Dara Jingga adalah nama asli Bundo Kanduang. (Pekawinan adalah solusi)
BY M.RAKIB
LPMP RIAU INDONESIA.2014
Setelah adu kerbau Jawa dan Sumatera
Barat, mengalami kendala, memicu konflik karena keicikan anak kerbau, maka perkawinan adalah solusinya. Mirip dengan
Kerajaan Al-Kadri di Kalimantan Barat, juga menjadikan perkawinan sebagai
solusinya. Syarif Abdurrahman Al-Qadrie, yang berumur 18 tahun, dikawinkan
dengan Utin Candramidi, puteri Opu Daeng Manambon dengan Puteri Kusumba. Perkawinan ini
tidak saja memperkuat kedudukan Habib Hussein yang diperlukan oleh rakyat dan
Kerajaan Mempawah. Itu juga mempererat hubungan tiga kerajaan yaitu Matan,
Mempawah dan Luwuk di Sulawesi Selatan...
Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas
Dara Jingga adalah nama
salah seorang putri Kerajaan Melayu
yang dijodohkan dengan Raja Jawa dalam Ekspedisi Pamalayu
tahun 1275 – 1293.
Asal Usul
Dara Jingga adalah putri
dari Srimat
Tribhuwanaraja Mauliawarmadewa, raja Kerajaan Dharmasraya
dan juga merupakan kakak kandung dari Dara Petak. Dara Jingga memiliki sebutan sira
alaki dewa — dia yang dinikahi orang yang bergelar dewa — dinikahi oleh Adwaya Brahman, pemimpin Ekspedisi Pamalayu.
Namun ada
beberapa pendapat mengatakan bahwa Dara Jingga juga diambil sebagai istri oleh Raden Wijaya selain adiknya Dara Petak. Hal ini
mungkin terjadi mengingat sebelumnya Raden Wijaya juga telah mengambil ke empat
putri Kertanagara sebagai istrinya.
Sedangkan dalam
perjalanan kembali dari Ekspedisi Pamalayu, dipimpin oleh Mahesa Anabrang, juga membawa serta dua orang
putri dari Kerajaan Melayu, untuk dijodohkan dengan Kertanegara, raja Singhasari.
Namun dikarenakan kerajaan Singhasari telah runtuh oleh gempuran Pasukan Khubilai Khan dari kerajaan Tiongkok pada zaman Dinasti Yuan, kedua putri ini atau hanya (Dara
Petak) dikawini oleh Raden Wijaya, dimana Dara Petak dijadikan permaisuri raja
Majapahit dengan gelar Indraswari.
Selanjutnya
setelah beberapa lama di Majapahit, akhirnya Dara Jingga memutuskan kembali ke Dharmasraya. Dara Jingga juga dikenal sebagai Bundo Kanduang dalam Hikayat/Tambo
Minangkabau.
Dari
pernikahannya, Dara Jingga memiliki putra, dengan nama beberapa versi:
Dara Jingga yang lain
Seorang wanita
lain yang juga bernama Dara Jingga mempunyai seorang putera bernama Arya Dhamar (Raja di Palembang). Menurut Babad Arya Tabanan,
putra Dara Jingga yang lain antara lain:
- Arya Kenceng (Raja Tabanan,Bali)
- Arya Kutawandira
- Arya Sentong
- Arya Belog
Mengenai nama
putra Dara Jingga selain Arya Damar atau Adityawarman, masih dipertentangkan menurut
sumber-sumber yang lain.
Merekalah yang
bersama-sama Gajah Mada, berperang
untuk menaklukkan Bali (Bedahulu) pada sekitar tahun 1340. Empat
Putra yang terakhir menetap dan mempunyai keturunan di Bali.
Arya kenceng kemudian menurunkan raja-raja Tabanan dan Badung (wilayahnya kira-kira meliputi Kabupaten Badung dan
Kotamadya Denpasar) yang terkenal dengan perang puputan ketika menghadapi penjajah Belanda
pada tahun 1906.
Kepustakaan
- Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.
- Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
- Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
Dua tahun Habib Hussein berada di Kerajaan Mempawah,
puteranya, Syarif Abdurrahman Al-Qadrie, yang berumur 18 tahun, dikawinkan dengan
Utin Candramidi, puteri Opu Daeng Manambon dengan Puteri Kusumba. Perkawinan ini
tidak saja memperkuat kedudukan Habib Hussein yang diperlukan oleh rakyat dan
Kerajaan Mempawah. Itu juga mempererat hubungan tiga kerajaan yaitu Matan,
Mempawah dan Luwuk di Sulawesi Selatan, karena Putri utin Cadramidi adalah
puteri Opu Daeng Menambon yang berasal dari Kerajaan Luwuk. Perkawinan ini juga
dianggap sebagai permulaan yang baik bagi dorongan politik terhadap kelanjutan
cita-cita Habib Hussein untuk menemukan pemukiman baru bagi keluarganya dan
bagi penyebaran Islam yang diharapkannya dapat direalisasikan oleh putera
tertuanya itu.
Setelah perkawinannya dengan Utin Candramidi,
Abdurrahman bergelar Pangeran Syarif Abdurrahman Al-Qadrie. Di dalam tubuh
Abdurrahman mengalir darah ayahnya (sebagai keturunan Arab, ia memanggil Habib
Hussein sebagai aba) sebagai pedagang, perantau, pelayar dan ulama penyebar
ajaran Islam, ia juga tidak menyimpang dari apa yang telah dilakukan ayahnya.
Abdurrahman muda tumbuh menjadi pedagang muda. Jiwa pedagang
dan semangat maritimnya semakin berkembang. Pada tahun 1759 Syarif
Abdurrahman mengadakan pelayaran ke beberapa tempat seperti ke Pulau Tambelan,
Siantan dan Negeri Siak, ketika ia berumur sekitar 20 tahun, dan pada tahun
1765 ke Kerajaan Palembang dan Banjarmasin, ketika ia berumur kurang dari
26 tahun. Di Palembang Sultan kerajaan ini -- yang telah mengenal baik ayah dan
mertuanya -- memberinya hadiah berupa sebuah perahu, 100 pikul timah dan uang
2.000 ringgit.
Pemberian ini merupakan modal awal yang mendorongnya menjadi
pedagang, pelayar dan pengelana labih jauh lagi. Setelah ia berada lagi di
Mempawah sekitar dua tahun, modal awal tersebut ditingkatkannya lagi berupa
penambahan sebuah perahu dan barang modal lainnya. Pada tahun 1767 Syarif
Abdurrahman Al-Qadrie meninggalkan Mempawah menuju Kerajaan Banjarmasin dan
Paser -- sekarang lebih dikenal dengan Kabupaten Paser dengan ibukotanya Tanah
Gerogot -- yang masing-masing terletak di kawasan selatan dan pantai timur Pulau
Kalimantan.
Kerajaan Banjarmasin adalah kota perdagangan yang
sudah lama maju dan lebih berkembang dibanding dengan kota dan kerajaan lainnya
di kawasan Kalimantan. Kota kerajaan ini telah menjadi pusat pengembangan Islam di kawasan
sekitarnya. Kerajaan Paser belum begitu berkembang, tetapi memiliki
potensi besar dalam hal penyediaan sumberdaya alam, termasuk perkebunan, dan
dinamika penduduknya dalam hal religiositas. Karena letak geografisnya tidak
begitu jauh dari Banjarmasin pada mana pengaruh sosial budaya kerajaan ini
sangat besar terhadap Kerajaan Paser, maka sampai sekarang Islam berkembang
pesat hampir di seluruh kawasan Paser, termasuk di kawasan pedalamannya, dan
budaya Banjar, termasuk bahasanya, berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat
di situ.
Abdurrahman memperdagangkan rempah-rempah, lada,
kain-kain sutera, lenen, dan hasil perkebunan lainnya di sana, dan ia juga
berkenalan dengan para pedagang Inggeris, Perancis, Portugis, Belanda dan Cina
yang sangat memerlukan barang-barang tersebut untuk dipertukarkan dengan
produksi negara mereka. Masyarakat Barat, menurut Wallerstein (1997),
memerlukan sumberdaya alam (SDA) dan kerajinan lainnya yang tidak mereka
miliki, dan mereka berkompetisi dalam memperolehnya untuk mempertahan status mereka
agar tidak terlempar menjadi masyarakat pinggiran (peripheral societies).
Kalau saja pemenuhan kebutuhan akan bahan-bahan hasil bumi tersebut
diselenggarakan melalui perdagangan yang adil (fair trade), tidak
melalui cara-cara kolonialistis dan imperialistis, maka sudah lama Dunia Timur
sama majunya dengan Dunia Barat.
Dari keuntungan yang diperolehnya dari perdagangan tersebut,
Syarif Abdurrahman dapat menambah armada perdagangannya berupa sebuah kapal
layar besar yang dinamainya Tiang Sambung dilengkapi dengan meriam gurnada,
lila dan pamuras (Rahman, 2000:52-53). Dengan armada, peralatan dan barang
modal yang semakin bertambah dari hari kehari, ia telah memenuhi keinginannya
baik untuk menjadi pedagang dan pelayar ulung, maupun untuk memenuhi
ambisinya membangun tempat pemukiman tetap yang strategis dalam segala hal yang
ia dan ayahnya telah lama dambakan untuk anak, cucu, para pengikut setianya dan
keturunan mereka. Dengan pemukiman itu mereka tidak hanya menjadi qadhi,
imam besar dan pemuka agama, tetapi menjadi pemimpim yang mengayomi umat
dan bagi kemaslahatan rakyat dan keturunan mereka.
Untuk memenuhi ambisinya tidak ada jalan lain ia harus
memiliki armada dan peralatan yang lengkap, serta didukung oleh awak kapal yang
cukup dari segi jumlah, kualitas dan kesetiaan, serta nakhoda yang memiliki
keahlian dan keberanian. Beruntung, ia telah memiliki sebagian besar dari
keperluan itu, dalam pelayarannya ia selalu bersama armada dan peralatan yang
relatif lengkap serta didampingi oleh sejumlah awak dan Nakhoda yang bernama
Daud yang setia (Rahman, 2000:52-53).
Setahun berada di Banjarmasin, pada tahun 1768 Abdurrahman
Al-Qadrie mengawini puteri Raja Banjar bernama Syarifah Anum atau Ratu
Syahranum dan memperoleh gelar Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Alam. Perkawinan
ini, selain merupakan sekedar keinginan pribadi yaitu untuk mengembangkan tali
kekeluargaan antara keluarga kerajaan Banjar dengan kerajaan Mempawah, juga
dianggap sebagai perkawinan politik untuk memperkuat aliansi paling tidak
antara tiga kerajaan di Kalimantan: Mempawah, Matan dan Banjar. Aliansi ini
berdampak positif bagi dukungan terhadap Abdurrahman dan armadanya untuk
menciptakan keamanan pelayaran dan perdagangan kapal-kapal dagang sipil
Inggeris, Perancis, Cina dan pedagang Islam lainnya dari perompak atau
bajak laut yang mengganggu keamanan kawasan Selat Karimata, Selat Malaka dan
Selat Makassar. Perkawinan politik itu juga bermanfaat dalam mendukung
obsesinya untuk mendirikan pemukiman tetap dan mengusir dominasi Barat yang
ingin menguasai perdagangan di Nusantara
ini.
Kondisi penghancuran harga diri seperti
ini ternyata telah menambah kebencian dan pembangkangan terhadap Belanda baik
dari sebagian besar kerabat istana maupun dari tokoh/pemuka masyarakat, dan ini
telah pula membesarkan Kampung Luar dan kampung-kampung lain sebagai simbol
perlawanan terhadap Belanda.
Walaupun kesulitan dalam keuangan dan
dalam menghadapi Belanda, berkat dukungan dari kerabat kesultanan dan
rakyat, Sultan Usman mampu membangun kembali Mesjid Agung/Jami’ tahun 1821 yang
pernah dirintis oleh ayahdanya Sultan Abdurrahman, dan melanjutkan membangun
istana kesultanan beserta tiang bendera kesultanan pada 19 Januari 1845 yang
masih dapat ditemui sampai sekarang.
Cengkeraman kuku kolonialisme Belanda ke dalam setiap sendi
kehidupan kesultanan dan rakyat Pontianak ternyata merupakan
penghalang utama bagi obsesi Sultan Syarif Usman untuk membangun kesultanan
Islam yang berwibawa dan sejahtera di Nusantara pada umumnya dan di Kalimantan
pada khususnya. Alasan ini
merupakan salah satu pertimbangannya untuk mengundurkan diri 5 (lima) tahun
lebih awal dari seharusnya. Berdasarkan tata aturan kerajaan seorang raja baru
akan diganti setelah ia wafat, Syarif Usman wafat tahun 1860 tetapi ia telah
mengundurkan diri pada bulan April 1855. Lima tahun sisa waktu hidupnya
digunakannya bergabung dengan para “pembangkang” untuk melawan Belanda.
TULISAN SIAPA DI ATAS INI/ diambil dari guruku yang punya blog. Sayid Ibrahim al-Qadri. Pengutip adalah mahasiswa S3 UNRI Sospol, tahun 2004- 2006. Program doktor yang tertunda sampai hari ini. Dulunya ditangani oleh Drs. Ali Mandan dkk...di Gobah Pekanbaru Riau
No comments:
Post a Comment