MEMALSUKAN”
AL-QUR’AN
DAN
“MEREKAYASA” AL-HADITS
SIKAP DR.TOHA HUSAIN
YANG
MENCEMASKAN
Toha
Husain, berbahaya,
Tokoh
sekuler, luar biasa
Di
Francis, dapat sarjana.
Menfitnah
Islam, jadi hobinya.
Memalsukan” al-Qur’an dan
“merekayasa” al-Hadits. Tidak cukup dengan itu semua, Taha Hussain menganggap
bahwa Musa as tidak pernah hidup di dunia, sedangkan cerita-cerita dalam
al-Qur’an tentang Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail merupakan mitologi semata.
“Taurat
memang menceritakan kisah Ibrahim dan Ismail, demikian pula al-Qur’an. Tetapi,
penyebutan nama-nama mereka dalam Taurat dan al-Qur’an tidak cukup kuat untuk
membuktikan keberadaan mereka dalam lintasan sejarah. Apalagi kisah kedatangan
Nabi Ismail, putra Nabi Ibrahim, ke Makkah dan menjadi nenak moyang bangsa Arab
di daerah tersebut. Kita melihat bahwa dalam kisah tersebut terdapat sepenggal
kisah fiksi untuk sekadar menunjukkan hubungan Bani Israil dan Arab pada satu
sisi dengan Islam dan Yahudi pada sisi yang lain.”[2]
Buku
Taha Hussain yang lain, yang sangat berpengaruh semasa hidupnya adalah The
Future of Culture in Egypt. Diterbitkan pada tahun 1938, buku tersebut
mempunyai misi untuk memperkenalkan budaya Mesir sebagai bagian dari Eropa,
serta membuat suatu rancangan program pendidikan umum berlandaskan kebudayaan
tersebut. Taha Hussain mengawali tulisannya dengan pertanyaan sebagai berikut:
“Apakah
Mesir merupakan bagian dari dunia Timur atau dunia Barat? Kita dapat
menguraikan pertanyaan itu sebagai berikut, “Apakah orang Mesir lebih mudah
memahami orang Cina atau orang Hindu daripada memahami orang Inggris atau orang
Prancis? Inilah pertanyaan yang mesti kita jawab sebelum memikirkan akar
kebudayaan kita.”[3]
Selanjutnya,
Taha Hussain menjelaskan bahwa sejak awal telah ada dua macam peradaban yang
sangat berbeda dan sangat bertolak-belakang satu dengan yang lain. Yang satu di
Eropa dan satunya lagi ada di Timur Jauh. Benar-benar sebuah simplifikasi
sejarah yang berlebihan! Sejak dahulu kala, tidak pernah ada peradaban tunggal
di Eropa. Demikian pula di Timur Jauh. Budaya Hindu di India dan Konghucu di
Cina sama sekali berbeda, sebagaimana peradaban bangsa-bangsa Eropa pada Abad
Pertengahan.
Hanya
karena masa lalu Mesir yang punya kaitan erat dengan Yunani, dan tidak pernah
menjalin hubungan dengan Timur Jauh, Dr. Taha Hussain berpendapat bahwa, “Mesir
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Eropa, karena secara intelektual
dan budaya mereka saling berhubungan dalam segala bentuk dan pada setiap
cabangnya.” Cendekiawan terkemuka itu mengabaikan fakta bahwa sepanjang
perjalanan sejarahnya, hanya sekali periode saja Mesir menjadi satu dengan
Eropa, yaitu pada saat zaman Hellenistik di bawah kepemimpinan Iskandar Yang
Agung.
Dr.
Taha Hussain bersikeras bahwa pengadopsian Islam dan bahasa Arab tidak membuat
Mesir menjadi lebih “bersifat ketimuran” daripada bangsa Eropa yang
orang-orangnya memeluk agama Nasrani.
“Mana
mungkin orang-orang yang berakal sehat berpendapat bahwa tidak ada ruginya bagi
orang-orang Eropa yang menganut Injil untuk menganggap al-Qur’an sebagai
sesuatu yang murni berasal dari Timur, sekalipun dinyatakan bahwa al-Qur’an
diturunkan hanya untuk memberikan klarifikasi dan penyempurnaan terhadap Injil?
Mereka harus menjelaskan perbedaan konsep-konsep Kristen dan Islam, mengingat
keduanya berasal dari sumber yang sama. Esensi Islam sama dengan esensi
Kristen. Hubungan antara Islam dan filsafat Yunani sama persis dengan kaitan
antara Kristen dan filsafat tersebut. Kemudian darimana datangnya perbedaan
pandangan kedua agama ini mengenai penciptaan pemikiran kalau tidak berasal
dari filsafat Yunani? Kenapa hubungan erat antara Eropa dengan kebudayaan
Yunani semasa Renaissance dipandang sebagai penopang pemikiran orang-orang
Eropa, sedangkan kaitan antara filsafat Yunani dan Islam tidak bisa diterima?
Mampukah kita melestarikan keberadaan konsep-konsep yang berlainan milik
orang-orang yang tinggal di pantai Utara dan Selatan Laut Tengah?”[4]
Benarkah
demikian? Bayangkanlah, betapa cendekiawan paling terkemuka di Mesir ini tidak
mengakui perbedaan sejarah antara Kristen dan Islam! Besar kemungkinan
antusiasme cendekiawan ini dilatarbelakangi keinginannya untuk membuktikan
bahwa Islam tidak menghalangi terobosan-terobosan westernisasi yang terjadi di
negerinya, sehingga tanpa ragu ia menyimpangkan fakta-fakta sejarah untuk
mendukung tujuan-tujuannya.
“Kami
bangsa Mesir mengukur kemajuan yang kami capai semata-mata dari sejauh mana
kami mengadopsi konsep-konsep Barat. Kami belajar dari Eropa bagaimana caranya
meraih kemajuan. Orang-orang Eropa telah mengajari kami bagaimana duduk di meja
dan makan dengan sendok dan garpu, bagaimana tidur di tempat tidur, serta
bagaimana berpakaian ala Barat. Kami tidak mengatur pemerintahan dengan panduan
sistem Khilafah. Namun kami menetapkan hukum-hukum nasional dan peradilan
sekular sebagaimana bangsa-bangsa Barat, bukannya aturan dan undang-undang
Islam. Fakta yang dominan dan tak terbantahkan adalah bahwa dari hari ke hari
kami semakin dekat dengan Eropa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam
makna harfiah maupun kiasan.”[5]
Taha
Hussain menyatakan bahwa westernisasi akan jauh lebih sulit kalau pemikiran
bangsa Mesir berbeda dengan pemikiran orang-orang Eropa. Dengan pernyataan yang
sama, ia mencerca bangsanya yang “sangat terbelakang” jauh di bawah bangsa
Jepang dalam masalah westernisasi ini.
“Apakah
lebih baik kita menganut agama dan filsafat bangsa Cina yang terbukti mampu
melakukan westernisasi secara cepat? Orang-orang Mesir yang merendahkan
peradaban Barat adalah orang-orang yang tidak ingin meraih keberhasilan seperti
orang-orang Cina atau Hindu itu.”[6]
Mengapa
Dr. Taha Hussain mendorong bangsanya untuk menentukan pilihan antara dua
alternatif tersebut? Mengapa bangsa Mesir harus berusaha meniru orang-orang
Inggris atau –jika tidak– orang Cina? Mengapa mereka tidak merasa bangga
sebagai kaum Muslim? Secara sengaja dan terang-terangan, Taha Hussain
menganggap remeh kedudukan Islam sebagai suatu peradaban yang independen dan
besar di hadapan para pembaca buku-bukunya.
“Pernyataan
Khadif Ismail bahwa Mesir adalah bagian dari Eropa tidak perlu dipandang
sebagai pernyataan yang sombong dan berlebihan . . . Tuhan telah melindungi
bangsa kita dari penjajahan bangsa Turki, maka kita harus tetap menjaga
hubungan dengan negara-negara Eropa dan turut serta dalam kebangkitan
renaissance. Langkah-langkah ini akan menghasilkan suatu peradaban yang khas
bagi bangsa Mesir, yang berbeda dengan peradaban yang tengah kita alami pada
saat ini . . . Namun demikian, Tuhan telah menganugerahkan berkah kepada kita
atas segala kesulitan dan kesengsaraan yang pernah kita alami. Dunia telah
berjuang selama ratusan tahun untuk mencapai kemajuan sebagaimana yang kita
rasakan saat ini, dan menjadi tugas kita untuk meraih itu semua dalam satu
generasi ini. Betapa celakanya kita bila tidak merebut kesempatan emas itu!
Bahkan sesungguhnya, bangsa-bangsa Eropa telah memakai metode yang terdapat di
dunia Islam pada masa Abad Pertengahan untuk meraih kemajuan hingga sejauh ini.
Mereka berbuat sebagaimana yang kita lakukan sekarang ini. Ini sekedar masalah
perbedaan waktu saja.”[7]
Ungkapan-ungkapan
bernada apologetik, seperti pernyataan Taha Hussain di atas, merupakan gaya
pengungkapan yang populer pada saat sekarang ini; yaitu bahwa bangsa Eropa
telah mengalami kebangkitan ilmu pengetahuan setelah mengadopsi metode yang
dibawa bangsa Arab (baca: Islam), sedangkan proses westernisasi yang dilakukan
kaum Muslim sekadar merupakan upaya mewarisi semangat kebangkitan tersebut.[8] Atas dasar ungkapan yang
sederhana tersebut, banyak kaum Muslim terpelajar yang meninggalkan akidahnya.
Dr. Taha Hussain mengabaikan fakta sejarah bahwa pengambilan nilai-nilai yang
terdapat di dunia Islam oleh orang-orang Eropa tidak pernah membuat mereka
mengubah peradabannya menjadi peradaban Islam. Sekalipun bangsa Eropa di abad
pertengahan menerima kemajuan yang dihasilkan para cendekiawan dan filsuf Islam
dengan penuh semangat, namun mereka tidak pernah mengorbankan independensi
budayanya, sebagaimana yang diserukan Dr. Taha Hussain kepada bangsanya.
“Tidak
ada satu pun kekuatan di dunia ini yang dapat mencegah bangsa Mesir dalam
menikmati kehidupan persis seperti bangsa Eropa. Untuk dapat menjadi mitra
sejajar dalam peradaban dengan orang-orang Eropa, kita bangsa Mesir harus
meniru peradaban mereka sebagaimana adanya dan secara menyeluruh; dalam setiap
aspek kehidupan, baik dalam aspek yang disukai maupun tidak. Siapa pun yang
menyerukan langkah yang berlainan dengan cara ini, maka ia termasuk orang yang
menyesatkan atau orang yang tersesat.”[9]
Tidak
lama sebelum Raja Farouk dilengserkan pada tahun 1952, Dr. Taha Hussain
menjabat sebagai Menteri Pendidikan. Pada masa jabatannya itu, ia berupaya
keras mengimplementasikan program-programnya.
“Pengawasan
negara terhadap pendidikan tingkat pertama dan kedua di Universitas al-Azhar
merupakan sesuatu yang sangat penting bagi sejarah Mesir, karena tradisi dan
kewajiban agama yang dipegang teguh di lembaga pendidikan yang terkemuka ini
telah menjadi benteng konservatisme dan praktik-praktik keagamaan yang kolot.
Para mahasiswa yang mendapatkan pendidikan eksklusif al-Azhar akan terisolasi
dari peradaban dunia modern yang melingkupinya. Sebagai konsekuensinya,
penyesuaian yang dilakukan setelah kelulusan agar ia mampu terjun menghadapi
kompleksitas kehidupan dunia modern akan jauh lebih sulit dilakukan ketimbang
pada saat ia masih muda. Kita juga harus memikirkan betapa pola pemikiran
al-Azhar yang telah kadaluarsa boleh jadi membuat para mahasiswa sulit memahami
konsep patriotisme dan nasionalisme dalam pemikiran modern bangsa-bangsa Eropa.
Beberapa waktu yang lalu, Rektor Universitas al-Azhar menyampaikan pidato di
radio ketika memperingati suatu hari besar Islam, dimana ia menyatakan bahwa
kiblat di Tanah Suci Makkah merupakan poros nasionalisme Islam. Para mahasiswa
di al-Azhar juga harus belajar dan diajari sejak awal, bahwa batas-batas
geografis tanah tumpah darah mereka Mesir juga menjadi poros nasionalisme yang
tidak bertentangan dengan poros nasionalisme sebagaimana yang disampaikan oleh
Rektor. Konsep nasionalisme masuk ke Mesir bersama-sama dengan produk-produk
peradaban kontemporer lainnya, dan sekarang menjadi dasar hubungan antar warga
negara dan warga dunia. Oleh karena itu, al-Azhar mesti memahami realitas ini
dan merevisi program pendidikannya, terutama untuk tingkat pertama dan kedua.
Tidak ada alasan bagi Universitas al-Azhar untuk menentang peradaban abad kedua
puluh ini. Al-Azhar tidak boleh terjebak dengan kenyataan bahwa masyarakat
banyak –yang masih bermental abad pertengahan– sampai saat ini masih
menghormati dan membenarkan pemikiran-pemikiran al-Azhar. Generasi-generasi
yang akan datang dapat dipastikan akan menganut pemikiran-pemikiran Eropa, dan
al-Azhar mau tidak mau harus mengikuti alur yang sama bila ingin mempertahankan
hubungan yang erat antara mereka dengan para pendahulunya.”[10]
Presiden
Jamal Abdul Nasser mengikuti saran-saran Dr. Taha Hussain dengan sepenuh hati,
sampai pada tanggal 18 Juli 1961 ia mengeluarkan keputusan untuk menempatkan
Universitas al-Azhar langsung di bawah kendalinya. Dalam rangka mengaplikasikan
program yang disarankan Taha Hussain, Presiden Jamal Abdul Nasser menetapkan
sekularisasi Universitas al-Azhar dengan mendirikan fakultas kedokteran, adminstrasi
bisnis, pertanian, dan teknik. Sesuai dengan ketentuan baru tersebut, Jurusan
Studi Islam seakan terasing dan terpinggirkan, serta tidak lagi menjadi
prasyarat penting bagi kelulusan para mahasiswa. Demikianlah, dengan satu kali
pukulan Presiden Nasser –atas inspirasi dari Dr. Taha Hussaian– menghancurkan
salah satu lembaga pendidikan Islam yang paling penting di dunia.
Dinukil
dari buku Traitors Of Islam karangan Maryam Jameelah
[1] Dinukil dari Egypt in
Search of a Political Community, Nadav Safram, Harvard University Press,
Cambridge, 1961
[2] Egypt in Search of a
Political Community, op. cit. hal. 155
[3] The Future of Culture in
Egypt, Taha Hussain, American Council of Learned Societies, Washington,
D.C., 1954
[4] op. cit. hal. 7-8
[5] op. cit. hal. 11-12
[6] op. cit. hal. 22
[7] op. cit. hal. 9 & 13
[8] Bahkan seorang filsuf yang
brilian sekaligus penyair terkemuka Allama Muhammad Iqbal terjebak dalam gaya
pengungkapan yang apologetik ini ketika menulis buku “The Reconstruction of
Religious Thought ini Islam” (Rekonstruksi Pemikiran Islam), Syaikh
Muhammad Ashraf, Lahore, 1960, hal. 7
[9] op. cit. hal. 15
[10] op. cit. hal. 27 & 136
(Pz/Islampos)
No comments:
Post a Comment