"Awas JebakanMoral",
MORAL HAZARD
Hang Jebat merajalela dalam istana, sampai raja pun terusir dari sana.
Untunglah Hang Tuah ternyata belum dibunuh, karena anak raja sendiri yang
disuruh membunuhnya tahu bahwa Hang Tuah tidak bersalah. Hikmah kisah ini, ada kaitannya dengan moral pemimpin saat ini yang menghukum orang yang tidak bersalah, hanya karena cemburu. Ibarat Sultan Mahmud yang cemburu kepada Hang Tuah..
Krisis ekonomi berasal dari krisis moral para penguasa. Akan tetapi, pengalaman di lain-lain negara yang pernah mengalami krisis
moneter dan merebaknya hutang serta proyek macet, menunjukkan bahwa akhirnya
pemerintah terpaksa ikut menanggung sebagian beban dalam bail-out, sudah tentu
dengan mengorbankan uang dari pajak. Amerika Serikat akhirnya menggunakan uang
pajak untuk menyelamatkan krisis bank-bank tabungan (loan-and-savings
associations). Pemerintah Meksiko dan AS juga ikut menyelamatkan utang-utang
swasta di krisis Meksiko. Terakhir ini, gejala yang sama mulai tampak di Jepang
di mana pemerintah Jepang, yang semula enggan sekali, akhirnya cenderung
menggunakan uang anggaran untuk menolong bank-bank yang bermasalah.
Alasan untuk intervensi pemerintah ini adalah agar penderitaan ekonomi, atau
resesi, yang disebabkan oleh krisis moneter dan perbankan itu, tidak
berkepanjangan. Di Jepang, krisis demikian telah berjalan bertahun-tahun dengan
korban laju pertumbuhan ekonomi yang rendah sekali.
Maka timbul masalah
"distribution of burden" atau membagi beban antara golongan-golongan
ekonomi untuk keluar dari krisis. Krisis ekonomi tidak disebabkan oleh ulah
rakyat atau masyarakat umum, akan tetapi dalam penyelesaiannya mereka dipanggil
untuk ikut menanggung bebannya. Ini terang moral hazard, akan tetapi bisa
mempercepat usainya krisis, dan kalau itu terjadi maka masyarakat umum juga
ikut untung.
Di Indonesia, masalah moral hazard dan distribution of the burden dari
penyelesaian krisis moneter ini belum menjadi kenyataan. Tetapi, akibatnya
adalah kurs rupiah tetap di atas Rp 7000 atau Rp 8000 (selisihnya adalah cermin
unsur ketidak pastian politik berhubungan dengan suksesi) karena terlalu banyak
perusahaan nubruk dolar untuk mengangsur hutangnya.
Pada suatu waktu mungkin suatu keputusan harus diambil ke arah intervensi
pemerintah. Yang bisa diusahakan adalah untuk memperkecil moral hazard ini.
Misalnya, pertama-tama para deposan bank-bank (swasta) harus dijamin utuh
depositonya. Ini untuk mengembalikan kepercayaan kepada perbankan swasta secara
keseluruhan. Sekarang ini perbankan swasta tidak jalan dan rodanya tidak
berputar. Yang tetap akan ditentang adalah mem-bail-out konglomerat.
Bagaimana mem-bail-out bank-bank swasta? Kalau mereka hancur maka ekonomi
Indonesia juga akan macet. Bank-bank pemerintah sudah tidak dominan lagi. Empat
bank BUMN pun akan ditolong secara finansial oleh Bank Dunia dalam mergernya.
Apakah itu bukan moral
hazard?
Karena jebakan
moral (moral hazard) pula petaka
menimpa Hang Tuah yang berasal dari orang-orang yang tidak menyukainya. Fitnah
yang tidak berdasar dan dholim disebarkan oleh pejabat pengadilan dan Patih
Karma Wijaya untuk menghancurkan karier
Hang Tuah. Fitnah yang dituduhkan kepada Hang Tuah tidak tanggung-tanggung
yakni sang prajurit kesayangan sultan dituduh telah merayu permaisuri
yang notabene atasannya
sendiri di kesultanan. Maka tanpa ampun lagi, Sultan Mansur Syah yang mendengar
rumor tersebut tidak pikir panjang lagi dan segera memerinahkan Bendahara Tun
Perak untuk mengeksekusi Hang Tuah yang dianggapnya menghina derajat sang
sultan yang menjadi penguasa di Melaka. Alih-alih menjalankan penyelidikan
lebih lanjut, tuduhan terhadap Hang Tuah malah ditanggapi dengan sikap emosional.
Sikap yang
diambil Sultan Mansur sangat disayangkan oleh banyak pihak karena tidak
mencerminkan seorang pemimpin yang bijaksana. Sikap sultan juga disayangkan
oleh bawahan yang diperintahkan untuk mengeksekusi Hang Tuah sendiri, yakni Tun
Perak. Namun kalau ia membangkang perintah sultan maka kariernya sendiri akan
terancam dan pastinya cap sebagai pengkhianat akan melekat didadanya. Makanya
ia seolah-olah mengikuti perintah sultan untuk mengeksekusi Hang Tuah. Tun
Perak pun kemudian membawa Hang Tuah ke hutan untuk melaksanakan eksekusi.
Tun Perak tahu
kalau Hang Tuah sebenarnya dijebak moral
hazard dan
kasusnya direkayasa oleh pihak yang menginginkan kehancuran terhadapnya.
Makanya ia kemudian membuat rencana bagaimana caranya supaya sultan percaya
bahwa ia telah mengeksekusi Hang Tuah tanpa melukai sahabatnya sendiri. Idenya
ialah pakaian Hang Tuah direndam dalam darah kambing sampai merah
semerah-merahnya dan kemudian ditunjukkan kepada sultan sebagai bukti bahwa
Hang Tuah telah tewas. Dan rajapun percaya bahwa Hang Tuah telah benar-benar
tewas terlebih yang mengeksekusinya sendiri ialah Tun Perak, orang
kepercayaanya.
Berita bahwa
Hang Tuah meninggalpun dengan cepat menyebar ke seantero negeri dan sampai di telinga
sahabatnya sendiri, terutama Hang Jebat. Kabar tersebut sampai juga ke
telinganya Hang Jebat yang menjadi salah satu temannya. Segaris itu pula Hang
Jebat berubah haluan sikapnya terhadap sultan. Dia melawan dan dan berusaha
untuk membalas kematian temannya itu—Hang Jebat belum tahu kalau sebenarnya
Hang Tuah diselamatkan oleh Tun Perak yang berpura-pura mengeksekusinya di
hutan. Hang Jebat menginginkan kalau sultan memberikan sahabatnya itu
kesempatan untuk membela diri di pengadilan untuk membuktikan apakah dia benar-benar
bersalah atau hanya korban rekayasa.
Namun nasi
sudah menjadi bubur. Sultan Mahmud sudah keburu memutuskan untuk menghukum
Hang Tuah yang dalam perkiraannya salah karena telah berani mengganggu permaisuri
yang dicintainya. Akhirnya,
Hang Jebat pun naik pitam dan berseru dengan suara lantang bahwa seorang raja yang adil yang harus
dihormati dan disembah, tetapi raja yang kejam yang mesti dibenci. Dan seperti telah diduga pada akhirnya
Sultan Mahmudpun murka besar mendengar perkataan Hang Jebat itu. Sultan
memutuskan untuk mengeksekusi Hang Jebat yang sebenarnya menyuarakan
ketidakadilan.
Sampai di sini tentunya sampai kepada suatu dilema moral. Apakah patut
Hang Tuah mengabdi kepada raja begitu rupa, bahkan memilih untuk membunuh Hang
Jebat, sahabatnya, meski raja itulah yang telah memberi perintah pembunuhan
dirinya. Apakah patut Hang tuah membunuh Hang Jebat, sedangkan Hang Jebat
menguasai istana justru sebagai pembalasan dendam atas dibunuhnya Hang Tuah.
Hang Tuah lebih memilih mengabdi kepada negara dan karena itu ia harus membunuh
Hang Jebat.
Dalam analisis sepanjang
428 halaman, Hikayat Hang Tuah: Analisa Struktur dan Fungsi, Sulastin Sutrisno
menyebutkan bahwa episode Hang Jebat ini yang paling menarik perhatian dan
paling mengharukan dari seluruh teks. Diceritakan bagaimana keris mereka
tertukar, dan dengan keris parung sari itu, Hang Jebat membunuh beribu-ribu
orang. Akhirnya Hang Tuah menikam Hang Jebat. Memang Hang Jebat meminta agar
Hang Tuah sendiri yang membunuhnya. Ia berpesan pula agar anaknya yang belum
lahir, apabila laki-laki dipelihara Hang Tuah sebagai hambanya. Hang Jebat mati
di pangkuan Hang Tuah. Mayatnya digantung di tengah jalan raya supaya dilihat
orang banyak.
Sulastin Sutrisno
menyimpulkan, moral cerita menunjukkan Hang Jebat adalah pengkhianat. Peneliti
Malaysia sendiri, Kassim Ahmad, menyatakan Hang Jebat patut mendapat tempat
istimewa sebagai pahlawan epik Malaysia, karena sikapnya yang jujur dan
progresif. Menurut Sulastin, pendapat Kassim itu tidak berpijak kepada nilai
teks, tapi kepada nilai kebangsaan yang hendak memberi identitas anti feodal.
Jadi Hang Tuah itu feodal karena menuruti apa saja perintah rajanya. Memang A
Teeuw pun memberi rujukan sebuah film, sandiwara radio, dan sebuah cerpen,
tentang betapa Hang Jebat ini dianggap pahlawan di Malaysia.
Kalau tentang pahlawan
fiktif pun terdapat debat dalam taraf ilmiah, bagaimana dengan pahlawan yang
sebenarnya dalam kenyataan sejarah. Apakah bisa memperdebatkannya. Bagaimana
sebenarnya loyalitas dalam politik itu. Untuk direnung dan pikirkan tentunya.
PENDAHULUAN
Di
LPMP Riau Indonesia, penulis selalu menjadi pembina upacara senin pagi. Penulis
menyampaikan bahwa, penjaminan mutu pendidikan yang kita lakukan belum sampai
kepada yang diinginkan, berati kita perlu meningkatkan kualitas diri. Tapi
akhinya penulis seakan dimusuhi teman-teman. Mereka lakukan moral hazard
terhadap penulis. Sering tidak diikutkan pada banyak acara., sehingga penulis
merasa dizalimi, terkena moral hazard.
Terniat dalam hati penulis ingin menjadi pensyarah di Brunei Darussalam atau
Malaysia, tapi alamat yang dituju belum didapatkan. Kemudian belakangan kita
terus mendengar seruan dari berbagai gerakan masyarakat, seperti gerakan
melawan kebohongan yang dimulai dari tokoh agama, gerakan anti korupsi, gerakan
anti mafia hukum dan pajak, serta berbagai seruan dari elemen mahasiswa dan
masyarakat lainnya. Berbagai seruan itu dapat dikategorikan sebagai gerakan
moral karena bertujuan untuk mengingatkan para penguasa yang dianggap telah
lupa dengan kewajibannya. Lalu, apa relevansi gerakan moral ini bagi perubahan
sosial di negeri kita? Ataukah itu hanya sekedar kamuflase untuk ikut menikmati
kue kekuasaan?
Mencari benalu, ke sialang,
Tempat orang, mencari rotan
Iman dan malu,kalau hilang.
Persis seperti, babi hutan.
Salah satu karakter utama intelektual adalah rasa malu kepada Allah dan komitmennya terhadap proyek membangun kembali (reconstruction) atau pemikiran kembali (rethinking) segala sesuatu yang berkaitan dengan masyarakat dan peradaban. Terutama apabila dehumanisasi semakin kentara dalam masyarakat. Karena itu, intelektual selalu akrab dengan perubahan dan sekaligus terlahir sebagai motor penggerak perubahan itu sendiri. Pun apabila masa transisi atau “masa yang baru” tiba, intelektual juga diharapkan tetap konsisten pada nilai kejujuran dan kebenaran. Tak heran kita akan selalu melihat banyak perubahan sosial di berbagai negara ternyata dimotori oleh lapisan menengah ke atas dan para intelektual yang sadar akan bobroknya kondisi di negerinya.
Bung Hatta menyebut intelektual adalah mereka yang memiliki karakter dan teguh pendirian, lepas dari kepentingan diri, golongan, atau partai, lepas dari kedudukan, pangkat atau harta. Mereka juga harus tegas atas kebenaran, sebab ilmu yang menjadi ciri khasnya senantiasa mencari kebenaran. Intelektual dituntut selalu bersifat terbuka terhadap kebenaran yang lebih benar, bahkan jika kebenaran itu datang dari pihak lain maka ia juga harus jujur mengakui dan menerimanya.
Namun demikian, keberpihakan intelektual terhadap kebenaran seringkali mendapat tantangan, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, masyarakat intelektual terbatas, dan dalam arti tertentu, diatur oleh hukum profesionalnya sendiri. Konstruksi pemahaman yang terbentuk terhadap kegiatan intelektual selama ini adalah kerja yang berkaitan dengan menulis (jurnal, surat kabar, majalah, internet) memberi kuliah, dan menerbitkan buku, serta tak lupa berburu gelar dan ijazah. Kegiatan ini kemudian menjadi semacam ideologi yang dirutinkan.
Regulasi internal dan kontrol yang sedemikian ketat, serta di dalamnya mengandung ketentuan apa yang patut dan yang tidak patut? menyebabkan perubahan yang terjadi dalam dunia akademis cenderung lebih konservatif. Pierre Bouerdieu, dalam Homo Academicus ,menyatakan bahwa untuk sukses di dunia akademis, orang lebih harus “pandai-pandai” menyesuaikan diri, daripada “pandai” karena menjadi penemu cara-cara baru. Singkatnya, waktu yang seharusnya digunakan untuk mengejar ilmu pengetahuan, justru banyak disita untuk mengejar karir akademis belaka. Ini adalah penyakit intelektual paling kronis yang mungkin melanda sebagian besar “intelektual”. Buktinya, perubahan yang seharusnya bisa berlangsung cepat dengan sokongan total mereka, ternyata tidak sebaik dan secepat yang diharapkan. Alih-alih terjadi perubahan, yang ada suara intelektual seringkali bagai angin lalu belaka. Ibarat anjing menggonggong, kafilah yang dikritik pun tetap melenggang.
Secara eksternal, dinamika perubahan sosial masyarakat senantiasa diiringi oleh silih bergantinya kekuasaan dalam lingkup kenegaraan. Akibatnya, relasi intelektual dengan kekuasaan seringkali membawa problem yang dilematis. Berbagai momen pergantian kekuasan telah memaksa intelektual untuk menganut dan memasukkan – dalam istilah Julien Benda – gairah-gairah politik ke dalam aktivitas intelektual mereka. Pembungkaman tradisi kritik intelektual berlangsung terus-menerus sejalan dengan ritme pergantian kekuasaan. Kondisi ini melahirkan dikotomi antara intelektual murni, yaitu yang terus menerus melakukan hal yang sama, dan intelektual plus-organik yang berhubungan langsung dengan penguasa-penguasa, dan kelas tertentu, yang memanfaatkan mereka untuk memperbesar kontrol dan kekuasaan (Edward W. Said, 1993).
Tak heran, panggilan intelektual sebagai garda otonomi moral akhir-akhir ini terus menemukan relevansinya, terutama di Indonesia. Otonomi moral yang dimaksudkan adalah sikap dan perilaku yang dipimpin oleh hati nurani. Bukan kepentingan penguasa, kelompok atau organisasi, apalagi kepentingan etnis tertentu. Karena otonomi moral inilah, intelektual senantiasa ditarik atau menarik diri dalam dunia birokrasi ataupun pengelolaan pembangunan negara selama ini. Misalnya dengan menjadi menteri, penasehat pemerintah, ataupun staf ahli pemerintahan. Pertanyaannya adalah, ketika modal, kekuasaan, dan negara menjadi bagian dari kompetisi intelektual, mungkinkah para intelektual, tokoh agama, dan para aktivis tersebut mampu mempertahankan otonomi moral dan komitmennya terhadap kebenaran yang mereka yakini? Atau akankah intelektualitas hanya sekedar sebagai alat untuk mencapai tujuan sejati mereka, yaitu kekuasaan itu sendiri? Sejarah lah yang akan menjawabnya.
Intelektual dan Dilema Pendidikan Tinggi
Saat ini, bangsa kita berada dalam jeratan neo-liberalisme yang berhasil menghancurkan semua bentuk struktur kolektif dengan logika pasarnya. Kita pun terus menerus menyaksikan proses dehumanisasi dan pemiskinan merajalela di tengah masyarakat. Di sisi lain, otonomi moral intelektual sebagai hati nurani bangsa, terus bergulat mempertahankan kebenaran ilmu pengetahuan melawan kekuasaan dan modal. Fokus tentang kebenaran di sini bukan soal pertanyaan apa itu kebenaran, tetapi bagaimana kebenaran menjadi sebuah politik (politics of truth).
Mencari
benalu, ke sialang,
Tempat
orang, mencari rotan
Wanita
cantik, moralnya hilang,
Jadi
tempat, sarangnya Setan.
Wanita
cantik selau diperalat ke arah kiri, oleh para intelektual yang lemah imannya. Kita
mahfum, intelektual adalah ruang produksi pengetahuan yang sarat kepentingan,
bias-bias sosial, politik, dan budaya, mudah diselewengka nafsu birahi.
Intelektual bukanlah seorang malaikat yang selalu berpijak pada
"kebenaran", karena "kebenaran" sendiri adalah konstruksi
politik. Ilmu pengetahuan adalah hasil kesepakatan. Dengan cara pandang ini,
intelektual sebenarnya tidak pernah berkhianat. Sebab dia senantiasa berada
dalam wilayah wacana kekuasaan yang tidak mengenal konsep pengkhianatan.
Fenomena terlibatnya kaum intelektual di pusaran kekuasaan juga tidak perlu digusarkan. Sebab, masyarakat telah sedemikian kompleks, konsekuensi dari hal itu adalah lahan garap intelektual yang juga semakin luas. Kompleksitas masyarakat melahirkan pandangan yang mendukung beragam gerakan sosial (sipil, politik, lingkungan, ekonomi, budaya, jender).
Sebagian dikutip dari tulisan Yanu Endar Prasetyo peneliti
LIPI, Pegiat Komunitas Blogger Subang
Moral hazard dan distribution of
burden merupakan istilah-istilah ekonomi yang sudah ada artinya sendiri, tetapi
di bahasa Indonesia belum mempunyai terjemahan yang cocok. Oleh karena itu
untuk permulaan di sini dipakai istilah Inggrisnya saja.
Makna moral hazard mungkin dapat
ditangkap dalam bahasa Indonesia sebagai "jebakan moral", akan tetapi
masih memerlukan keterangan lebih lanjut. Di kamus Inggris maka "moral
hazard" diterangkan sebagai "the hazard arising from the uncertainty
or honesty of the insured". Rupanya, istilah "moral hazard"
dipakai di bidang asuransi. Kalau pengusaha ambil asuransi resiko kebakaran
untuk gudangnya, maka kalau ia kejepit hutang dan tidak jujur, ia membakarnya sendiri
dan mengantongi ganti ruginya. Kalau semua deposito di semua bank dilindungi
oleh jaminan terhadap bankrutnya bank maka ini bisa memberikan insentip bagi
para deposan untuk menitipkan hartanya di bank gurem yang berani menawarkan
suku bunga yang paling tinggi.
Yang dirugikan adalah bank-bank yang
bonafid yang tidak mau memberikan suku bunga tinggi demikian. Kalau bank-bank
(swasta) tahu, dari pengalaman, bahwa Bank Indonesia akan menolong kalau mereka
melanggar prudential requirements maka akibatnya mereka bisa nakal-nakalan dan
nekad saja. "Jaminan" bank sentral disalahgunakan karena ada
ketidak-jujuran pengurus atau pemilik bank-bank itu. Jebakan moralnya adalah
bahwa seluruh ekonomi sebetulnya harus "membayar" atas akibat
ketidakjujuran ini, dikala ekspansi kredit bank sentral demikian menyebabkan
inflasi.
Mungkin masalah jebakan moral ini bisa muncul
dalam penyelesaian hutang macet sektor swasta kepada kreditor luar negeri.
Sampai sekarang baik pemerintah maupun IMF tidak mau mengucurkan uang dolar
untuk membantu debitor yang terjebak krisis mata uang ini. Alasannya mudah
dimengerti. Yang salah hitung adalah baik debitor maupun kreditornya.
Pemerintah dan IMF tidak salah apa-apa, sehingga apa alasan rasional untuk
menolongnya dengan penyediaan dana dolar? Kalau pemerintah, dengan menggunakan
dana paket IMF, menolong mereka maka timbul "moral hazard": yang
semberono dan yang tidak jujur justru diberi hadiah! Pada akhirnya, semua dana
yang dipinjamkan oleh IMF harus dibayar kembali oleh rakyat Indonesia lewat
pembayaran pajak, atau dengan menanggung inflasi. Ini tidak adil.
No comments:
Post a Comment