PENDAHULUAN
Baru saja penulis duduk di program
S3 jurusan Hukum Islam di UIN Suska Riau
di Pekanbaru,2008, penulis langsung, mengumpulkan bahan hukum Islam, klasik. Bahakan
artikel kritik para orientalis. Kritik paling pedas, biasanya dilancarkan oleh orientalis
Barat, penjajah Belanda, dan JIL, serta m,usuh Islam lainnya, tapi kali ini,
ada penghinaan dari orang yang memakai nama Islam, tapi, menghujat Islam, Kata
mereka begini: Bagi kaum Muslim, penerapan Syariat Islam menjadi bagian dari
kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi, keluarga, masyarakat, maupun
negara. Ibadah shalat, zakat, haji, pernikahan, perdagangan, dan
sebagainya, adalah sebagian aspek kehidupan
yang terikat erat dengan syariat. Namun, harus diakui, ada saja sementara orang
Muslim sendiri yang syariat-fobia.
Faraj Fawdah, seorang tokoh liberal
Mesir, dalam salah satu acara debat
pernah menyatakan: “Secara sederhana saya menolak penerapan Syariat Islam,
apakah ia dilakukan sekaligus atau step by step... karena saya melihat dalam
penerapan Syariat Islam terkandung (konsep) dawlah diniyah (negara agama)... barang siapa menerima negara agama maka ia
dengan sendirinya dapat menerima applikasi Syariat Islam... dan barangsiapa
menolaknya maka dia menolak penerapan Syariat Islam.” (Ahmad Jawdah, Hiwarat Hawla
al-Syari’ah, h.14).
BAB I
KASIHAN YANG MENOLAK
SYARI’AT ISLAM
Di antara sebagian argumen yang
dikemukakan untuk menolak syariat Islam adalah bahwa hukum Islam yang ada
sekarang tidak sensitif dan responsif terhadap perkembangan zaman. Hukum-hukum
Islam dikandung dalam al-Qur’an dan dielaborasi oleh oleh para faqih dan
mufassir sudah ketinggalan zaman; ia tidak dapat menciptakan kebaikan dan
kemaslahatan bagi umat manusia hari ini. Padahal, kata mereka ‘kemaslahatan’ merupakan tujuan dan asas dari Syariat
itu sendiri. Apabila sesuatu hukum itu tidak lagi mampu menciptakan
kemaslahatan, maka sudah selayaknya ditinggalkan saja dan diganti dengan hukum
lain yang lebih dapat mewujudkan kemaslahatan. Untuk memperkuat argumen ini
mereka gunakan teori ‘Maqasid syariah’ yang dikembangkan dan dipopularkan oleh al-Syatibi. Leonard Binder mengungkap
pandangan semacam itu (1988:4) “the language of the Qur’an is coordinate with
the essence of revelation, but the content and meaning of revelation is not
essentially verbal. Since the words of the Qur’an do not exhaust the meaning of
revelation, there is a need for an effort at understanding which is based on
the words, but which goes beyond them, seeking that which is represented or
revealed language.”
Jadi, kata mereka, yang penting dalam
memahami ayat-ayat al-Quran adalah esensinya; bukan makna literalnya. Yang
penting tujuannya, bukan bentuk hukumannya. Dr. Yusuf Qaradawi menggelar mereka
sebagai kaum neo-Mu’attalah (orang yang mengabaikan nash-nash al-Qur’an). Kelompok ini kata
al-Qaradawi selalu menggunakan konsep Maqasid Syariah sebagai alasan untuk tidak berpegang kepada nash al-Qur’an yang
oleh para ulama dikategorikan valid dalam hal transmisi (qat’i al-wurud) dan juga valid dalam hal maknanya (qat’iy al-dilalah). Dalam kerangkan berpikir inilah para kaum esensialis ini
akhirnya menolak hukum hudud,
qishas, jilbab, hukum waris, poligami dan sebagainya.
Argumen esensialis
Menurut hemat saya kerangka berpikir kaum esensialis ini dibangun
atas dua fondasi. Pertama, pandangan mereka bahwa al-Qur’an adalah merupakan respon
langsung kepada struktur sosial-budaya yang patriarki, sistem ekonomi yang
opresif, politik yang despotik dan koruptif masyarakat Arab ketika itu. Sebagai
jawaban terhadap sistem ini diturunkanlah al-Qur’an dengan sistem hukum yang
bersifat transformatif, liberatif dan emansipatif, egalitarianisme, dan
humanisasi yang sebenarnya tujuan utamannya dalah menciptakan keadilan (al-adalah) dan persamaan (al-musawah),
pembebasan (al-hurriyah),
serta perdamaian dan kerukunan (as-salamah,
al-maslahah).
Dalam konteks ini Fazlur Rahman(1979:2) pernah menuliskan: “The Qur’an is the divine response to Qur’anic times, through the
Prophet’s mind, to the moral-social situation of the Prophet’s Arabia,
particularly to the problems of the commercial Meccan society of his day.”
Dengan kata lain hukum-hukum yang terkadung dalam al-Qur’an itu
sangat dipengaruhi dan dipenuhi oleh nuansa masyarakat Arab ketika itu. Sistem
hukum yang dibangunnya pun adalah merefleksikan sturuktur sosial-budaya, serta
ekonomi dan politik masyarakat abad ketujuh. Berdasarkan hal ini, katanya, maka adalah salah besar bagi mereka untuk mengadopsi dan
selanjutnya mengaplikasikan hukum ini pada zaman sekarang, karena ia sudah
tidak sesuai lagi.
Saat menyinggung hukum Islam yang berhubungan dengan urusan publik
seperti hukum hudud, qisas, dan yang sejenisnya, pemikir liberal Abdullah an-Na’im (1990:59)
mengatakan bahwa: “the public law of
Shari’a was fully justified and consistent with historical context. But it does
not make it justified and consistent with present context. Furthermore, given
the concrete realities of the modern nation-state and present international
order, these aspects of the public law of Shari’a are no longer politically
tenable.”
Kedua, -- masih berhubungan dengan argumen pertama – digunakannya prinsip Maqasid Syari’ah. Banyak kaum liberal
berpendapat bahwa setiap hukum yang diperintahkan Allah mempunyai
tujuan/maqasid utama. Tujuan itu adalah kemaslahatan manusia. Kata Fazlur
Rahman: “The Qur’an
always explicates the objectives or principles that are the essence of its law.”
(1979:154).
Seorang
cendekiawan Indonesia, murid Fazlur Rahman pernah berendapat, bahwa bagi
mayarakat Arab, hukum
potong tangan bagi pencuri dan rajam bagi penzina dapat menciptakan
kemasalahatan bagi masyarakat ketika itu. Karena dalam masyarakat yang kasar
dan ganas, katanya, hukuman
seperti itulah yang pantas dan layak untuk dilaksanakan. (Abdullah Saeed,
1997:286). Muhammad
‘Abid al-Jabiri menulis, bahwa “(hukum) potong tangan merupakan peraturan
rasional yang sangat tepat untuk masyarakat baduwi padang pasir yang
penduduknya hidup tanpa ikatan dan nomadik.” (1996:171).
Nash
dan Tujuan Syariat
Ulama bersepakat,
bahwa antara nash dan tujuan (maqasid),
tidak dapat dipisahkan. Imam al-Ghazali yang kemudian mensistemasikanMaqasid Syariah ini
menjadi tiga kategori: daruriyyat,
hajiyyat, dan tahsiniyyat. (Shifa’ al-Ghalil, h. 161-172). Teori ini kemudian oilanjutkan oleh Fakhruddin al-Razi.
Dalam tulisannya, dia menyatakan bahwa: “Hal ini (maksudnya maslahah) mestilah menjadi bagian dari
Syariat, karena tujuan utama seluruh hukum yang diperintahkan Allah adalah
untuk memelihara dan menjaga kemaslahatan (masalih).” (Al-Mahsul, 1992, 6:165). Ibn Taymiyah juga menekankan hal
yang sama: “Bahwa Shariat hadir untuk menjamin kemaslahatan dan menghindarkan
kerusakan.” (Majmu’ Fatawa,
t.t., 20: 48).
Pergantian masa tidak lantas menjadikan konsep kemaslahatan ini
berubah. Ia tetap menjadi pegangan para ahli hukum Islam dan aktivis Islam
kontemporer dalam menjabarkan kandungan Syariat Islam. Disinilah letak
kekeliruan kaum esensialis yang secara membabi buta menuduh kelompok
pro-Syariat sebagai literalis yang mengorbankan prinsip maqasid.
Muhammad Qutb menulis: “Pemimpin yang dipercaya mestilah berbuat
sesuai dengan (prinsip) mashalih
al-mursalah agar supaya dia tidak mengetepikan tujuan akhir Syariat (Maqashid al-Syari’ah). Pemimpin berhak untuk
beradaptasi dengan berbagai isu yang berubah seiring dengan perubahan waktu dan
tempat. Akan tetapi dia hendaklah berpegang pada (prinsip) maqasid sebagai standar hukum dalam
membuat keputusan.” (1991:39).
Menurut
al-Qaradawi: “Adapun nas yang secara transmisi dan makna qath’iy tidak mungkin bertabrakan
dengan maslahah
qath’iyah. Karena sesama qath’iyyat tidak
mungkin berlaku kontradiksi” (2000:143). Berdasarkan keyakinan inilah tak
seorang ulama pun yang berani mengatakan hukum hudud, qisas, waris, jilbab, dan
seterusnya tidak relevan lagi pada saat sekarang ini karena bertentangan dengan
maslahah manusia.
Muhammad al-Sid dalam bukunya al-Hudud (1996:9)
menuliskan: “The application of the hudud is mandatory and no one h as the
right to avoid or circumvent it in any way, otherwise it would be a denial of
the divine attributes mentioned above and a terrible disobedience to God.” Ditempat lain dia juga menyatakan: “According to the Shari’ah, the hudud are immutable,
mandatory and an integral part of legal system of the Islamic state.” (9-10)
Di halaman lain dia kembali menegaskan: ‘All
the Muslim jurists are unanimous that the hudud laws are not subject to change
or alteration,” karena pertama ia berdasarkan ayat qath’yi al-tsubut wa al-dilalah (72)
Anggapan bahwa hukum hudud tidak dapat mewujudkan kemaslahatan
bagi manusia hari ini telah ditepis oleh banyak penulis. Sa’id Ramadan al-Buti
(1992: 103; Raysuni, 2000: 45-49) menjelaskan bahwa salah satu unsur penting
dari sesuatu hukuman adalah al-qaswah (keras).
Kalaulah unsur ini hilang niscaya hilanglah makna sesuatu hukuman. Perlu diingat
bahwa kekejaman hukuman itu sesuai dengan kekejaman yang dilakukan oleh si
kriminal (the principle of
retribution). Dengan begitu prinsip keadilan yang merupakan salah satu
maqasid Syari’ah sudah terpenuhi.
Imam Syatibi, tokoh yang
mempopularkan teori Maqasid, dalam al-Muwafaqat, menyatakan:
“Tidak ada perubahan padanya (pada hukum yang diperintahkan Allah secara jelas
dan kategorikal), meskipun pandangan para mukallaf (orang dewasa) berbeda-beda.
Maka tidak sah sesuatu yang baik berubah buruk dan buruk menjadi baik sehingga
dikatakan misalnya: bahwa
membuka aurat sekarang ini bukan lagi aib atau sesuatu yang buruk, dan oleh
sebab itu wajar untuk dibolehkan. Atau semisal ini. Andaikan
hal ini diterima, maka ia merupakan penasakhan (penghapusan) terhadap hukum
yang sudah tetap dan kontiniu. Dan nasakh sesudah wafatnya Rasullah adalah
sesuatu yang batil.” (Al-Muwafaqat,
ed. Muhammad Muhyiddin ‘Abdul Hamid, 2:209)
Itulah prinsip-prinsip pemikiran
syariat Islam. Tentu, dalam aplikasinya, banyak syarat-syarat dan kebijakan
yang harus dipenuhi, sesuai dengan ketentuan syariat itu sendiri. Kadangkala,
karena salah paham, muncul syariat-fobia, ketakutan yang berlebihan terhadap
syariat. Hukum qishas, misalnya, meskipun tegas dan keras, tetapi disertai
dengan konsep ampunan dari ahli waris – konsep yang tidak dijumpai dalam hukum
Barat. Hukum potong tangan, hanya bisa diterapkan dengan syarat-syarat dan
batas yang ketat. Orang yang mencuri karena keterpaksaan akibat lapar, tidak
dikenai sanksi hukum. Hukum rajam, mensyaratkan adanya empat saksi yang
langsung menyaksikan peristiwa zina. Dan ini teramat sulit dipenuhi.
Yang lebih penting, konsep syariat Islam lebih mengedepankan
konsep keadilan, dan pencegahan, ketimbang sanksi hukuman. Pada akhirnya,
sukses-tidaknya suatu penerapan hukum, juga ditentukan oleh kualitas takwa para
hakim, penguasa, dan juga rakyat. Wallahu
a’lam bil-shawab. (***)
No comments:
Post a Comment