PENGUSAHA YANG TIDAK BERBUDIPEKERTI
Jenis makhluk halus mirip anak-anak ini bisa di
minta untuk mencari atau lebih pasnya mencuri uang. Bila Anda mencari dan mampu
memeliharanya, Anda tidak usah repot repot bekerja siang dan malam. Cukup
menyediakan semua keperluan si tuyul, uang pun mengalir lancar.
Tumbal manusia di Gunung Kawi. Turun
ke pelataran di situ akang bakal nemuin kuil Dewi
Kuan Im, alias Dewi Kemakmuran, bakal
nemuin lilin gede-gede, segede gaban di dalam tempayan aluminium dan dinamai
dengan perusahaan-perusahaan multinasional, yang konon ga pernah mati, kalo lilin itu mati
pertanda perusahaannya bakal bangkrut, begitu katanya kang. Di sana juga akang
bisa nyoba jasa meramal nasib, tapi ane ga mau kang, ane sih udah pasrahkan
takdir ane ke Allah SWT, mau buruk kek, mau bagus kek, terserah Allah ajalah,
yang pasti Allah selalu memberikan yang terbaik buat umat-Nya.
TIDAK BERBUDIPEKERTI, ARTINYA BEBAL
KAYAWANNYA, DIJADIKAN TUMBAL
DISANGKA HIDUPNYA, AKAN KEKAL
SETELAH
DI KUBUR, BARU
MENYESAL.
ADA TUMBAL PABRIK,
DAN JEMBATAN
MANUSIA DICOR, DIKUBURKAN
UNTUK JADI, SANTAPAN SETAN
PERBUATAN SYIRIK, MEMINTA KORBAN
KARENA ITU, PERLUNYA BUDIPEKERTI
AGARA TIDAK MELAWAN, HATI
NURANI
KASIHAN
KORBAN, DEMI KEUNTUNGAN PRIBADI
ANAK KANDUNGPUN, DITUMBALKAN LAGI
Pelajaran
budipekerti anti syirik, sangat perlu.,sangat penting, luar
biasa. DEWASA ini, pendidikan budi pekerti di sekolah banyak dibicarakan
kembali dalam konteks pembangunan (kembali) moral bangsa. Orang yang punya nurani, punya moral, tidak akan tega menjadikan manusia lain, sebagai korban tumbal.Sedemikian gencarnya
pembicaraan tentang topik ini, sehingga pada sebagian orang ada anggapan
seakan-akan budi pekerti sebagai sesuatu yang baru. Padahal tidak!
Ulasan ini mencoba melihat budi pekerti dalam perspektif
historis berdasarkan apa yang tertulis dalam kurikulum nasional sejak Indonesia
merdeka. Tinjauan seperti ini perlu untuk mengetahui apa sesungguhnya yang
telah terjadi supaya kita tak mudah terjebak dengan label atau “sok baru”.
Budi pekerti, PPKn, imtak
Sebagai suatu materi pendidikan maupun sebuah mata
pelajaran, (pendidikan budi pekerti timbul tenggelam dalam kurikulum pendidikan
nasional di Indonesia. Ada saatnya budi pekerti tampil sebagai mata pelajaran
yang dominan dalam kurikulum, kemudian disatukan dengan mata pelajaran lain,
lalu terpisah lagi.
Pada saat materi budi pekerti diintegrasikan atau disisipkan
ke dalam mata pelajaran lain, maka mata pelajaran yang mendapatkan titipan itu
adalah yang paling dekat dengan sifat, karakter, atau misi mata pelajaran ini,
yaitu Pendidikan Agama, Pendidikan Moral Pancasila, dan Pendidikan
Kewarganegaraan.
Perubahan-perubahan ini mencerminkan pandangan bangsa ini
terhadap arti pendidikan budi pekerti, dan sekaligus merefleksikan terjadinya
pergulatan pemikiran yang berlangsung sejak Indonesia merdeka hingga saat ini.
Hal tersebut juga menggambarkan perubahan kepedulian bangsa ini terhadap
pendidikan yang bernuansa etika-moral yang diwakili oleh struktur kurikulumnya.
Arena pendidikan nasional juga diwarnai dengan munculnya
tema-tema atau idiom-idiom lain yang lebih menonjol atau ditonjolkan. Mulai
akhir 1960-an dengan berlakunya Kurikulum 1968 hingga pertengahan tahun
1980-an, tema-tema yang bernuansa (moral) Pancasila sangat mendominasi, seiring
dengan kuatnya kepedulian (bangsa ini, atau pemerintah yang berkuasa) terhadap
upaya menjabarkan dan mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila ke dalam segenap
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pendidikan budi pekerti dan pendidikan agama pada saat itu
dapat dikatakan “terpinggirkan” oleh haru-biru semangat pendidikan Pancasila.
Memasuki pertengahan tahun 1980-an hingga akhir 1990-an,
sejalan dengan warna keagamaan sangat mendominasi sistem pendidikan nasional,
pendidikan budi pekerti seakan-akan hilang — kecuali hanya tercantum dalam
satu-satu ciri manusia Indonesia seutuhnya dalam tujuan pendidikan nasional.
Giliran tema-tema “keimanan dan ketakwaan” (imtak)
mendominasi pendidikan nasional yang sekaligus mencerminkan terjadinya “titik
balik” dalam kehidupan masyarakat Indonesia ke arah yang lebih religius
(Supriadi, 1996), setelah sekian lama melalui babak pendidikan yang cenderung
sekuler dan bernuansa “budaya abangan” (meminjam Clifford Geertz) model budaya
Jawa pada puncak zaman keemasan Orde Baru.
Bila dilukiskan dalam sebuah kurva normal, kurun waktu mulai
pertengahan tahun 1970-an hingga pertengahan 1980-an merupakan puncak kejayaan
Orde Baru. Kurun waktu sebelumnya adalah saat Orde Baru membangun landasannya
dengan berbasis nasionalisme-sekuler (meskipun tidak pernah dinyatakan secara
eksplisit) dan dengan doktrin “pembangunan nasional”.
Mulai pertengahan 1980-an, kurva perkembangan Orde Baru
mulai menurun, justru pada saat kekuasaannya semakin besar sehingga sulit
dikendalikan, yang kemudian berakhir pada Mei 1998. Yang menarik adalah, pada
saat mulai menurun itulah, justru ada keinginan untuk memberikan perhatian yang
kuat pada tema-tema keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Bagaimanapun, perkembangan ini dapat memberikan konteks terhadap kajian isi
kurikulum pendidikan.
Era Orde Baru berakhir, dan muncul Era Reformasi. Era ini
menyaksikan sosok bangsa ini yang lunglai, terkapar dalam ketidakberdayaan
akibat berbagai krisis yang dialaminya. Bangsa ini berusaha mencari kembali
akar budayanya, nilai-nilai dasarnya, basic and core values-nya. Maka
bertemulah dengan sebuah nama, sebuah kekayaan, sebuah “harta karun” yang
dianggap sebagai bagian inti dari budaya bangsa. Pada saat MPR-RI bersidang
menyusul ambruknya rezim Orde Baru, mulai berkembang wacana yang kemudian
semakin mengental untuk mengangkat (kembali) “harta karun” itu yang diberi nama
“budi pekerti”.
Sejak saat itulah, kembali pendidikan budi pekerti
dihidupkan dan menjadi tema besar dalam sistem pendidikan nasional hingga saat
ini yang mendapatkan tekanan kuat dalam GBHN. Siapa yang seharusnya memainkan
peran penting dalam pendidikan budi pekerti?
Seperti lazimnya, orang segera melirik kurikulum pendidikan
nasional — yang ternyata sejak tahun 1975 tidak lagi secara khusus mencantumkan
budi pekerti. Dengan semangat yang menyala-nyala, ibarat ingin menebus
“kekeliruan” di masa lalu — mungkin juga disertai rasa bersalah (guilty
feeling) — maka bangsa ini segera menunjuk kurikulum pendidikan sebagai sarana
yang efektif untuk mengembangkan budi pekerti.
Budi pekerti sebagai primadona
Sekarang, hingar-bingar pendidikan budi pekerti mengalahkan
pendidikan “keimanan dan ketakwaan”, apalagi pendidikan moral Pancasila yang
dari segi “judul”-nya telah dikubur sejak Kurikulum 1994. Bahkan Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) yang populer sekarang — yang “menggantikan” Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), dan yang terakhir ini pun sebelumnya
“mengambil-alih” dominasi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) menurut Kurikulum
1975 — dititipi untuk secara kental bermuatan pendidikan budi pekerti.
Mulai ada gelagat, pendidikan “keimanan dan ketakwaan” yang
populer selama 10 tahun terakhir tergeser popularitasnya oleh pendidikan budi
pekerti.
Indikator yang sederhana namun cukup terandal untuk melihat
perubahan tersebut adalah dalam nama proyek. Di Depdiknas, misalnya, sekarang
pendidikan imtak menempel pada proyek pendidikan budi pekerti, sedangkan di
masa sebelumnya merupakan bagian dari proyek PPKn. Begitulah, ibarat
hingar-bingar panggung politik sekarang yang enak dipandang tapi menyesakkan,
kurikulum pendidikan mengikuti ke mana orientasi bangsa ini condong. Benar bila
dikatakan bahwa pada dasarnya pendidikan tidak bisa dilepaskan dari politik
(Beeby, 1980), dan bahwa dalam setiap kebijakan pendidikan selalu termuat
kepentingan-kepentingan politik (Fiske, 1996).
Tentu tidak perlu disebutkan secara detail di sini tentang
bagaimana bangsa ini ibarat kebakaran janggut ketika dalam waktu yang singkat
harus merevisi kurikulum pendidikan Sejarah pada awal Era Reformasi dengan
membuang bagian-bagian yang dianggap “tidak objektif” tentang Serangan Umum 1
Maret yang menempatkan peran Overste Soeharto begitu rupa kuatnya, kemudian
mendudukkan kembali peran Sultan Yogya sebagai inisiator dan inspirator
serangan fajar itu. Atau juga revisi terhadap muatan PPKn melalui puluhan
butir-butirnya karena dianggap terlalu berlebihan menurut kacamata sekarang,
padahal di masa lalu menjadi acuan yang tidak bisa ditawar-tawar, bahkan
menurut sebagian orang, cenderung “diberhalakan”.
Yang masih bebas dari pengaruh politik tinggallah aksioma
luas sudut segitiga sama sisi, luas lingkaran, atau 2 + 2 dalam sistem desimal
adalah 4 (atau yang ini pun masih bisa dinegosiasikan?)
Kembali ke pendidikan budi pekerti menurut pemahaman yang
muncul kembali saat ini. Tampaknya, karena ada perasaan “tidak tega” untuk
sekaligus menafikan “tema-tema lama”, atau mungkin mencerminkan semakin luasnya
spektrum tantangan yang kita hadapi saat ini, atau bisa juga merefleksikan
sikap ambivalen kita sendiri, dewasa ini tema pendidikan budi pekerti
dimunculkan bersamaan dengan tetap dipertahankannya tema-tema yang berkembang
selama ini. Misalnya, pendidikan agama sebagaimana berlaku sebelumnya,
pendidikan keimanan dan ketakwaan yang melekat pada materi pendidikan umum
(non-pendidikan agama), dan pendidikan kewarganegaraan (baik dalam pengertian
civic education maupun citizenship education) yang semakin luas cakupannya
dengan dimasukkannya pendidikan hak asasi manusia dan pendidikan internasional.
Perbedaannya adalah tema-tema pendidikan tersebut diminta
untuk dimuati secara kental oleh pendidikan budi pekerti, yang berarti bahwa
dewasa ini pendidikan budi pekerti itulah yang menjadi primadonanya.
Memang di antara tema-tema pendidikan tersebut tidak ada
pertentangan, bahkan saling berhimpitan. Namun peletakan prioritas pada
pendidikan budi pekerti sehingga seakan-akan mengatasi yang lainnya
mencerminkan terjadinya perubahan orientasi pendidikan nasional pada segi
pembinaan sikap, etika, dan moral bangsa yang majemuk ini. Sekarang, marilah
kita lihat apa yang nyata tertulis dalam kurikulum per jenjang pendidikan.
Budi pekerti dalam kurikulum SD
Pendidikan budi pekerti pertama kali diperkenalkan dalam
Kurikulum 1947 sebagai salah satu dari 16 mata pelajaran di SD yang berdiri
sendiri dan terpisah dari Pendidikan Agama. Jumlah jam pelajarannya meningkat
seiring dengan meningkatnya kelas, masing-masing untuk kelas I-VI adalah
1-1-2-2-2-3 jam per minggu.
Pendidikan Agama yang diputuskan melalui Ketetapan Bersama
Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan dan Menteri Agama malah baru
dimulai sejak kelas IV SD reguler masing-masing 2 jam per minggu. Bahkan di SD
yang diselenggarakan sore hari, Pendidikan Agama baru diberikan di kelas V-VI
masing-masing dengan 2 jam.
Hal ini menunjukkan bahwa pada saat itu, pendidikan budi
pekerti mendapatkan perhatian yang lebih besar (artinya dianggap lebih penting)
daripada pendidikan agama. Isi pendidikan budi pekerti saat itu lebih banyak
berupa sopan santun, etika, sikap hormat dan saling menghargai — dalam arti
berdasarkan acuan-acuan nilai budaya — dalam pergaulan sehari-hari dalam
masyarakat, keluarga, dan sekolah.
Pada tahun 1964, Kurikulum SD 1947 diubah dengan Kurikulum
Sekolah Rakyat (SR). Dalam kurikulum ini, pendidikan budi yang semula terpisah
dari pendidikan agama, disatukan dalam mata pelajaran yang disebut “Agama/Budi
Pekerti”. Mata pelajaran ini berada dalam kelompok Perkembangan Moral bersama
Pendidikan Kemasyarakatan yang merupakan gabungan dari Sejarah, Ilmu Bumi, dan
Kewarganegaraan. Jumlah jam pelajarannya lebih sedikit lagi (artinya terjadi
penciutan materi) dibandingkan dengan pada kurikulum sebelumnya, masing-masing
untuk kelas I-VI adalah 1-2-2-2-2-2 jam pelajaran per minggu. Dalam pola ini,
pendidikan budi pekerti “dititipkan” ke dalam pendidikan agama.
Pada pertengahan tahun 1960-an, saat kurikulum 1964 baru
berjalan setahun, situasi politik berubah menyusul terjadinya G-30 S/PKI, dan
arah pendidikan pun ikut berubah. Namun baru tiga tahun kemudian berhasil
disusun kurikulum baru, yaitu Kurikulum 1968.
Salah satu prinsip yang melandasi kurikulum SD ini ialah
bahwa dasar pendidikan nasional adalah falsafah Pancasila, tujuan pendidikan
nasional adalah membentuk manusia Pancasila sejati, dan isi pendidikan terdiri
atas tiga hal, yaitu mempertinggi mental budi pekerti dan memperkuat keyakinan
agama, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta membina fisik yang kuat
dan sehat.
Karakteristik yang menonjol dalam kurikulum ini ialah
munculnya kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila sebagai komponen yang dominan yang
meliputi Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Bahasa
Indonesia, Pendidikan Bahasa Daerah, dan Pendidikan Olahraga.
alam Kurikulum SD 1968, pendidikan budi pekerti tidak lagi
muncul sebagai sebuah nama mata pelajaran, baik berdiri sendiri maupun
digandengkan dengan pendidikan agama seperti pada kurikulum sebelumnya. Hal ini
menunjukkan bahwa terjadi pergeseran orientasi pendidikan dengan mengangkat
secara kuat Pendidikan Pancasila yang bahkan “membawahi” mata pelajaran
Pendidikan Agama. Jumlah jam Pendidikan Agama itu sendiri cukup banyak, yaitu
2-2-3-4-4-4 di kelas I-VI SD, sama seperti Pendidikan Kewarganegaraan.
Pergeseran ini sangat dapat dimaklumi, mengingat semangat Orde Baru ketika
pertama kali naik ke panggung kekuasaan adalah “melaksanakan Pancasila dan UUD
1945 secara murni dan konsekuen”
Di daerah saya juga dahulu di era 80-90an sempat geger dengan tumbal untuk jembatan, yang mana diambil dari kepala anak-anak yang dipenggal dan kepalanya ditaruh di bawah konstruksi jembata. Saya yakin ini bukan suatu kebetulan, yang anda ceritakan juga sangat mirip.
ReplyDelete