Sunday, July 7, 2013

MINUMAN KERAS, ADA MUSLAHAT BEBAN PIKIRAN, TIDAK BERAT,


MINUMAN KERAS
ADA MASLAHATNYA 


 By Muhammad Rakib,S.H.,M.Ag


YANG JANGAN DICONTOH DARI JEPANG,
MABUKNYA BUKAN KEPALANG
BAIK MALAM,MAUPUN SIANG
MINUMAN KERAS, SELALU DIPEGANG



Untuk mengetahui kapan suatu maslahat itu dianggap valid (mu'tabarah) dan bisa dijadikan landasan suatu hukum, ada lima syarat atau batasan yang bisa dijadikan titik tolak. Kelima syarat tersebut ialah:






MINUMAN KERAS, ADA MUSLAHAT
BEBAN PIKIRAN, TIDAK BERAT,
ORANG BIASA, MERASA HEBAT
SAMPAI NYAWA, DICABUT MALAIKAT

1. Maslahat tidak bertentangan dengan maqasid syariah.
2. Maslahat tidak bertentangan dengan nash Al-Quran.
3. Maslahah tidak bertentangan hadits Nabi.
4. Maslahat tidak bertentangan dengan qiyas (analogi).
5. Maslahat tidak bertentangan dengan maslahat lainnya yang lebih penting atau maslahat yang sejajar dengannya.


Kelima syarat ini merupakan batasan atau standar yang digunakan untuk membedakan antara maslahah mu'tabarah (yang dapat dijadikan dasar hukum) dan maslahah mulghah (yang tidak dapat dijadikan dasar hukum). Seorang mujtahid harus benar-benar menguasai  batasan-batasan di atas. Dan di sinilah tingkat kejeniusan seorang mujtahid diuji. Peta penguasaannya terhadap nash dapat diukur dari sejauh mana ia bisa menggunakan batasan-batasan itu dalam ber-istinbath sebagaimana mestinya.
Kesimpulan para ahli ushul fiqh yang mengatakan, setiap hukum pasti akan berujung pada suatu maslahat.[1] Hukum  tidak pernah lepas dari maslahat, tetapi maslahat tidaklah merupakan dasar hukum yang berdiri sendiri. Kedudukan maslahat tidak seperti kedudukan Al-Qur’an, Sunnah Nabawiyah, ijma’ dan qiyas sebagai dalil mustaqil (berdiri sendiri). Karena maslahat pada dasarnya merupakan makna umum yang secara implisit berada di balik hukum-hukum juz’iy (parsial). Sementara hukum-hukum juz’iy itu sendiri tidak akan ada tanpa melalui proses istinbath.

      Masalahat dalam kaidah fiqih dalam realitas
  Bertitik tolak dari pernyataan bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk kemaslahatan,  menimbulkan persoalan tentang hubungan nash Al-quran atau Sunnah Rasul dengan maslahat merupakan salah satu permasalahan yang pelik dan penting. Ijtihad atas dasar maslahat sebagai tujuan hukum Islam sering memungkinkan tidak diterapkannya ketentuan nas menurut apa adanya, tetapi diterapkan dengan cara lain atau bahkan tidak diterapkan sama sekali.
Untuk pengembangan maslahat dalam legislasi Indonesia kontemporer erat kaitannya dengan pengembangan budaya hukum Islam. Dalam pengembangan budaya hukum Islam di Indonesia kaum muslimin dihadapkan pada kemungkinan, yaitu hukum positif Islam yang terbatas pada mempermasalahkan hukum yang berlaku bagi kaum muslimin, dan nilai-nilai hukum Islam, yang akan berlaku bagi seluruh warga negara, bahkan mungkin seluruh penduduk (termasuk yang bukan warga negara). Kedua alternatif tersebut akan mempengaruhi pembentukan hukum nasional pada masa yang akan datang.
Bertolak dari kerangka pemikiran bahwa hukum positif Islam pada masa mendatang adalah hukum yang bersumber dari nilai-nilai agama Islam dan dihubungkan pula dengan teori peringkatan hukum, maslahat dalam hukum Islam dapat diterjemahkan sebagai maslahat rakyat dalam segala aspeknya, mencakup bidang yang begitu luas, seperti ekonomi, hukum, politik dan sebagainya (mu'amalah). Dan maslahat menempati posisi sebagai nilai-nilai Islam (norma hukum) yang abstrak atau cita-cita hukum. Oleh karena itu, dibutuhkan formulasi asas-asas, peraturan (perundang-undangan) atau bentuk legislasi lainnya sebagai norma antara yang merupakan kreativitas ijtihad yang disesuaikan dengan situasi, kondisi, budaya dan kurun waktu. Semua hasil penerapan dan penegakan norma antara tersebut menjadi hukum positif yang merupakan norma konkret (living law) masyarakat.
Apabila formulasi dan aplikasi suatu peraturan perundang-undangan dalam berbagai bidang seperti ekonomi, politik, hukum (norma antara) mampu mewujudkan maslahat rakyat banyak dalam arti sebenarnya dan dapat pula merekayasa tercapainya cita-cita kehidupan rakyat banyak, berarti aturan-aturan tersebut masih mungkin dan dapat dipertahankan. Akan tetapi, jika sebaliknya, justru formulasi dan aplikasi berbagai peraturan perundang-undangan dalam berbagai lapangan kehidupan rakyat banyak itu tidak mampu lagi menampung aspirasi kerakyatan dikarenakan adanya faktor perubahan situasi dan kondisi, perlu diganti dengan aturan-aturan yang baru yang betul-betul aspiratif. Dengan demikian, maslahat rakyat merupakan cita-cita atau tujuan yang hendak diwujudkan, sedangkan peraturan-peraturan undang-undang merupakan sarana untuk mewujudkan cita-cita kerakyatan. Oleh karena itu efektivitas suatu sarana dapat dipantau oleh masyarakat. Dalam kaitan ini, yang terpenting adalah bagaimana nilai-nilai Islam dapat terpatri dalam kehidupan bernegara, masyarakat, bangsa, keluarga dan individu, kemudian mengakkan keadilan sosial dan menciptakan suatu masyarakat egalitarian, jauh dari eksploitasi manusia atas manusia lain maupun eksploitasi golongan atas golongan lain. Dengan kata lain, hukum Islam tidak dalam norma, melainkan dalam substansinya.
Maslahat menjadi syarat utama dalam pengambilan setiap kebijakan yang diambil oleh para penguasa atau pemimpin. Maslahat yang bisa dikategorikan sebagai landasan dalam pengambilan hukum mempunyai beberapa syarat yang harus terpenuhi, di antara syarat-syarat tersebut dikemukakan oleh MUI dan jumhur ulama’ sendiri. Di antara konsep maslahat yang banyak dipakai adalah konsep yang digagas dari Najmuddin At- tufi. Dalam pemikirannya,  berpendirian bahwa mashlahat adalah tujuan penetapan hukum Islam dalam lapangan mu'amalah, apabila penerapan nash atau ijma' sesuai dengan bunyi tekstualnya bertentangan dengan maslahat dan tidak dapat dikompromikan. Maslahat hendaklah lebih diutamakan daripada dalil-dalil syara' lainnya.
Maslahat merupakan tujuan sedangkan dalil-dalil syara' merupakan sarana untuk mencapai tujuan, karena itu tujuan hendaklah lebih diutamakan daripada sarana. Dalam perspektif pembaruan (reaktualisasi) hukum Islam dalam bidang mu'amalah dewasa ini, maslahat tokoh tersebut dapat dijadikan rujukan dengan cara mendasarkan konsep maslahat tersebut sebagai substansi yang disarikan dari Alquran dan hadits serta dapat dipertanggungjawabkan secara keagamaan. Konsep tersebut memberikan jalan keluar bahwa dalam masalah mu'amalah umat Islam,seperti kehidupan sosial, ekonomi, politik dan lain-lain, penentuan boleh tidaknya sesuatu ditekankan pada maslahat umum dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi kehidupan manusia sebagai praktisi hukum.

Analisis Saddu al-dzari’ah

        Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah sadd al-dzari’ah dan fath al-dzari’ah. Metode sadd al-dzari’ah merupakan upaya preventif agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif. Metode hukum ini merupakan salah satu bentuk kekayaan khazanah intelektual Islam yang –sepanjang pengetahuan penulis–tidak dimiliki oleh agama-agama lain. Selain Islam, tidak ada agama yang memiliki sistem hukum yang didokumentasikan dengan baik dalam berbagai karya yang sedemikian banyak. 
     
          Menurut penulis UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga memuat pasal-pasal yang sejalan dengan Sadd al-Zari’ah, karena  merupakan upaya melindungi anak Indonesia dari perlakuan yang sewenang-wenang. Namun, eksistensinya seringkali dijadikan “alat” untuk menjustifikasi kesalahan anak. Kondisi ini berdampak semakin sulitnya guru melaksanakan tugas kependidikan untuk menegakkan kedisiplinan, terutama membina kepribadian anak dengan akhlak yang terpuji. Bila dalam pendidikan dikenal pemberian penghargaan (reward) dan hukuman (funishment), sebagai salah satu alat pendidikan, maka dengan adanya UU Perlindungan Anak dan KPAI, seakan dunia pendidikan kehilangan salah satu alat dalam melaksanakan proses pendidikan. Padahal, eksistensi reward dan funishment sangat penting dalam pencapaian tujuan pendidikan.
             Adanya KPAI dan UU Perlindungan Anak secara yuridis melarang adanya tindakan kekerasan terhadap peserta didik. Padahal, sebagai seorang pendidik, guru/dosen memiliki otoritas akademik di dalam kelas untuk menegakkan disiplin agar tercapai tujuan pembelajaran yang dilaksanakan. Di sisi lain, seringkali terlupakan adalah alasan hukuman yang dilakukan guru. Untuk itu, perlu dilakukan uji materi (judicial review) terhadap UU. Perlindungan Anak, khususnya pasal 80, 81, dan 82. Sebab, belum tentu tindakan guru murni kesalahannya, akan tetapi akibat kesalahan yang dilakukan peserta didiknya.
             Perlakuan  terhadap guru, sebagai tenaga pendidik, mereka seringkali berada pada posisi yang dilematis, antara tuntutan profesi dan perlakukan masyarakat. Mereka dituntut untuk mampu menghantarkan peserta didik mencapai tujuan pendidikan. Namun tatkala mereka berupaya untuk menegakkan kedisplinan, mereka dihadang oleh UU Perlindungan Anak dan KPAI. Jika mereka gagal menegakkan kedisiplinan peserta didiknya dan gagal menghantarkan peserta didik pada pencapaian tujuan pendidikan, kembali pendidik akan menjadi kambing hitam dan tumbal atas kegagalan tersebut.
            Tatkala guru ingin melakukan hukuman terhadap muridnya dalam rangka menegakkan kedisiplinan, maka secara sepontan orang tua dan masyarakat mengkategorikannya sebagai tindakan melanggar HAM dan UU Perlindungan Anak. Mereka kemudian melaporkan tindakan guru tersebut kepada polisi atau kepada KPAID. Dengan kekuatan tersebut, acapkali guru tidak mendapatkan perlindungan terhadap profesinya. Akibat adanya KPAID dan UU Perlindungan Anak, eksistensi guru berada pada posisi sangat pasif dan menjadi sosok yang serba salah.[2]
             Urgensi UU Guru dan Dosen, secara yuridis, UU Perlindungan Guru dan Dosen telah termuat dalam UU No 14/2005. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.Adapun maksud perlindungan profesi yang diamanatkan dalam UU No 14/2005 tentang guru dan dosen adalah perlindungan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang tidak sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugasnya. Sementara perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja meliputi perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kesehatan, dan/atau resiko lainnya.
                Eksistensi UU No 14/2005 telah memuat perlindungan terhadap guru atas profesinya. Implementasi terhadap UU tersebut masih belum terlaksana. UU tersebut lebih banyak disoroti sebagai kekuatan hukum atas peningkatan kesejahteraan guru/dosen, sementara perlindungan terhadap profesi guru/dosen seringkali lepas dari perhatian. Jalan tengah perlu diciptakan. Ahli hukum, tidak  mungkin, menutup mata terhadap tindakan oknum guru yang kurang mendidik dengan memberikan hukuman di luar nilai pendidikan. Mereka bisa saja, meletakkan peserta didiknya sebagai “penjahat” yang harus “dihabisi,” bukan sosok yang perlu dibimbing dan diperbaiki. Demikian pula sikap orang tua yang mulai mengalami pergeseran dalam memandang profesi guru. Mereka terlalu banyak menuntut guru agar dapat mengantarkan peserta didik sebagai masyarakat terdidik, namun tidak seiring dengan kenyamanan dan perlindungan yang diberikan.
            Menurut penulis, ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan guru dalam menghukum murid yang bersalah. Pertama, memberikan laporan kepada orang tua murid perihal prilaku anak mereka dengan cara pemanggilan secara langsung. Tahapan ini dilakukan sebanyak 2 kali dengan ikut melibatkan guru BK. Kedua, bila selama 2 kali pemanggilan tidak menunjukan perubahan dan kerjasama yang baik, seorang guru bisa memberikan hukuman dengan syarat : (1). Hukuman fisik, tidak pada tempat yang vital. (2) Hukuman dilakukan dalam bentuk yang mendidik. (3) Hukuman dilaksanakan secara adil dan ikut mempertimbangkan aspek psikologis peserta didik.[3]

D. Sanksi Hukum Terhadap Guru Pelanggaran Hak Anak-Anak Menurut Hukum Islam dan UU.Nomor 23 Tahun 2002.
1.Diberlakukan qishash
            Dalam hukum Islam, orang tua, guru atau orang dewasa  yang melanggar hak anak-anak, berupa memukul atau menzalimi,[4] sebahagian ulama menyatakan, boleh diberlakukan hukuman  qishash. Ada ungkapan yang menyatakan, jika yang berhak menuntut balas itu belum dewasa, atau gila, tidak diberlakukan. Dalam hal orang dewasa, ditunda sampai anak yang belum dewasa. Namun dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Menurut sebagian ulama Hanafiyah, pelaksanaan hukuman qisash   menunggu sampai ia dewasa atau sembuh dari gilanya. Sebahagian yang berpendapat hukuman qishas  dilaksanakan oleh qadhi (hakim) yang mewakili mustahiq tersebut. Menurut Malikiyah pelaksanaan hukuman qisash tidak perlu menunggu anak tersebut dewasa atau sembuh dari gila. Alasannya adalah karena qishash itu tujuannya untuk mengobati rasa duka, dan untuk menghilangkannya tidak bisa dilimpahkan kepada orang lain, baik itu hakim atau wali. [5] 

 2. Didenda seratus juta
          
           Apabila dibandingkan dengan hukuman terhadap orang dewasa yang melakukan pelanggaran  hukum  pada Pasal 77 UU Nomor 23 Tahun 2002, dinyatakan bahwa: Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan:  1.diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau  2. penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).[6]
                  Menurut Al-Gazali, menghukum anak saat dia melakukan kesalahan, apabila pada suatu kali anak menyalahi perilaku terpuji, selayaknya pendidik tidak membongkar dan membeberkan kesalahan-kesalahannya itu. Mengungkapan rahasianya itu, mungkin akan membuatnya semakin berani melanggar. Jika anak mengulangi kesalahan yang sama, tegurlah dengan halus dan tunjukkan urgensi kesalahannya. Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan. ,[7] bukan seorang tahanan yang jahat, bukan musuh yang lihai, berbuat makar dan bukan pula seorang penjahat yang seantiasa mencari kesempatan untuk membahayakanmu.[8] Namun ia adalah bagian dari tubuhnmu yang keluar dari sulbimu, seorang anak kecil yang lemah dan akalnya belum sempurna, kesalahanya bukan dengan kesengajaan. Ia membutuhkan rasa santun, lembut, kasih sayang dan maaf darimu. Tentang hal  ini, terdapat kesamaan antara UU. RI Nomor 23 Tahun 2002  dan Hukum Islam.



             [1]Sementara Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i mengatakan :“ orang yang meninggalkan adalah fasik dan tidak kafir”, namun, mereka berbeda pendapat mengenai hukumannya, menurut Imam Malik dan Syafi’i “diancam hukuman mati sebagai hadd”, dan menurut Imam Abu Hanifah diancam hukuman ta’zir, bukan hukuman mati”. Apabila masalah ini termasuk masalah yang diperselisihkan, maka yang wajib adalah dikembalikan kepada kitab Allah dan sunnah Rasulullah SAW., karena Allah berfirman : “Tentang sesuatu apapun yang kamu perselisihkan, maka putusannya dikembalikan kepada Allah.”  QS. As- Syura, 10 .Hukum itu berputar di atas ‘ilat hukumnya, ada atau tidak ada hukumnya. Situasi dan kondisi berubah, hukumnya kadang-kadang tidak ada.Lihat Masjfuq Zuhdi, Masa’il al-Fiqhi, Kapita Selekta Hukum Islam,  (PT.Toko Gunung Agung, Jakarta: 1997), hlm. 252.

           [2] Menghukum anak, menjadi serba salah, karena  salah hukum, dapat menimbulkan fitnah, seperti yang diisyaratka QS Al-Taghabun: 14.  Al-Imam At-Tirmidzi t dalam Sunan-nya (no. 3317) membawakan asbabun nuzul (sebab turunnya) surah At-Taghabun ayat 14 ini, dari riwayat Ibnu ‘Abbas c. Tatkala ada yang bertanya kepada Ibnu ‘Abbas c tentang ayat ini, beliau menyatakan: “Mereka adalah orang-orang yang telah berislam dari penduduk Makkah dan mereka ingin menda-tangi Nabi I, namun istri dan anak mereka enggan ditinggalkan mereka. Ketika mereka pada akhirnya mendatangi Rasulullah I, mereka melihat orang-orang yang lebih dahulu berhijrah telah tafaqquh fid dien (mendalami agama), mereka pun berkeinginan untuk memberi hukuman kepada istri dan anak-anak mereka. Allah I lalu menurunkan ayat 6:Namun riwayat asbabun nuzul ini dha’if (lemah) sebagaimana dinyatakan oleh Asy-Syaikh Al-’Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t, dalam karya beliau Ash-Shahihul Musnad min Asbabin Nuzul, tt.), hlm.  249.

              [3]Bila UU No 20/2003 menuntut pencapaian kualitas yang maksimal, menuntut pendidik menjadi profesional, seyogianya diiringi dengan adanya UU Profesi Pendidik. Meskipun dalam UU No 14/2005 secara tegas telah melindungi profesi guru dan dosen, namun dalam dataran implementasi kekuatan UU tersebut masih tak terlihat berkontribusi terhadap nasib guru/dosen sebagai tenaga pendidik. Untuk itu, sudah pada saat dan tempatnya jika guru/dosen membangun kekuatan solidaritas untuk mendorong pemerintah memperbaiki kondisi kerja guru/dosen dan melindungi profesi mereka dengan kekuatan hukum yang jelas. Bunadi Hidayat,op.cit., hlm. 178.
             [4]Sedangkan di dalam hukum Islam, seperti yang dinyatakan, Al-Syaukani, adz-dzari’ah adalah masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhur). Dalam karyanya al-Muwafaqat, asy-Syatibi menyatakan bahwa sadd al-dzari’ah adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang (mamnu’). Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, sadd adz-dzari’ah adalah meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang.
              [5]Ahmad Wardi Muslich. 2002, hlm. 158.
              [6] UU Perlindungan Anak Dan Pejelasannya, (Jakarta, Harvarindo : 1998), hlm. 117.
               [7]Menghukum anak saat dia melakukan kesalahan. Apabila pada suatu kali anak menyalahi perilaku terpuji, selayaknya pendidik tidak membongkar dan membeberkan kesalahan-kesalahannya itu. Mengungkapan rahasianya itu mungkin akan membuatnya semakin berani melanggar. Jika anak mengulangi kesalahan yang sama, tegurlah dengan halus dan tunjukkan urgensi kesalahannya.Menegur dan mencela secara berkesinambungan dan mengungkit-ungkit kesalahan yang dilakukannya membuat anak menjadi pembangkang. Sehubungan dengan hal tersebut Al-Ghazali menegaskan ”Jangan terlampau banyak mencela setiap saat karena perkataan tidak lagi berpengaruh dalam hatinya. Hendaknya guru atau orang tua menjaga kewibawaan nasehatnya.”Seorang pendidik harus mengetehui cara pertumbuhan akal manusia yang bertahap hingga ia mampu mensejalankan pertumbuhan itu dengan pengajarannya terhadap anak didik. Ia menasehatkan agar tidak kasar dalam memperlakukan anak didik yang masih kecil, mencubit tubuh dalam pengajaran merusak anak didik, khususnya anak kecil. Perlakuan kasar dan keras terhadap anak kecil dapat menyebabkan kemalasan dan mendorong mereka untuk berbohong serta memalingkan diri dari ilmu dan pengajaran. Oleh karena itu pendidik harus memperlakukan anak didik dengan kelembutan dan kasih sayang serta tegas dalam waktu-waktu yang diutuhkan untuk itu.
               [8]Jurnal Mawaddah Edisi 4 tahun ke-3, November 2009.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook