Monday, July 1, 2013

HIKMATTUT TSYRI’ HIKAMH DI BELAKANG HUKUM





HIKMATTUT  TSYRI’ HIKAMH DI BELAKANG HUKUM
MEMUKUL ANAK

Muhammad Rakib, S.H.M.Ag-  Riau Indonesia

Adapun hikmah, memukul anak,
Agar disiplin, tetap tegak
Calon pemimpin, tegas dan bijak
Tidak malas, untuk bergerak.
  


Tidak memukul, berarti benci.
Mentalnya rusak, di belakang hari
Sejak muda, lupa diri
Hanya untuk berjuang, di dunia ini.


Konon, pada suatu hari penantian di alam kubur, terjadilah percakapan antara malaikat dengan seorang  jasad manusia,
Malaikat; " Apakah engkau menjalankan sholat ?".
Manusia; " Kadang...".
Malaikat; " Mengapa engkau lalai ?".
Manusia; " Karena aku tidak terbiasa....".
Malaikat; " Apakah orang-tuamu tidak mengajarkan sholat semestinya seperti apa ?".
Manusia; " Orang-tuaku mengajarkan sholat semenjak aku kecil hingga akil-baliq".
Malaikat; " Apakah kau dipukul oleh orang-tuamu ketika orangtuamu mengetahui bahwa kau tidak mendirikan sholat padahal telah sampai usia akil-baliq ?"
Manusia; " Tidak. Sesekali tidak pernah orang-tuaku memukulku karena lalaiku. Karena mereka adalah orang-tua yang menyayangiku..."
Malaikat; " Ketahuilah. Sesungguhnya orang-tuamu tidak menyayangimu. Mereka lalai karena dia tidak memukulmu atas kelalaianmu tidak mendirikan sholat, maka kini tugas-ku lah menyiksamu karena kelalaian orang-tuamu. Dan orang-tuamu juga akan menyesali kelalaiannya ini..."

---------
       Itu hanya sebutir kisah. Tapi besar hikmahnya. Saya mendengar kisah tersebut dari guru ngaji, ketika saya masih kecil. Kira - kira sekitar tiga puluh tahun yang lampau. Dengan tingkat akurasi ingatan yang tidak baik, kisah itu saya tuliskan kembali disini. Walhasil maka tentunya tak bisa dihindari beberapa detil-nya kelupaan. Ringkas cerita, inti kisah tersebut adalah penekanan ihwal pentingnya kewajiban mendirikan sholat. Dimana kewajiban tersebut merupakan suatu hal yang tidak bisa ditawar lagi ketika seseorang mencapai usia akil baliq. Sekitar usia belasan tahun. Usia remaja. Dimana ketika seorang anak berusia remaja tidak kunjung mengerjakan kewajiban tersebut, maka sang orang tua dianjurkan --diperbolehkan-- untuk memukulnya.


          Inilah sebuah cerita, bisa jadi hanya merupakan kisah tentang edukasi anak ihwal sholat yang demikian subyektif dari seorang guru ngaji, mengingat guru ngaji saya dulu itu cukup keras juga wataknya. Dan juga kisah itu bukan merupakan 'teori edukasi' karena tidak ada landasan teori yang disertakan atau dikutip, apalagi bukti empiris juga tidak disertakan. Maka, boleh jadi biarlah kisah itu menjadi kisah sahaja, bukan teori. Bagi saya pribadi, makna dan hikmah bisa diambil dari mana saja, termasuk dari dalam sebutir kisah.

ANAK YANG TAK PERNAH DIPUKUL
SEMUA PERBUATANNYA, MERASA BETUL
SOMBONG DAN ANGKUH, DIA TERUS PIKUL
ORANG LAIN, DIANGGAP BAHLUL

          Inilah Yang menjadi perkara pro-kontra mungkin adalah bahwa kisah tersebut menjadi legitimasi untuk pemukulan terhadap anak. Istilah kerennya adalah 'kekerasan terhadap anak'. Dalam era kekinian, tentunya legitimasi semacam ini akan menimbulkan kontroversi dan ketidak-setujuan dari beberapa pihak. Mungkin masih lumrah kalo jaman dahulu seorang Ayah memukul anaknya, seorang ibu menghardik anaknya, atau segala bentuk 'kekerasan' seperti itu. Bisa jadi seorang anak yang nyelonong tanpa pamit keluar rumah, sore harinya akan di-setrap oleh Ibunya. Seorang anak yang mencuri buah mangga tetangga tak bisa lolos dari hukuman Bapaknya. Apalagi seorang anak yang nekad mencopet, tentunya hal ini bisa saja membuat orang tua-nya membara. Itu semua cerita jaman dulu. Dan seiring berjalannya waktu, setelah tiga puluh tahun kemudian hal ini bisa jadi kini sudah berbeda.


        Kenapa berbeda ? Sekarang jaman telah modern, ilmu juga sudah berkembang sedemikian pesat --terutama kiriman dari Eropa--, karena kini telah banyak sekali metode pengajaran anak, pendidikan usia dini, hingga teori psikologi bocah, bahkan demikian majunya sains urusan anak ini hingga sudah ada undang - undang perlindungan hak anak segala. Tentunya segala kemajuan tersebut bisa memper-'cantik' urusan pendidikan anak oleh orang-tuanya. Apalagi sekolah sudah demikian maju fasilitas dan dengan harga yang relatif mahal, tentunya sangat mumpuni untuk mengajarkan dan mendidik anak. Wacana pendidikan anak sudah sangat berkembang kini.


        Bila urusan pendidikan anak mengerucut seperti tema kisah di atas, maka akan muncul pertanyaan, bagaimana dengan pendidikan sholat anak dalam jaman modern ini ? Dari beragamnya teori yang berkembang, entah kenapa saya masih mempercayai hikmah di balik cerita guru ngaji saya itu. Bahwa bila seorang anak yang telah akil-baliq tidak kunjung menjalankan sholat, maka orang-tua boleh memukulnya. Dianjurkan malah. Lepas dari segala teori tentang pendidikan anak yang kini berkembang, bagi saya teori 'memukul supaya segera mendirikan sholat' itu masih relevan. Itu bagi saya. [] haris fauzi - 14 Desember 2009
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
مروا أولادكم بالصلاة وهم أبناء سبع سنين وضربواهم عليها وهم أبناء عشر سنين…
“Perintahkan anak-anak kalian untuk tunaikan shalat saat usia mereka telah menginjak tujuh tahun, dan pukullah mereka (bila tak tunaikan shalat) saat usia mereka menginjak sepuluh tahun….” (HR. Abu Dawud)

       Dalam hadits tersebut terkandung hikmah yang mendalam. Hikmah yang memberi pelajaran terkait memola kebiasaan pada anak agar rajin beribadah. Dalam hadits tersebut memberi faidah, bahwa menerapkan satu kebajikan perlu tahapan-tahapan yang jelas. Bagaimanapun seorang anak memerlukan proses waktu agar bisa melaksanakan sebuah amal shalih.

        Seorang anak terkadang tak bisa menunaikan secara instan. Dari hadits ini menunjukkan betapa Islam sarat dengan rahmah (kasih sayang), mengerti keadaan anak. Juga terkandung muatan, betapa Islam mengajarkan untuk tidak melakukannya secara tergesa-gesa. Namun, secara bertahap. Inilah bentuk kasih Islam kepada makhluk yang masih lemah; anak.

        Menanamkan kebiasaan baik pada anak, terkhusus shalat, bisa diupayakan melalui tahapan:

Pertama, tahap imitasi. Tahap anak melihat dan meniru apa yang dikerjakan orang tua, pendidik, guru, ustadz sebagai figur. Pada tahapan ini, orang tua, pendidik, guru, ustadz menjadi obyek pengamatan sang anak. Dari perilaku dan sikap yang ditujukkan orang tua, pendidik, guru, ustadz, seorang anak memperoleh gambaran bagaimana sebuah amal shalih harus ditunaikan. Tahap ini merupakan tahap pengkondisian.
Kedua, tahap perintah. Tahap anak mendapat bimbingan dan arahan dalam bentuk perintah. Anak diperintah untuk menunaikan sebuah kebajikan. 

         Dengan tanpa meninggalkan sifat sabar dan rahmah, orang tua, pendidik, guru, ustadz secara terus menerus mengingatkan anak untuk beramal kebajikan. Terkait masalah shalat, anak usia tujuh tahun telah diperintahkan untuk senantiasa menunaikannya. Jika sehari lima kali diingatkan untuk menunaikan shalat, berapa ribu kali anak diingatkan selama tiga tahun? Yaitu, diingatkan dan diperintah untuk shalat hingga usianya mencapai sepuluh tahun. Ribuan kali perintah terus berulang pada diri anak, tentu sebuah bentuk penanaman kebiasaan baik yang sangat intens. Allahu akbar.

         Tahap ketiga, tahap hukuman. Tahap anak mendapat sanksi manakala lalai dari kewajiban yang harus ditunaikan. Tahap hukuman adalah sebuah tahap yang ditempatkan setelah dilakukannya proses pengkondisian, bimbingan, arahan, dan perintah. Sebuah proses yang dilakukan dalam waktu yang tak sedikit. Dalam menjatuhkan hukuman tetap harus berada dalam kerangka hikmah (bijak) dan adil. Tujuan menghukum adalah agar anak jera, yaitu agar anak tak lagi melakukan perbuatan yang dilarang. Bukan sebagai bentuk pelampiasan kejengkelan, amarah apalagi untuk membalas dendam.

        Pemberian hukuman pada anak jangan sampai menjadikan ia membenci kebaikan dan menghindar dari orang-orang yang berbuat kebajikan. Memberi hukuman dalam bentuk memukul, tentu ada batasan-batasannya. Seperti, dilarang memukul wajah, bagian tubuh yang vital, dilarang memukul yang menimbulkan trauma (luka) fisik atau psikis, menimbulkan bekas, seperti memar dan lebam, dan sebagainya. Nas’alullaha as-salamah.

             

Hikmah Perintah Memukul Anak-anak Karena Meninggalkan Shalat

 ويضرب ) ضربا غير مبرح وجوبا ممن ذكر ( عليها ) أي على تركها ولو قضاء أو ترك شرطا من شروطها ( لعشر ) أي بعد استكمالها للحديث الصحيح مروا الصبي بالصلاة إذا بلغ سبع سنين وإذا بلغ عشر سنين فاضربوه عليها ( كصوم أطاقه ) فإنه يؤمر به لسبع ويضرب عليه لعشر كالصلاة وحكمة ذلك التمرين على العبادة ليتعودها فلا يتركها وبحث الأذرعي في قن صغير كافر نطق بالشهادتين أنه يؤمر ندبا بالصلاة والصوم يحث عليهما من غير ضرب ليألف الخير بعد بلوغه وإن أبى القياس ذلك انتهى

          Dan wajib terhadap orang yang telah disebutkan (ayah, ibu, kakek dan seterusnya) memukul mumaiyiz yang telah sempurna umurnya sepuluh tahun (pukulan) yang tidak melukai karena meninggalkan shalat walaupun shalat qadha’ atau karena meninggalkan sebuah syarat dari syarat-syarat shalat. (Kewajiban memukul ini) berdasarkan Hadits Shahih “Perintahkan olehmu anak-anak mengerjakan shalat apabila telah sampai umurnya tujuh tahun. Dan apabila ia telah berusia sepeuluh tahun maka pukul olehmu anak tersebut karena meninggalkan shalat”. Seperti puasa yang ia sanggup kerjakan, maka anak-anak yang sanggup mengerjakan puasa diperintahkan (oleh orang tuanya) saat berusia tujuh tahun dan dipukul karena meninggalkan puasa saat telah berusia sepuluh tahun, sama juga seperti shalat.

         Hikmah demikian (perintah shalat sejak dini) adalah untuk mendidik anak usia dini dalam beribadah suapay menjadi kebiasaannya maka ia tidak akan meninggalkannya (kemudian hari). Imam Azra’iy membahas tentang budak/hamba sahaya kafir yang mengucapkan dua kalimat syahadah bahwa disunatkan memerintahkan kepadanya shalat dan puasa dengan mengajaknya melakukannya shalat dan puasa tanpa memukul. Tujuannya agar ia terbiasa dengan kebaikan saat baligh nanti, sekalipun hukum ini bertentangan dengan maksud hukum dari perintah Rasulullah. Demikian Imam Azra’iy.





HIKMATUT  TASYRI’. APA HIKMAHNYA MEMUKUL
ANAK YANG TIDAK SHALAT?

     Tidak sekedar pemenuhan kewajiban. Shalat bagi anak-anak, akan mengurangi, menghambat kenakalannya yang berlebihan. Tanpa hikmah, shalat, bukan sebagai kebutuhan. Kan lain ini. Misalkan bila saya menganggap shalat sebagai kebutuhan maka bila saya tidak mengerjakannya maka ada sesuatu yang hilang. Tapi bila shalat hanya dianggap sebagai kewajiaban, maka saya hanya sekedar menjalankannya. Dan kalau saya tidak melaksanakannya saya takut. Ya ini tidak salah. Ini seharusnya dijadikan dasar. Jangan dijadikan sebuah pemahaman yang terus menerus. Tapi realitas ini yang harus kita terima.
Bagaimana kiat-kiatnya untuk mencintai ibadah?

             Memang perlu ada semacam contoh. Karena masyarakiat kita saat ini memang membutuhkan uswah. Karena itu menurut saya, saat ini bagaimana ditumbuhkan orang tua di rumah dijadikan contoh bagi anak-anaknya. Guru sebagai contoh bagi bagi muridnya dan pejabat sebagai contoh bagi rakyatnya. Karena itu marilah berlomba-loba menjadikan diri kita menjadi figur. Sekecil apa pun ruang lingkup kita, tapi yang namanya uswah itu adalah suatu hal yang penting. Artinya agama itu tidak hanya sekedar pada tahap pengetahuan dan wacana. Tapi hingga pada tahap implementasi. Itu yang pertama.
Yang kedua adalah sosialiasasi tentang ajaran Islam yang menyeluruh. Ini perlu untuk terus dilakukan. Dan juga termasuk ajaran agama islam yang menyangkut berbagai bidang kehidupan. Ini harus dimuncuilkan. Sekarang ini yang ada di majlis-majlis ta’lim yang ada kan hanya bagaimana beribadah yang baik. Tapi belum pada bagaimana berdagang yang baik, bagaiamana berbisnis yang baik, bagaimana bermuamalah yang baik? Itu juga harus kita lakukan. Bagaiamana berpolitik yang baik? Nah ini harus kita lakuikan. Dan politiknya orang muslim harus berbeda dengan cara politiknya orang sekuler. Apalagi dengan yang non muslim. Malah jangan sampai perilaku politis yang muslim lebih jelek daripada politisi non muslim.

           Kemudian juga harus ada proses pembiasaan. At-tamrinat. Latihan-latihan. Artinya kita contoh pola yang dicontoihkan oleh rasul. Misalkan mulai kecil aanak-anak itu harus dibiasakan dengan perilaku islami, semisal kejujuran dan tanggung jawab dan lainnya. Jadi kita harus memposisikan agama tidak hanya sebagai aspek pengetahuan tapi juga pada perilaku. Misalkan bila kita antri untuk beli tiket KA, yang terjadi kan soiapa yang kuat ia dapat. Nah ini perlu kita perbaiki.
Di samping itu juga hal-hal yang bersifat amal jama’i juga harus ditumbuhkan.
Hal di atas apakah juga karena kurangnya pemahaman masyarakat tentang sisi spiritual ibadah?
Bisa saja.
Lantas bagaimana untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat?   

 
        Jarang orang menggali hikmah suatu kewajiban yang sudah ditetapkan Allah. Betul. Saya setuju itu. Jadi sekarang ini kan banyak yang lebih menjelaskan hukum. Fiqh oriented. Jadi kalau ibadah haji itu, yang diberikan hanya sebatas mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Tetapi makna dari ibadah atau hikmahnya... jadi ada hukmu tsayri ada juga hikmat al-tasyri. Jadi sekarang ini yang menonjol adalah hukmu syar’i: ini yang harus dilakukan dan ini yang tidak boleh dilakukan. Tapi hikmahnya belum banyak yang menjelaskan. Misalkan kenapa sih zakat itu diwajibkan? Harusnya diungkap, digali maknanya. Atau kenapa shalat itu diwajibkan? nah maka perlu kita ungkap hikmahnya.
Jadi selama ini belum seimbang. Lantas kenapa tidak seimbang? Karena untuk menjelaskan hikmah juga bukan pekerjaan mudah. Perlu melakukan analisa yang dalam dan tajam. Pwerlu pemikiran yang kritis.
Bila menjelaskan hukum itu kan mudah: misalkan shalat itu wajib. Tapi jika menjelaskan hikmah shalat? Itu kan memerlukan penelaahan yang mendalam dan daya fikir yang mendalam.
Cara menjelaskan hikmah shalat?

Di antara hikmah shalat itu kan kita bisa menumbuhkan persamaan. Orang tidak dipandang dari sudut pandang jabatan dan kekeayaan. Tapi orang itu di hadapan Allah itu sama, kecuali kadar taqwanya. Sehingga hikmah yang bisa digali adalah, ketika kita menjadi orang yang punya jabatan mentereng dan kaya seharusnya kita tidak boleh sombong. Orang yang ruku dan sujud itu kan sama. Ketika imam ruku maka semuanya rukuk.


          Kedua adalah shalat juga mengajarkan pada kita untuk disiplin. Disiplin pada aturan dan waktu. Misalkan shalat ashar itu mulai setengah empat hingga setengah enam. Maka jangan kita shalat ashar jam tiga atau setengah tuj, ini tidak boleh. Jadi dalam islam itu diajarkan untuk bagaimana menghargai waktu.
Shalat juga menumbuhkan etos kerja. Coba lihat, shalat itu kan gerakan-gerakan. Nah jika kita ingin memperoleh pertolongan dari Allah, kita harus beribadah. Iyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Na’budu dulu baru nastain. Tidak bisa nasta’in dulu baru na’budu. Nah hikmahnya adalah kita harus bekerja keras terlebih dahulu baru kemudian bisa menikmati hasilnya.

       Demikian juga, shalat bisa menghasilkan ketenanganjiwa. Itu jelas sekali. Karena kita dalam shalat itu kan berdialog dengan Allah. Tapi ini ada catatannya, yaitu shalat yang harus dikerjakan dengan tertib. Bacaan-bacaannya harus dibaca dengan pelahan dan penuh penghayatan. Nah bila dilakukan seperti itu, orang itu kan seperti berdialog. Nah... kata-kata warzukli itu terkait antara ketika kita berhadapan dengan Allah dalam shalat dengan ketika kita berada diluar. Redaksi Warzukli itu kan konteksnya ada di luar shalat. Artinya ketika kita ingin mencari rezeki, maka kita tidak boleh keluar dari garis-garis yang telah ditentukan oleh Allah. Sehingga orang yang shalatnya bener itu tidak mungkin KKN. Apabila bila meresapi inna shalati wanusuki wa mahyaya wamamti lillahi robbil alamin. Karena dia merasa direcord/dicatat oleh Allah.

      Kemudian juga shalat juga bisa menumbuhkan keberpihakan pada pemimpin yang baik. Shalat itu kan harus tunduk pada imam. Jadi kita harus tunduk pada pemimpin. Bila imam rukuk, maka kita juga rukuk. Tapi jika pemimpin itu salah, maka juga harus kita koreksi. Bila perlu kita ganti. Misalkan salah bacaan dan gerakannya. Tetapi koreksinya dengan cara yang baik. Bukan dengan cara yang vulgar dan tidak sopan. Cukup dengan kata subhanallah. Nah ini hanya sebagian dari hikmah shalat. Seharusnya ini sudah menjadi sistem dalam kehidupan kita.

      Hikamah zakat, mejadi orang pemurah, kerja keras dan hemat. Kebetulan saya banyak bergelut dalam dunia perzakatan. Saya selalu menguraikan hikmah zakat. Misalkan saya selalu menjelaskan bahwa hikmah dari zakat adalah bisa menumbuhkan etos kerja. Orang yang zakat pasti tidak akan korupsi, bila ia benar-bvenar ikhlas. Karena zakat itu tidak dari tangan yang kotor. Zakat itu bukan pencucian uang. Tapi zakat itu adalah membersihkan harta yang telah kjita dapatkan dari cara-cara yang bersih. Agar jangan sampai ada harta kita yang merupakan hak orang lain.

        Hikmah Zakat juga bisa menumbuhkan etos kerja. Orang yang berzakat pasti bukan orang yang malas bekerja. Orang yang malas tak mungkin bisa berzakat. Jadi gerakan sadar zakat adalah gerakan etos kerja.
Kemudian juga menumbuhkan kasih-sayang kepada sesama, khususnya mereka yitu dhuafa atau mustahiq, nah inilah yang disebut dengan kesalehan sosial. Dalam hadist disebutkan taro mukminin fi tarokhumihim watatufihim kama fi syajarin wahid. (kau lihat orang-orang mukimin dalam kasih sayangnya sperti dalam satu tubuh).

        Saya menguraikan zakat itu ada sebelesa, ini pernah saya tulis dalam buku saya (nih spesial untuk adik, deh. hahaha) zakat dalam ekonomi modern. Nah demikian pula hikmah-hikmah yang lain.
Misal dalam contoh zakat itu untuk menumbuhkan harta, bukan untuk mengurtangi hjarta. Nah selama ini kan sebaliknya, orang beranggapan bahwa jika saya berxakat maka harta saya berkurang. Mungkin secara nominal harta itu berkurang ketika itu. Dari sepuluh juta dikurangi dua setengah persen kan duaratus lima puluh ribu. Tapi sesungguhnya dengan berzakat itu harta kita akan terus berlipat ganda. Karena dengan berzakat maka etos kerja kita akan bertambah dan terus bertambah sehingga harta kekayaan kita akan terus meningkat. Sehingga kita punya keinginan untuk terus memberikan yang terbaik bagi masyarakat kita.

         Dan secara empirik, orang-orang yang ikhlas dalam berzakat akan mengalami hal ini, hartanya tidak akan pernah berkurang. Meski pun dalam menjelaskan hikmah zakat ini—jujur saja—sangat sulit sekali. Ada yang bisa dilakukan dengan kata-kata atau teori-teori ekonomi, tapi ada pula yang hanya bisa dirasakan saja. Makanya saya sering mengatakan, lakukan sebaik-baiknya dengan penuh keikhlasan, nanti anda akan merasakan bahwa zakat adalah sebuah kenikmatan. Lakukan shalat dengan sebaik-baiknya maka anda akan merasakan sebauh kenikmatan. Kita akan merasa butuh dengan shalat dan zakat.

        Jadi jangan sampai ketika kita berbuat baik dengan orang lain itu, kita merasa bahwa orang lain yang butuh. Tapi kita yang butuh. Karena zakat itu yang paling banyak menerima manfaat dari zakat itu bukan orang yang kita beri, tapi kita yang memberi. Bukan mustahiq tapi muzakki.
Apakah sesuai dengan kalimat “Memberi itu terangkan hati?”
Benar. Dan itu bisa dirasakan. Kalau saya biasanya menggunakan slogan bila anda ingin mengembangakan usaha anda maka berzakatlah. Anda ingin memperoleh kep[uasan bathin maka shalatlah. Jadi arahnya ke sana.

Tapi untuk menjelaskan hikmah ini sangat tidak mudah. Du\ibutuhkan kedalaman fikiran dan harus banyak bacaan, banyak pengalaman spiritual sehingga agama itu dirasakan dan dihayati.
Terakhir, bila melihat tema-tema yang baru saja menjadi dialog anta kita, bagaiamana pendapat bapak tentang majalah kami yang akan terbit ini?

Oh! Baru terbit ya?

            Saya kira ini bagus sekali. Saya memberikan apresiasi pada majalah-majalah seperti ini, yang bergerak dalam bidang spiritual. Tetapi kita dalam “tidak terpisah” dengan aspek-aspek yang lain. Spiritual itu boleh jargonnya. Hikmahnya. Sehingga tidak boleh melepaskan dari hukum syari. Karena kita tidak bisa bicara hikmah saja, lalu mengabvaikan hukum. Begitu pula sebaliknya.
Jadi jika seseorang spiritualitasnya sudah baik, maka bagaimana hal itu tercermin dalam perilakunya yang semakin baik. Jadi yang saya harapkan adalah, penekanannya pada spiritual yang bisa melahirkan etos kerja. Sehingga dicintai oleh masyarakat dan masyarakat menjadi butuh.


Apa hikmahnya, anak dipukul jika tidak salat?
Hukum Meremehkan Shalat
Kamis, 01 April 04
Tanya :

Banyak di antara orang-orang sekarang yang meremehkan shalat, bahkan sebagian mereka ada yang meninggalkan semuanya, bagaimana hukum mereka? Dan apa yang diwajibkan kepada setiap Muslim berkaitan dengan mereka, terutama kerabatnya, seperti; orang tua, anak, isteri dan sebagainya?

Jawab :

Meremehkan shalat termasuk kemungkaran yang besar dan termasuk sifat orang-orang munafik, Allah Subhannahu wa Ta'ala telah berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut nama Allah kecuali sedikit sekali.” (An-Nisa’: 142), dalam ayat lain Allah berfirman,
“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melain-kan dengan rasa enggan.” (At-Taubah: 54), Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,
لَيْسَ صَلاَةٌ أَثْقَلَ عَلَى الْمُنَافِقِيْنَ مِنَ الْفَجْرِ وَالْعِشَاءِ، وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِيْهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا.
“Tidak ada shalat yang lebih berat bagi orang-orang munafik daripada shalat Shubuh dan shalat Isya, dan seandainya mereka mengetahui apa yang terkandung pada keduanya, tentulah mereka akan mendatanginya walaupun dengan merangkak.”

Maka yang wajib atas setiap Muslim dan Muslimah adalah meme-lihara shalat yang lima pada waktunya, melaksanakannya dengan thuma’-ninah, konsentrasi dan khusyu’ serta menghadirkan hati, karena Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman,
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya.” (Al-Mukminun: 1-2).

Dan berdasarkan riwayat dari Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, bahwa beliau memerin-tahkan kepada orang yang buruk dalam melakukan shalatnya karena tidak thuma’ninah agar mengulangi shalatnya. Dan kepada kaum laki-laki, hendaknya mereka memelihara shalat-shalat tersebut dengan berjama’ah di rumah-rumah Allah, yakni di masjid-masjid, hal ini berdasarkan sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam ,
مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ.
“Barangsiapa yang mendengar adzan tapi tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena udzur.”





No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook