Wednesday, June 1, 2016

SEMIOTIKA CURIGA PADA AGENDA SIPILIS (Sekuler, Pluralis, Liberalis)


    SEMIOTIKA  CURIGA PADA   AGENDA SEPILIS
(Sekularis, Pluralis, Liberalis)

Kesesatan liberal, menyakitkan
Kitab suci, mereka singkirkan
Aqidah umat, mereka goyahkan
Tidak takut, kepada Tuhan
 
        Inilah ilmu semiotika yang digunakan oleh orientalis untuk memperlemah kitab suci semua agama. Rekayasa bahasa, mereka utak atik semaunya. Dalam dunia bahasa semiotika dianggap sebagai tanda (sign) yang terdiri dari dua unsur yang tidak bisa dipisahkan, yaitu penanda (signifiant) dan petanda (signify). Penanda adalah aspek material dari bahasa, sedangkan petanda adalah makna (konsep) yang ada dalam pikiran (mind). Para filsuf yang menekuni kajian bahasa, misalnya Jacques Derrida, menyangkal bahwa bahasa memiliki makna final. Bahasa adalah metafor, sehingga makna yang ditimbulkan selalu bergerak dan berubah sesuai dengan horison pembacaan. Berangkat dari logika ini, kalau bahasa agama merupakan kumpulan teks-teks (tanda) sudah semestinya ia tidak mengenal makna akhir. Di sinilah semiotika mempunyai peran yang signifikan, di mana teks-teks bahasa agama menjadi wilayah subur untuk menemukan pemahaman-pemahaman baru guna mengaktualisasikan pesan Islam yang universal dan membawa misi rahmatan lil 'alamin.

        Pemahaman terhadap al-Qur'an yang diyakini sebagai kitab shalihun li kulli zamanin wa makanin selalu bersifat terbuka dan tidak pernah selesai. Pemahaman selalu berkembang seiring dengan umat Islam yang selalu terlibat dalam penafsiran ulang dari zaman ke zaman. Dengan begitu, tidak semua doktrin dan pemahaman agama berlaku sepanjang waktu dan tempat mengingat gagasan universal Islam tidak semuanya tertampung dalam bahasa yang bersifat lokal-kultural dan terungkap melalui tradisi kenabian. Itulah sebabnya dari zaman ke zaman selalu muncul ulama-ulama tafsir yang berusaha mengaktualkan pesan-pesan al-Qur'an yang tidak mengenal batas akhir (Komaruddin Hidayat:1996;26).
Dalam proses pemahaman terdapat tiga faktor yang tidak bisa dipisahkan, yaitu:
  • dunia pengarang
  • dunia teks
  • dunia pembaca
       Selain ketiga faktor ini keberadaan konteks juga tidak bisa diabaikan dalam memahami peristiwa pewahyuan. Sebab ayat-ayat al-Qur'an tidak akan dapat dimengerti secara utuh (holistik) kecuali dengan memperhatikan realitas yang melatarbelakanginya. Indikasi ini dapat dilihat dengan munculnya konsep asbab al-nuzul dan nasikh-mansukh yang menjadi tema tersendiri dalam studi ulumul Qur'an. Oleh sebab itu, memahami sejarah teks al-Qur'an menjadi penting, meskipun jarak antara pengarang teks (Tuhan) dan manusia sebagai pembaca demikian jauh agar makna dan pesan moral tersebut bisa direfleksikan seiring dengan kemaslahatan.
       Perbincangan masalah sejarah teks sebenarnya merupakan persoalan klasik yang pernah muncul dalam sejarah peradaban Islam, yaitu antara pemikir Asy'ariyah dengan Mu'tazilah. Historitas teks seperti yang dipahami Nasr Hamid (1994;87) dengan meminjam paradigma Ferdinand de Saussure, yakni konsep kalam ia bedakan dengan konsep lughat. Lughat yang dimaksud setara dengan apa yang diistilahkan Saussure dengan langue (bukan parole), yaitu bahasa pada wilayah realitas historis yang dalam hal ini merupakan bagian dari kebudayaan. Dalam pengertian umum, langue adalah abstraksi dan artikulasi bahasa pada tingkat sosial budaya, sedangkan parole merupakan ekspresi bahasa pada tingkat individu (Komaruddin Hidayat:1996;23).
Berdasarkan kerangka ini maka dalam kajian teks-teks al-Qur'an terdapat perbedaan yang tegas antara konsep kalam (yang a-historis) dengan lughat (yang historis). Historisitas teks tidak hanya meliputi ruang dan waktu, melainkan sekaligus ia adalah sebuah teks yang berkaitan erat dengan teks lainnya yang akan menentukan makna teks itu sendiri.

      Jadi, teks-teks agama (lughat) tidak terpisah dari struktur budaya tempat ia terbentuk. Sumber teks sama sekali tidak mengesampingkan hakikat keberadaannya sebagai teks linguistik dengan segala implikasi kebahasaanya. Teks terkait dengan ruang dan waktu dalam pengertian historis dan sosiologis. Teks tidak berada di luar kategori bahasa sehingga tidak memiliki kaitan apapun dengan manusia. Jika berinteraksi dengan teks agama ini bertolak dari keberadaannya sebagai linguistik, maka ini tidak berarti mengabaikan watak tekstualitasnya yang spesifik. Sebab karakter tekstualitas al-Qur'an didasarkan pada realitas-realitas kemanusiaan yang provan, yang bersifat sosiologis, kultural, dan kebahasaan. Keberadaan firman Tuhan yang kudus baru menjadi perhatian hanya pada momen di mana "kalam tersebut diposisikan secara manusiawi", yaitu ketika Muhammad mengujarakannya dalam bahasa Arab (Komaruddin Hidayat:1996;118).
Dengan mengikuti kerangka berpikir Saussure di mana bahasa dianggap sebagai proses langue, maka tanda-tanda bahasa merupakan fakta sosial. Karena tanda-tanda bahasa mengacu pada konsep dan gambaran mental yang berdiam dalam masyarakat. Artinya, bahwa bahasa barada dalam inti kebudayaan. Dari pengertian ini para semiot mengatakan, bahwa kebudayaan merupakan ekspresi dari berbagai sistem tanda yang pusatnya adalah tanda bahasa. Sehingga keberadaan bahasa dan lingkungan kulturalnya menjadi rujukan untuk menemukan maknanya. Berangkat dari logika ini, al-Qur'an yang menjadi kitab suci juga dapat dipahami dan dikonstruk melalui perkembangan studi budaya, khususnya bidang kajian semiotika.
Jika semiotika dirumuskan sebagai ilmu tentang tanda, maka jelas al-Qur'an yang historis (lughat) merupakan bidang subur bagi analisis semiotis. Tanda memiliki hubungan yang erat antara penanda (signifiant) dan petanda (signify). Penanda adalah bunyi atau coretan yang bermakna, sedangkan petanda adalah aspek mental atau makna dari bunyi itu sendiri (K.Bertens:2001;180). Dalam dunia semiotika, semua jenis teks tidak memberikan petanda terakhir. Di kalangan filsuf, misalnya Jacques Derrida, menolak dan tidak mengakui adanya petanda terakhir. Bahasa menurut Derrida, adalah metafora yang tidak mempunyai rujukan final. Makna muncul karena pertukaran metafora, dan makna akan berubah ketika para pelakunya juga berubah. Dengan kata lain, makna selalu bersifat dinamis dan relasional, karena itu, rujukannya bersifat tak terbatas (St. Sunardi:1996;76). 

Semiotika: Sebuah Perkenalan Awal
Semiotika merupakan sebuah model ilmu pengetahuan sosial dalam memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut "tanda". Semiotika berasal dari kata Yunani, semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain atas dasar konvensi sosial (Umberto Eco:1976;16). Istilah semiotika sering digunakan bersama dengan istilah semiologi. Dalam kedua istilah ini tidak terdapat perbedaan yang substantif, tergantung di mana istilah itu populer. Biasanya semiotika lebih mengarah pada tradisi Piercean, sementara istilah semiologi banyak digunakan oleh Saussure. Namun yang terakhir jika dibandingkan dengan yang pertama kian jarang dipakai. Dan ada kecenderungan istilah semiotika lebih populer daripada semiologi, sehingga para penganut madzhab Saussurean pun sering menggunakan istilah semiotika. Namun yang jelas, keduanya merupakan ilmu yang mempelajari hubungan antara signs (tanda-tanda) berdasarkan kode-kode tertentu. Tanda-tanda tersebut akan tampak pada tindak komunikasi manusia lewat bahasa. 

Ada satu pendapat yang menarik mengenai pengertian semiotika seperti yang diungkap Umberto Eco (Yasraf Amir Piliang:1999;44), pada prinsipnya semiotika adalah sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta. Definisi Eco ini meskipun mungkin sangat mencengangkan banyak orang secara eksplisit menjelaskan betapa sentralnya konsep dusta di dalam wacana semiotika, sehingga dusta tampaknya menjadi prinsip utama semiotika itu sendiri.
Apakah Eco benar-benar bermain dengan definisinya? Atau ia menawarkan sebuah bahasa hiperbolis? Dan menciptakan sebuah metafora? Sebab bila segala sesuatu yang dalam terminologi semiotika disebut sebagai tanda, maka ia semata-mata alat untuk berdusta, karena setiap tanda akan selalu mengandung muatan dusta, setiap makna adalah dusta, setiap pengguna tanda adalah para pendusta, setiap proses pertandaan (signification) adalah kedustaan, dan Eco sendiri adalah pendusta. Namun, Eco tidak bermain-main, ia serius dengan definisi yang diungkapkan.
Secara implisit, dalam definisi Eco dikatakan bahwa bila semiotika adalah sebuah teori kedustaan, maka ia sekaligus adalah teori kebenaran. Sebab, bila sebuah tanda tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran, maka ia tidak dapat pula digunakan untuk mengungkapkan kedustaan. Dengan demikian, meskipun Eco menjelaskan semiotika sebagai teori kedustaan, implisit di dalamnya adalah teori kebenaran, seperti kata siang yang implisit dalam kata malam, juga dengan kata lapar yang implisit dalam kata kenyang, dan seterusnya. 

Jadi, semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaannya merupakan tanda-tanda. Artinya, semiotika mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dengan kata lain, semiotika mempelajari relasi di antara komponen-komponen tanda, serta relasi antara komponen-komponen tersebut dengan masyarakat penggunanya.
Dalam dunia semiotika (ilmu tanda), seperti ungkap Ferdinand (Aart van Zoest:1996;2), bahasa dianggap sebagai “tanda” (sign) yang memiliki komponen signifiant dan signify. Melakukan analisis tentang tanda orang harus tahu benar mana aspek material dan mana aspek mental. Ketiga aspek ini merupakan aspek-aspek konstitutif suatu tanda, tanpa salah satu unsur ini tidak akan ada sebuah tanda dan kita tidak bisa membicarakannya, bahkan tidak bisa membayangkannya (ST. Sunardi:2002;48).

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook