KRITIK TERHADAP PENELITIAN PENDEKATAN KUALITATIF
Penulis ingin mengembangkan kritik sastra, puisi bentuk gurindam
yang hampir mati, untuk dihidupkan kembali. Inilah gurindam 13 tentang lingkungan:
1. Kepada lingkungan, tidak sopan
Akan menuai, badai dan topan
2. Jika jamban, tidak bersih,
Banyaknya cacing, seperti buih.
3. Kurang bersih, kurang cermat,
Tentu dirimu akan tersesat
Tentu dirimu akan tersesat
4. Apabila rumah, disapunya jarang,
Lipas dan semut, akan meyerang.
5. Ke laut membuang, racun bebisa,
Makhluk hidup, akan binasa.
6. Jika ke
sungai, membuang sampah,
Anak cucu, akan menyumpah.
7. Orang asing,
menambang emas,
Putra daerah, dibuat lemas.
8. Saluran air,
jika tersumbat
Banjir datang, di hujan lebat.
9. Jika kebun,
dibiarkan semak
Babi akan, beranak pinak.
1O. Siapa saja,
merusak hutan,
Dialah sebenarnya, sahabat
Setan.
11.Siapa zalim, kepada binatang
Hati nuraninya pasti, akan menentang
12. Siapa saja menyayangi,
tumbuh-tumbuhan,
Penyakitnya mudah, mendapatkan kesembuhan
13. Siapa selalu, menanam kayu,
Jauhlah penyakit, lumpuh layu
Fasal
1
1. Kepada lingkungan, tidak sopan
akan menuai, badai dan topan.
2. Sopan terhadap lingkungan itu, ada empat,
siapa mengamalkan, akan mendapat.
siapa mengamalkan, akan mendapat.
Pertama, lingkungan ,rumah harus bersih,
Supaya Allah, mejadi kasih.
Kedua, lingkungan kota, harus rimbun,
Semua jalan, dinaungi daun.
Ketiga, sanitasi, harus berbau harum,
Tamu yang datang, hormat dan maklum
Keempat, tidak boleh ditemukan, jalan yang banjir,
Parit dan selokan, harus disisir.
Fasal
2
Apabila jamban, tidak bersih,
datanglah cacing banyak, seperti buih.
datanglah cacing banyak, seperti buih.
1. Siapa saja , punya perhatian terhadap kebersihan
toilet
Kesehatan
dirinya tidak akan meleset.
2. Siapa selalu, berak di sungai,
Hilang
wibawa, buruk perangai.
3. Siapa selalu berak, di semak,
Pola
pikirnya, sulit bergerak.
4. Siapa perutnya , banyak cacing,
otaknya lemah, kepalanya pusing.
otaknya lemah, kepalanya pusing.
5. Siapa saja, mandi tidak bersih,,
ibadahnya hanya, mendapat letih.
ibadahnya hanya, mendapat letih.
Fasal 3
Lingkungan kumuh, tentu tak sehat,
sampah menumpuk, berbagai tempat.
Lingkungan kumuh, tentu tak sehat,
sampah menumpuk, berbagai tempat.
1. Apabila sampah, menumpuk di jalan,
banyak
problema, jadi persoalan.
2. Apabila tempat tidur, banyak kepinding,
tidak dapat tidur, kepala pening.
tidak dapat tidur, kepala pening.
3. Apabila pemukiman kumuh,dibiarkan.
penyakit menyebar, tak terkendalikan.
penyakit menyebar, tak terkendalikan.
4. Bersungguh-sungguh engkau menyingkirkan kotoran,
apakah yang berat ,maupun yang ringan.
apakah yang berat ,maupun yang ringan.
5. Apabila pemukiman terlalu semberono,
muncullah perbuatan yang tiada senonoh.
muncullah perbuatan yang tiada senonoh.
6. Anggota masyarakat, hendaklah ingat,
di situlah banyak orang , mendapat laknat.
di situlah banyak orang , mendapat laknat.
7. Hendaklah peliharakan kebersihan bersama,
dari pada kelak, membawa bencana.
dari pada kelak, membawa bencana.
8. Jangan sembarangan, membakar plastik,
asapnya
berbahaya, seperti narkotik.
Fasal 4
Apabila rumah, disapunya jarang,
Lipas dan semut, akan meyerang
1. Lipas dan semut,bukan hanya mengigit,
Tapi juga, membawa penyakit..
2. Lipas adalah lambang, orang yang dengki,
menebar kebusukan, tiada henti.
menebar kebusukan, tiada henti.
3. Semut lambang, ahli pikir,
di dalam berjalan, tak pernah tergelincir.
di dalam berjalan, tak pernah tergelincir.
4. Pekerjaan menyapu, harus dibela,
oleh seorang pesuruh, maupun oleh seorang kepala.
oleh seorang pesuruh, maupun oleh seorang kepala.
Memang setiap
orang bebas untuk menyampaikan kritikan dan aspirasi kepada pemerintah. Ada
berbagai cara untuk menyampaikan, mengungkapkan, menuangkan kritik terhadap
situasi sosial tersebut, misalnya dengan berkirim surat, demonstrasi, pidato,
wawancara, sms, facebook, e-mail, dan media lainnya. Namun
demikian, sesungguhnya ada satu media lagi yang berperan penting dalam
penyampaian kritik sosial, yakni karya sastra. Sastra dapat
digunakan untuk menyampaikan kritik secara cerdas, elegan dan santun.
Menyampaikan kritik melalui sastra memang bukanlah hal baru. Di Indonesia,
sejak zaman Belanda, Jepang, Revolusi, Orde Baru, dan Reformasi selalu saja ada
karya sastra yang diarahkan untuk mengkritik pemerintahan yang berkuasa. Hal
ini bisa terjadi lantaran sastra memang seringkali hadir sebagai refleksi atau
cerminan kondisi sosial masyarakat.
Sebagai
salah satu bentuk sastra, pantun pun dapat digunakan sebagai sarana
menyampaikan kritik sosial tersebut. Pantun merupakan salah satu bentuk puisi
lama yang paling akrab dengan masyarakat dibandingkan dengan bentuk puisi lama
yang lain. Pantun menjadi sarana yang efektif yang dapat dimanfaatkan untuk
berbagai keperluan. Pantun dapat digunakan sebagai alat komunikasi, untuk
menyelusupkan nasihat atau wejangan, atau bahkan untuk melakukan kritik sosial.
Pantun dapat dimanfaatkan dalam berbagai kesempatan dan disampaikan dalam
sembarang waktu, dalam kegiatan apa pun, dan dilakukan oleh siapa pun juga.
Pantun adalah bentuk puisi lama yang tampak luarnya sederhana, tetapi
sesungguhnya mencerminkan kecerdasan dan kreativitas pembuatnya, karena pembuat
pantun harus membuat sampiran dan isi yang keduanya sama sekali tidak
berkaitan. Ciri utama pantun adalah bentuknya yang dalam setiap baitnya terdiri
dari empat larik (baris) dengan pola persajakan a-b-a-b. Dua larik pertama
disebut sampiran, dua larik berikutnya disebut isi.
Sejalan dengan kurikulum Bahasa Indonesia SMA, menulis
pantun merupakan salah satu kompetensi dasar yang wajib dikuasai peserta didik.
Berdasarkan isinya, jenis-jenis pantun yang selama ini diperkenalkan kepada
peserta didik adalah pantun nasihat, pantun agama, pantun orang muda, atau
pantun jenaka. Sejalan dengan perkembangan zaman, isi pantun dapat terus
dikembangkan, antara lain untuk menyampaikan kritik sosial. Melalui kegiatan
menulis pantun inilah, guru dapat mengajak peserta didik untuk mencoba
menyampaikan kritik dan sarannya mengenai realitas sosial di sekitarnya.
Sebagai contoh terlihat dari hasil tulisan beberapa peserta didik
berikut ini.
