"Sesungguhnya
ucapan yang paling benar adalah
kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW, dan
seburuk-buruk perkara adalah perkara baru, setiap perkara baru adalah bid'ah,
dan setiap bid'ah itu sesat dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka."
(HR. An-Nasa'i)
Hadits ini merupakan salah satu
dari sekian banyak hadits yang berbicara tentang bid'ah. Namun untuk memahami
perkara bid'ah ini tidak asal begitu saja kita pahami secara harfiah atau
tekstual dari hadits tersebut, sehingga siapapun menjadi mudah untuk mengklaim
saudara-saudaranya semuslim yang melakukan satu perkara yang tidak pernah
dilakukan di zaman nabi SAW kita anggap sebagai pelaku bid'ah yang sesat, dan
jika ia sesat berarti tempatnya di neraka. Agar tidak berkesan tergesa-gesa ada
baiknya kita memahami terlebih dahulu masalah ini melalui kajian-kajian dari
para ulama salafush-shalih kita yang telah terebih dahalu mengkajinya.
§ Bid'ah wajib
Khotbah jumat memakai bahasa Indonesia, dan mencetak al-Quran, mengkalengkan daging kurban di Saudi, adalah bid’ah wajib, bagi orang Indonesia. Khotbah memakai bahasa Inggeris adalah bid’ah wajib bagi orang Inggeris. Bida’ah wajib lainnya, seperti mempelajari ilmu nahwu dan sharaf (gramatika bahasa Arab) yang dengannya dapat memahami kalam Ilahi dan sabda Rasulullah. Ini termasuk bid'ah wajib, karena ilmu ini berfungsi untuk menjaga kemurnian syariat, sebagaimana dijelaskan dalam kaidah fikih,
مَا لاَيَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
"Sesuatu yang tanpanya kewajiban tidak akan berjalan sempurna maka sesuatu itu pun menjadi wajib hukumnya."
Definisi Bid'ah
Untuk mengetahui pengertian bid'ah yang benar maka kita harus
terlebih dahulu memahami arti bid'ah secara bahasa (etimologi) dan istilah
(terminologi/syariat).
Bid'ah Menurut Bahasa (Etimologi)
Yaitu hal baru yang disisipkan pada syariat setelah setelah ia
sempurna. Ibnu As-Sikkit berpendapat bahwa bid'ah adalah segala hal yang baru.
Sementara istilah pelaku bid'ah (baca: mubtadi') menurut adat terkesan tercela.
Adapun Abu Adnan berpendapat bahwa bid'ah adalah melakukan satu
perbuatan yang nyaris belum pernah dilakukan oleh siapapun, seperti perkataan
Anda: si fulan berbuat bid'ah dalam perkara ini, artinya ia telah mendahului
untuk melakukan hal itu sebelum orang lain.
Bid'ah Menurut Istilah
(Terminologi/Syariat)
Ada dua cara yang ditempuh para ulama untuk mendefinisikan
bid'ah menurut syara'.
Segala hal yang tidak pernah
dilakukan Nabi SAW adalah Bid'ah
Pandangan ini dimotori oleh Al Izz bin Abdussalam (ulama madzhab
Syafi'i), dia menganggap bahwa segala hal yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW
sebagai bid'ah. Bid'ah ini pun terbagi kepada hukum yang lima. Berikut
perkataan Al Izz:
"Amal perbuatan yang belum
pernah ada di zaman Nabi SAW atau tidak pernah dilakukan di zaman beliau
terbagi lima macam:
- Bid'ah wajib.
- Bid'ah haram
- Bid'ah sunah
- Bid'ah makruh
- Bid'ah mubah
Adapun untuk mengetahui semua itu
adalah mengembalikan semua perbuatan yang dinggap bid'ah itu di hadapan
kaidah-kaidah syariat, jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip
wajib maka perbuatan itupun menjadi wajib (bid'ah wajib), jika ia masuk atau
sesuai dengan kaidah atau prinsip haram maka perbuatan itupun menjadi haram
(bid'ah haram), jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip sunah maka
perbuatan itupun menjadi sunah (bid'ah sunah), jika ia masuk atau sesuai dengan
kaidah atau prinsip mubah (boleh) maka perbuatan itupun menjadi mubah (bid'ah
mubah). (Lihat Qawa'id Al Ahkam fi Mashalihil Anam, juz 2. h. 204)
Makna tersebut juga dikatakan oleh Imam An-Nawawi yang
berpendapat bahwa segala perbuatan yang tidak pernah ada di zaman Nabi dinamakan
bid'ah, akan tetapi hal itu ada yang baik dan ada yang kebalikannya/buruk.
(lihat Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al Asqalani. Juz 2.h. 394).
Definisi Bid'ah Syariat Lebih
Khusus
Cara kedua yang ditempuh para ulama untuk mendefinisikan bid'ah
adalah: menjadikan pengertian bid'ah menurut syariat lebih khusus dari pada
menurut bahasa. Sehingga istilah bid'ah hanya berlaku untuk suatu perkara yang
tercela saja, dan tidak perlu ada penamaan bid'ah wajib, sunah, mubah dan
seterusnya seperti yang diutarakan oleh Al Izz bin Abdussalam.
Cara kedua ini membatasi istilah bid'ah pada suatu amal yang
diharamkan saja. Cara kedua ini diusung oleh Ibnu Rajab Al Hambali, ia pun
memjelaskan bahwa bid'ah adalah suatu perbuatan yang tidak memiliki dasar
syariat yang menguatkannya, adapun jika suatu perbuatan ini memiliki dasar
syariat yang menguatkannya maka tidak dinamakan bid'ah, sekalipun hal itu
bid'ah menurut bahasa. (lihat Jami' Al Ulum Wa Al Hikam h. 223)
Sebenarnya kedua cara yang ditempuh para ulama ini sepakat mengenai
hakikat pegertian bid'ah, perbedaan mereka terjadi pada pintu masuk yang akan
mengantarkan pada pengertian yang disepakati ini, yaitu bahwa bid'ah yang
tercela (madzmumah) adalah yang berdosa jika megerjakannya, dimana perbuatan
itu tidak memiliki dasar syar'i yang menguatkannya, inilah makna yang dimaksud
dari sabda Nabi SAW,
كُلُّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
"Setiap perbuatan bid'ah itu
sesat."
Definisi yang jelas inilah yang dipegang oleh para ulama, ahli
fikih dan imam yang diikuti. Imam Syafi'i--sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Al Baihaqi--bahwa beliau berkata,
"Perkara baru yang tidak ada
di zaman nabi SAW itu ada dua kategori:
- Perkara baru yang bertolak
belakang dengan Al Qur'an, Sunnah, pendapat sahabat atau Ijma, maka itu
termasuk bid'ah yang sesat (bid'ah dhalalah).
- Perkara baru yang termasuk
baik (hasanah), tidak bertentangan dengan Al Qur'an, Sunnah, pendapat
sahabat atau Ijma, maka perkara baru ini tidak tercela."
(Riwayat Al Baihaqi. Lihat kitab
Manaqib Asy-Syafi'i, juga oleh Abu Nu'aim dalam kitab Hilyatul Auliya'. 9/113)
Sementara Hujjatul Islam, Abu Hamid Al Ghazali berpendapat bahwa
tidak semua perkara baru yang tidak dilakukan di zaman nabi SAW itu dilarang,
akan tetapi yang dilarang adalah perkara bid'ah yang bertolak belakang dengan
Sunnah dan menghilangkan apa yang sudah ditetapkan syari'at. (Lih.Ihya'
Ulumuddin, juz 2, h. 248)
Imam An-Nawawi telah menukil dari Sulthanul ulama, Imam Izzuddin
bin Abdussalam, dia berkata di akhir kitab Qawa'id Al Ahkam (kaidah-kaidah
hukum),
"Bid'ah itu terbagi kepada wajib, sunah, mubah, haram dan
makruh ... "
Di kesempatan lain, dalam pembicaraan tentang hukum bersalaman
usai shalat, dia juga berkata,
"Ketahuilah bahwa bersalaman ini disunahkan pada setiap
pertemuan, adapun orang-orang membiasakan bersalaman pada setiap kali usai
shalat maka ini tidak ada dasarnya sama sekali, akan tetapi hal itu tidak
mengapa dilakukan, karena dasar bersalaman itu adalah Sunnah. Adapun mereka
yang membiasakannya pada kondisi tertentu seperti usai shalat maka hal ini tidak
keluar dari keberadaan bersalaman yang disinggung oleh dasar syariat
(Sunnah)." (lihat An-Nanawi dalam Al Adzkar)
Adapun Ibnu Al Atsir berkata,
"Bid'ah itu ada dua macam, bid'ah huda (yang berpetunjuk)
dan bid'ah dhalal (sesat), jika perkaranya bertolak belakang dengan apa yang
diperintahkan Rasulullah SAW maka itu termasuk tercela dan dikecam. Jika
perkara itu termasuk yang disunahkan dan dianjurkan maka perkara itu terpuji.
Dia pun menambahkan: bid'ah yang baik pada dasarnya adalah sunah."
Karena itu hadits Nabi SAW,
"Bahwa setiap perkara baru itu bid'ah."
Dipahami jika perkara baru itu bertentangan dengan dasar-dasar
syariat dan bertolak belakang dengan Sunnah." (lihat An-Nihayah, karangan
Ibnu Al Atsir juz 1. h. 80)
Ibnu Al Manzhur juga memiliki pendapat yang bagus mengenai
definisi bid'ah secara istilah syar'i, menurutnya:
Bid'ah itu ada dua macam, bid'ah berpetunjuk (huda) dan bid'ah
yang sesat (dhalal). Jika perkara itu bertolak belakang dengan perintah Allah
dan Rasul-Nya maka itu termasuk tercela dan dikecam. Adapun jika perkaranya
termasuk atau sesuai dengan apa yang dianjurkan Allah dan Rasul-Nya maka itu
termasuk perkara terpuji. Adapun perkara yang tidak ada contohnya di zaman nabi
SAW seperti macam-macam jenis kebaikan dan kedermawanan serta perbuatan baik
lainnya maka itu termasuk perbuatan yang terpuji (seperti bersedekah dengan
pulsa, voucher, mengucapkan selamat via email dan SMS atau MMS, mengaji via
telepon, dan lain sebagainya--Red)."
Perkara baru ini tidak boleh bertentangan dengan dasar-dasar
syariat, karena Nabi SAW telah menilai perbuatan ini (yang sesuai dengan
dasar-dasar syari'at) berhak mendapatkan pahala: beliau bersabda,
"Siapa yang memulai perbuatan
baik maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya."
Pada perbuatan kebalikannya beliau bersabda pula,
"Siapa yang memulai suatu
kebiasaan buruk, maka dia mendapatkan dosanya, dan dosa orang yang mengamalkannya."
Hal itu terjadi jika perbuatannya bertentangan dengan perintah
Allah dan Rasul-Nya.
Begitupula dengan yang dikatakan Umar,
"Ini (shalat Tarawih
berjama'ah) bid'ah yang baik".
Jika perbuatan itu termasuk katagori kebaikan dan terpuji maka
dinamakannya dengan bid'ah yang baik dan terpuji, karena Nabi SAW tidak
menyunahkan shalat Tarawih secara berjamaah kepada mereka, Rasulullah hanya
melakukannya beberapa hari lalu meninggalkannya dan tidak lagi mengumpulkan
jamaah untuk melakukan shalat Tarawih.
Praktik shalat Tarawih berjamaah ini juga tidak dilakukan pada
masa Abu Bakar. Namun hal itu dipraktikkan di masa Umar bin Al Khaththab,
beliau menganjurkannya serta membiasakannya, sehingga Umar menamakannya dengan
bid'ah pula, namun pada hakikatnya praktik tersebut adalah sunah, berdasarkan
sabda Nabi SAW,
"Ikutilah Sunnahku, dan sunah
khulafa rasyidun setelahku."
Juga sabda beliau lainnya,
"Ikuti orang-orang setelahku,
yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali ..."
Adapun hadits nabi SAW,
"Setiap perkara baru adalah
bid'ah"
Dipahami jika perkara itu bertolak belakang dengan dasar-dasar
syariat dan tidak sesuai dengan Sunnah. (lihat Lisan Al 'Arab juz 8. h. 6)
Sikap Para Ulama terhadap Definisi
Bid'ah
Jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat bahwa bid'ah terbagi
beberapa macam, hal ini nampak pada pendapat imam Syafi'i dan para pengikutnya
seperti, Al Izzu bin Abdussalam, An-Nawawi dan Abu Syamah. Dari Madzhab Maliki
seperti, Al Qarafi dan Az-Zarqani. Dari Madzhab Hanafi, seperti Ibnu Abidin.
Dari Madzhab Hambali, seperti Ibnu Al Jauzi. Dari madzhab Zhahiriyah, seperti
Ibnu Hazm.
Semua ini tercermin dalam definisi yang diberikan Al Izz bin
Abdussalam mengenai bid'ah, yaitu perbuatan atau amal yang tidak pernah ada di
zaman Nabi SAW, dan hal ini tebagi pada bid'ah wajib, sunah, haram, makruh dan
mubah.
Para ulama ini memberikan contoh-contoh mengenai pembagian
bid'ah ini:
§ Bid'ah wajib
Seperti mempelajari ilmu nahwu dan sharaf (gramatika bahasa Arab) yang dengannya dapat memahami kalam Ilahi dan sabda Rasulullah. Ini termasuk bid'ah wajib, karena ilmu ini berfungsi untuk menjaga kemurnian syariat, sebagaimana dijelaskan dalam kaidah fikih,
Seperti mempelajari ilmu nahwu dan sharaf (gramatika bahasa Arab) yang dengannya dapat memahami kalam Ilahi dan sabda Rasulullah. Ini termasuk bid'ah wajib, karena ilmu ini berfungsi untuk menjaga kemurnian syariat, sebagaimana dijelaskan dalam kaidah fikih,
مَا لاَيَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
"Sesuatu yang tanpanya kewajiban tidak akan berjalan sempurna maka sesuatu itu pun menjadi wajib hukumnya."
§ Bid'ah haram
Seperti pemikiran sekte Al Qadariyah, sekte Al Jabariyah, sekte Al Murji'ah dan sekte Al Khawarij, paham bahwa Al Qur'an adalah produk budaya, dan paham bahwa zamantini masih jahiliyah sehingga hukum-hukum Islam belum bisa diterapkan, dan lain sebagainya.
Seperti pemikiran sekte Al Qadariyah, sekte Al Jabariyah, sekte Al Murji'ah dan sekte Al Khawarij, paham bahwa Al Qur'an adalah produk budaya, dan paham bahwa zamantini masih jahiliyah sehingga hukum-hukum Islam belum bisa diterapkan, dan lain sebagainya.
§ Bid'ah sunah
Seperti merenovasi sekolah, membangun jembatan, shalat tarawih secara bejamaah dengan satu imam, dan adzan dua kali pada shalat Jum'at.
Seperti merenovasi sekolah, membangun jembatan, shalat tarawih secara bejamaah dengan satu imam, dan adzan dua kali pada shalat Jum'at.
§ Bid'ah makruh
Seperti menghiasi atau memperindah Masjid dan Kitab Al Qur'an.
Seperti menghiasi atau memperindah Masjid dan Kitab Al Qur'an.
§ Bid'ah mubah
Seperti, bersalaman usai shalat jamaah, tahlil, memperingati Maulid Nabi SAW, berdoa dan membaca Al Qur'an di kuburan, dzikir secara berjamaah dengan dipimpin imam usai shalat, dzikir dengan suara keras secara berjamaah, dan keanekaragaman bentuk pakaian dan makanan.
Mengenai bid'ah mubah ini diperlukan sikap toleransi yang tinggi di kalangan umat Islam untuk menjaga persatuan dan persaudaraan yang hukumnya wajib, artinya siapa saja boleh melakukan dan meninggalkannya, jangan sampai ada pemaksaan sedikitpun dalam melakukannya apalagi saling merasa benar atau menyalahkan kelompok lainnya.
Seperti, bersalaman usai shalat jamaah, tahlil, memperingati Maulid Nabi SAW, berdoa dan membaca Al Qur'an di kuburan, dzikir secara berjamaah dengan dipimpin imam usai shalat, dzikir dengan suara keras secara berjamaah, dan keanekaragaman bentuk pakaian dan makanan.
Mengenai bid'ah mubah ini diperlukan sikap toleransi yang tinggi di kalangan umat Islam untuk menjaga persatuan dan persaudaraan yang hukumnya wajib, artinya siapa saja boleh melakukan dan meninggalkannya, jangan sampai ada pemaksaan sedikitpun dalam melakukannya apalagi saling merasa benar atau menyalahkan kelompok lainnya.
Adapun dalil yang menjadi dasar pembagian bid'ah ini menjadi
lima adalah:
1. Perkataan Umar
tentang shalat tarawih berjamaah di masjid pada bulan Ramadhan dengan
mengatakan,
نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
Ini sebaik-baik bid'ah.
Diriwayatkan dari Abdurrahaman bin Abdul Qari, dia berkata:
Aku keluar rumah bersama Umar bin Khaththab pada malam bulan Ramadhan menuju masjid. Kami menyaksikan orang-orang terbagi-bagi, masing masing melakukan shalat sendirian. Kemudian Umar berkata,
"Aku berpandangan andai saja aku bisa mengumpulkan mereka pada satu imam maka ini lebih baik dan ideal."
Beliaupun bertekad mengumpulkan mereka dengan imamnya Ubai bin Ka'ab. Kemudian aku keluar ke masjid pada hari berikutnya bersama beliau, kamipun melihat orang-orang sedang shalat dibelakang satu imam. Umar lalu berkata,
نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
Inilah sebaik-baik bid'ah.
Adapun melakukannya di akhir malam maka itu lebih afdhal daripada melakukannya di awal malam. (HR. Bukhari)
2. Abdullah bin Umar
menilai shalat Dhuha yang dilakukan secara berjamaah di masjid adalah bid'ah,
padahal itu merupakan perkara baik.
Diriwayatkan dari Mujahid, dia berkata:
Aku dan Urwah bin Zubair masuk masjid, ternyata ada Abdullah bin Umar sedang duduk di samping serambi rumah Aisyah, lalu ada sekelompok orang melakukan shalat Dhuha secara berjamaah. Kamipun menanyakan hukum shalat mereka ini kepadanya, diapun menjawab,
"Bid'ah".
(HR. Bukhari dan Muslim)
Diriwayatkan dari Mujahid, dia berkata:
Aku dan Urwah bin Zubair masuk masjid, ternyata ada Abdullah bin Umar sedang duduk di samping serambi rumah Aisyah, lalu ada sekelompok orang melakukan shalat Dhuha secara berjamaah. Kamipun menanyakan hukum shalat mereka ini kepadanya, diapun menjawab,
"Bid'ah".
(HR. Bukhari dan Muslim)
3. Hadits-hadits
yang menunjukkan pembagian bid'ah menjadi bid'ah baik dan buruk diantaranya
adalah yang diriwayatkan secara marfu' (shahih dan sampai pada nabi SAW):
"Siapa yang memulai suatu perbuatan baik maka ia akan mendapatkan pahalanya, dan pahala dari orang yang mengikutinya sampai hari kiamat. Siapa yang memulai suatu perbuatan buruk maka ia akan mendapatkan dosanya dan dosa dari orang yang mengikutinya sampai hari kiamat." (HR. Muslim)
"Siapa yang memulai suatu perbuatan baik maka ia akan mendapatkan pahalanya, dan pahala dari orang yang mengikutinya sampai hari kiamat. Siapa yang memulai suatu perbuatan buruk maka ia akan mendapatkan dosanya dan dosa dari orang yang mengikutinya sampai hari kiamat." (HR. Muslim)
Dari apa yang disampaikan dapat kita simpulkan bahwa mengenai
bid'ah ini ada dua pandangan para ulama:
1. Seperti yang
dikemukan oleh Ibnu Rajab Al Hambali dan selainnya, bahwa semua perbuatan yang
diberi pahala dan disyariatkan melakukannya tidak dinamakan bid'ah, sekalipun
hal itu pantas dinamakan bid'ah dari segi bahasa, yaitu perbuatan baru yang
belum pernah ada yang melakukannya, akan tetapi penamaan bid'ah terhadap
perbuatan ini tidak dimaksudkan sebagai bid'ah yang tercela apalagi sesat.
2. Pandangan
perincian macam-macam bid'ah seperti yang dikemukakan oleh Al Izz bin
Abdissalam sebagaimana yang telah kami paparkan sebelumnya.
Sementara sikap kita
sebagai muslim terhadap masalah yang cukup penting ini yang mempengaruhi
pemikiran Islam, masalah-masalah fikih, juga pandangan atau sikap kita terhadap
saudara-saudara semuslim kita lainnya, sehingga janganlah dengan mudah kita
mengklaim mereka yang melakukan bid'ah hasanah (yang baik) itu sebagai pelaku
bid'ah yang sesat dan fasiq (wal 'iyadzu billah/kita memohon perlindungan
kepada Allah dari hal itu), hal ini terjadi karena ketidaktahuan dengan
prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah yang telah jelas tersebut, sehingga masalah
inipun menjadi samar dan aneh di kalangan umat Islam.Wallahu a'lam
No comments:
Post a Comment