Wednesday, June 22, 2016

AKULAH ANTI DEMOKRASI Catatan Kecil Dr.M.Rakib Jamari,S.H.,M.Ag.


AKULAH ANTI DEMOKRASI
Catatan Kecil Dr.M.Rakib Jamari,S.H.,M.Ag.

ADA BERITA DI REPUBLIKA
Umat Islam tengah berduka
mendengar kabar umat di Tolikara, Papua,
Mengalami penyerangan seketika
Menunaikan shalat Idul Fitri, malah dapat bencana.
Hingga kini, aparat keamanan belum juga,
Menangkap pelaku penyerangan, dilakukan massa Gereja Injili Di Indonesia
Respon tersebut sangat-sangat berbeda,
Ketika umat Islam dituding sebagai pelakunya.
Penyerangan ke berbagai tempat ibadah,
Kaum Muslimin  langsung dilabeli teroris berbahaya.
Berkaitan dengan hal itu, artikel Emha.
'Saya Anti Demokrasi' yang salah di nusantara.
Dikutip dari buku Iblis Nusantara Dajjal Dunia .
Bisa menjadi rujukan atas apa yang sedang menimpa
Kalau ada bentrok antara ustadz dengan agama apa saja.
Pihak Depag,   memberi gelar, diktator mayoritas namanya.
 Islam mayoritas,harus mengalah dan wajib kalah.
Kalau mayoritas kalah, itu memang sudah seharusnya,
Tapi kalau mayoritasnya lain agama.
Minoritasnya Islam, Islam yang harus kalah.
 Baru wajar namanya, mirip Kalau Khadhafi (mantan presiden Libya).
Yang salah adalah Islam, kalau Palestina.
Yang salah adalah Isla, tapi kalau Belanda menjajah Indonesia,
350 tahun Islam dijajah, yang salah bukan Kristen, bukan gereja..
Kalau Amerika Serikat jemawa dan adigang adigung adiguna.
Bahkan sesudah ribuan bom dihujankan di seantero dunia
Amerika Serikatlah pemegang sertifikat kebenarannya.
Yang salah pasti adalah Islam  saja.

'Agama' yang paling benar adalah demokrasi.
 Antidemokrasi sama dengan setan dan iblis berdasi.
Cara mengukur siapa dan bagaimana yang pro dan yang kontra demokrasi, ditentukan pasti bukan oleh orang Islam. Golongan Islam mendapat jatah menjadi pihak yang diplonco dan dites terus menerus oleh subjektivisme kaum non-Islam.

Kaum Muslimin diwajibkan menjadi penganut demokrasi agar diakui oleh peradaban dunia. Dan untuk mempelajari demokrasi, mereka dilarang membaca kelakuan kecurangan informasi jaringan media massa Barat atas kesunyatan Islam.

Maka kalau penghuni peradaban global dunia bersikap anti-Islam tanpa melalui apresiasi terhadap Quran, saya juga akan siap menyatakan diri sebagai anti-demokrasi karena saya jembek dan muak terhadap kelakuan Amerika Serikat di berbagai belahan dunia. Dan dari sudut itulah demokrasi saya nilai, sebagaimana dari sudut yang semacam juga menilai Islam.

Di Yogya teman-teman musik Kiai Kanjeng membuat nomor-nomor musik, yang karena bersentuhan dengan syair-syair saya, maka merekapun memasuki wilayah musikal Ummi Kaltsum, penyanyi legendaris Mesir. Musik Kiai Kanjeng mengandung unsur Arab, campur Jawa, jazz Negro dan entah apa lagi. Seorang teman menyapa: "Banyak nuansa Arabnya ya? Mbok lain kali bikin yang etnis 'gitu..."

Lho kok Arab bukan etnis?


Bukan. Nada-nada arab bukan etnis, melainkan nada Islam. Nada Arab tak diakui sebagai warga etno-musik, karena ia indikatif Islam. Sama-sama kolak, sama-sama sambal, sama-sama lalap, tapi kalau ia Islam-menjadi bukan kolak, bukan sambal, dan bukan lalap.

Kalau Sam Bimbo menyanyikan lagu puji-puji atas Rasul dengan mengambil nada Espanyola, itu primordial namanya. Kalau Gipsy King mentransfer kasidah "Yarim Wadi-sakib...", itu universal namanya. Bahasa jelasnya begini: apa saja, kalau menonjol Islamnya, pasti primordial, tidak universal, ketinggalan zaman, tidak memenuhi kualitas estetik dan tidak bisa masuk jamaah peradaban dunia.

Itulah matahari baru yang kini masih semburat. Tetapi kegelapan yang ditimpakan oleh peradapan yang fasiq dan penuh dhonn kepada Islam, telah terakumulasi sedemikian parahnya. Perlakuan-perlakuan curang atas Islam telah mengendap menjadi gumpalan rasa perih di kalbu jutaan umat Islam.
Kecurangan atas Islam dan Kaum Muslimin itu bahkan diselenggarakan sendiri oleh kaum Muslimin yang mau tidak mau terjerat menjadi bagian dan pelaku dari mekanisme sistem peradaban yang dominan dan tak ada kompetitornya.

Endapan-endapan dalam kalbu kolektif umat Islam itu, kalau pada suatu momentum menemukan titik bocor-maka akan meledak. Pemerintah Indonesia kayaknya harus segera mervisi metoda dan strategi penanganan antar ummat beragama. Kita perlu menyelenggarakan 'sidang pleno' yang transparan, berhati jernih dan berpikiran adil. Sebab kalau tidak, berarti kita sepakat untuk menabuh pisau dan mesiu untuk peperangan di masa depan.


No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook