Menohok
Kawan Seiring
Zanzibar, ke Tanungpinang,
Khairil,
ke pulau Batam,
Jatah mengajar, tetap dikenang,
Diambil teman, hatinya geram
Eli
seharusnya, ke Tanjungbalai,
Edi,
ke Rengat dan ke
Lingga
Tubuh
yang segar, menjadi lunglai,
Teman
berkhianat, dengan bangga.
.
’Menohok
kawan, seiring
Menggunting
dalam lipatan,
Moral agama, yang sudah sumbing,
Menodai
arti, persahabatan
’Makhluk kecil, bernama kuman,
Mengisap
darah, setiap detik.
Hidup
berakal, mati beriman,
ering
digunakan, orang munafiq
Raja
marah, pembantu ditempeleng,
Derama singkat, sudah
tamat.,
Ketika agama, dijadikan topenng
Orang-orang rakus, merasa selamat.,
Bangsa
Indonesia, terutama pemerintahnya, tidak boleh menganggap remeh klaim Malaysia
atas lagu Rasa Sayange sebagai miliknya. Kita jangan sampai terlena oleh slogan
"bangsa serumpun".
Memang ada lagu dan tarian yang popular dan sangat dihayati oleh orang-orang Melayu yang sejak dahulu mendiami wilayah-wilayah di kanan-kiri Selat Malaka, yaitu di sisi barat jazirah Malaya (yang dijajah Inggris) dan di sisi timur Pulau Sumatera (yang dijajah Belanda).
Raja-raja Melayu di kedua belah pihak tidak jarang berkerabat satu sama lain, demikian pula di kalangan rakyat, biasanya melalui perkawinan. Maka, ada juga tokoh-tokoh legendaris yang sama-sama dipahlawankan di lingkungan kedua komunitas ini, seperti Hang Tuah dan Hang Jebat.
Sebenarnya Rasa Sayange bukanlah lagu rakyat kita pertama yang telah "dibajak" oleh Malaysia. Lama sebelum ini mereka telah "merampas" dari kita lagu Terang Bulan Terang di Kali, karena melodinya dijadikan melodi lagu kebangsaan mereka. Menjelang dimerdekakan oleh Inggris pada 1957 Pemerintah Malaysia telah memesan kepada seorang komponis Italia sebuah lagu yang bakal dijadikan himne nasional. Kabarnya rakyat Malaya menolak lagu pesanan ini dan sebagai gantinya, melalui referendum, memilih lagu Terang Bulan Terang di Kali.
Pemerintah Indonesia menghormati pilihan rakyat negara baru yang mengaku "serumpun" ini. Sebagai bukti keikhlasan, pemerintah kita lalu melarang rakyat Indonesia menyanyikannya. Keputusan pemerintah ini sebenarnya dirasakan tidak fair ketika itu oleh warga kita, terutama orang-orang keturunan Melayu, yang mendiami pesisir timur pulau Sumatera. Saya termasuk orang yang ikut menggerutu atas keputusan pemerintah tersebut.
Sebagai warga yang lahir dan dibesarkan di wilayah berkebudayaan Melayu, sejak dini saya sudah turut bersuka ria pada malam terang bulan di pantai di sela-sela bayangan daun nyiur, di bebatuan beting sungai berair jernih, sambil berdendang lagu Terang Bulan diiringi bunyi suling dan gendang. Sejak Malaya merdeka dan kemudian berkembang menjadi Federasi Malaysia (1963), lagu favorit ini sudah tidak dinyanyikan lagi.
Tempat Tersendiri Lagu Rasa Sayange mempunyai tempat tersendiri dalam hati muda-mudi tempo doeloe. Di zaman penjajahan Belanda, penduduk pribumi di Sumatera timur mengenal enam organisasi kepanduan. Secara berkala organisasi-organisasi itu mengadakan gerak jalan yang ditutup dengan acara api unggun. Di setiap acara penutupan tersebut lagu Rasa Sayange pasti dinyanyikan dan biasanya mendominasi semua lagu yang didendangkan. Betapa tidak. Para peserta bebas membuat liriknya sendiri bagai berbalas pantun, suatu kebiasaan lain lagi yang cukup menarik dalam praktik kebudayaan Melayu.
Dahulu pergaulan muda-mudi sangat tidak bebas di daerah Melayu beragama Islam ini. Selain jarang disekolahkan, gadis-gadis biasa dipingit. Yang sudah bersekolah pun, termasuk sekolah yang berbahasa
pengantar Belanda - HIS, MULO, Meisjes Vervolg School - tetap tidak bisa bergaul sewajarnya di luar sekolahan, kecuali kalau ada acara perkawinan. Beberapa hari sebelum akad nikah ada kebiasaan
pasangan calon pengantin mengadakan jamuan malam sebagai acara perpisahan dengan masa bujangan.
Dan sesuai dengan maksud itu jamuan ini hanya dihadiri oleh muda-mudi kerabat dan teman calon pengantin, baik dari kampung sendiri maupun kampung-kampung lain. Maka dalam kesempatan inilah lagu Rasa Sayange dinyanyikan bersahutan. Masing-masing melantunkan lirik buatannya sendiri, yang biasanya berisi sindiran sayang kepada salah se- orang peserta lain jenis, yang menjadi pujaan hati secara diam-diam selama ini.
Tidak jarang pancing mengena, gayung bersambut kata berjawab, tidak bertepuk sebelah tangan dan kelak berakhir di pelaminan, setelah melalui proses surat-menyurat rahasia. Dengan kata lain, lagu Rasa Sayange dengan sadar dipakai oleh muda-mudi tempo doeloe untuk mencairkan kebekuan pergaulan remaja di wilayah ini.
Di zaman pendudukan Jepang, muda-mudi sekolah Tyuu Gakko (Sekolah Menengah) di Medan (1942), termasuk saya, digiring penguasa menonton film "Harimau Malaya". Film ini buatan Jepang, berbahasa Jepang dan Melayu. Ia mengisahkan gerakan bawah tanah melawan kekuasaan Inggris di Malaya. Jadi, semacam kolone kelima guna menciptakan kondisi yang favourable bagi invasi Jepang di jazirah Malaya yang bakal dilakukan pada 8 Desember 1941. Gerakan ini dipimpin oleh seorang pemuda Jepang yang kemudian diberi julukan "Harimau Malaya" yang memerankan tokoh ini. Demikian pula beberapa tokoh penting lainnya adalah aktor- aktor Jepang. Orang-orang Melayu yang diikutsertakan
dalam film ini merupakan figuran belaka.
Di beberapa adegan film tersebut, yang menggambarkan pertemuan-pertemuan klandestin di tengah-tengah hutan belantara atau di gua-gua batu, dinyanyikan lagu Rasa Sayange. Ada kalanya lagu ini
diperdengarkan sebagai latar belakang yang mengiringi langkah "Harimau Malaya" ketika memasuki kampung-kampung orang Melayu yang menyambutnya sebagai pahlawan pembebasan. Mungkin
adegan-adegan itulah yang telah mengilhami Menteri Pariwisata Malaysia untuk mengklaim Rasa Sayange sebagai lagu rakyat Malaysia.
Tidak Keberatan
Kita tentu tidak keberatan rakyat Malaysia menyanyikan lagu ini, tetapi harus menentang keras terhadap tindakan sepihak mereka yang mengklaim lagu ini sebagai ciptaan asli mereka. Kalau mereka tetap
bersikeras dengan dalih apapun ada baiknya Pemerintah Indonesia mencabut larangannya kepada warga kita, terutama yang keturunan Melayu, untuk menyanyikan lagu Terang Bulan Terang di Kali. Dengan
begitu rakyat kita bisa bersuka ria kembali secara spontan di kala bulan purnama seperti tempo doeloe, komplet dengan lagunya yang khas untuk keperluan itu.
Dengan perbuatannya itu, Malaysia telah membuka kedoknya sendiri. Dengan menggembar-gemborkan slogan "bangsa serumpun", mereka sebenarnya bertekad menggerogoti apaapa yang merupakan milik
otentik kita untuk menjadi milik khas mereka, secara berangsur-angsur, tetapi pasti. Mula-mula lagu Terang Bulan, kini lagu Rasa Sayange, besok lagi Lancang Kuning Berlayar Malam lengkap dengan tarian ronggengnya, lusa seni batik, lalu seni wayang, kemudian seni kuliner. Mula-mula Pulau Sipadan dan Ligitan, lalu menjalar ke pulau-pulau terdepan kita lainnya.
Mereka betul-betul telah menohok kawan seiring, telah mengkhianati kita. Bila demikian ada peribahasa Melayu yang kini harus kita pegang erat-erat dan sekarang kita sampaikan kepada orang Malaysia berbunyi: "Lawan tidak dicari, bertemu pantang dielakkan. Esa hilang kedua terbilang!" Bila
diterjemahkan ke dalam dialek Betawi menjadi, "Kalo Ente niat jual, Ane bakal beli".
Memang ada lagu dan tarian yang popular dan sangat dihayati oleh orang-orang Melayu yang sejak dahulu mendiami wilayah-wilayah di kanan-kiri Selat Malaka, yaitu di sisi barat jazirah Malaya (yang dijajah Inggris) dan di sisi timur Pulau Sumatera (yang dijajah Belanda).
Raja-raja Melayu di kedua belah pihak tidak jarang berkerabat satu sama lain, demikian pula di kalangan rakyat, biasanya melalui perkawinan. Maka, ada juga tokoh-tokoh legendaris yang sama-sama dipahlawankan di lingkungan kedua komunitas ini, seperti Hang Tuah dan Hang Jebat.
Sebenarnya Rasa Sayange bukanlah lagu rakyat kita pertama yang telah "dibajak" oleh Malaysia. Lama sebelum ini mereka telah "merampas" dari kita lagu Terang Bulan Terang di Kali, karena melodinya dijadikan melodi lagu kebangsaan mereka. Menjelang dimerdekakan oleh Inggris pada 1957 Pemerintah Malaysia telah memesan kepada seorang komponis Italia sebuah lagu yang bakal dijadikan himne nasional. Kabarnya rakyat Malaya menolak lagu pesanan ini dan sebagai gantinya, melalui referendum, memilih lagu Terang Bulan Terang di Kali.
Pemerintah Indonesia menghormati pilihan rakyat negara baru yang mengaku "serumpun" ini. Sebagai bukti keikhlasan, pemerintah kita lalu melarang rakyat Indonesia menyanyikannya. Keputusan pemerintah ini sebenarnya dirasakan tidak fair ketika itu oleh warga kita, terutama orang-orang keturunan Melayu, yang mendiami pesisir timur pulau Sumatera. Saya termasuk orang yang ikut menggerutu atas keputusan pemerintah tersebut.
Sebagai warga yang lahir dan dibesarkan di wilayah berkebudayaan Melayu, sejak dini saya sudah turut bersuka ria pada malam terang bulan di pantai di sela-sela bayangan daun nyiur, di bebatuan beting sungai berair jernih, sambil berdendang lagu Terang Bulan diiringi bunyi suling dan gendang. Sejak Malaya merdeka dan kemudian berkembang menjadi Federasi Malaysia (1963), lagu favorit ini sudah tidak dinyanyikan lagi.
Tempat Tersendiri Lagu Rasa Sayange mempunyai tempat tersendiri dalam hati muda-mudi tempo doeloe. Di zaman penjajahan Belanda, penduduk pribumi di Sumatera timur mengenal enam organisasi kepanduan. Secara berkala organisasi-organisasi itu mengadakan gerak jalan yang ditutup dengan acara api unggun. Di setiap acara penutupan tersebut lagu Rasa Sayange pasti dinyanyikan dan biasanya mendominasi semua lagu yang didendangkan. Betapa tidak. Para peserta bebas membuat liriknya sendiri bagai berbalas pantun, suatu kebiasaan lain lagi yang cukup menarik dalam praktik kebudayaan Melayu.
Dahulu pergaulan muda-mudi sangat tidak bebas di daerah Melayu beragama Islam ini. Selain jarang disekolahkan, gadis-gadis biasa dipingit. Yang sudah bersekolah pun, termasuk sekolah yang berbahasa
pengantar Belanda - HIS, MULO, Meisjes Vervolg School - tetap tidak bisa bergaul sewajarnya di luar sekolahan, kecuali kalau ada acara perkawinan. Beberapa hari sebelum akad nikah ada kebiasaan
pasangan calon pengantin mengadakan jamuan malam sebagai acara perpisahan dengan masa bujangan.
Dan sesuai dengan maksud itu jamuan ini hanya dihadiri oleh muda-mudi kerabat dan teman calon pengantin, baik dari kampung sendiri maupun kampung-kampung lain. Maka dalam kesempatan inilah lagu Rasa Sayange dinyanyikan bersahutan. Masing-masing melantunkan lirik buatannya sendiri, yang biasanya berisi sindiran sayang kepada salah se- orang peserta lain jenis, yang menjadi pujaan hati secara diam-diam selama ini.
Tidak jarang pancing mengena, gayung bersambut kata berjawab, tidak bertepuk sebelah tangan dan kelak berakhir di pelaminan, setelah melalui proses surat-menyurat rahasia. Dengan kata lain, lagu Rasa Sayange dengan sadar dipakai oleh muda-mudi tempo doeloe untuk mencairkan kebekuan pergaulan remaja di wilayah ini.
Di zaman pendudukan Jepang, muda-mudi sekolah Tyuu Gakko (Sekolah Menengah) di Medan (1942), termasuk saya, digiring penguasa menonton film "Harimau Malaya". Film ini buatan Jepang, berbahasa Jepang dan Melayu. Ia mengisahkan gerakan bawah tanah melawan kekuasaan Inggris di Malaya. Jadi, semacam kolone kelima guna menciptakan kondisi yang favourable bagi invasi Jepang di jazirah Malaya yang bakal dilakukan pada 8 Desember 1941. Gerakan ini dipimpin oleh seorang pemuda Jepang yang kemudian diberi julukan "Harimau Malaya" yang memerankan tokoh ini. Demikian pula beberapa tokoh penting lainnya adalah aktor- aktor Jepang. Orang-orang Melayu yang diikutsertakan
dalam film ini merupakan figuran belaka.
Di beberapa adegan film tersebut, yang menggambarkan pertemuan-pertemuan klandestin di tengah-tengah hutan belantara atau di gua-gua batu, dinyanyikan lagu Rasa Sayange. Ada kalanya lagu ini
diperdengarkan sebagai latar belakang yang mengiringi langkah "Harimau Malaya" ketika memasuki kampung-kampung orang Melayu yang menyambutnya sebagai pahlawan pembebasan. Mungkin
adegan-adegan itulah yang telah mengilhami Menteri Pariwisata Malaysia untuk mengklaim Rasa Sayange sebagai lagu rakyat Malaysia.
Tidak Keberatan
Kita tentu tidak keberatan rakyat Malaysia menyanyikan lagu ini, tetapi harus menentang keras terhadap tindakan sepihak mereka yang mengklaim lagu ini sebagai ciptaan asli mereka. Kalau mereka tetap
bersikeras dengan dalih apapun ada baiknya Pemerintah Indonesia mencabut larangannya kepada warga kita, terutama yang keturunan Melayu, untuk menyanyikan lagu Terang Bulan Terang di Kali. Dengan
begitu rakyat kita bisa bersuka ria kembali secara spontan di kala bulan purnama seperti tempo doeloe, komplet dengan lagunya yang khas untuk keperluan itu.
Dengan perbuatannya itu, Malaysia telah membuka kedoknya sendiri. Dengan menggembar-gemborkan slogan "bangsa serumpun", mereka sebenarnya bertekad menggerogoti apaapa yang merupakan milik
otentik kita untuk menjadi milik khas mereka, secara berangsur-angsur, tetapi pasti. Mula-mula lagu Terang Bulan, kini lagu Rasa Sayange, besok lagi Lancang Kuning Berlayar Malam lengkap dengan tarian ronggengnya, lusa seni batik, lalu seni wayang, kemudian seni kuliner. Mula-mula Pulau Sipadan dan Ligitan, lalu menjalar ke pulau-pulau terdepan kita lainnya.
Mereka betul-betul telah menohok kawan seiring, telah mengkhianati kita. Bila demikian ada peribahasa Melayu yang kini harus kita pegang erat-erat dan sekarang kita sampaikan kepada orang Malaysia berbunyi: "Lawan tidak dicari, bertemu pantang dielakkan. Esa hilang kedua terbilang!" Bila
diterjemahkan ke dalam dialek Betawi menjadi, "Kalo Ente niat jual, Ane bakal beli".
SAYA SEKELUARGA INGIN MENGUCAPKAN BANYAK TERIMAH KASIH KEPADA AKI NAWE BERKAT BANTUANNNYA SEMUA HUTANG HUTANG SAYA SUDAH PADA LUNAS SEMUA BAHKAN SEKARAN SAYA SUDAH BISA BUKA TOKO SENDIRI,ITU SEMUA ATAS BANTUAN AKI YG TELAH MEMBERIKAN ANKA JITUNYA KEPADA SAYA DAN ALHAMDULILLAH ITU BENER2 TERBUKTI TEMBUS..BAGI ANDA YG INGIN SEPERTI SAYA DAN YANG SANGAT MEMERLUKAN ANGKA RITUAL 2D 3D 4D YANG DIJAMIN 100% TEMBUS SILAHKAN HUBUNGI AKI NAWE DI 085-218-379-259
ReplyDelete