SEMIOTIKA
CURIGA PADA AGENDA SEPILIS
(Sekularis, Pluralis, Liberalis)
Kesesatan liberal, menyakitkan
Kitab suci, mereka singkirkan
Aqidah umat, mereka goyahkan
Tidak takut, kepada Tuhan
Inilah ilmu semiotika yang digunakan oleh orientalis untuk memperlemah kitab suci semua agama. Rekayasa bahasa, mereka utak atik semaunya. Dalam dunia bahasa semiotika
dianggap sebagai tanda (sign) yang terdiri dari dua unsur yang tidak
bisa dipisahkan, yaitu penanda (signifiant) dan petanda (signify).
Penanda adalah aspek material dari bahasa, sedangkan petanda adalah makna
(konsep) yang ada dalam pikiran (mind). Para filsuf yang menekuni kajian
bahasa, misalnya Jacques Derrida, menyangkal bahwa bahasa memiliki makna final.
Bahasa adalah metafor, sehingga makna yang ditimbulkan selalu bergerak dan
berubah sesuai dengan horison pembacaan. Berangkat dari logika ini, kalau
bahasa agama merupakan kumpulan teks-teks (tanda) sudah semestinya ia tidak
mengenal makna akhir. Di sinilah semiotika mempunyai peran yang signifikan, di
mana teks-teks bahasa agama menjadi wilayah subur untuk menemukan
pemahaman-pemahaman baru guna mengaktualisasikan pesan Islam yang universal dan
membawa misi rahmatan lil 'alamin.
Pemahaman terhadap al-Qur'an yang
diyakini sebagai kitab shalihun li kulli zamanin wa makanin selalu
bersifat terbuka dan tidak pernah selesai. Pemahaman selalu berkembang seiring
dengan umat Islam yang selalu terlibat dalam penafsiran ulang dari zaman ke
zaman. Dengan begitu, tidak semua doktrin dan pemahaman agama berlaku sepanjang
waktu dan tempat mengingat gagasan universal Islam tidak semuanya tertampung
dalam bahasa yang bersifat lokal-kultural dan terungkap melalui tradisi
kenabian. Itulah sebabnya dari zaman ke zaman selalu muncul ulama-ulama tafsir
yang berusaha mengaktualkan pesan-pesan al-Qur'an yang tidak mengenal batas
akhir (Komaruddin Hidayat:1996;26).
Dalam proses pemahaman terdapat tiga
faktor yang tidak bisa dipisahkan, yaitu:
- dunia pengarang
- dunia teks
- dunia pembaca
Selain ketiga faktor ini keberadaan konteks
juga tidak bisa diabaikan dalam memahami peristiwa pewahyuan. Sebab ayat-ayat
al-Qur'an tidak akan dapat dimengerti secara utuh (holistik) kecuali dengan
memperhatikan realitas yang melatarbelakanginya. Indikasi ini dapat dilihat
dengan munculnya konsep asbab al-nuzul dan nasikh-mansukh yang
menjadi tema tersendiri dalam studi ulumul Qur'an. Oleh sebab itu,
memahami sejarah teks al-Qur'an menjadi penting, meskipun jarak antara
pengarang teks (Tuhan) dan manusia sebagai pembaca demikian jauh agar makna dan
pesan moral tersebut bisa direfleksikan seiring dengan kemaslahatan.
Perbincangan masalah sejarah teks
sebenarnya merupakan persoalan klasik yang pernah muncul dalam sejarah
peradaban Islam, yaitu antara pemikir Asy'ariyah dengan Mu'tazilah. Historitas
teks seperti yang dipahami Nasr Hamid (1994;87) dengan meminjam paradigma
Ferdinand de Saussure, yakni konsep kalam ia bedakan dengan konsep lughat.
Lughat yang dimaksud setara dengan apa yang diistilahkan Saussure dengan
langue (bukan parole), yaitu bahasa pada wilayah realitas
historis yang dalam hal ini merupakan bagian dari kebudayaan. Dalam pengertian
umum, langue adalah abstraksi dan artikulasi bahasa pada tingkat sosial
budaya, sedangkan parole merupakan ekspresi bahasa pada tingkat individu
(Komaruddin Hidayat:1996;23).
Berdasarkan kerangka ini maka dalam
kajian teks-teks al-Qur'an terdapat perbedaan yang tegas antara konsep kalam
(yang a-historis) dengan lughat (yang historis). Historisitas teks tidak
hanya meliputi ruang dan waktu, melainkan sekaligus ia adalah sebuah teks yang
berkaitan erat dengan teks lainnya yang akan menentukan makna teks itu sendiri.
Jadi, teks-teks agama (lughat) tidak terpisah dari struktur
budaya tempat ia terbentuk. Sumber teks sama sekali tidak mengesampingkan
hakikat keberadaannya sebagai teks linguistik dengan segala implikasi
kebahasaanya. Teks terkait dengan ruang dan waktu dalam pengertian historis dan
sosiologis. Teks tidak berada di luar kategori bahasa sehingga tidak memiliki
kaitan apapun dengan manusia. Jika berinteraksi dengan teks agama ini bertolak
dari keberadaannya sebagai linguistik, maka ini tidak berarti mengabaikan watak
tekstualitasnya yang spesifik. Sebab karakter tekstualitas al-Qur'an didasarkan
pada realitas-realitas kemanusiaan yang provan, yang bersifat sosiologis,
kultural, dan kebahasaan. Keberadaan firman Tuhan yang kudus baru menjadi
perhatian hanya pada momen di mana "kalam tersebut diposisikan secara
manusiawi", yaitu ketika Muhammad mengujarakannya dalam bahasa Arab
(Komaruddin Hidayat:1996;118).
Dengan mengikuti kerangka berpikir
Saussure di mana bahasa dianggap sebagai proses langue, maka tanda-tanda
bahasa merupakan fakta sosial. Karena tanda-tanda bahasa mengacu pada konsep
dan gambaran mental yang berdiam dalam masyarakat. Artinya, bahwa bahasa barada
dalam inti kebudayaan. Dari pengertian ini para semiot mengatakan, bahwa
kebudayaan merupakan ekspresi dari berbagai sistem tanda yang pusatnya adalah
tanda bahasa. Sehingga keberadaan bahasa dan lingkungan kulturalnya menjadi
rujukan untuk menemukan maknanya. Berangkat dari logika ini, al-Qur'an yang
menjadi kitab suci juga dapat dipahami dan dikonstruk melalui perkembangan
studi budaya, khususnya bidang kajian semiotika.
Jika semiotika dirumuskan sebagai
ilmu tentang tanda, maka jelas al-Qur'an yang historis (lughat)
merupakan bidang subur bagi analisis semiotis. Tanda memiliki hubungan yang
erat antara penanda (signifiant) dan petanda (signify). Penanda
adalah bunyi atau coretan yang bermakna, sedangkan petanda adalah aspek mental
atau makna dari bunyi itu sendiri (K.Bertens:2001;180). Dalam dunia semiotika,
semua jenis teks tidak memberikan petanda terakhir. Di kalangan filsuf,
misalnya Jacques Derrida, menolak dan tidak mengakui adanya petanda terakhir.
Bahasa menurut Derrida, adalah metafora yang tidak mempunyai rujukan final.
Makna muncul karena pertukaran metafora, dan makna akan berubah ketika para
pelakunya juga berubah. Dengan kata lain, makna selalu bersifat dinamis dan
relasional, karena itu, rujukannya bersifat tak terbatas (St. Sunardi:1996;76).
Semiotika merupakan sebuah model
ilmu pengetahuan sosial dalam memahami dunia sebagai sistem hubungan yang
memiliki unit dasar yang disebut "tanda". Semiotika berasal dari kata
Yunani, semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan
sebagai sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain atas dasar konvensi
sosial (Umberto Eco:1976;16). Istilah semiotika sering digunakan bersama dengan
istilah semiologi. Dalam kedua istilah ini tidak terdapat perbedaan yang
substantif, tergantung di mana istilah itu populer. Biasanya semiotika lebih
mengarah pada tradisi Piercean, sementara istilah semiologi banyak digunakan
oleh Saussure. Namun yang terakhir jika dibandingkan dengan yang pertama kian
jarang dipakai. Dan ada kecenderungan istilah semiotika lebih populer daripada
semiologi, sehingga para penganut madzhab Saussurean pun sering
menggunakan istilah semiotika. Namun yang jelas, keduanya merupakan ilmu yang
mempelajari hubungan antara signs (tanda-tanda) berdasarkan kode-kode tertentu.
Tanda-tanda tersebut akan tampak pada tindak komunikasi manusia lewat bahasa.
Ada satu pendapat yang menarik
mengenai pengertian semiotika seperti yang diungkap Umberto Eco (Yasraf Amir
Piliang:1999;44), pada prinsipnya semiotika adalah sebuah disiplin yang
mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta. Definisi Eco
ini meskipun mungkin sangat mencengangkan banyak orang secara eksplisit
menjelaskan betapa sentralnya konsep dusta di dalam wacana semiotika, sehingga
dusta tampaknya menjadi prinsip utama semiotika itu sendiri.
Apakah Eco benar-benar bermain
dengan definisinya? Atau ia menawarkan sebuah bahasa hiperbolis? Dan
menciptakan sebuah metafora? Sebab bila segala sesuatu yang dalam terminologi
semiotika disebut sebagai tanda, maka ia semata-mata alat untuk berdusta,
karena setiap tanda akan selalu mengandung muatan dusta, setiap makna adalah
dusta, setiap pengguna tanda adalah para pendusta, setiap proses pertandaan
(signification) adalah kedustaan, dan Eco sendiri adalah pendusta. Namun, Eco
tidak bermain-main, ia serius dengan definisi yang diungkapkan.
Secara implisit, dalam definisi Eco
dikatakan bahwa bila semiotika adalah sebuah teori kedustaan, maka ia sekaligus
adalah teori kebenaran. Sebab, bila sebuah tanda tidak dapat digunakan untuk
mengungkapkan kebenaran, maka ia tidak dapat pula digunakan untuk mengungkapkan
kedustaan. Dengan demikian, meskipun Eco menjelaskan semiotika sebagai teori
kedustaan, implisit di dalamnya adalah teori kebenaran, seperti kata siang yang
implisit dalam kata malam, juga dengan kata lapar yang implisit dalam kata
kenyang, dan seterusnya.
Jadi, semiotika adalah ilmu tentang
tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan
kebudayaannya merupakan tanda-tanda. Artinya, semiotika mempelajari
sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda
tersebut mempunyai arti. Dengan kata lain, semiotika mempelajari relasi di
antara komponen-komponen tanda, serta relasi antara komponen-komponen tersebut
dengan masyarakat penggunanya.
Dalam dunia semiotika (ilmu tanda),
seperti ungkap Ferdinand (Aart van Zoest:1996;2), bahasa dianggap sebagai
“tanda” (sign) yang memiliki komponen signifiant dan signify.
Melakukan analisis tentang tanda orang harus tahu benar mana aspek material dan
mana aspek mental. Ketiga aspek ini merupakan aspek-aspek konstitutif suatu
tanda, tanpa salah satu unsur ini tidak akan ada sebuah tanda dan kita tidak
bisa membicarakannya, bahkan tidak bisa membayangkannya (ST. Sunardi:2002;48).
No comments:
Post a Comment