Kebanyakan orang kaya lebih susah
bahagia ketimbang orang miskin. Pendapat saya ini boleh salah boleh juga benar.
Kenyataanya banyak orang kaya sering merasa was-was atau kurang nyaman dengan
kekayaannya. Itu dibuktikan dengan adanya tembok-tembok yang tinggi menjulang
mengelilingi rumahnya. Sehingga mereka susah bersosialisasi dengan para
tetangga. Ketika keluar rumah juga merasa tidak nyaman karena khawatir bila di
tengah jalan nanti terjadi perampokan.
Ketika memarkir mobilnya pun juga sering
was-was, apalagi bagi mereka yang punya mobil
mewah dengan harga ratusan juga bahkan miliaran. Dan rata-rata orang kaya
selalu curiga dengan orang-orang yang dia temui, ini karena untuk menjaga diri
dari penipuan.
Pokoknya menjadi orang kaya raya itu
lebih banyak memikirkan cara mengamankan aset kekayaannya dari pada menikmati
kebahagiaan. Kekayaan ternyata sering menjadi penjara bagi pemiliknya. Sekarang
coba bandingkan dengan kehidupan orang miskin, rata-rata mereka bisa bergaul
dengan para tetangganya dengan baik, tidak pernah khawatir rumahnya akan
dibobol maling, karena memang merasa ga punya sesuatu yang berharga di
rumahnya. Kemana-mana tak perlu ada pengawalan, pokoknya merasa nyaman saja.
”uang tak bisa membeli kebahagiaan” dan
hal itu benar. Sebuah survei di Australia katanya, menunjukkan, kaum kelas
menengah di Sydney masuk kategori warga yang paling menderita di Australia.
Sebaliknya, tingkat kebahagiaan warga yang hidup di beberapa daerah pemukiman
paling miskin malah lebih tinggi.
”Pengaruh uang pada kebahagiaan
nyatanya hanya terasa pada golongan yang luar biasa kaya,” kata Liz Eckerman,
peneliti dari Universitas Deakin, seperti dikutip kantor berita AFP, Senin
(13/2).
”Uang tak bisa membeli kebahagiaan.
Ini jelas terbukti dalam jajak pendapat yang kami lakukan pada 23.000 warga
yang sudah kami wawancarai,” kata Eckerman kepada Radio Australia, ABC.
Temuan-temuan yang disusun sejak
tahun 2001 menunjukkan bahwa di Australia, negara dimana tak ada kesenjangan
kemakmuran yang ekstrem, mereka yang hidup paling bahagia ada di lapisan bawah.
Mereka yang happy juga lebih banyak berada dalam kategori usia 55 tahun atau
lebih, lebih banyak di antara kaum perempuan, dan kebanyakan pula ada di antara
mereka yang menikah alias yang tak men-jomblo.
Survei ditujukan untuk mengungkap
kepuasan seseorang terkait dengan berbagai hal, seperti standar hidup,
kesehatan, pencapaian dalam hidup, dan keamanan. Di antara 150 daerah sasaran
survei, salah satu daerah termiskin di Australia, yakni Wide Bay di pedalaman
Queensland, penduduknya ternyata termasuk yang paling bahagia di negeri
kangguru itu.
Terus kata Andrias, ia idak tahu
seberapa banyak uang yang harus dimiliki seseorang untuk bisa masuk dalam
kategori kelas menengah di Sydney. Juga tidak terlalu jelas baginya berapa
jumlah uang yang dimiliki oleh rata-rata penduduk Wide bay di pedalaman
Queensland, sehingga mereka disebut daerah termiskin di negara tersebut. Lalu,
berapa pula harta yang dimiliki seseorang agar bisa disebut Eckerman sebagai
”luar biasa kaya”? Tapi semua tidak menjamin seseorang untuk bahagia.
Menarik sekali data yang dikutip
Andrias tersebut. Bahwa kebahagian tidaklah semata-mata hanya dimiliki orang
kaya saja, bahkan bukan tidak mungkin jika dilakukan survei di Medan khususnya
dan Sumatera Utara umumnya mana yang lebih bahagia orang yang tingkat
pendapatannya di atas Rp. 1 juta lebih bahagia dari mereka yang punya
pendapatan lebih kecil dari itu? Jawaban yang didapatkan bukan tidak mungkin
mungkin lebih bahagia orang yang pendapatannya lebih di bawah Rp. 1 juta.
Kenapa? Karena ukuran kebahagian bukan dilihat dari harta seseorang, tetapi
ukuran kebahagian berada di dalam hati. Besar pun rumahnya, tetapi hatinya
‘sempit’ maka hidupnya akan terasa susah saja, tetapi walaupun rumahnya kecil
hanya dengan ukuran 4 x 3 meter tetapi hatinya lapang ikhlas menerima apa yang
diberikan Allah, maka rumah yang sempit itu akan terasa lapang.
Sering kita mendengar para selebritis
(orang-orang yang terkenal) hidupnya tidak bahagia. Bahkan tidak jarang di
antara mereka ‘menceburkan’ sebagai pengguna barang-barang laknat. Karena
mereka tidak mendapatkan kebahagian yang hakiki. Bagi mereka kebahagian yang
mereka dapatkan hanya semu. Sehingga mereka harus ‘melacurkan’ diri menggunakan
narkoba. Nau’uzubillahi min zhalik.
Seandainya ada kesempatan saya untuk
memewancarai para tokoh-tokoh terkenal, yang bergelimang harta dan kedudukan,
maka pertanyaan yang saya ajukan adalah apakah Anda bahagia?
Mungkin jawaban yang mereka lontarkan
ada yang menjawab bahagia ada juga yang menjawab dengan jujur bahwa
sesungguhnya mereka tidak bahagia. Jadi bukan otomatis orang yang diberi banyak
harta, diberi kedudukan tinggi hidupnya bahagia, sementara orang yang tidak
diberi kedudukan apa-apa atau hanya mempunyai harta sedikit tidak bahagia.
Beberapa tayangan reality show sering
memunculkan kehidupan masyarakat kaum pinggiran. Ada sesuatu yang membuat kita
harus mengucap subhanallah. Mereka yang hidup digaris kemiskinan tersebut
rupanya memiliki makna hidup yang sebenarnya. Mereka tidak mengeluh dengan apa
yang mereka dapatkan, walaupun mereka harus banting tulang dan bekerja mulai
dari pagi hingga malam. Bagi mereka uang Rp. 5000 sangat berharga untuk
‘menyambung hidup’ mereka. Tetapi mereka bersyukur dengan rejeki yang mereka
dapatkan.
Terus terang saya sering menitikkan
air mata, ketika tayangan reality show ini saya tonton. Ada sebuah kekuatan
yang mencoba menyadarkan kita betapa sayangnya Allah kepada makhluknya. Namun
banyak diantara kita yang lalai.
Masyarakat kaum pinggiran tersebut
tidak mengeluh bahkan ketika mereka ditanya perasaannya mereka merasa sangat
bahagia dengan kehidupan yang mereka jalani.
Sementara kita, yang diberi rejeki
lebih banyak dari mereka, apakah mereka merasa bersyukur atau bahagia? Hanya
Anda dan saya saja yang tahu jawabannya.
Oleh karena itu, kebahagian tidak
bisa dibeli dengan uang atau emas, karena kebahagian datang dari lubuk hati
yang bersih dan lapang. Jadi jika Anda mau bahagia bukan harus punya harta yang
banyak baru Anda bahagia, atau Anda harus hidup miskin baru bahagia. Kebahagian
akan datang jika hati ini benar-benar ‘lapang’ menerima apa yang diberikan
Allah, tidak mengeluh dan tidak mencoba membanding-bandingkannya dengan orang
lain. .
Kebanyakan orang kaya lebih susah
bahagia ketimbang orang miskin. Pendapat saya ini boleh salah boleh juga benar.
Kenyataanya banyak orang kaya sering merasa was-was atau kurang nyaman dengan
kekayaannya. Itu dibuktikan dengan adanya tembok-tembok yang tinggi menjulang
mengelilingi rumahnya. Sehingga mereka susah bersosialisasi dengan para
tetangga. Ketika keluar rumah juga merasa tidak nyaman karena khawatir bila di
tengah jalan nanti terjadi perampokan. Ketika memarkir mobilnya pun juga sering
was-was, apalagi bagi mereka yang punya mobil
mewah dengan harga ratusan juga bahkan miliaran. Dan rata-rata orang kaya
selalu curiga dengan orang-orang yang dia temui, ini karena untuk menjaga diri
dari penipuan.
Pokoknya menjadi orang kaya raya itu
lebih banyak memikirkan cara mengamankan aset kekayaannya dari pada menikmati
kebahagiaan. Kekayaan ternyata sering menjadi penjara bagi pemiliknya. Sekarang
coba bandingkan dengan kehidupan orang miskin, rata-rata mereka bisa bergaul
dengan para tetangganya dengan baik, tidak pernah khawatir rumahnya akan
dibobol maling, karena memang merasa ga punya sesuatu yang berharga di
rumahnya. Kemana-mana tak perlu ada pengawalan, pokoknya merasa nyaman saja.
”uang tak bisa membeli kebahagiaan” dan
hal itu benar. Sebuah survei di Australia katanya, menunjukkan, kaum kelas
menengah di Sydney masuk kategori warga yang paling menderita di Australia.
Sebaliknya, tingkat kebahagiaan warga yang hidup di beberapa daerah pemukiman
paling miskin malah lebih tinggi.
”Pengaruh uang pada kebahagiaan
nyatanya hanya terasa pada golongan yang luar biasa kaya,” kata Liz Eckerman,
peneliti dari Universitas Deakin, seperti dikutip kantor berita AFP, Senin
(13/2).
”Uang tak bisa membeli kebahagiaan.
Ini jelas terbukti dalam jajak pendapat yang kami lakukan pada 23.000 warga
yang sudah kami wawancarai,” kata Eckerman kepada Radio Australia, ABC.
Temuan-temuan yang disusun sejak
tahun 2001 menunjukkan bahwa di Australia, negara dimana tak ada kesenjangan
kemakmuran yang ekstrem, mereka yang hidup paling bahagia ada di lapisan bawah.
Mereka yang happy juga lebih banyak berada dalam kategori usia 55 tahun atau
lebih, lebih banyak di antara kaum perempuan, dan kebanyakan pula ada di antara
mereka yang menikah alias yang tak men-jomblo.
Survei ditujukan untuk mengungkap
kepuasan seseorang terkait dengan berbagai hal, seperti standar hidup,
kesehatan, pencapaian dalam hidup, dan keamanan. Di antara 150 daerah sasaran
survei, salah satu daerah termiskin di Australia, yakni Wide Bay di pedalaman
Queensland, penduduknya ternyata termasuk yang paling bahagia di negeri
kangguru itu.
Terus kata Andrias, ia idak tahu
seberapa banyak uang yang harus dimiliki seseorang untuk bisa masuk dalam
kategori kelas menengah di Sydney. Juga tidak terlalu jelas baginya berapa
jumlah uang yang dimiliki oleh rata-rata penduduk Wide bay di pedalaman
Queensland, sehingga mereka disebut daerah termiskin di negara tersebut. Lalu,
berapa pula harta yang dimiliki seseorang agar bisa disebut Eckerman sebagai
”luar biasa kaya”? Tapi semua tidak menjamin seseorang untuk bahagia.
Menarik sekali data yang dikutip
Andrias tersebut. Bahwa kebahagian tidaklah semata-mata hanya dimiliki orang
kaya saja, bahkan bukan tidak mungkin jika dilakukan survei di Medan khususnya
dan Sumatera Utara umumnya mana yang lebih bahagia orang yang tingkat
pendapatannya di atas Rp. 1 juta lebih bahagia dari mereka yang punya
pendapatan lebih kecil dari itu? Jawaban yang didapatkan bukan tidak mungkin
mungkin lebih bahagia orang yang pendapatannya lebih di bawah Rp. 1 juta.
Kenapa? Karena ukuran kebahagian bukan dilihat dari harta seseorang, tetapi
ukuran kebahagian berada di dalam hati. Besar pun rumahnya, tetapi hatinya
‘sempit’ maka hidupnya akan terasa susah saja, tetapi walaupun rumahnya kecil
hanya dengan ukuran 4 x 3 meter tetapi hatinya lapang ikhlas menerima apa yang
diberikan Allah, maka rumah yang sempit itu akan terasa lapang.
Sering kita mendengar para selebritis
(orang-orang yang terkenal) hidupnya tidak bahagia. Bahkan tidak jarang di
antara mereka ‘menceburkan’ sebagai pengguna barang-barang laknat. Karena
mereka tidak mendapatkan kebahagian yang hakiki. Bagi mereka kebahagian yang
mereka dapatkan hanya semu. Sehingga mereka harus ‘melacurkan’ diri menggunakan
narkoba. Nau’uzubillahi min zhalik.
Seandainya ada kesempatan saya untuk
memewancarai para tokoh-tokoh terkenal, yang bergelimang harta dan kedudukan,
maka pertanyaan yang saya ajukan adalah apakah Anda bahagia?
Mungkin jawaban yang mereka lontarkan
ada yang menjawab bahagia ada juga yang menjawab dengan jujur bahwa
sesungguhnya mereka tidak bahagia. Jadi bukan otomatis orang yang diberi banyak
harta, diberi kedudukan tinggi hidupnya bahagia, sementara orang yang tidak
diberi kedudukan apa-apa atau hanya mempunyai harta sedikit tidak bahagia.
Beberapa tayangan reality show sering
memunculkan kehidupan masyarakat kaum pinggiran. Ada sesuatu yang membuat kita
harus mengucap subhanallah. Mereka yang hidup digaris kemiskinan tersebut
rupanya memiliki makna hidup yang sebenarnya. Mereka tidak mengeluh dengan apa
yang mereka dapatkan, walaupun mereka harus banting tulang dan bekerja mulai
dari pagi hingga malam. Bagi mereka uang Rp. 5000 sangat berharga untuk
‘menyambung hidup’ mereka. Tetapi mereka bersyukur dengan rejeki yang mereka
dapatkan.
Terus terang saya sering menitikkan
air mata, ketika tayangan reality show ini saya tonton. Ada sebuah kekuatan
yang mencoba menyadarkan kita betapa sayangnya Allah kepada makhluknya. Namun
banyak diantara kita yang lalai.
Masyarakat kaum pinggiran tersebut
tidak mengeluh bahkan ketika mereka ditanya perasaannya mereka merasa sangat
bahagia dengan kehidupan yang mereka jalani.
Sementara kita, yang diberi rejeki
lebih banyak dari mereka, apakah mereka merasa bersyukur atau bahagia? Hanya
Anda dan saya saja yang tahu jawabannya.
Oleh karena itu, kebahagian tidak
bisa dibeli dengan uang atau emas, karena kebahagian datang dari lubuk hati
yang bersih dan lapang. Jadi jika Anda mau bahagia bukan harus punya harta yang
banyak baru Anda bahagia, atau Anda harus hidup miskin baru bahagia. Kebahagian
akan datang jika hati ini benar-benar ‘lapang’ menerima apa yang diberikan
Allah, tidak mengeluh dan tidak mencoba membanding-bandingkannya dengan orang
lain. .
BAHAGIA DI GUBUK DERITA
OLEH : Drs.Muhammad Rakib
Jamari,S.H.,M.Ag
Muballigh IKMI dan Ustadz LPMP
Riau Indonesia
اََللهُ اَكْبَرُ، اََللهُ اَكْبَرُ، اََللهُ اَكْبَرُ، لاَاِلهَ اِلاَّ اللهُ
اََللهُ اَكْبَرُ، اََللهُ اَكْبَرُ وَِللهِ اْلحَمْدُ . اََللهُ
اَكْبَرُ،كَبِيْرًا وَالحمْدُ ِللهَ كَثِيِْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً
وَاَصِيْلاً ، لاَاِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَ وَنَصَرَ عَبْدَهُ
وَاَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ اْلاَحُزَابَ وَحْدَهُ، لاَاِلهَ اِلاَّ اللهُ وَلاَ
نَعْبُدُ اِلاَّ اِ يَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ،
وَلَوْكَرِهَ الْكَفِرُوْنَ، وَلَوْكَرِهَ الُمُشْرِقُوْنَ، وَلَوْكَرِهَ
الْمُنَافِقُوْنَ. لاَاِلهَ اِلاَّ اللهُ وَاََللهُ اَكْبَرُ، اََللهُ اَكْبَرُ
وَِللهِ اْلحَمْدُ. اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِى ......... اَمَّابعْدُ
فَيَا اَيُّهَا انَّاسُ اتَّقُواللهَ حقَّ تُقاتهِ ولاَتَمُوْتُنَّ
اِلاَّوَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.
Hadirin Wal hadirat Rahimakumullah.
Mengawali khutbah id pagi ini,
marilah kita mengucapkan Allahu
akbar wa lilillahil hamd, syukur kepada Allah SWT, Tuhan sang
maha Pencipta, pengatur serta pemelihara alam semesta, dia yang menghidupkan,
dan dia pula-lah yang mematikan, dariNya kita diciptakan dan kepadaNya jualah
kita kembali.
Shalawat dan Taslim kita haturkan
keharibaan Nabi Besar Muhammad SAW, perintis ajaran kebenaran serta pencetus
ajaran Tauhid, Nabi yang telah mencerahkan peradaban dari akhlak yang biadab
menuju Akhlak yang beradab dengan cahaya Addinul Islam.
Insya Allah judul khutbah kita pada
kesempatan ini adalah “Makna idul fitri dalam membangun
kesadaran dan kebersamaan”
Allahu Akbar Walillahil Hamd.
Semoga kemenangan itu selalu
membawa kepada keadaan yang lebih baik dalam menanam kebaikan, di tahun-tahun
mendatang.
Allahu Akbar Wa Lillahil Hamd.
Di samping kegembiraan itu, sepantasnya kita selalu mawas diri. Selalu
berhati-hati, terhadap yang disebut Rasulullah SAW, …berapa
banyaknya orang yang berpuasa, tetapi tidak ada yang mereka peroleh, kecuali
hanya lapar dan haus semata … Na’udzubillah. Mudah-mudahan kita terhindar dari apa yang telah
di-gambarkan oleh Rasulullah SAW ini.
Allahu Akbar, Wa Lillahil-Hamd.
Saudara-saudaraku Kaum Muslimin,
Menjelang melangkah ke tempat ini, adakah di antara
kiata yang melewati gubuk derita? Adakah
suara tangisan si miskin di sana? Dengarkan ratapan simiskin, kalau memang anda
orang yang bertaqwa. Taqwa adalah titik
terang yang paling didambakan setiap Mukmin Sejati. Taqwa mencakup tiga
perangai, tiga sikap jiwa yang paling berguna dalam hidup duniawi, sekarang dan
masa mendatang. Ketiga sikap jiwa itu ialah, khauf, artinya takut atas hukuman
Allah yang datang karena sengaja melupakan perintah-perintah Nya, dan
tidak menganggap enteng segala larangan-larangan Nya.
Kedua, khasy-yah, hati-hati dalam menunaikan kewajiban
yang dibebankan kepadanya. Tidak semata mengikut yang dikerjakan orang
lain, tetapi melakukan sesuatu yang lebih baik yang diperintahkan Khalik
kepadanya.
Ketiga wiqaayah yaitu senantiasa memelihara diri dan
lingkungan dari segala yang akan berakibat merusak (fasad) terhadap
kehidupan duniawi dan ukhrawi.Inilah sesungguhnya arti utama dari taqwa
itu.
Jika ketiga sikap jiwa ini telah berhasil diraih dalam
latihan selama Ramadhan, niscaya akan dapat dirasakan betapa manis dan
nikmatnya hidup ini. Secara pasti akan dapat diperoleh jaminan Allah SWT
Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia
akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang
tiada disangka-sangkanya. (QS.65, At Thalaq : 2 – 3).
Setiap anggota masyarakat yang selau berhati-hati bertindak, memelihara
jiwa dan raga karena takut terhadap ‘iqab (siksaan) Allah, akan selalu
memelihara lingkungan dengan aturan Allah yang telah ditetapkan.
No comments:
Post a Comment