Tuesday, July 2, 2013

MELETAKKAN HAM DI ATAS QUR’AN DAN SUNNAH






MELETAKKAN HAM DI ATAS QUR’AN DAN SUNNAH
Drs.Muhammad Rakib,S.H.,M.Ag


           Upaya untuk meletakkan HAM di atas Al-Quran dan Sunnah, akan selalu ditolak oleh umat Islam. Umat Islam lazimnya melihat HAM, demokrasi, kesetaraan gender, dan berbagai paham atau gagasan baru dengan kacamata Al-Quran dan Sunnah. Kaum sekuler, akan berpikir sebaliknya. Mereka melihat Al-Quran dan Sunnah dengan kacamata HAM.  Padahal, jika dicermati, konsep HAM itu sendiri masih merupakan konsep yang bermasalah. Ada yang bisa diterima dalam Islam, dan ada yang tidak bisa diterima. Prinsip Islam itu akan berbeda dengan orang sekuler yang menjadikan DUHAM sebagai kitab sucinya. Bagi mereka – sebagaimana ditegaskan dalam pasal 2 DUHAM –  bahwa setiap orang mempunyai hak dan kebebasan tanpa perbedaan apa pun, seperti perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, termasuk agama.
          Maka, dunia Islam tentu saja menolak prinsip seperti itu. Disamping soal pernikahan, Deklarasi Kairo juga menolak konsep kebebasan beragama ala DUHAM, sebagaimana tercantum dalam pasal 18:
             Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either  alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance.” (Setiap orang mempunyai hak untuk bebas berpikir, berkeyakinan, dan beragama; hak ini mencakup hak untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan –  baik sendiri atau di tengah masyarakat, baik di tempat umum atau tersendiri – untuk menyatakan agama atau kepercayaannya, dengan mengajarkannya, mempraktikkannya, beribadah atau mengamalkannya). Jadi, DUHAM menjamin hak untuk pindah agama (hak untuk murtad).
        Freud  :Ilmuwan Jerman.Menurut Freud yang suhu dari ilmu Psikoanalisa, masa 0-5 tahun adalah masa krusial terbentuknya kepribadian anak. Sehingga segala bentuk kekerasan atau tindakan yang mengakibatkan trauma pada masa itu bisa menyebabkan dampak pada masa perkembangan anak. Beberapa studi mengatakan bahwa anak-anak korban kekerasan biasanya akan menunjukkan self esteem yang rendah, depresi, memendam perasaan bersalah, sulit memercayai orang lain, gangguan pola makan, kesepian bahkan bisa menjadi sangat agresif.
         Fenomena: rangkaian peristiwa serta bentuk keadaan yang dapat diamati dan dinilai lewat kaca mata ilmiah atau lewat disiplin ilmu tertentu. Fenomena terjadi di semua tempat yang bisa diamati oleh manusia. Fenomena berasal dari bahasa Yunani; phainomenon, "apa yang terlihat", fenomena juga bisa berarti:

1.
Gejala, misalkan gejala alam
2.
Hal-hal yang dirasakan dengan pancaindra
3. Hal-hal mistik atau klenik
4. Fakta, kenyataan, kejadian

Kata turunan adjektif, fenomenal, berarti: "sesuatu yang luar biasa".
Gannoe : Teori baru yang menyatakan, anak yang dipukul ringan oleh orangtuanya hingga usia 6 tahun akan memiliki prestasi sekolah yang lebih baik dan lebih optimis. Anak-anak ini nantinya akan lebih bersemangat dalam hal belajar, mengejar cita-citanya untuk masuk universitas terkemuka serta mem bantunya lebih optimis dalam hal meraih mimpinya dibandingkan dengan anak yang tidak pernah dipukul sama sekali oleh orang tuanya. Penelitian ini melibatkan 179 remaja yang ditanya mengenai seberapa sering mereka dipukul saat masih anak-anak dan pada usia berapa terakhir kali orangtua memukulnya. Jawaban yang didapat dibandingkan dengan perilakunya termasuk kelakuan negatif seperti anti sosial, aktivitas seksual yang lebih dini, kekerasan, depresi serta kelakuan positif lainnya.
Hajiyat : ialah hal yang diperlukan karena memberi kesenangan kepada kehidupan dan mengelakkan, kesempitan yang pada kebiasaannya membawa kepada kesusahan dan keserbasalahan dalam hidup, ketiadaannya tidaklah membawa kepincangan kepada kehidupan manusia sebagaimana sekiranya ketiadaan hal dharuriyat.
Hak-hak anak.
Undang-undang RI Nomor 23, tahun 2002 secara tegas, bahwa guru dan siapapun lainnya di sekolah dilarang untuk memberikan hukuman fisik kepada anak-anak. Kemudian diperkuat oleh konvensi PBB untuk hak-hak Anak, menyatakan  dalam artikel 37  bahwa: ”Tak seorang anakpun boleh mendapatkan hukuman, yang merendahkan martabat kemanusiaan. Tetapi hukum Islam mempunyai ketentuan lain.
Hazing : Pengertian perilaku bullying masih menjadi perdebatan dan ... dengan istilah mobbing atau mobbning. Istilah aslinya ... lain untuk bullying adalah peer victimization dan hazing.




         Meskipun seperti telah banyak dikatakan persoalan partikularitas HAM telah dianggap final baik secara teoritis ataupun praksisnya. Tapi benturan itu terus saja terjadi, tidak terkecuali antara Islam melawan Barat. Seperti yang telah dilakukan oleh An Naim dan sahabat-sahabatya dalam menjelaskan konsep HAM korelasinya dengan Islam. Kontribusi itu adalah sebuah upaya membangun reinterpretasi (reunderstanding) terhadap ajaran Islam itu.
         Diakui atau tidak bahwa agama manapun tentu mempunyai nilai-nilai ajaran yang luhur yang sangat humanis dan berkeadilan. Hanya saja terkadang, dalam melakukan proses interpretasi itu tidak jarang terjadi ketegangan (tention) antara apa  seharusnya dan apa yang terjadi atau meminjam istilah Arkoun mana  unthought dan mana yang untikable.
          Seperti yang dijelaskan an Naim bahwa di dalam Islam  ada banyak interpretasi yang deskriminasi dan jelas melanggar konsep HAM standar internasional itu, terutama yang menyangkut persoalan perbudakan dan diskriminasi gender dan agama. Bagi an Naim, sebenarnya tidak ada persoalan mengenai konsep HAM yang tercetus dalam declaration of human rights itu dengan ajaran syariah, seandainya  interpretasi yang dilakukan tepat dan kontekstual. Dengan mengikuti pendapat ustaznya, Mahmoud Mohammad Taha, bahwa konsep HAM itu harus dilakukan pada dua elemen yaitu kehendak untuk hidup dan kehendak untuk bebas. Dua elemen inilah yang harus dijadikan standarisasi dalam melakukan resiprositas untuk membangun dasar-dasar lintas bagi universalitas hak asasi manusia.
        Karena hak asasi  manusia adalah cita-cita ideal dan merupakan suatu yang inheren dalam diri manusia, maka isu-isu awal yang berkembang dalam Islam seperti perbudakan minoritas ataupun juga diskriminasi gender adalah isu yang terutama dua yang terakhir mendapat porsi yang luar biasa dalam setiap wacana. Di dalam Islam dikenal konsep tentang dhimmah bagi non muslim. Sistem ini, menurut sumber syariah otoritatif merupakan sistem yang mentolerir komunitas non muslim menurut sumber di negara Islam dengan adanya jaminan perlindungan atas diri dan hartanya, hak untuk mengamalkan agamanya, dan mendapatkan otonomi komunal tertentu.
           Sebagai ganjarannya mereka harus membayar  jizyah. Menurut sistem dhimmah, non muslim tidak diperbolehkan bertugas dalam angkatan bersenjata sebuah negara Islam. Dalam administrasi peradilan pidana, kesaksian seorang saksi non musli tidak diterima, dan kompensasinya uang yang dibayarkan atas pembunuhan yang melawan hukum atas korban  yang non muslim lebih kecil dari pada kompensasi atas pembunuhan yang korbannya muslim.
          Terhadap persoalan gender, hak-hak perempuan dalam partisipasinya di wilayah publik, kebebasan ruang gerak dan kebebasan berorganisasi sangat dibatasi melalui kombinasi prinsip syariah mengenai qawwama (perlindungan laki-laki atas perempuan), hijab dan pemisahan laki-laki dan perempuan. Perempuan juga didiskriminasikan dalam administrasi peradilan.  Sebagai contoh, kesaksian yudisial perempuan direndahkan menjadi separuh dari nilai kesaksian laki-laki, dan banyak lagi.


  
            Meskipun seperti telah banyak dikatakan persoalan partikularitas HAM telah dianggap final baik secara teoritis ataupun praksisnya. Tapi benturan itu terus saja terjadi, tidak terkecuali antara Islam melawan Barat. Seperti yang telah dilakukan oleh An Naim dan sahabat-sahabatya dalam menjelaskan konsep HAM korelasinya dengan Islam. Kontribusi itu adalah sebuah upaya membangun reinterpretasi (reunderstanding) terhadap ajaran Islam itu.


Diakui atau tidak bahwa agama manapun tentu mempunyai nilai-nilai ajaran yang luhur yang sangat humanis dan berkeadilan. Hanya saja terkadang, dalam melakukan proses interpretasi itu tidak jarang terjadi ketegangan (tention) antara apa  seharusnya dan apa yang terjadi atau meminjam istilah Arkoun mana  unthought dan mana yang untikable.


Seperti yang dijelaskan an Naim bahwa di dalam Islam  ada banyak interpretasi yang deskriminasi dan jelas melanggar konsep HAM standar internasional itu, terutama yang menyangkut persoalan perbudakan dan diskriminasi gender dan agama. Bagi an Naim, sebenarnya tidak ada persoalan mengenai konsep HAM yang tercetus dalam declaration of human rights itu dengan ajaran syariah, seandainya  interpretasi yang dilakukan tepat dan kontekstual. Dengan mengikuti pendapat ustaznya, Mahmoud Mohammad Taha, bahwa konsep HAM itu harus dilakukan pada dua elemen yaitu kehendak untuk hidup dan kehendak untuk bebas. Dua elemen inilah yang harus dijadikan standarisasi dalam melakukan resiprositas untuk membangun dasar-dasar lintas bagi universalitas hak asasi manusia.


Karena hak asasi  manusia adalah cita-cita ideal dan merupakan suatu yang inheren dalam diri manusia, maka isu-isu awal yang berkembang dalam Islam seperti perbudakan minoritas ataupun juga diskriminasi gender adalah isu yang terutama dua yang terakhir mendapat porsi yang luar biasa dalam setiap wacana. Di dalam Islam dikenal konsep tentang dhimmah bagi non muslim. Sistem ini, menurut sumber syariah otoritatif merupakan sistem yang mentolerir komunitas non muslim menurut sumber di negara Islam dengan adanya jaminan perlindungan atas diri dan hartanya, hak untuk mengamalkan agamanya, dan mendapatkan otonomi komunal tertentu, dan sebagai ganjarannya mereka harus membayar  jizyah. Menurut sistem dhimmah, non muslim tidak diperbolehkan bertugas dalam angkatan bersenjata sebuah negara Islam. Dalam administrasi peradilan pidana, kesaksian seorang saksi non musli tidak diterima, dan kompensasinya uang yang dibayarkan atas pembunuhan yang melawan hukum atas korban  yang non muslim lebih kecil dari pada kompensasi atas pembunuhan yang korbannya muslim.


Terhadap persoalan gender, hak-hak perempuan dalam partisipasinya di wilayah publik, kebebasan ruang gerak dan kebebasan berorganisasi sangat dibatasi melalui kombinasi prinsip syariah mengenai qawwama (perlindungan laki-laki atas perempuan), hijab dan pemisahan laki-laki dan perempuan. Perempuan juga didiskriminasikan dalam administrasi peradilan.  Sebagai contoh, kesaksian yudisial perempuan direndahkan menjadi separuh dari nilai kesaksian laki-laki, dan banyak lagi.



No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook