang guru dihukum. Karena itu, konsep benar-salah menjadi hilang dengan adanya UU Perlindungan Anak.
Derita Guru: Sebuah Dilema Pendidikan
Keberadaan UU Perlindungan Anak ini, bagi saya, menjadi sebuah penderitaan guru. Mereka dihadapkan pada sebuah masalah yang dilematis dalam proses pendidikan dan pembinaan anak muridnya. Situasi mereka berhadapan dengan UU Perlindungan Anak sama seperti “maju kena mundur pun kena”.
Kasus di SMK Gajah Mungkur. Demi pembinaan dan penegakan disiplin kepada siswa, guru terpaksa menampar siswanya. Akan tetapi guru tersebut dihadapkan pada jerat hukum. Maksud baik sang guru justru berakibat buruk. Padahal guru  ingin menyadarkan murid. Di antara cara penyadaran adalah tempeleng. Mungkin orang akan berpikir, bisa pakai cara lain yang tanpa kekerasan. UU Perlindungan Anak tidak membolehkan cara kekerasan, padahal cara itu bisa menjadi sarana paling efektif. Tingkat penyadarannya lebih kuat ketimbang hanya menegur dan menasehati. Tempeleng (dan itu hanya sekali) bisa merupakan bentuk shock therapy.
          Menurut penulis UU Perlindungan Anak menjadi penderitaan para guru di sekolah. Mereka tidak berani bertindak tegas kepada murid karena takut terkena sanksi dari UU Perlindungan Anak. Bayangkan saja, terkena pasal 80 ayat (1)  merupakan penderitaan yang amat sangat bagi guru yang berpenghasilan pas-pasan. Ada guru masuk penjara, asalkan tiap bulan gajinya jalan terus,  tidak akan jadi masalah serius. Tetap mengajar dengan ganti rugi sebesar 72 juta rupiah, jelas akan memberatkan keluarganya.
 Demi harga diri    
 Ada kasus, di sebuah sekolah menengah pertama, ada siswa sedang berkelahi,  lalu datang guru melerai. Tapi disambut dengan caci maki oleh seorang siswa yang berkelahi, karena tidak terima acara duelnya dipisahkan. Guru juga masih muda, dan caci maki itu terjadi di muka umum, diketahui murid lain, dan demi harga diri yang diinjak murid, guru itu menampar siswa. Cuma sekali. Sang guru dilaporkan ke polisi, beberapa hari di penjara. Akhirnya dibebaskan dengan tebusan.
Anak-anak tumbuh liar
         Apa yang terjadi setelah peristiwa itu? Para guru lain tidak berani bertindak tegas kepada siswa dan para siswa berbuat seenaknya saja. Anak-anak tumbuh “liar” dan para guru tak berani menegur. Yang terjadi adalah proses pembiaran. Ketika guru bertindak tegas, anak dapat mengancam dengan UU Perlindungan Anak. Anak akan dengan mudah mengejek gurunya bahkan menghina guru dan guru tidak bisa berbuat apa-apa karena takut dengan UU Perlindungan Anak. UU Perlindungan Anak merusak dunia pendidikan. Tidak setuju dengan UU Perlindungan Anak, karena UU itu bisa digunakan anak untuk merendahkan martabat guru. Dia sangat prihatin dengan nasib para guru.
Hukuman Bukan Penganiayaan
         Menurut penulis, ada sedikit kekeliruan dalam UU Perlindungan Anak, berkaitan dengan kata “penganiayaan” dan kekerasan. Kategori penganiayaan adalah kekerasan yang bertubi-tubi, mirip dengan penyiksaan. Misalnya, memukul atau menempeleng berkali-kali, sekalipun murid sudah minta ampun. Tapi jika cuma sekali, itu bukan penganiayaan. Kalau dikatakan kekerasan, seperti kasus IPDN, penganiayaan memang kejam, karena bertubi-tubi. Misalnya, dipukul lalu ditendang berkali-kali. Karena itu ada yang cacat dan bahkan sampai tewas.
           Penulis  tidak setuju jika menempeleng, satu kali saja masuk kategori kekejaman (pasal 13 ayat 1) tidak manusiawi (pasal 16 ayat 1). Dalam kasus-kasus penganiayaan  di sekolah, dilakukan oknum guru sebenarnya tidak masuk kategori kekerasan, yang bukan kekejaman, penganiayaan yang tidak manusiawi.
Yang menjadi persoalan, haruskah kekerasan itu dihukum, jika bertujuan baik,  menyadarkan murid akan kesalahannya. Untuk bisa sadar,  sering menyakitkan. Tapi itulah shock therapy. Harus juga diperhatikan kewajiban anak. Dalam UU Perlindungan Anak, khususnya soal hak dan kewajiban anak dan pasal lain yang berkaitan dengan hak anak (18 pasal), sementara kewajiban hanya satu pasal saja (pasal 19). bunyi pasal 19 UU Perlindungan Anak ini:
Setiap anak berkewajiban untuk :
1. menghormati orang tua, wali, dan guru;
2. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
3. mencintai tanah air, bangsa, dan negara;
4. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
5. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

          Jika anak tidak melaksanakan kewajibannya, sanksi apa yang dapat diberikan UU RI no.23 th 2002? Tidak ada yang melihat hal ini. Orang hanya  melihat hak anak, mengabaikan hak guru. Kasus ini punya daya tarik bagi polisi dan pengacara? Tidak tentang  bagaimana kewajiban anak? Apakah anak yang tidak melakukan kewajibannya, seperti yang tertera dalam UU Perlindungan Anak, juga dapat ditindak?
          Kasus anak SD Harmoni  diberitakan mengganggu temannya yang sedang latihan menari, berarti tidak melakukan kewajiban no. 2 dalam pasal (19) UU Perlindungan Anak. Kasus SMK Gajah Mungkur, siswa tidak melaksanakan kewajiban no. 3 dan 5. Guru punya wewenang melaporkan siswa  ke polisi? Dan apa sanksi buat anak tersebut? Hak dan kewajiban mesti seimbang. Orang tidak bisa menuntut hak tanpa melaksanakan kewajibannya, karena  berkaitan dengan UU Perlindungan Anak. Kritik penulis ialah perlu  ditinjau soal keseimbangan hak dan kewajiban bagi anak itu sendiri. Jangan hanya membebani kesalahan pada guru.


No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook