Ditangkap otoritas sekuler Swedia karena dituduh memukul tangan
salah satu anak mereka yang berusia 12 tahun
Mendidik anak melaksanakan shalat,
sepasang Muslim Malaysia ditahan otoritas Swedia
SWEDIA (Arrahmah.com)
– Ribuan warga Malaysia tengah
mendukung sebuah kampanye untuk membebaskan sepasang suami istri Muslim
Malaysia yang ditangkap otoritas sekuler Swedia karena dituduh memukul tangan
salah satu anak mereka yang berusia 12 tahun ketika anak itu tidak mau mengerjakan
shalat.
Azizul Raheem Awalludin adalah
seorang direktur Stockholm dari Dewan Pariwisata Malaysia di Swedia. Dia telah
dimasukkan ke penjara selama lebih dari satu bulan bersama istrinya yang
seorang guru, Shalwati Nurshal, karena mendidik anak mereka sesuai syariat Islam.
Mereka memukul anak mereka tanpa
meninggalkan memar di tangannya sebagai wujud kasih sayang mereka untuk
mendidiknya agar menjadi anak shaleh yang menjalankan perintah Allah.
Pengecaman umat Islam Malaysia atas
penahanan keduanya pun meningkat tatkala empat anak mereka kemudian dikabarkan
malah dititipkan kepada orang tua asuh non-Muslim, lansir Telegraph pada
Kamis (23/1/2014).
Sebuah halaman Facebook yang
mendukung pembebasan keduanya telah mengumpulkan lebih dari 14.000 pengikut dalam
lima hari ketika adanya laporan media Malaysia yang menyatakan bahwa anak
pertama Azizul dan Shalwati yang bernama Aisyah menyampaikan tidak nyaman
tinggal di sebuah rumah di mana makanan haram disajikan. Selain itu, orang tua
asuh non-Muslim mereka juga memelihara anjing di rumah.
“Meskipun mereka tidak memberi kami
makan makanan yang haram, [tetapi] kami berbagi peralatan dan perabotan yang
digunakan untuk [memasak] makanan haram,” katanya.
“Kami harus berjuang untuk diri kami
sendiri. Setiap hari kami harus menggunakan transportasi umum seperti bus atau
kereta api di tengah cuaca dingin. Kami tidak memiliki cukup pakaian hangat.”
Gadis itu juga mengeluhkan sikap
pemerintah Swedia yang melarang dia dan adik-adiknya menemui kerabat mereka
yang telah terbang ke Swedia untuk mengunjungi mereka.
Sementara orang tuanya yang ditahan
otoritas Swedia telah meminta Dinas Sosial Swedia untuk mengizinkan anak-anak
mereka untuk sementara diasuh oleh sebuah keluarga Muslim di kedutaan Malaysia
di Swedia sampai kasusnya diselesaikan, menurut surat kabar Free Malaysia
Today.
Rohani Abdul Karim, Menteri Malaysia
untuk Keluarga mengatakan kepada media Malaysia bahwa pemerintah telah
melakukan semua yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan kasus ini melalui
hubungan diplomatik, “Kami percaya tidak ada kekerasan terhadap anak yang
terjadi.”
“Itu mungkin hanya kesalahpahaman
tentang orang tua yang mendidik anak-anak mereka dan menanamkan nilai-nilai
agama Islam yang baik terhadap mereka sejak dini.”
Pemerintah Swedia yang diberitahu
tentang “insiden” itu oleh pihak sekolah salah satu anak mereka terus
menginvestigasi orang tua anak itu.
Swedia memiliki hukum yang ketat
yang melarang segala hukuman fisik terhadap anak-anak. Dengan demikian banyak
pengguna internet yang mempertanyakan bagaimana mungkin keluarga ini seakan
tidak mengetahui undang-undang perlindungan tersebut, padahal diketahui bahwa
mereka telah tinggal di negara itu selama tiga tahun. Dengan kata lain, banyak
yang berpendapat bahwa mereka juga tidak mungkin melanggar batas-batas yang
sudah begitu jelas.
Hukum Swedia tersebut benar-benar
telah mengejutkan banyak orang di Malaysia, di mana para orangtua yang memukul
anak-anak mereka dalam rangka mendidik dengan tegas tanpa kekerasan berlebihan
telah diterima secara luas sebagai hal yang normal dan sesuai syariat.
Dalam Islam, pada saat usia anak
menginjak 7 tahun, anak harus diajarkan untuk menjalankan praktek shalat.
Ketika anak berusia 10 tahun, orangtua diperbolehkan memukul anak jika dia
tidak melaksanakan shalat.
Pendidikan shalat pada anak usia 7
tahun ialah anak mulai dikenalkan dengan syarat sahnya shalat, rukunnya, dan
larangan-larangannya. Orangtua dianjurkan untuk mengingatkan anak-anak mereka
untuk shalat dengan cara halus dan penuh rasa cinta, dan belum diizinkan untuk
memukul jika anak belum menurut untuk melaksanakan shalat.
Sementara pada saat anak menginjak
usia 10 tahun, orangtua diizinkan untuk memukul anak mereka jika dia belum atau
tidak mau melaksanakan shalat, dengan pukulan yang mendidik dan bukan dengan
kekerasan.
Dalam hal memukul anak yang tidak
melaksanakan shalat yaitu dilakukan dengan pukulan yang tidak melukai, tidak
membuat kulit luka, atau tidak membuat tulang atau gigi menjadi patah, serta
tidak memukul di bagian wajah. Pukulan tersebut tidak lebih dari sepuluh kali
dan hanya bertujuan untuk mendidik dengan tegas.
Dari Umar bin Syu’aib berkata,
Rasulullah Shalallahu Alayhi Wassalam bersabda: “Perintahkanlah anak-anak
kalian untuk melaksanakan shalat apabila sudah mencapai umur tujuh tahun, dan
apabila sudah mencapai umur sepuluh tahun maka pukullah mereka apabila tidak
melaksanakannya, dan pisahkanlah mereka dalam tempat tidurnya.” (HR. Abu Daud)
(banan/arrahmah.com)
Topik: headline, islam,
kekerasan pada anak, malaysia,
pendidikan shalat, shalat,
swedia
Fenomena sosial anak jalanan setelah krisis moneter dan ekonomi
masih sangat rawan dengan aneka permasalahan.
(39.861 anak jalanan yang dilaporkan survei Departemen Sosial tahun
1998, dari jumlah itu, 13 % mengalami putus sekolah).
Masalah anak lain yang perlu perhatian serius adalah timbulnya
pengungsi akibat konflik sosial dan politik, dan bencana alam di berbagai
wilayah Indonesia.
Sejauh ini hanya ada data jumlah pengungsi, namun tidak ada data
jumlah anak pengungsi berdasarkan klasifikasi usia dan jenis kelamin.
Akibatnya, bantuan hanya terfokus pada kebutuhan manusia dewasa.
Sangat sedikit bantuan yang mendukung perkembangan fisik dan psikis
anak serta membantu mengurangi trauma.
masih sangat rawan dengan aneka permasalahan.
(39.861 anak jalanan yang dilaporkan survei Departemen Sosial tahun
1998, dari jumlah itu, 13 % mengalami putus sekolah).
Masalah anak lain yang perlu perhatian serius adalah timbulnya
pengungsi akibat konflik sosial dan politik, dan bencana alam di berbagai
wilayah Indonesia.
Sejauh ini hanya ada data jumlah pengungsi, namun tidak ada data
jumlah anak pengungsi berdasarkan klasifikasi usia dan jenis kelamin.
Akibatnya, bantuan hanya terfokus pada kebutuhan manusia dewasa.
Sangat sedikit bantuan yang mendukung perkembangan fisik dan psikis
anak serta membantu mengurangi trauma.