Saturday, June 28, 2014

Tuhan itu hakikat-Nya mudah dan terang, Tiada tidak punya, urat dan tulang,



Tuhan itu hakikat-Nya mudah dan terang,
Tiada tidak punya,  urat dan tulang,
Daging dan darah tiada hilang,
Mahapengasih, Mahapenyayang.


Jikalau sifat manusia, pasti binasa,
Sifat Nabi, membawa berita,
Segala amalan, ada dalilnya,
Supaya dapat, syurga yang baqa'.

Jangan maksiat,  sifatmu tuan,
Tiada bertemu hamba dengan Tuhan,
Hakikat kita tinggal di jalan,
Segala amalan menjadi haiwan.

Jika begitu kalau kita tidak mengkaji,
Kepada Nabi mendapat keji,
Malaikat  membawa wahyu Ilahi,
Allah tiada mungkirkan janji.

Mengenal Tuhan  boleh nyata,
Walau taida mampu, dipandang mata,
Hingga diri jua dicita,
Kenal olehmu sifatnya kita.

Tatkala Adam, dengan Hawa,
Dendam berahi,  antara keduanya,
Napi dan Isbat, itulah Dia,
Kepada kebanyakan manusia, menjadi rahsia.

KALAU MANUSIA,BETUL-BETUL  MENEGENAL ALLAH
KORUPTOR TIDAK AKAN TEGA, BERBUATN SALAH
KETIKA TERLANJUR, AKAN BERBALIK ARAH
MENGENDALIKAN DIRI, BERSUSAH PAYAH



Rakib Jamari's photo.Absir's photo.


MAKRIFATULLAH, SANGATLAH DAHSYAT
TIADA YANG TEGA, BERBUAT MAKSIYAT
YAKIN BENAR, ALLAH MELIHAT
TIADA YANG TERSEMBUNYI, WALAU DUTUP RAPAT

KALAU MANUSIA, BENAR-BENAR, MENGENAL TUHAN
MENDENGAR AZAN, DIA TIDAK TAHAN
MEMENUHI PANGGILAN, SEGERA DITUNAIKAN
APAPUN KEWAJIBAN, PASTI DILAKUKAN
Para ulama mengatakan, ”Tempat-tempat tinggal penduduk dunia itu, mereka telah keluar darinya (mati) dalam keadaan belum sempat merasakan sesuatu yang paling nikmat di dalamnya.” Maka ditanyakan kepadanya, ”Apakah itu?’ Dia menjawab, ”Yaitu mengenal Allah ‘azza wa jalla.” (Jami’ al-‘Ulum, hal. 246)
Ma’rifatullah (mengenal Allah) adalah prinsip terpenting bagi setiap insan. Karena tujuan hidupnya tidak akan bisa tercapai apabila dia tidak mengenal Allah dengan benar. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS. Adz Dzariyaat [51] : 56).
Nah, bagaimana mungkin seseorang bisa menyembah Allah dengan baik sementara dia bodoh terhadap siapa itu Allah dan apa saja kewajiban yang harus dia tunaikan kepada-Nya? Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Sesungguhnya mengenal Allah ta’ala adalah asas agama. Dan seorang insan tidak akan bisa mencapai hakikat ajaran agamanya kecuali setelah mengilmui tentang Allah ta’ala…” (Hushul al-Ma’mul, hal. 14)
Hakekat ma’rifatullah

Diriwayatkan bahwa Ahmad bin ‘Ashim Al Anthaki mengatakan, ”Saya tidak ingin mati sebelum mengenal Tuhanku. Dan bukanlah mengenal-Nya adalah sekedar dengan meyakini keberadaan-Nya, akan tetapi pengenalan yang sesungguhnya adalah ketika kamu mengenal-Nya maka kamupun merasa malu kepada-Nya.” (Jami’ al-‘Ulum, hal. 246)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ma’rifatullah ialah, “Mengenal Allah ‘azza wa jalla dengan hati. Yang dengan pengenalan itu hamba menerima semua yang disyari’atkan oleh-Nya, sehingga ia mau tunduk dan patuh kepada-Nya. Dengannya dia mau berhukum dengan menerapkan syari’at-Nya yang telah dibawa oleh utusan-Nya yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam..” (Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 19)
Dua macam ma’rifatullah
Ibnul Qayyim rahimahullah [al-Fawa’id, hal. 163] menerangkan,
”Mengenal Allah subhanahu wa ta’ala ada dua macam :
Pertama, ma’rifah (pengenalan) yang berupa pengakuan (tentang Allah). Maka ini adalah sesuatu yang dikerjakan oleh semua orang, yang baik maupun yang bejat, orang yang taat maupun orang yang suka bermaksiat.
Kedua, ma’rifah yang melahirkan perasaan malu terhadap-Nya, kecintaan karena-Nya, ketergantungan hati kepada-Nya, kerinduan hati untuk bisa bersua dengan-Nya, perasaan takut kepada-Nya, keinginan kuat untuk bertaubat dan kembali kepada-Nya, ketenangan dan ketentraman bersama-Nya, meninggalkan (ketergantungan hati kepada) makhluk dan bergegas menuju kepada-Nya. Inilah ma’rifah khusus yang mengalir melalui lisan orang-orang pilihan. Perbedaan tingkat keutamaan mereka dalam hal ini tidaklah bisa diketahui secara persis kecuali oleh (Allah) Dzat yang telah memperkenalkan diri-Nya kepada mereka dan telah menyingkapkan tirai ma’rifah kepada-Nya untuk hati-hati mereka; yang hal itu disamarkan oleh-Nya bagi orang-orang selain mereka.
Setiap orang (dari kaum pilihan tersebut) memberikan isyarat akan ma’rifah ini sesuai dengan maqam (kedudukan) yang mereka miliki dan ilmu yang telah Allah bukakan untuk mereka. Manusia yang paling mengenal Allah (yaitu Nabi, pent) bersabda tentang diri-Nya, ”Aku tidak sanggup menghingga pujian atas-Mu. Engkau sebagaimana pujian yang Engkau sanjungkan kepada diri-Mu.” (HR. Muslim [486] dari Abu Hurairah dari ‘Aisyah radhiyallahu’anhuma). Beliau pun mengabarkan bahwa pada hari kiamat kelak Allah Yang Maha suci akan membukakan baginya pujian-pujian untuk-Nya yang belum diberitahukan kepadanya sekarang (ketika di dunia).”
Orang-orang yang cerdas
Sungguh indah perkataan seorang penyair :
Sesungguhnya,
Allah mempunyai hamba-hamba yang cendekia
Mereka ceraikan dunia
Dan khawatir akan malapetakanya

Mereka cermati apa saja yang ada di dalamnya
Tatkala mereka tahu apa isinya
Ternyata dunia
Bukanlah tempat tinggal untuk selama-lamanya

Maka mereka jadikan dunia ibarat samudera
Dan mereka gunakan amal salihnya
Untuk bisa berlayar di atasnya

(Lihat Mukadimah Riyadh as-Shalihin, hal.4. cet Dar as-Salam)
Manusia dapat mengenal Tuhan melalui beragam jalan. Pengenalan ini dapat dicapai dengan jalan akal atau jalan hati. Terkadang sebagaimana yang dilakukan para filosof melalui jalan ilmu hushuli dan berargumentasi dengan menggunakan media indra empirik dan akal untuk mencapai tujuannya. Terkadang sebagaimana para urafa, melalui jalan ilmu hudhuri meretas jalan menuju Sang Kinasih dan menyaksikan-Nya (syuhud). Misalnya untuk memahami wujud api, terkadang mungkin melalui asap yang membumbung dari api tersebut sehingga wujud api dapat dipahami. Dan tatkala dengan menyaksikan api itu sendiri ia akan mengetahui (âlim) wujud api itu dan dengan membakar sebagian badannya pada api ia menemukan dan merasakan wujudnya.
Bagaimanapun, dalam dua metode ini, pengenalan hushuli  (penggambaran lewat pikiran) dan pengenalan hudhuri (kehadiran eksistensial), terkadang jalan dan proses serta tujuan adalah satu seperti seseorang dengan menelaah pada ayat-ayat Ilahi dan sistem yang berlaku pada ayat-ayat (baca semesta) tersebut ia sampai kepada Tuhan. Dan terkadang tidak demikian, proses dan jalan yang satu atau jalan dan tujuan yang satu.
Ketika seseorang dengan mengenal dirinya kemudian sampai kepada Tuhan maka pengenalan ini termasuk pengenalan jenis kedua (hudhuri). Dan tatkala ia dengan merenungi nama-nama dan sifat-sifat Ilahi kemudian mengenal-Nya maka pengenalannya ini adalah tergolong pengenalan syuhudi.
Dari tiga jenis pengenalan ini, terkait dengan jalan dan tujuan yang satu dan manusia menyaksikan temuan-temuannya, pengenalan yang diraupnya ini merupakan pengenalan yang bernilai sangat tinggi. Karena ia melihat dan mencicipi tujuan. Pada banyak ayat dan riwayat, ketiga jalan ini dijelaskan. Khususnya yang ditegaskan bahwa tiada yang lebih jelas dan benderang dari wujud Tuhan dan melalui-Nya sampai kepada-Nya. Dia adalah cahaya dimana untuk  mencerap, memahami dan melihat-Nya tidak memerlukan selain-Nya. Dan apabila kita tidak dapat menyaksikan-Nya, hal itu dikarenakan tirai kelalaian yang telah menghalangi kita pada ranah pengenalan hushuli dan hudhuri.
Kita tidak memiliki ilmu terhadap ilmu. Dan untuk mencapai pada ilmu rangkapan ini, maka kita harus menjauhkan segala tirai kegelapan (zhulmani) dan cahaya (nurani). Dan atas alasan ini disebutkan bahwa mengenal Tuhan merupakan perkara fitri dan dalil yang ditegakkan untuk menetapkan keberadaan dan mengenal Tuhan semata-mata suatu peringatan bukan suatu pengetahuan yang diawali dengan ketidaktahuan dan kebodohan. Namun harus diperhatikan bahwa Dzat Tuhan, adalah sesuatu yang bukan menjadi obyek pemahaman rasio para filosof dan juga bukan obyek penyaksian kalbu (syuhud)  para arif. Selain itu ,dzat Ilahi, di samping ia dapat dipahami juga dapat disaksikan.
Jawaban Detil
Untuk menjawab pertanyaan ini, dua perkara media pengenalan harus diperkenalan:
Media-media pengenalan antara lain, indra (empirik), akal (rasio), dan hati (kalbu).
Panca indra semata-mata berurusan dengan hal-hal lahir dan tidak menyelam hingga ke dasar segala sesuatu. Dan meski dengan pesatnya dan majunya seluruh pengetahuan yang diberikan kepada manusia, ia memiliki keterbatasan dari sisi ruang dan waktu.
Akal merupakan kekuatan khusus yang inti pekerjaannya adalah mencerap pahaman-pahaman universal dan dengan makna ini, derajat dan perannya sangat banyak di antaranya adalah menalar dan beragumentasi.
Namun media pengenalan tidak terbatas pada dua media ini. Manusia dapat meraup pengetahuan yang menukik dan menjulang melalui jalan hati dan kalbu. Dan menyaksikan apa yang dicapai oleh orang lain melalui argumentasi. Orang-orang arif mengenal Tuhan melalui jalan ini.
Dengan kata lain, dalam sebuah klasifikasi universal, makrifat, pengenalan atau pengetahuan terbagi menjadi tiga antara lain, pengetahuan hushuli, atau pengetahuan hudhuri, dan pengetahuan syuhudi.
Pengetahuan hushuli diperoleh melalui pahaman-pahaman pikiran dengan memperhatikan argumentasi-argumentasi rasional dan filosofis. Pengetahuan hudhuri adalah pengetahuan tanpa media untuk mencerap pahaman dan merupakan bentuk mental yang hadir di sisi pencerap. Pengetahuan hudhuri adalah tergolong sebagai salah satu pengetahuan irfani dan syuhudi dimana realitas luaran sesuatu tersaksikan oleh sang penyaksi.
Namun dalam pengenalan hushuli atau rasional yang digunakan adalah pendahuluan-pendahuluan indrawi dan empirik. Misalnya dengan jalan berpikir pada tanda-tanda Tuhan atau sistem yang berlaku di alam semesta, ia mengenal Tuhan dengan mengusung argumen-argumen sederhana. Akan tetapi jika manusia ingin mengenal lebih jauh, maka ia harus memanfaatkan pendahuluan-pendahuluan yang murni akal (pure reason).
Bagaimanapun, harus diperhatikan bahwa pertama, sesuai dengan riset laboratorium dan produk-produk ilmu murni empirik menegaskan bahwa keberadaan Tuhan tidak dapat dibuktikan juga tidak dapat ditetapkan. Hal itu dikarenakan tangan empirik indrawi sangat pendek untuk dapat mencapai domain metafisika. Oleh karena itu, pengenalan empirik semata tidak dapat menyelesaikan persoalan, melainkan harus menggunakan pendahuluan-pendahuluan penalaran rasional. Kedua, kendati dalam teks-teks Islami dianjurkan untuk menelaah ayat-ayat afaqi. Dan dari sisi lain, lantaran argumentatifnya metode ini, maka ia dipandang sebagai pengenalan rasional. Namun kita tidak boleh melalaikan poin ini bahwa telaah dan berpikir pada makhluk-makhluk dan karya-karya ciptaan serta kebijaksanaan Ilahi, hanya menunjukkan pada sosok yang tahu dan mampu memutar semesta ini. Namun Dia bagaimana sifatnya, apakah Dia mandiri pada dzat-Nya atau …diperoleh dengan jalan ini.
Adapun pengenalan hudhuri dapat diklasifikasikan ke dalam tiga jenis:
A.      Ilmu hudhuri suatu sebab kepada akibat;
B.      Ilmu hudhuri suatu maujud nonmateri (mujarrad) kepada dzatnya;
C.      Ilmu hudhuri suatu akibat kepada sebab.
          Ilmu hudhuri seluruh maujud kepada Tuhan tidak termasuk pada dua jenis pertama dan termasuk pada jenis ketiga. Dan manusia sesuai dengan keterbatasannya tidak dapat mencerap Tuhan, dan kendati Allah Swt dekat kepada segala sesuatu, namun yang lain karena keterbatasan dan kekurangan yang dimilikinya, tingkat kedekatan dan kejauhan kepadanya beragam.
Syaikh Nashiruddin Thusi Ra menyebutkan sebuah contoh menarik terkait dengan tingkatan pengenalan, tingkatan pengenalan Tuhan laksana tingkatan pengenalan api dimana tingkatan terendah ilmu tentang api adalah mendengar sifat-sifat api dari seseorang, dan tingkatan kedua adalah ilmu yang didapatkan dari asap api, tingkatan ketiga perasaan panas dan cahaya api; dan tingkatan terakhir, terbakar dan lebur menjadi debu dalam api.
          Poin yang perlu disebutkan di sini adalah bahwa dalam pembahasan pengenalan dari sudut pandang ketergantungan, terkadang terkait dengan pembuktian keberadaan Tuhan dan terkadang bertaut dengan tipologi wujud-Nya, dan pada keduanya manusia juga dapat menggunakan pemikiran dan juga dari kalbu, ia dapat menggunakan ilmu hushuli dan juga menyaksikannya dengan ilmu hudhuri. Yang pertama disebut sebagai “burhan” (argumen) dan yang kedua dinamai “irfan” (gnosis), akan tetapi argumen filosofis yang banyak digunakan tidak sepadan dan senilai dengan temuan-temuan irfani.


No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook