SPIRITUALISASI DAN RELIGIUSISASI MATA PELAJARAN
MELALUI
KURIKULUM 2013
Tanpa religiusiasi sains, dikhwatirkan generasi
yang akan datang tidak lagi bertuhan, karena ilmu yang diajarkann di SMP SMA
adalah ilmu yang sekuler materialistis.(M.Rakib, LPMP Riau Indonesia)
GALILEO
GALILEI YANG MEMUNCULKAN LAGI TEORI HELIOSENTRI. BAHWA BUMI BERGERAK MENGITARI
MATAHARI. DAN INI BERTENTANGAN DENGAN APA YANG DISEBUTKN DI ANTARANYA DI DALAM
PERJANJIAN LAMA, KIDUNG
AGUNG PSALM 104:5,
“[THE LORD] SET THE EARTH ON ITS FOUNDATIONS; IT CAN NEVER BE MOVED.”
GALILEO
PUN DIJATUHI HUKUMAN YANG SAMA, HUKUMAN MATI. NAMUN, BERBEDA DENGAN COPERNICUS,
Menurut al-Attas, tantangan terbesar yang
dihadapi kaum Muslim adalah ilmu pengetahuan modern yang tidak netral telah
merasuk ke dalam praduga-praduga agama, budaya dan filosofis yang berasal dari
refleksi kesadaran dan pengalaman manusia Barat. Oleh karena itu islamisasi
sains dimulai dengan membongkar sumber kerusakan ilmu. Ilmu-ilmu modern harus
diperiksa ulang dengan teliti.
Itu sebabnya al-Attas mengartikan Islamisasi
sebagai, ”Pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis,
kultur-nasional (yang bertentangan dengan Islam) dan dari belenggu paham
sekular terhadap pemikiran dan bahasa. Juga pembebasan dari kontrol dorongan
fisiknya yang cenderung sekular dan tidak adil terhadap hakikat diri atau
jiwanya…Islamisasi adalah suatu proses menuju bentuk asalnya…”
Menurut Abdul Rahman,
secara etimologi sekularisme berasal dari kata saeculum (bahasa latin)
yang memiliki arti waktu tertentu atau tempat tertentu. Atau lebih tepatnya
menunjukkan kepada waktu sekarang dan di sini, dunia ini. Sehingga, sungguh
tepat jika saeculum disinonimkan dengan kata wordly dalam bahasa
inggrisnya. Maka sekularisme secara bahasa bisa diartikan sebagai faham yang
hanya melihat kepada kehidupan saat ini saja dan di dunia ini (keduniaan an
sich). Tanpa ada perhatian sama sekali kepada hal-hal yang bersifat
spiritual seperti adanya kehidupan setelah kematian yang notabene adalah inti
dari ajaran agama.
Oleh karena itu,
sekularisme secara terminologi sering didefinisikan sebagai sebuah konsep yang
memisahkan antara negara dan agama (state and religion). Yaitu, bahwa
negara merupakan lembaga yang mengurusi tatatanan hidup yang bersifat duniawi
dan tidak ada hubungannya dengan yang berbau akhirat, sedangkan agama adalah
lembaga yang hanya mengatur hubungan manusia dengan hal-hal yang bersifat
metafisis dan bersifat spiritual, seperti hubungan manusia dengan tuhan. Maka,
menurut para sekular, negara dan agama yang dianggap masing-masing mempunyai
kutub yang berbeda tidak bisa disatukan. Masing-masing haruslah berada pada
jalurnya sendiri-sendiri. Namun sebelum lebih jauh mengenal sekularisme secara
terminologi dan epistemologinya, ada hal penting yang harus diketahui dan
difahami terlebih dahulu sebagai “pintu masuk” untuk bisa menjawab pertanyaan
yang mendasar, mengapa sekularisme itu “terlahir” ke dunia ini. Pintu masuk
tersebut tiada lain adalah sejarah dan latar belakang lahirnya sekularisme.
Sejarah Sekularisme
Sejarah munculnya
sekularisme sebenarnya merupakan bentuk kekecewaan (mosi tidak percaya)
masyarakat Eropa kepada agama kristen saat itu (abad 15 an). Di mana kristen
beberapa abad lamanya menenggelamkan dunia barat ke dalam periode yang kita
kenal sebagai the dark age. Padahal pada saat yang sama peradaban Islam
saat itu sedang berada di puncak kejayaannya. Sehingga ketika perang salib
berakhir dengan kekalahan di pihak Eropa, walau mereka mengalami kerugian di
satu sisi, tetapi, sebenarnya mereka mendapatkan sesuatu yang berharga, yaitu
inspirasi pengetahuan. Karena justru setelah mereka “bergesekan” dengan umat
Islam di perang salib hal tersebut ternyata menjadi kawah candradimuka lahirnya
renaissance beberapa abad setelahnya di Eropa. Setelah mereka
menerjemahkan buku-buku filsafat yunani berbahasa arab dan karya-karya filosof
Islam lainnya ke dalam bahasa latin.
Pada saat Eropa
mengalami the dark age, kristen yang sudah melembaga (baca: Gereja) saat
itu menguasai semua ranah kehidupan masyarakat Eropa. Politik, ekonomi,
pendidikan dan semuanya tanpa terkecuali yang dikenal denga istilah ecclesiastical
jurisdiction (hukum Gereja). Semua hal yang berasal dari luar kitab suci
Injil dianggap salah. Filsafat yang notabene sebagai al-umm dari ilmu
pengetahuan dengan ruang lingkupnya yang sangat luas, mereka sempitkan dan
dikungkung hanya untuk menguatkan keyakinan mereka tentang ketuhanan yang
trinitas itu. Mereka menggunakan filsafat hanya sekedar untuk menjadikan
trinitas yang irasional menjadi kelihatan rasional. Dengan demikian secara
otomatis filsafat yang seharusnya menjadi induk semang dari seluruh ilmu
pengetahuan yang ada menjadi mandul dan tidak berfungsi.
Padahal sebenarnya
apa yang dilakukan kristen saat itu sudah bertentangan dengan falsafah kristen
itu sendiri. Di mana dalam falsafah kristen mengenal adanya dua kerajaan.
Kerajaan dunia dan kerajaan langit (baca: kerajaan tuhan). Manusia hidup di
dunia ini hanya sekedar menjalani hukuman atas dosa warisan nenek moyang
manusia, Adam.[3]
Sehingga kerajaan langit adalah satu-satunya tujuan manusia dengan cara
membebaskan diri dari segala dosa. Sampai akhirnya tuhan sendiri yang
turun/menurunkan anaknya dan mengorbankannya sebagai penebus dosa seluruh
manusia.[4]
Maka sesuai dengan sabda Yesus sendiri yang dikisahkan Injil, “Berikan kepada
kaisar apa yang menjadi haknya, dan berikan juga kepada tuhan apa yang menjadi
haknya”. Sabda ini secara gamblang menyatakan bahwa urusan kehidupan dunia
diatur oleh penguasa negara.
Tetapi pada tatanan
praktis selanjutnya teori “two swords” yang menjadi bagian dari falsafah
agama kristen itu dilanggar, dengan menjadikannya “one sword” (satu
kekuasaan saja, kekuasaan kristen, ecclesiastical jurisdiction). Dua
sisi ruh (spiritual) dan materi (keduniaan) yang dimiliki manusia yang mana ruh
dikuasai/diperintah oleh kekuasaan kristen (baca: Gereja) dan materi diatur
oleh kekuasaan raja/penguasa negara, dijadikan satu yaitu sisi ruh dan materi
manusia diatur oleh kekuasaan kristen saja. Padahal kristen itu sendiri adalah
ajaran ruhi an sich dan tidak memiliki ajaran materi (bagaimana mengatur
urusan manusia dalam sisi materinya seperti syari’ah di dalam Islam). Tentu hal
tersebut mengakibatkan “kekacauan” pada tatanan kehidupan manusia selanjutnya.
Bagaimana tidak, sisi manusia yang bersifat materi yang identik dengan
rasionalitas, immanent, profan harus diatur dan diperintah oleh kekuasaan yang
bersifat ruhi an sich yang identik dengan irasionalitas, permanent, sakral.
Yang pada akhirnya kekacauan falsafah inilah yang menenggelamkan masyarakat
Eropa ke dalam jurang the dark age berabad-abad lamanya.
Ilmu pengetahuan yang
menopang majunya sebuah peradaban malah dimusuhi. Ketika ada penemuan baru yang
dianggap bertentangan dengan isi injil dianggap sebagai sebuah pelanggaran yang
harus ditebus dengan nyawa. Sebagaimana yaang dialami Copernicus yang
menyatakan teori heliosentrisnya yang notabene bertentangan dengan injil yang
mengemukan teori geosentris.
Sesuai dengan teori
arus air, jika ia ditahan maka lama kelamaan akan menjadi tenaga yang begitu
dahsyat untuk mengahancurkan penahannya. Begitu juga yang terjadi di Eropa pada
abad 15 dengan apa yang disebut renaissance sebagai lambang dari pembebasan
masyarakat Eropa dari kungkungan kristen. Gerakan renaissance ini mulai
digerakkan di berbagai lini, seni, gerakan pembaruan keagamaan yang melahirkan
kristen protestan, humanisme dan penemuan sains. Yang selanjutnya diteruskan
dengan masa enlightenment pada abad ke-18 satu abad setelah lahirnya
aliran Filsafat Moderen pada abad ke-17.
Tirani Gereja
Kristen—sebagaimana yang
kita ketahui—merupakan agama yang cinta damai, welas asih dan agama cinta
kasih. Ini bisa dilihat dari perkataan Yesus yang memerintahkan murid-muridnya
untuk memberikan pipi kanan jika dipukul pipi yang kiri. Namun, pada
kenyataannya Gereja sebagai kristen yang melembaga justru menjadi tirani bagi
bangsa Eropa pada abad pertengahan, yang membuat Eropa terpuruk selama
berabad-abad dalam masa yang disebut the dark age. Maka timbulah
pertanyaan, apa sebenarnya yang membuat Gereja menjadi tirani di Eropa saat
itu.
Hal tersebut
sebenarnya kembali kepada masa-masa ketika kristen baru lahir atau semenjak
wafatnya Yesus di tiang salib—yang setelah tiga hari bangkit kembali, menurut
keyakinan mereka. Pada masa-masa awal lahirnya kristen, umat kristen harus terus
bersembunyi (baca: menyembunyikan iman mereka) dari pemerintahan Romawi.
Terutama para murid Yesus yang terus menyebarkan ajaran guru mereka dengan
sembunyi-sembunyi. Dan pada periode yang penuh tekanan inilah injil ditulis
dengan gaya bahasa mereka (baca: murid-murid Yesus, baik yang langsung ataupun
tidak) masing-masing. Sehingga bercampurlah di sana antara firman tuhan dan
persepsi mereka sendiri tentang ajaran Yesus.
Kristen terus
menyebar dengan cara seperti itu, di mana injil hanya dikuasai oleh para murid
Yesus saja dan terus turun temurun kepada murid-murid mereka. Sehingga akhirnya
injil hanya boleh dibaca oleh para pemuka agama kristen saja. Orang biasa tidak
diperbolehkan untuk langsung membaca injil dan memahaminya sendiri. Karena, di
samping bahasa asli injil itu sendiri yang tidak bisa dipahami oleh orang
biasa, ditambah lagi dengan kondisi saat itu yang masih di bawah tekanan
Romawi, sehingga para penyebar kristen harus berhati-hati dalam mengajarkan
ajaran Yesus tersebut.
Monopoli pemahaman
dan penafsiran injil itu oleh para pemuka kristen (rijâlu ad-dîn) terus berlaku
sampai akhirnya kristen mejadi agama resmi Romawi. Justru semenjak itu pula
kristen melembaga menjadi institusi Gereja. Monopoli kitab suci semakin
menjadi. Yang mana monopoli kitab suci tersebut berbuah kepada monopoli
keberagamaan kristen. Monopoli itu pula menjadikan umat kristen sangat
bergantung kepada institusi Gereja. Dan justru ketergantungan itu malah
menambah keangkuhan para pemuka kristen sehingga menjadi tirani di Eropa.
Kekuasaan Gereja saat
itu tidak hanya terbatas dalam bidang agama saja, lebih dari itu seluruh aspek
kehidupan dikuasai seluruhnya oleh Gereja.
v
Aspek
keagamaan
Dalam aspek
keagamaan, kristen setelah menjadi sebuah agama resmi yang formal (baca: melembaga)
melalui counsil Nicea pada tahun 325 M. Di mana secara resmi para pemuka
kristen—terutama Gereja barat—menobatkan Yesus sebagai tuhan anak. Dan siapa
saja yang melawan keputusan counsil tersebut akan mendapatkan hukuman yang
berat selain dicap sebagai seorang heretic. Melalui counsil-counsil yang
selanjutnya dilakukan secara rutin untuk membahas permasalahan akidah dan
syari’ah yang menurut mereka perlu disempurnakan itulah, Gereja memonopoli
keagamaan umat kristen. Melalui counsil-counsil itu pula Gereja dengan mudah
mengharamkan dan menghalalkan sesuatu. Contohnya saja tentang wajibnya khitan
dirubah menjadi haram, daging babi dan bangkai yang asalnya haram berubah
menjadi halal, menyembah patung yang asalnya syirik menjadi pengungkapan rasa
ketakwaan kepada tuhan dan lain sebagainya.
Ajaran Yesus (baca:
Nabi Isa) yang asalnya berasakan tauhid berubah 180 derajat menjadi ajaran yang
tidak ada bedanya dengan agama Romawi kuno, paganisme.
Seseorang tidak akan
bisa berkomunikasi dengan tuhan kecuali melalui lembaga Gereja (para pendeta).
Itulah anggapan mereka sehingga membuat mereka dianggap sebagai orang-orang
yang suci dan tidak akan pernah salah. Anggapan itulah yang terus melahirkan
sikap angkuh dan tirani para pendeta dan penguasa Gereja, selain adanya
ketergantungan yang sangat dari umat kristen kepada lembaga Gereja dalam
menjalankan kegiatan keberagamaan mereka.
v
Aspek
politik
Ketika kehidupan
keagamaan masyarakat berhasil dikuasai, maka secara otomatis kekuasaan politik
pun dikuasai pula. Raja-raja Eropa tidak bisa dengan sembarangan memberikan
keputusan ataupun kebijakannya tanpa meminta pertimbangan Gereja. Saking
berkuasanya Gereja, seorang uskup mempunyai wewenang untuk menurunkan seorang
raja dari tahtanya. Atau minimalnya memboikot kekuasaan mereka, sehingga mereka
menjadi raja tanpa kekuasaan.
Father Nicola pertama
mengatakan, bahwa anak tuhan (Yesus) telah membangun Gereja dan menjadikan
Petrus (muridnya) sebagai kepala Gereja tersebut. Dan para uskup Roma telah
mewarisi kekuasaan tersebut terus menerus secara turun-temurun. Seorang uskup
adalah wakil Allah di muka bumi ini, oleh karena itulah ia harus mempunyai
kekuasaan yang mutlak atas para umat nashrani baik mereka itu sebagai raja atau
pun rakyat biasa.
Father Grigorie
ketujuh mengatakan, bahwa Gereja adalah undang-undang tuhan oleh karena itu
sudah menjadi hak dan kewajiban seorang father untuk mencopot kekuasaan seorang
raja yang tidak taat terhadap ajaran kristen, serta mengangkat seseorang
menjadi raja sesuai dengan tuntutan keadaan.
v
Aspek
ekonomi
Kristen adalah agama
yang banyak mengajarkan zuhud terhadap keduniaan. Namun anehnya para uskup
penguasa Gereja sungguh terbalik keadaannya dengan yang seharusnya. Ketika
mereka seolah mengharamkan bagi para pengikutnya untuk mencari harta duniawi,
tetapi justru mereka sendiri yang meraup harta sebanyak-banyaknya melalui denda
untuk menebus dosa. Di mana para pengikut kristen bisa terampuni dosanya jika
telah mendapatkan pengampunan dari pendeta dengan cara membayar denda berupa
uang.
Ada beberapa fenomena
yang menggambarkan tentang tirani Gereja dalam aspek ekonomi ini:
- Kepemilikan tanah dengan sistem feodalisme
Will Durant
mengatakan bahwa Gereja saat itu (midle age) merupakan tuan tanah
terbesar di Eropa. Misalnya saja Biarawan Velda yang memiliki 15000 istana
kecil, seorang saint Jul memiliki 2000 orang budak pekerja. Ada juga salah
seorang pemuka Gereja yang memiliki 20.000 orang budak. Para raja dan para
uskup saling membantu dalam menjaga kepemilikan dan kekuasaan mereka. Mereka
saling mengikat loyalitas satu sama lain. Demikianlah Gereja menjadi bagian
dari sistem feodalisme yang ada saat itu.
- Wakaf tanah
Gereja memiliki
sebagain tanah yang ada di daratan Eropa sebagai wakaf dengan dalih untuk
kebutuhan pembangunan Gereja dan dan mempersiapkan perang salib. Seorang
reformis kristen, Weiklaf mengatakan bahwa Gereja menguasai tanah-tanah di
Inggris dan memungut pajak-pajak/upeti-upeti dari tanah-tanah yang bukan milik
Gereja
- Sepersepuluh dari penghasilan atau panen
Wales mengatakan
bahwa Gereja selain memungut pajak juga memungut upeti sebesar sepersepuluh
dari penghasilan masyarakat. Upeti tersebut bukan hanya sekedar sedekah dari
para pengikut kristen tetapi juga merupakan hak Gereja yang menjadi kewajiban
atas mereka.
- Pajak tahun pertama
Selain wakaf, dan
upeti sepersepuluh dari pendapatan, Gereja juga memungut pajak baru yang
disebut pajak tahun pertama. Pajak ini pertama kali didakan oleh Father Hana
ke-22. dalih Gereja memungut pajak tersebut adalah untuk membiayai perang salib
dan perayaan-perayaan suci.
- Hadiah
Para pemuka Gereja
banyak menerima hadiah dari para tuan tanah dan orang-orang kaya. Mereka banyak
memberi harta kepada pihak Gereja dikarenakan takut Gereja tidak akan
memberikan ampunan ketika mereka akan mati.
- Kerja secara Cuma-Cuma
Ketamakan Gereja
tidak hanya sebatas memiliki ribuan budak pekerja saja, mereka pun ternyata
masih meminta masyarakat untuk bekerja secara Cuma-Cuma untuk Gereja. Di
antaranya untuk mengurusi ladang-ladang milik Gereja, terutama untuk membangun
Gereja, dan pekerjaan lainnya tanpa dibayar sepeser pun. Biasanya Gereja
mewajibkan satu hari dalam seminggu untuk masyarakat aga rbekerja untuk Gereja.
Pergumulan antara
Gereja dan sains
Ada dua hal
setidaknya yang dilakukan Gereja sehingga menghasilkan peperangan yang tidak
pernah berakhir antara Gereja dan sains. Pertama, Gereja telah banyak melakukan
penyimpangan terhadap wahyu yang sebenarnya pada kitab suci Injil. Kedua,
mereka memaksakan kehendak untuk berkecimpung dalam tatanan yang bukan
bidangnya.
Dari kesalahan
pertama yang mereka lakukan menghasilkan banyaknya khurafat dan takhayul yang
menghiasi ajaran agama kristen. Sehingga tidak bisa dibedakan lagi antara
ajaran yang berupa wahyu sesungguhnya dengan ajaran yang hanya khurafat dan
takhayul belaka.
Sedangkan dari
kesalahan kedua yang mereka perbuat adalah adanya monopoli kebenaran yang
mereka klaim sediri dan menolak yang selain dari itu. Gereja secara paksa ingin
menyebarkan faham atau konsep yang mereka anut kepada akal seluruh masyarakat
ketika itu. Atau dengan kata lain mereka ingin memaksakan diri mengalahkan sains
yang berlandaskan kepada eksperimen dan observasi secara kongkrit dengan
takhayul dan khurafat yang mereka yakini kebenarannya sebagai ajaran kitab
suci.
Britain mengatakan,
bahwa pada abad pertengahan para ilmuwan terdiri dari orang-orang yang masih
bagian dari institusi Gereja. Di mana Gereja sudah berusaha untuk
mengintervensi setiap ruang gerak manusia dan mengarahkannya sesuai
kehendaknya, terutama ruang gerak akalnya; berupa pemikiran dan ilmu
pengetahuan. Dengan demikian para ilmuwan Gereja tersebut berusah untuk
memonopoli kehidupan pemikiran saat itu. Gereja saat itu merupakan ceramah,
surat kabar, percetakan, perpustakaan, sekolah, dan kuliah. Dan para ilmuwan
Gereja maupun para pelajar kristen biasa yang senang menggeluti dunia
filasafat, saat itu sangat dan banyak terpengaruh oleh filsafat Yunani terutama
filsafat Aristoteles dan Bathlemus. Mereka dengan sekuat tenaga berusaha untuk
mensikretiskan keyakinan agama mereka dengan pemikiran-pemikiran filsafat
tersebut. Sehingga lahirlah dari gabungan keduanya filsafat kristen, yaitu
percampuran antara filsafat Yunani dan ajaran yang terdapat dalam perjanjian
lama dan perjanjian baru, juga perkataan para saint terdahulu. Dalam frame
filsafat mereka itulah, para filosof kristen memiliki teori-teori tersendiri
tentang alam semesta, geografi dan sejarah. Gereja berpendapat dengan filsafat
kristen yang mereka racik itu mereka bisa mempertahankan diri dari para
pengkritik ajaran kristen. Teori-teori yang mereka hasilkan itu untuk kemudian
dianggap sebagai bagian dari ajaran kristen yang terdapat dalam ajaran kitab
suci.
Pada awal mulanya
filsafat dan sains hanya dikenal di kalangan Gereja saja. Akan tetapi, lama
kelamaan orang-orang Eropa menemukan apa yang nantinya menjadi benih-benih
periode renaissance nantinya. Mereka menemukan sisa-sisa peninggalan
umat Islam di pusat-pusat peradaban di Eropa; Andalus, Sicilia, dan Italia
selatan, berupa ilmu pengetahuan. Mereka mengenal metodologi penelitian dan
metodologi berpikir yang benar dari kaum muslimin di tempat-tempat tersebut.
Sehingga akhirnya muncullah para ilmuwan yang bukan dari kalangan Gereja.
Sebut saja salah satu
contohnya Copernicus. Ia menemukan teori heliosentris tentang tata letak tata
surya kita, bahwa mataharilah yang menjadi pusat tata surya yang dikelilingi
oleh planet-planet, seperti bumi salah satunya. Tentu itu bertentangan dengan
teori Gereja yang dianggap sebagai keyakinan bagian dari ajaran kristen, bahwa
bumilah yang menjadi pusat tata surya dengan alasan karena di bumilah tempat anak
tuhan turun dan mengorbankan nyawanya sebagai tebusan atas dosa-dosa manusia,
di mana matahari dan benda-benda langit lainnya beredar mengitari bumi. Karena
itulah, Gereja menjatuhkan hukuman mati kepadanya karena telah berani menentang
keyakinan kristen, ajaran tuhan.
Beberapa lama setelah
itu, muncul Galileo Galilei yang memunculkan lagi teori heliosentri. Bahwa bumi
bergerak mengitari matahari. Dan ini bertentangan dengan apa yang disebutkn di
antaranya di dalam Perjanjian Lama, Psalm 104:5, “[the LORD] set the earth on
its foundations; it can never be moved.” Galileo pun dijatuhi hukuman yang
sama, hukuman mati. Namun, berbeda dengan Copernicus, Galileo ruju’ dari
pendapatnya tersebut dan akhirnya dibebaskan.
Diskusi Dwipekanan
Institute for The Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS)
Tema: Menguraikan Gagasan Islamisasi Sains di Dalam Pendidikan
Narasumber: Dr. Budi Handrianto
Institute for The Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS)
Tema: Menguraikan Gagasan Islamisasi Sains di Dalam Pendidikan
Narasumber: Dr. Budi Handrianto
No comments:
Post a Comment