INGIN TAHU, MEMANCING IKAN,
UMPANNYA JANGAN,
DIBERI ANGGUR
INGIN TAHU, DOSA PENDIDIKAN
TANYAKAN SARJANA, YANG MENGANGGUR,
TUJUH MENARA, BERTURUT-TURUT
JIKA DIPANDANG, SANGAT MENARIK
BAGAIMANA NEGARA, TIDAK BANGKRUT
ETOS KERJA TIDAK, TERTANAM BAIK
Berbicara
masalah pengangguran rasanya tidak ada habis - habisnya. Karena selama masih
ada manusia maka masih akan ada penganggur. Terlebih lagi jika penanganannya
tidak dilakukan secara tepat. Pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggungjawab
terhadap kesejahteraan warganya sudah seharusnya merumuskan dan merealisasikan
upaya untuk mengurangi pengangguran secara nyata dan berkesinambungan.
Buatlah suatu rumusan dan target yang jelas, juga harus disadari bersama, jika masalah
pengangguran tidak dapat diselesaikan oleh satu pihak saja, melainkan harus
dicarikan solusinya secara bersama - sama, dunia sekolah dan Depnaker, plus perusahaan. Pemerintah mengawali penanganan dari
akar permasalahanya yang menyebabkan semakin meningkatnya jumlah pengangguran.
Sudah bukan rahasia lagi jika masalah pengangguran
di Indonesia berpangkal pada sistem pendidikan di Inonesia yang tidak tepat.
Bahkan dapat dikatakan jika sistem pendidikan di Indonesia menggunakan
kurikulum sesat. Yang hanya mementingkan satu golongan tertentu. Tidak berpihak
pada kepentingan rakyat dan Bangsa.
Jika kita cermati. Masalah pengangguran di Indonesia semakin hari semakin meningkat. Hal ini seperti teori ekonomi. Dimana pertambahan jumlah tenaga kerja tidak sebanding dengan pertambahan jumlah lapangan kerja. Hal ini bisa terjadi karena pendidikan di Indonesia hanya berorientasi untuk menciptakan manusia - manusia yang profesional yang pada kenyataanya hanya untuk dididik menjadi seorang pekerja, bukan pengusaha. Untuk itu jika pemerintah memang serius menangani masalah pengangguran, sudah seharusnya mengawali penanganannya dengan memperbaiki arah pendidikan di Indonesia. tanpa itu, maka sudah hampir dapat dipastikan masalah pengangguran tidak akan pernah selesai.
memprihatin-kan, jumlah pengangguran terdidik setiap tahunsemakin meningkat. Terutama dari kaum terpelajar. Ini bisa kita amati bersamaketika bekal ijazah makin tidak laku di pasar tenaga kerja. Gelar akamedikseakan tak mampu lagi menopang nasib pemiliknya. Begitu juga para sarjanawanpenganggur, semakin merebak ke kota-kota dan pedesaan-pedesaan.
Menurut data BPS, jumlah pengangguran di Indonesia hingga 2011 mencapai7,7
juta orang atau 6,56 persen dari total angkatan kerja. Secara umum
tingkatpengangguran terbuka (TPT) cenderung menurun, di mana TPT Agustus 2011
sebesar6,56 persen turun dari TPT Februari 2011 sebesar 6,80 persen dan TPT
Agustus2010 sebesar 7,14 persen.
Jika dibandingkan keadaan Februari 2011, TPT pada hampir semua
tingkatpendidikan cenderung turun, kecuali TPT untuk tingkat pendidikan SD ke
bawahnaik 0,19%, SMP naik 0,54%, dan SMK naik 0,43%. Pada Agustus 2011, TPT
untukSMA dan SMK masih tetap menempati posisi tertinggi, masing-masing 10,66%
dan10,43%.
Yang paling sering terkena getahnya adalah lembaga pendidikan. Iadianggap
tidak bisa mencetak lulusan yang siap pakai. Kualitas para lulusantidak cocok
dengan kebutuhan dunia kerja. Mereka tidak memenuhi standarpersyaratan yang
ditetapkan bagi rekruitmen tenaga kerja. Padahal, dunia kerjabegitu cepat
berkembang. Persyaratan tenaga kerja selalu naik dari waktu kewaktu. Namun,
lembaga pendidikan tidak bisa memantau kenaikan-kenaikan itu.Akibatnya,
munculnya mis-match yang lebar antara lembaga pendidikan dan duniakerja. Yaitu,
ketidaksesuaian antara output lembaga pendidikan dengan inputyang dituntut oleh
dunia kerja.
Ketidaksesuaian itu, misalnya, terlihat manakala sekelompok lulusansekolah
atau mahasiswa baru saja lulus dari sebuah lembaga pendidikan. Merekabingung
mencari pekerjaan. Beberapa iklan lowongan kerja yang dimuat koran samasekali
tidak menyentuh kualifikasi yang mereka miliki. Kemudian, arus punkemudian
berbalik.
Mereka kembali mencari ilmu tambahan. Walaupun tidak seluruhnya, tetapiamat
banyak di antara mereka kemudian mengikuti kursus-kursus pendidikanpraktis.
Sebutlah, kursus komputer, bahasa Inggris, manajemen,
entrepeneurship,jurnalistik, akuntansi dan lian-lain. Alasannya, kursus-kursus
semacam itudianggap lebih laku, lebih marketable daripada kualifikasi sarjana
yangdisandangnya.
Lembaga pendidikan memang bukan pabrik. Dan, tujuan seseorang kuliah
ataumencari ilmu secara keseluruhan adalah untuk mempertinggi
produktivitasdirinya. Apa pun itu disiplin ilmu yang ditekuni, baik sains dan
teknologi,ilmu-ilmu sosial maupun ilmu-ilmu humaniora. Tetapi, bila
mengibaratkannyadengan pabrik, maka lembaga pendidikan harus menjadi the pabric
of a newmeaning (pabrik yang selalu memproduksi nilai-nilai baru). (Giroux,
2000;Price, 2001)
Lembaga pendidikan hendaklah mencari 'nilai tambah' kepada produk SDMyang
dikelolanya, baik dalam sikap, wawasan, kecerdasan, ketrampilan,
maupunkeahlian. Namun, dalam praktiknya, tujuan ini akan mengalami
kesulitan.Buktinya, keberadaan para penganggur 'terdidik'. Rasanya tidak ada
jaminankepada mereka hingga menjadi lebih produktif dan bernilai tambah. Yang
terjadimalah sebaliknya, tidak jarang perkembangan mereka menjadi paralel
denganpertumbuhan penganggur. Artinya, pendidikan mereka yang tinggi itu tidak
dengansendirinya membuka akses ke dunia kerja. Sehingga, seringkali
tingginyapendidikan mereka itu, lalu hanya berarti besarnya inefisiensi,
pemborosan danketidak-produktivitasan dirinya.
Untuk mengatasi permasalahan di atas, tentu harus ada konsistensi
dalamperencanaan pembangunan lintas sektor antara lembaga pendidikan dan
duniakerja. Di samping, fenomena mis-match juga harus segera diakhiri. Kalau
tidak,maka titik temu antara output lembaga pendidikan dan input yang dituntut
duniakerja, akan sulit terwujud.
Namun, apabila lembaga pendidikan hanya menunggu dibuatkan, disahkan
danditurunkannya kebijakan-kebijakan makro seperti itu, mungkin terlalu
lama.Maka, lembaga pendidikan dituntut lebih bersikap luwes dan pragmatis.
OlehLembaga pendidikan hendaknya bertindak cepat sekaligus orientatif
terhadapsiswa-siswi atau mahasiswa-mahasiswi didikannya. Lembaga pendidikan
harus mampumemantau perkembangan dunia kerja atau bisa bekerja sama dengannya.
Ini pentingagar lembaga pendidikan mampu berperan dalam membantu peserta
didik.Khuisusnya, dalam mengarahkan dan mendampingi jenis pendidikan tambahan
sebagaibekal pascakelulusan anak didik nanti, termasuk manakala harus
menghadapituntutan dunia kerja.
Selain solusi adanya kesepahaman antara dunia pendidikan dan dunia
kerjatentang permasalahan output dan input yang diinginkan, solusi lainnya
sebagaikoreksi dan introspeksi bersama adalah bahwa sudah saatnya pendidikan
Indonesiabergeser pada pilihan strategi pembangunan SDM ke arah pengembangan
insankreatif.
Dengan manusia-manusia kreatif ini, diharapkan mampu menjadi
penopangberkembangnya industri kreatif. Dan, tidak lain yang dibutuhkan adalah
filsafatpendidikan progresif-eksistensialis. Karena, dengan basis filsafat
ini,pendidikan akan lebih mampu mengakomodasi dan mengelaborasi potensi
setiapindividu melalui praksis pendidikan kreatif, baik berupa real experience
maupunproduc development.
Penulis tertarik dengan tulisan SITI MUYASSAROTUL
dalam rangka Hari Sarjana, 29 September 2009) yang menyatakan:
1. Tragedi pengangguran
kaum terpelajar tersebut, bila dengan seksama, terasa miris. Betapa tidak,
setiap tahun tidak sedikit Universitas yang akan meluluskan Sarjana, yang tentu
menambah tumpukan kaum terpelajar menganggur. Bila ditelaah secara kritis,
pengangguran tersebut disebabkan beberapa hal. Pertama, kompetensi lulusan yang
masih rendah. Kecakapan sarjana dalam bidang studinya tidak menjangkau harapan
publik sehingga gelar kesarjanaan yang disandang sering justru melahirkan ironi
dan anomali yang menyedihkan. Dengan kemampuan yang pas-pasan, mereka akhirnya
terlempar dari bursa kerja yang menuntut profesionalitas.
2. Kedua, tidak sesuai
kebutuhan dunia kerja. Berbagai gelar kesarjanaan yang disandang tidak
mempunyai peluang kerja strategis sehingga tumpukan sarjana tidak dapat
tersalurkan secara seimbang. Jurusan-jurusan yang tidak marketable atau memang
pasar kerja yang membatasi menjadikan sarjana kehilangan arah gerak langkahnya
pasca lulus.
3. Ketiga adanya
program studi yang jumlah lulusannya sudah terlalu melimpah. Jurusan itu
terkhusus berada dalam jurusan ilmu sosial. Kajian ilmu sosial yang sangat
beragam telah menghasilkan jumlah sarjana berjuta – juta. Akhirnya mereka
menumpuk dalam “cuci gudang” yang tidak laku dalam bursa lapangan kerja.
Terlebih, ilmu sosial berbasis pengalaman sehingga lapangan kerjanyapun lebih
mengarah pada eksperimentasi yang penuh resiko.
4. Keempat, paradigma
peserta didik dan stakeholder. Belajar di kampus sekadar dimaknai sebagai
pencarian kerja sehingga proses belajar yang dijalani tidak begitu serius: asal
lulus saja sebagai syarat fomalitas mencari kerja. Itu merupakan persoalan
paling mendasar dalam konteks tragedi pengangguran kaum terpelajar Indonesia.
Paradigma yang berorientasi job oriented telah menjadikan mahasiswa sebagai “
gelas tak berisi” sehingga dalam menerima materi pembelajaran dari kampus,
mereka tidak mampu membaca secara kritis dan tidak melakukan eksperimentasi kritis
yang eksperimental dalam kajian keilmuan yang ditekuninya. Hasilnya adalah
peserta didik yang “ bergentanyangan” mencari kerja, tak tahu arah dan
orientasi keilmuan yang menjadi disiplin belajarnya.
Merancang kerja masa
depan yang memproyeksikan sarjana sebagai bagian dari penataan bangsa harus
dimulai dari pergeseran paradigma – meminjam istilah Thomas Khun – sehingga
kaum terpelajar tidak “terpenjara” dengan basis keilmuan yang ditekuninya.
Sarjana harus keluar dari penjara penjurusan sehingga bisa bergerak leluasa
dalam mencipta proyeksi kreatifitas masa depan yang lebih mencerahkan. Selain
itu perlu dibangun etos kemandirian bagi mahasiswa sehingga ketika lulus
kuliah, bukannya mencari lowongandalam bursa kerja , tapi mampu bergerak
memproyeksikan lapangan kerja yang bisa mengurangi pengangguran masyarakat
awam. Membangun etos kemandirian tentu harus berlatih secara serius ihwal
menfasilitas enterpreneuship dan kecakapan hidup (life skill) sehingga berbagai
terpaan menuju kemandirian bisa dijalani dengan sungguh dan nikmat. Dan
bergurulah Muhammad yunus, seorang sarjana doktoral yang mendirikan Grameen
Bank di Bangladesh. Dia keluar dari jebakan kampusnya, kemudian bergabung
dengan rakyat kecilmendirikan koperasi warga bernama Garmeen Bank. Dengan Garmeen
Bank-nya, M. Yunus sukses memberdayakan rakyat kecil pada 2006 mendapatkan
Nobel Perdamaian Dunia. Spirit kemandirian yang dicontohkan M. Yunus pantas
menjadi teladan Sarjana Indonesia sehingga kaum sarjana mampu membuktikan diri
sebagai pelopor terbentuknya lapangan kerja, bukan beban Negara yang membuat
bangsa semakin nestapa
No comments:
Post a Comment