MOTTO
Prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam
dokumen HAM internasional tersebut secara jelas disebutkan dalam pasal 18: "Setiap orang berhak atas kemerdekaan
berfikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau
kepercayaan, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya
dalam kegiatan pengajaran, peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain, dimuka umum atau secara pribadi.“
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena dengan
pertolongan-Nya penulis dapat menyelesaikan tulisan ini sesuai dengan waktu
yang diharapkan.
Pembuatan buku ini adalah suatu intisari disertasi S 3 ketika dahulu penulis menyelesaikan tugas akhir di Universitas Islam Negeri. Sultan Syarif Kasim.
Dalam penyusunan buku ini telah banyak pihak yang turut membantu sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Untuk itu penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada:
Pembuatan buku ini adalah suatu intisari disertasi S 3 ketika dahulu penulis menyelesaikan tugas akhir di Universitas Islam Negeri. Sultan Syarif Kasim.
Dalam penyusunan buku ini telah banyak pihak yang turut membantu sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Untuk itu penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada:
1. …..yang
telah membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, sehingga dengan
bantuan, arahan dan nasehatnya penulis menjadi lebih mengerti.
2. ………,
segenap para dosen dan seluruh staf yang turut membantu proses penyelesaian
skripsi ini.
3. ………para
staf yang telah membantu memberi informasi senagai data pembuatan skripsi ini.
4.
Ayahanda dan ibunda yang telah banyak memberikan dukungan baik moril maupun
material.
5.
Sahabat-sahabat dan teman-temanku yang juga telah turut membantu penulis dalam
mengerjakan skripsi ini.
Akhirnya semua penulis kembalikan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmatNya penulis dapat membuat skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi sesuatu karya yang memberi dampak positif.
Pekanbaru,
1 Juli 2013
Penulis
PENDAHULUAN
Latar belakang masalah penelitian (research
background) adalah bagian pertama dan sangat penting dalam menyusun tulisan
ilmiah, baik dalam bentuk paper atau tesis. Latar belakang masalah penelitian
menjelaskan secara lengkap topik (subject area) penelitian, masalah
penelitian yang kita pilih dan mengapa melakukan penelitian pada topik dan
masalah tersebut (Berndtsson et al., 2008). Sayangnya, tidak banyak mahasiswa
yang berhasil membuat latar belakang masalah penelitian dengan baik, sebagian
karena masalah penelitiannya memang tidak jelas dan mengada-ada, sebagian lagi
karena copy-paste sana sini sehingga alur paragrafnya menjadi kacau, dan
sebagian lagi karena gagal melandasi alasan melakukan penelitian itu (males
baca literatur). Saya coba membuat tulisan ini, khususnya untuk mempermudah
mahasiswa bimbingan saya di bidang komputer (computing), yang sering
galau dalam membuat latar belakang masalah pada tesis mereka .
KIAT
1:. PAHAMI DUA GAYA RESEARCH DI BIDANG COMPUTING
Sebelumnya
perlu dipahami bahwa gaya penelitian di bidang komputer (computing)
secara umum terbagi dua yaitu gaya Computer Science (CS) dan
gaya Information Systems (IS) (Berndtsson et al., 2008). CS
memiliki karakteristik penelitian dan isu berhubungan dengan core technology
dan perbaikan metode (method improvement). Sedangkan penelitian IS
lebih cenderung ke arah isu tentang interaksi teknologi dan sosial, termasuk
diantaranya mengukur dan menganalisa kesuksesan penerapan teknologi dan sistem
informasi. Tulisan kali ini akan lebih cenderung ke alur latar belakang masalah
penelitian bergaya CS, meskipun tetap bisa digunakan untuk penelitian IS.
KIAT
2: MENJAWAB SEMUA PERTANYAAN WHY DI JUDUL
Latar
belakang masalah penelitian akan menjawab semua pertanyaan MENGAPA (WHY)
dari judul penelitian kita. Untuk mempermudah penjelasan, saya akan gunakan,
terjemahkan dan revisi paper penelitian (Fei et al, 2008) untuk contoh
paper yang kita bahas. Karena judul penelitiannya adalah Prediksi Produksi
Padi dengan menggunakan Support Vector Machine berbasis Particle Swarm
Optimization, maka latar belakang masalah harus bisa menjawab pertanyaan:
1.
mengapa padi?
2.
mengapa prediksi produksi padi?
3.
mengapa support vector machine?
4.
mengapa particle swarm optimization?
Bagaimana
cara menguraikan jawaban dari pertanyaan 1-4, akan disajikan dalam contoh latar
belakang masalah di bawah.
KIAT
3: POLA ALUR DAN POKOK PIKIRAN PARAGRAF
Kunci
dari keberhasilan menyusun latar belakang masalah penelitian seberapa
komprehensif kita merangkumkan penelitian kita. Tulisan yang baik adalah bahwa
dengan hanya membaca latar belakang masalah, orang langsung bisa memahami, apa
yang kita lakukan pada penelitian kita. Untuk bisa mencapai itu, pokok
pikiran seluruh paragraf pada latar belakang masalah penelitian harus memuat
dan mengikuti 6 pola alur berikut. Untuk mempermudah mengingat, saya
biasanya menggunakan singkatan OMKKMASASOLTU.
- obyek penelitian (O)
- metode-metode yang ada (M)
- kelebihan dan kelemahan metode
yang ada (KK)
- masalah pada metode yang
dipilih (MASA)
- solusi perbaikan metode (SOL)
- rangkuman tujuan penelitian
(TU)
Contoh
penerapan pola OMKKMASASOLTU ini, akan cepat dipahami melalui contoh
latar belakang masalah yang saya uraikan di bawah.
KIAT
4: BELAJAR MENULIS DENGAN ATM
Cara
paling cepat dan manjur supaya kita mahir menulis paper ilmiah dan tesis adalah
dengan melakukan ATM (Amati-Tiru-Modifikasi). Banyak baca paper, lihat
bagaimana para peneliti menuliskan hasil penelitian mereka, tiru alurnya
tapi tidak nyontek kalimatnya, dan modifikasi pelan-pelan di tulisan yang kita
buat. Jangan lupa memilih paper yang dipublikasikan di journal yang
berkualitas, karena sudah menjadi rule-of-thumb dalam dunia penelitian
bahwa 80-90% paper ilmiah di dunia ini disajikan dengan buruk. Paling
tidak supaya tidak tersesat dalam studi literatur, patokan paper yang berkualitas adalah
masuk di journal yang terindeks oleh ISI atau SCOPUS, dan memiliki nilai
skor yang tinggi untuk penghitungan Journal Impact Factor, Eigenfactor Score,
Scimago Journal Rank, atau Source Normalized Impact per Paper. Journal ilmiah
di Indonesia untuk bidang computing yang masuk kriteria ini, hanya
Telkomnika yang diasuh mas Tole Sutikno cs dari Universitas Ahmad Dahlan
Yogyakarta, karena sudah mulai terindeks oleh SCOPUS.
Sebagai
contoh, perhatikan latar belakang masalah pada tulisan berikut ini. Untuk
mempermudah memahami penjelasan, (warna biru) saya berikan untuk memberi
petunjuk bahwa paper tersebut menjawab pertanyaan why di judul sesuai dengan
KIAT 2, dan [warna merah] saya berikan untuk memberi penjelasan bagaimana
paragraf mengikuti alur dan pokok pikiran paragraf yang ada di KIAT 3.
Perhatikan juga bahwa setiap kalimat yang mengandung jawaban dari pertanyaan
why atau berupa klaim dan definisi, harus merujuk atau melakukan sitasi (citation)
ke literatur sebagai landasan dari klaim yang dilakukan. Daftar referensi dari
paper (Fei et al., 2009) tidak saya tampilkan, karena poin penting yang ingin
saya sampaikan adalah masalah bagaimana alur kalimat dan paragrafnya.
Prediksi
Produksi Padi dengan menggunakan Support Vector Machine berbasis Particle Swarm
Optimization
BAB I
HAK ANAK UNTUK MURTAD
Hak Anak dalam Keluarga (Memiliki
Keyakinan Berbeda dengan Orang Tua) Saya
(18) berniat untuk memiliki keyakinan (agama) yang berbeda dengan garis
keturunan saya. Untuk merealisasikannya, saya harus keluar dari rumah karena
tidak disetujui oleh orang tua. Orang tua memaksa untuk tetap memiliki
keyakinan yang sama. Apa keputusan saya untuk keluar dari rumah demi
mempertahankan keyakinan dapat dilindungi oleh hukum? Apa yang masih menjadi
wewenang orang tua saya?
khlaraprianto
Untuk dapat pindah keyakinan dan
dinyatakan sah secara hukum, tidak diperlukan syarat – syarat tertentu. Selama
Anda telah meyakini keputusan tersebut, maka Anda dapat melakukannya. Hak
setiap orang untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dijamin oleh
konstitusi dan undang-undang.
Pasal 28 E UUD 1945
menyatakan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya. Selanjutnya, dalam Pasal 28 I UUD 1945
dinyatakan bahwa hak beragama merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun (non derogable human rights). Jadi,
kebebasan Anda untuk beragama adalah hak asasi Anda, termasuk untuk memilih
agama yang Anda yakini.
Kebebasan beragama juga
ditegaskan dalam pasal 22 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (“UU 39/1999”) yang menyatakan, Setiap orang bebas memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Menurut penjelasan pasal 22 ayat (1) UU 39/1999, yang dimaksud dengan
”hak untuk bebas memeluk agamanya dan kepercayaannya” adalah hak setiap orang untuk
beragama menurut keyakinannya sendiri, tanpa adanya paksaan dari siapapun juga.
Mengenai wewenang orangtua, memang
benar bahwa seorang anak berada di bawah kekuasaan orang tuanya. Akan tetapi
dalam konteks kekuasaan orang tua, perlu diingat bahwa UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) membatasi usia anak dalam pasal 47
ayat (1), yaitu anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan. Anak yang demikian berada di bawah kekuasaan orang
tuanya, dan orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam
dan di luar Pengadilan (lihat pasal 47 ayat [2] UU Perkawinan).
Dalam kasus ini, Anda sudah berusia
18 tahun. Ini artinya Anda sudah tidak lagi berada dalam kekuasaan orangtua.
Dengan demikian secara hukum Anda sudah dianggap dewasa dan karena itu sudah
cakap untuk melakukan perbuatan hukum sendiri tanpa perlu izin dari orang tua,
KECUALI untuk melangsungkan perkawinan.
Dalam pasal 6 ayat (2) UU
Perkawinan diatur bahwa untuk melangsungkan perkawinan seorang yang
belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Jika
orang tua Anda tidak menyetujui perkawinan tersebut, maka Anda dapat
meminta izin dari Pengadilan dalam daerah tempat tinggal Anda. Pengadilan dapat
memberikan izin menikah setelah mendengar pendapat dari orang tua Anda (lihat pasal
6 ayat [2] UU Perkawinan).
Demikian hemat kami, semoga
bermanfaat.
Dasar
hukum:
1.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
3.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
HAK
ASASI MANUSIA DAN KEBEBASAN BERAGAMA[1]
Siti
Musdah Mulia[2]
Pendahuluan
HAM (Hak Asasi Manusia) merupakan suatu konsep etika politik
modem dengan gagasan pokok penghargaan dan penghormatan terhadap manusia dan
kemanusiaan. Gagasan ini membawa kepada
sebuah tuntutan moral tentang bagaimana seharusnya manusia memperlakukan
sesamanya manusia. Tuntutan moral tersebut sejatinya merupakan ajaran inti dari
semua agama. Sebab, semua agama mengajarkan pentingnya penghargaan dan
penghormatan terhadap manusia, tanpa ada pembedaan dan diskriminasi. Tuntutan
moral itu diperlukan, terutama dalam rangka melindungi seseorang atau suatu kelompok yang lemah atau “dilemahkan” (al-mustad'afin)
dari tindakan dzalim dan semena-mena yang biasanya datang dari mereka yang kuat
dan berkuasa. Karena itu, esensi dari konsep hak asasi manusia adalah
penghormatan terhadap kemanusiaan seseorang tanpa kecuali dan tanpa ada
diskriminasi berdasarkan apapun dan demi alasan apapun; serta pengakuan
terhadap martabat manusia sebagai makhluk termulia di muka bumi.
Kesadaran
akan pentingnya HAM dalam wacana global muncul bersamaan dengan kesadaran akan
pentingnya menempatkan manusia sebagai
titik sentral pembangunan (human centred development). Konsep HAM
berakar pada penghargaan terhadap manusia sebagai makhluk berharga dan
bermartabat. Konsep HAM menempatkan manusia sebagai subyek, bukan obyek dan
memandang manusia sebagai makhluk yang dihargai dan dihormati tanpa membedakan
ras, warna kulit, jenis kelamin, jenis gender, suku bangsa, bahasa, maupun
agamanya.
Sebagai
makhluk bermartabat, manusia memiliki sejumlah hak dasar yang wajib dilindungi,
seperti hak hidup, hak beropini, hak berkumpul, serta hak beragama dan hak
berkepercayaan. Nilai-nilai HAM mengajarkan agar hak-hak dasar yang asasi
tersebut dilindungi dan dimuliakan. HAM mengajarkan prinsip persamaan dan
kebebasan manusia sehingga tidak boleh ada diskriminasi, eksploitasi dan
kekerasan terhadap manusia dalam bentuk apa pun dan juga tidak boleh ada
pembatasan dan pengekangan apa pun terhadap kebebasan dasar manusia, termasuk
di dalamnya hak kebebasan beragama.
Isu Kebebasan Beragama Dalam Dokumen HAM
Isu kebebasan beragama selain tercantum
di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (disingkat
DUHAM),[3]
ditemukan juga di dalam berbagai dokumen historis tentang HAM,[4]
seperti dokumen Rights of Man France (1789), Bill of Rights of USA
(1791) dan International Bill of Rights (1966). Pasal 2 DUHAM
menyatakan: “setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang
tercantum di dalam Deklarasi ini tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna
kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal
mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran, ataupun kedudukan
lain.”
Secara umum DUHAM yang diumumkan
PBB tahun 1948 mengandung empat hak pokok. Pertama, hak individual atau hak-hak yang dimiliki
setiap orang. Kedua, hak kolektif atau hak masyarakat yang hanya dapat
dinikmati bersama orang lain, seperti hak akan perdamaian, hak akan pembangunan
dan hak akan lingkungan hidup yang bersih. Ketiga, hak sipil dan politik,
antara lain mernuat hak-hak yang telah ada dalam perundangan Indonesia seperti:
hak atas penentuan nasib sendiri, hak memperoleh ganti rugi bagi mereka yang
kebebasannya dilanggar; hak atas kehidupan, hak atas kebebasan berfikir,
berkeyakinan dan beragama, hak yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk
menikmati hak sipil dan politik, hak seorang untuk diberi tahu alasan-alasan
pada saat penangkapan, persamaan hak dan tanggung jawab antara suami-istri, hak
atas kebebasan berekspresi. Keempat, hak ekonomi, sosial dan budaya, antara
lain mernuat hak untuk menikmati kebebasan dari rasa ketakutan dan kemiskinan;
larangan atas diskriminasi ras, wama kulit, jenis kelamin, gender, dan agama,
persamaan hak antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak ekonomi,
sosial dan budaya; hak untuk mendapat pekerjaan; hak untuk memperoleh upah yang
adil bagi buruh laki-laki dan perempuan; hak untuk membentuk serikat buruh; hak
untuk mogok; hak atas pendidikan: hak untuk bebas dari kelaparan.
Prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam dokumen
HAM internasional tersebut secara jelas disebutkan dalam pasal 18: "Setiap orang berhak atas kemerdekaan
berfikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau
kepercayaan, dan kebebasan
untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran,
peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain, dimuka umum atau secara pribadi.“
Hak
kebebasan beragama dinyatakan pula secara lebih rinci dalam Kovenan
Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pasal
18. Kovenan ini telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui UU No. 12 Tahun
2005. Isinya sebagai berikut: (1) Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama. Hak
ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau
kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun
bersama-sama dengan orang lain, di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan
agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan
pengajaran; (2) Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga menggangu kebebasannya
untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan sesuai dengan
pilihannya.
DUHAM menyebut istilah basic human
rights[5] (hak-hak asasi manusia dasar), yaitu hak
asasi manusia yang paling mendasar dan dikategorikan sebagai hak yang paling
penting untuk diprioritaskan di dalam berbagai hukum dan kebijakan, baik di
tingkat nasional maupun internasional. Hak-hak asasi manusia dasar itu adalah
serangkaian hak yang memastikan kebutuhan primer material dan non-material
manusia dalam rangka mewujudkan eksistensi kemanusiaan manusia yang utuh, yaitu
manusia yang berharga dan bermartabat.
Walaupun, secara eksplisit tidak dijumpai satu ketetapan atau penjelasan
yang merinci tentang hak-hak apa saja yang termasuk di dalam basic human
rights ini, namun, secara umum dapat disebutkan hak-hak asasi dasar
tersebut mencakup hak hidup, hak atas pangan, pelayanan medis, kebebasan dari
penyiksaan, dan kebebasan beragama.[6] Hak-hak
itu, dan juga secara keseluruhan hak asasi manusia didasarkan pada satu asas
yang fundamental, yaitu penghargaan dan penghormatan terhadap martabat manusia.[7]
Hak kebebasan beragama digolongkan dalam
kategori hak asasi dasar manusia, bersifat
mutlak dan berada di dalam forum internum yang merupakan
wujud dari inner freedom (freedom to be). Hak ini tergolong
sebagai hak yang non-derogable.[8]
Artinya, hak yang secara spesifik dinyatakan di dalam perjanjian hak asasi
manusia sebagai hak yang tidak bisa ditangguhkan pemenuhannya oleh negara dalam
situasi dan kondisi apa pun, termasuk selama dalam keadaan bahaya, seperti
perang sipil atau invasi militer. Hak yang non-derogable ini dipandang
sebagai hak paling utama dari hak asasi manusia.[9]
Hak-hak non derogable ini harus dilaksanakan dan harus dihormati oleh negara
pihak dalam keadaan apapun dan dalam situasi yang bagaimanapun.
Akan tetapi, kebebasan beragama dalam
bentuk kebebasan untuk mewujudkan, mengimplementasikan, atau memanifestasikan
agama atau keyakinan seseorang, seperti tindakan berdakwah atau menyebarkan
agama atau keyakinan dan mendirikan tempat ibadah digolongkan dalam kebebasan
bertindak (freedom to act). Kebebasan beragama dalam bentuk ini
diperbolehkan untuk dibatasi dan bersifat bisa diatur atau ditangguhkan
pelaksanaannya. Namun, perlu dicatat, bahwa penundaan pelaksanaan, pembatasan
atau pengaturan itu hanya boleh dilakukan berdasarkan undang-undang. Adapun
alasan yang dibenarkan untuk melakukan penundaan pelaksanaan, pembatasan, atau pengaturan
itu adalah semata-mata perlindungan atas lima
hal, yaitu: public safet; public order; public helth; public
morals; dan protection of rights and freedom of others. Dengan
demikian tujuan utama tindakan penundaan pelaksanaan, pengaturan atau pembatasan
itu adalah untuk menangkal ancaman terhadap keselamatan manusia atau hak milik
mereka.[10]
Prisip
kebebasan beragama di dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia tidaklah berdiri
sendiri melainkan selalu dikaitkan dengan kebebasan lainnya, yaitu kebebasan pikiran
dan hati nurani. Pada esensinya, kebebasan beragama
atau berkeyakinan mengandung paling sedikit delapan komponen, yaitu: kebebasan
internal, kebebasan eksternal, non-coercion, non-discrimination, hak
orang tua dan wali, kebebasan kelembagaan dan status legal, batas yang
diperbolehkan bagi kebebasan eksternal dan bersifat non-derogability.[11]
Masalahnya kemudian,
apakah yang dimaksud dengan agama dalam dokumen HAM tersebut? Menarik diketahui
bahwa dokumen hak asasi manusia tidak memberikan definisi yang konkret tentang
apa itu agama. Alasannya, sangat jelas. Untuk menghindari kontroversi filosofis
dan ideologis serta polemik yang berkepanjangan. Sebab, definisi agama sangat
beragam dan amat problematik menentukan satu definisi dalam rumusan legal. Hukum
hak asasi manusia internasional menemukan istilah yang tepat untuk melindungi
hak-hak itu di bawah judul yang disepakati yaitu: kebebasan berpikir,
berkesadaran dan beragama. Pada prinsipnya, kebanyakan kaidah internasional
yang dikembangkan mengarah pada upaya melindungi hak kebebasan beragama atau
berkeyakinan.[12] Dengan ungkapan lain,
yang dilindugi dan dihormati adalah hak dan kebebasan manusia untuk memilih
atau tidak memilih beragama dan berkeyakinan.
Mengapa agama tetap
diperlukan manusia? Sebab, dalam menghadapi realitas hidup yang serba kompleks
ini, manusia secara fisik maupun psikis selalu
terhadang oleh berbagai situasi krisis, terutama tiga bentuk situasi
krisis yang abadi, yaitu ketidakberdayaan, ketidakpastian, dan kelangkaan.
Agama dengan wawasan supra-empirisnya dipandang sebagai satu-satunya solusi
yang dapat membantu manusia menyesuaikan diri dengan situasi krisis
eksistensial tersebut. Agama dapat memberikan kepada manusia kebebasan untuk
mencapai niai-nilai yang mentransendensikan tuntutan dari kehadiran sosial.
Karena itu, agama adalah bersifat sungguh-sungguh pribadi dan sungguh-sungguh
sosial.[13]
Dalam realitas sosiologis agama sering didefinisikan sebagai sebuah sistem
keyakinan dan ritual yang mengacu kepada sesuatu yang dipercayai bersifat suci
yang mengikat seseorang atau kelompok, sebagaimana dinyatakan oleh Durkheim
(1912). Agama juga didefinisikan sebagai rangkaian jawaban yang koheren pada
dilema keberadaan manusia, berupa kelahiran, kesakitan, dan kematian, yang
membuat dunia bermakna, seperti diterangkan oleh Marx Weber (1939).
Berbeda dengan
pendekatan sosiologis itu, praktik empiris yang terjadi di Indonesia adalah bahwa pemerintah Indonesia
merumuskan pengertian sendiri tentang agama. Agama secara sepihak oleh
pemerintah (sedikitnya sebagian aparat negara) dan sebagian kelompok masyarakat
diperlakukan sebagai suatu sistem kepercayaan yang disusun berdasarkan kitab
suci, dan oleh karena itu mengandung ajaran yang jelas, mempunyai nabi dan
sudah barang tentu juga kitab suci. Itulah sebabnya seringkali terdengar
pendapat yang salah kaprah bahwa agama yang diakui pemerintah adalah
agama-agama: Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Lalu, sejak akhir 2006
termasuk Konghucu.
Pendekatan empiris di Indonesia
itu memiliki implikasi yang merugikan masyarakat penganut kepercayaan atau
agama-agama lokal yang dalam pendekatan sosiologis termasuk dalam kategori
agama. Kerugian tersebut, antara lain dalam wujud tiadanya perlindungan negara
terhadap hak-hak sipil mereka sebagai warga negara. Agama dan kepercayaan
mereka tidak diakui sebagai agama yang sah dan oleh karena itu pengikutnya
mendapat perlakuan yang bersifat diskriminatif, terutama dari institusi negara.[14]
Agenda Internasional Perlindungan Hak Kebebasan Beragama
Hal-hal
apa saja sesungguhnya yang ingin dilindungi melalui agenda
internasional perlindungan hak kebebasan beragama? Sebelum menjawab pertanyaan
penting ini, perlu terlebih dahulu menjelaskan makna kebebasan dalam perspektif HAM. Menurut Groome, kebebasan adalah
kekuasaan atau kemampuan bertindak tanpa paksaan; ketiadaan penghalang atau
hambatan; kekuasaan untuk memilih. Lebih
jauh Groome membagi
kebebasan dasar ke dalam dua kategori, yaitu hak-hak dan perlindungan pribadi; dan hak-hak dan perlindungan di dalam sistem keadilan.
Kelompok hak dan perlindungan pribadi mencakup: kebebasan beragama;
kebebasan berfikir; kebebasan
berekspresi; kebebasan pers; kebebasan berserikat; kebebasan bergerak; hak untuk kehidupan
pribadi; hak untuk berkumpul; hak untuk berserikat; hak atas pendidikan; dan
hak untuk berpartisipasi dalam pemerintah. Dari
sini kemudian dikenal istilah four freedom (empat kebebasan)[15]
oleh F.D. Roosevelt, yaitu: kebebasan berekspresi, kebebasan beragama,
kebebasan berkeinginan dan kebebasan
dari perasaan ketakutan.
Esensi dari kebebasan beragama atau
berkeyakinan tercakup dalam delapan komponen utama,[16] sebagai berikut.
- Kebebasan Internal: Setiap orang mempunyai kebebasan berpikir,
berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau
menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri termasuk untuk
berpindah agama dan keyakinannya.
- Kebebasan Eksternal: Setiap orang memiliki kebebasan, apakah secara
individu atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi untuk
memanifestasikan agama atau keyakinan di dalam pengajaran dan
peribadahannya.
- Tidak ada Paksaan: Tidak seorangpun dapat menjadi subyek pemaksaan
yang akan mengurangi kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi suatu
agama atau keyakinan yang menjadi pilihannya.
- Tidak Diskriminatif: Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin
kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah
kekuasaannya tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk: asli atau pendatang,
serta asal usulnya.
- Hak dari Orang Tua dan Wali: Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan
orang tua, dan wali yang sah, jika ada untuk menjamin bahwa pendidikan
agama dan moral bagi anak-anaknya sesuai dengan keyakinannya sendiri.
- Kebebasan Lembaga dan Status Legal: Aspek yang vital dari kebebasan beragama atau
berkeyakinan bagi komunitas keagamaan adalah untuk berorganisasi atau
berserikat sebagai komunitas. Oleh karena itu komunitas keagamaan
mempunyai kebebasan dalam beragama atau berkeyakinan termasuk di dalamnya
hak kemandirian di dalam pengaturan organisasinya.
- Pembatasan yang dijinkan pada Kebebasan Eksternal: Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan
seseorang hanya dapat dibatasi oleh undang-undang, dan itupun semata-mata
demi kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban publik, kesehatan
atau kesusilaan umum, serta dalam rangka melindungi hak-hak asasi dan
kebebasan orang lain.
- Non-Derogability: Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama
atau berkeyakinan dalam keadaan apapun dan atas alasan apapun.
Bagaimana Seharusnya Bentuk Perlindungan Hak Kebebasan Beragama di
Indonesia?
Prinsip
kebebasan beragama di Indonesia
di samping mengacu kepada instrumen internasional mengenai HAM, seperti
dipaparkan sebelumnya, juga harus mengacu kepada konstitusi dan sejumlah
Undang-undang lainnya yang berkaitan dengan penegakan HAM. Di antaranya, UU No.
7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan,
UU No. 9 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 23 Tahun 2003 tentang
perlindungan Anak, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT (Kekerasan
dalam Rumah Tangga), dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang ratifikasi Kovenan
Internasional tentang pemenuhan hak-hak sipil dan politik dari seluruh warga
negara tanpa kecuali.
Pemaknaan terhadap kebebasan beragama di Indonesia harus
dimulai dari pengakuan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa
(pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945 hasil amandemen. Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu selanjutnya
diikuti dengan ketentuan mengenai kebebasan beragama dan menjalankan ibadah
menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Kebebasan disini
berarti bahwa keputusan beragama dan beribadah diletakkan pada tingkat
individu. Dengan ungkapan lain, agama merupakan persoalan individu dan bukan
persoalan negara. Negara cukup menjamin dan menfasilitasi agar warga negara
dapat menjalankan agama dan peribadatannya dengan nyaman dan aman, bukan
menetapkan mana ajaran agama atau bentuk peribadatan yang harus dan tidak harus
dilakukan oleh warga negara. Demikian pula, negara sama sekali tidak berhak
mengakui atau tidak mengakui suatu agama; negara juga tidak berhak memutuskan
mana agama resmi dan tidak resmi; tidak berhak
menentukan mana agama induk dan mana agama sempalan. Negara pun tidak
berhak mengklaim kebenaran agama dari kelompok mayoritas dan mengabaikan
kelompok minoritas. Bahkan, negara juga tidak berhak mendefinisikan apa itu
agama. Penentuan agama atau bukan hendaknya diserahkan saja sepenuhnya kepada
penganut agama bersangkutan. Bahkan, menurut Agus Salim, salah satu tokoh
penting the Founding Fathers Indonesia, Pancasila menjamin setiap warga
negara memeluk agama apapun, bahkan juga menjamin setiap warga negara untuk
memilih tidak beragama sekalipun.
Kebebasan
beragama, adalah prinsip yang sangat penting dalam kehidupan bernegara dan
berbangsa sehingga harus dipahami makna
dan konsekuensinya, baik oleh negara maupun masyarakat. Oleh sebab itu prinsip
ini perlu diwujudkan ke dalam suatu UU yang memayungi kebebasan beragama. UU
ini diperlukan untuk memproteksi warga dari tindakan diskriminasi, eksploitasi
dan kekerasan berbasis agama sekaligus juga membatasi otoritas negara sehingga
tidak menimbulkan campur tangan negara dalam hal aqidah (dasar-dasar kepercayaan),
ibadah, dan syari’at agama (code)
pada umumnya. Tujuan lain adalah menyadarkan seluruh warga negara akan hak-hak
asasinya sebagai manusia yang bermartabat dalam berpendapat, berkeyakinan dan
beragama, serta potensi-potensi yang terkandung di balik hak-hak tersebut. UU
semacam itu harus mendefinisikan kebebasan beragama secara lebih operasional.
Apa
saja yang harus dicakup dalam prinsip kebebasan beragama? Mengacu kepada
dokumen HAM internasional, konstitusi dan sejumlah undang-undang tersebut, maka
kebebasan beragama harus dimaknai sebagai berikut.
Pertama,
kebebasan setiap warga negara untuk memilih agama atau menentukan agama dan
kepercayaan yang dipeluk, serta kebebasan melaksanakan ibadah menurut agama dan
keyakinan masing-masing.
Kedua,
kebebasan dan kemerdekaan menyebarkan agama, menjalankan misi atau berdakwah
dengan syarat semua kegiatan penyebaran agama itu tidak menggunakan cara-cara
kekerasan maupun paksaan secara langsung maupun tidak langsung. Demikian pula
tidak mengeksploitasi kebodohan dan kemiskinan masyarakat atau bersifat
merendahkan martabat manusia sehingga tidak dibenarkan melakukan pemberian
bantuan apa pun, pembagian bahan makanan, pemberian beasiswa atau dana
kemanusiaan kepada anak-anak dari keluarga miskin atau pelayanan kesehatan
gratis dengan syarat harus masuk ke dalam agama tertentu.
Ketiga,
kebebasan beragama seharusnya mencakup pula kebebasan untuk berpindah agama,
artinya berpindah pilihan dari satu agama tertentu ke agama lain. Setiap warga
negara berhak untuk memilih agama dan kepercayaan apapun yang diyakininya dapat
membawa kepada keselamatan dunia dan akhirat. Karena itu, berpindah agama
hendaknya dipahami sebagai sebuah proses pencarian atau penemuan kesadaran baru
dalam beragama.
Anehnya
sikap umum pemerintah dan masyarakat terhadap orang-orang yang pindah agama
tidak konsisten, dan cenderung diskriminatif. Sebab, jika seseorang itu berpindah ke dalam agama yang
kita anut, kita cenderung menerimanya dengan sukacita atau bahkan merayakannya.
Sebaliknya, jika seseorang itu berpindah dari agama kita ke agama lainnya
(keluar dari agama kita), kita cenderung
marah dan memandang pelakunya sebagai murtad, kafir, musyrik dan sebagainya.
Hal ini sangat tidak adil. Bagaimana mungkin kita dapat menerima perpindahan
seseorang ke dalam agama kita dan menolak hal yang sama. Sebab,
orang yang pindah agama itu murtad dalam pandangan semua agama. Jika bisa
menerima orang lain masuk ke dalam agama kita, seharusnya mudah pula menerima
orang kita masuk ke agama lain. Mengapa dalam beragama ada semacam pikiran
culas? Hanya mau untung tetapi takut rugi.
Keempat,
kebebasan beragama hendaknya juga mencakup kebolehan perkawinan antara dua
orang yang berbeda agama atau berbeda sekte atau berbeda faham keagamaan
sepanjang perkawinan itu tidak mengandung unsur pemaksaan dan eksploitasi.
Artinya, perkawinan itu bukan dilakukan untuk tujuan perdagangan perempuan dan
anak perempuan (trafficking in women and children) yang akhir-akhir ini
menjadi isu global.
Yang
penting dilindungi adalah hak warga negara untuk mencatatkan peristiwa penting
tersebut, baik kepada lembaga pencatatan sipil maupun KUA. Negara berkewajiban
mencatatkan peristiwa sipil warga, seperti kelahiran, perkawinan, dan kematian,
sebaliknya warga negara berhak menerima pelayanan registrasi. Dalam hal ini
negara tidak mencampuri urusan prosedur pernikahan berdasarkan ketentuan atau upacara agama apapun. Kedua calon
mempelai berhak melangsungkan pernikahan berdasarkan pilihan dan kesepakatan bersama.
Otoritas agama boleh saja membuat fatwa atau keputusan yang mengharamkan
perkawinan lintas agama, atau keluarga dan individu boleh menganggap haram
pernikahan antara pemeluk agama yang berbeda. Namun fatwa atau keputusan
tersebut tidak mengikat negara dan masyarakat.
Kelima,
kebebasan beragama hendaknya juga mencakup kebebasan mempelajari ajaran agama
manapun di lembaga-lembaga pendidikan formal, termasuk lembaga pendidikan milik
pemerintah. Konsekuensinya, setiap siswa atau mahasiswa berhak memilih atau
menentukan agama mana yang akan dipelajarinya. Tidak boleh dibatasi hanya pada
agama yang dianut peserta didik. Demikian juga, kebebasan untuk memilih tidak
mengikuti pelajaran agama tertentu. Akan tetapi, lembaga pendidikan dapat
mewajibkan peserta didiknya untuk mengikuti pelajaran budi pekerti atau etika
berdasarkan Pancasila, karena pelajaran itu penting bagi pembentukan karakter
warganegara yang baik.
Keenam, kebebasan beragama memungkinkan negara
dapat menerima kehadiran sekte, paham, dan aliran keagamaan baru sepanjang
tidak menggangu ketenteraman umum dan tidak pula melakukan praktek-praktek yang
melanggar hukum, seperti perilaku kekerasan, penipuan atau pembodohan warga
dengan kedok agama.
Ketujuh, kebebasan beragama mendorong lahirnya
organisasi-organisasi keagamaan untuk maksud meningkatkan kesalehan warga, meningkatkan kualitas kecerdasan emosional
dan spiritual berdasarkan ajaran agama tertentu selama tidak mengharuskan
keimanan kepada suatu agama atau keyakinan sebagai syarat. Konsekuensinya,
negara atau otoritas keagamaan apa pun tidak boleh membuat fatwa atau keputusan
hukum lainnya yang menyatakan seseorang sebagai kafir, murtad atau berdosa.
Atau memberi label terhadap suatu paham, sekte, aliran keagamaan atau
kepercayaan tertentu sebagai paham
sesat.
Kedelapan,
kebebasan beragama mengharuskan negara bersikap dan bertindak adil pada semua
penganut agama dan kepercayaan yang hidup di negara ini. Negara tidak boleh
bersikap memihak terhadap kelompok keagamaan tertentu dan berbuat diskriminatif
terhadap kelompok lainnya. Dalam konteks ini seharusnya tidak ada istilah
mayoritas dan minoritas, juga tidak ada istilah penganut agama samawi dan
non-samawi. Demikian juga tidak perlu ada istilah agama induk dan agama
sempalan. Jangan lagi ada istilah agama resmi dan tidak resmi atau diakui dan
tidak diakui pemerintah. Setiap warga negara mendapatkan hak kebebasannya dalam
menentukan pilihan agamanya.
[1]
Disampaikan pada acara Konsultasi Publik untuk Advokasi terhadap RUU KUHP
diselenggarakan oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP, tgl 4 Juli 2007 di Jakarta .
[2]
Sekjen Indonesian Conference on Religion for Peace dan Dosen Pascasarjana UIN
Jakarta.
[3] DUHAM
(Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) merupakan pernyataan definitif yang
pertama tentang 'hak asasi manusia' dan yang menyebutkan secara jelas hak-hak
itu yang bersifat universal. Dokumen ini adalah kesepakatan internasional yang
ditanda-tangani oleh para pihak (negara) yang menjadi anggota PBB. Walaupun
demikian, kesepakatan tersebut tidak mengikat secara hukum (not legally
binding) dan tidak menyediakan perlindungan yang dapat dipaksakan.
[4]
Dalam hal ini Groome menyebutkan sejumlah
dokumen historis, yaitu: (1) Magna Charta (1215); (2) Bill of Rights
England (1689); (3) Rights of Man France (1789); (4) Bill of Rights
USA (1791); (5) Rights of Russian People (1917); dan (6) International Bill of
Rights (1966).
[5] Paragraf pertama dari DUHAM menyatakan:
'Menimbang bahwa penegakan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan
mutlak dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan
dan perdamaian dunia. Lihat Gunawan Sumodiningrat dan Ibnu Purna (ed), Landasan
Hukum dan Rencana Aksi Nasional HAM di Indonesia 2004-2009, Jakarta , 2004, h. 9.
[7]
Groome, 1999: 4
[8] Pasal 4 (2) ICCPR menyebutkan: No derogation from
articles 6,7,8(paragraphs 1 and 2), 11, 15, 16 1nd 18 may be made under
this provision.
[9]Untuk
penjelasan ini, antara lain dapat dilihat Groome, Dermot, The Handbook of Human
Rights Investigation: A comprehensive guide to the investigation and
documentation of violent human rights abuses, Northborough, Massachusetts,
Human Rights Press, 2001: 6.
[10] Nowak, UN Covenant on Civil and Political Rights, 326.
[11] Penjelasan tentang hal ini secara
eksplisit ditemukan dalam ICCRP pasal 18 (1); ECHR pasal 9 (2); dan ACHR pasal
12 (3).
[14] Untuk kajian ini lihat hasil penelitian
ICRP dan KOMNAS HAM, tahun 2005. Perlakuan diskriminatif dari negara atas pengikut agama dan kepercayaan
lokal serta selain keenam agama yang resmi diakui itu misalnya terjadi dalam pemenuhan hak sipil
para pengikut agama-agama lokal dan aliran kepercayaan, seperti dipaksa menyebut
agama lain yang 'diakui' dalam KTP, meski sebenarnya tidak memeluk agama yang
'diakui' itu, hak mendapatkan akta nikah dan hak untuk dicatatkan perkawinannya
pada kantor Catatan Sipil atau KUA, dan
hak mendapatkan akta lahir bagi anak-anak mereka.
[15] Keempat bentuk kebebasan ini berasal dari isi pidato
Franklin Delano Roosevelt, pada Januari
1941, di mana ia menyatakan bahwa eksisitensi dari perdamaian dunia dikaitkan
dengan empat kebebasan yang esensial. Kebebasan ini termasuk 'freedom of
expression'; freedom of workship; freedom from want (dalam hal ini
adalah kepastian atau keamana ekonomi); freedom from fear (pengurangan
persenjataan). Pidato ini kemudian menjadi satu dokumen kunci di dalam upaya
membentuk PBB dan memberikan perlindungan dan pemajuan HAM. Pidato itu
diberikan sebelum AS terlibat dalam Perang Dunia II. Lihat H. Victor Conde, A
Handbook of International Human Rights Terminology, Lincoln & London,
University of Nebraska Press, 1999, h. 47.
[16] Penjelasan tentang hal ini secara
eksplisit ditemukan dalam ICCRP pasal 18 (1); ECHR pasal 9 (2); dan ACHR pasal
12 (3).
No comments:
Post a Comment