Makan roti, berlapis keju
Jangan rakus, jangan boros.
Jikalau ingin, pendidikan maju
Jangan korupsi, dana BOS.
Jangan rakus, jangan boros.
Jikalau ingin, pendidikan maju
Jangan korupsi, dana BOS.
Bunga melati, indah ditatap.
Mekar mewangi, indah di taman
Bagaimana korupsi, bisa lenyap,
Bila koruptor, ringan hukuman
Mekar mewangi, indah di taman
Bagaimana korupsi, bisa lenyap,
Bila koruptor, ringan hukuman
Anak desa, main gasing.
Bajunya bagus berbahan sutera
INDONESIA, terjual kepada asing,
Pejabat Cuma, pandai bicara
Bajunya bagus berbahan sutera
INDONESIA, terjual kepada asing,
Pejabat Cuma, pandai bicara
Pantun kritik sosial seperti di atas, peserta didik
memang harus peka membaca realitas di sekitarnya sebagai bahan dasar pantun
yang hendak ditulisnya. Sebab, tanpa membaca realitas di sekitarnya, peserta
didik tentu akan kesulitan untuk menciptakan pantun kritik sosial ini.
Ya, menyampaikan kritik dan saran yang membangun tidak
selalu harus melalui unjuk rasa. Terlebih, selama ini unjuk rasa selalu
berujung pada tindakan anarkis yang justru menimbulkan masalah baru. Sementara
itu, menyampaikan kritik dan saran melalui kegiatan menulis pantun ini memiliki
banyak manfaat, antara lain:
- Mengembangkan kreativitas peserta didik. Dengan menulis pantun, siswa menjadi lebih kreatif, khususnya dalam merangkai dan memilih kata yang tepat.
- Mengajak peserta didik untuk menghubungkan kegiatan pembelajaran dengan realitas sosial/kenyataan di sekitarnya. Hal ini sejalan dengan pembelajaran kontekstual, artinya apa yang dipelajari di kelas sedapat mungkin dihubungkan dengan kehidupan nyata.
- Mengajak dan melatih peserta didik untuk bersikap kritis ketika melihat hal-hal yang tidak benar di sekitarnya.
- Menanamkan karakter santun. Menyampaikan kritik melalui tulisan tentu akan terlihat elegan dan tidak akan menimbulkan kekerasan atau tindakan anarkis. Terlebih bahasa dalam pantun (dan sastra umumnya) seringkali menggunakan kiasan atau lambang.
Nah, melihat manfaat-manfaat tersebut, para guru
sepertinya tak perlu sangsi lagi untuk mengajak peserta didik mencoba
menyampaikan kritik dan sarannya terhadap realitas sosial ke dalam bentuk
pantun. Dengan demikian, kritik yang mereka sampaikan pun terlihat lebih
santun.
Kritik atas Pendekatan
Kualitatif
1. Hasil penelitiannya tidak
representatif
2. Terlalu bersifat Subjektif
3. Tidak dapat digunakan untuk
menggeneralisir suatu fakta sosial secara universal dan hanya dapat digunakan
pada “wilayah” kontekstual
4. Cenderung melebih-lebihkan
pada penghargaan terhadap subjektifitas individu, kelompok, masyarakat dan atau
suatu organisasi tertentu (Fatchan, 2001).
UNSUR-UNSUR PENELITIAN
Usman
(2001) menyebutkan beberapa unsur-unsur penelitian sebagai berikut (khususnya
untuk penelitian kuantitatif):
1. Konsep Awal
2. Konsep Sederhana
3. Istilah
4. Definisi
5. Pengertian
6. Faktor
7. Proposisi atau embrio teori
8. Konsep lanjutan atau teori
9. Hukum atau dalil
10. Asumsi Dasar atau postulat
11. Evidensi atau bukti atau
premis
12. Hipotesis
13. Definisi Operasional dan
14. Variabel
1. Konsep awal adalah fakta yang
diserap inderawi, direkam oleh otak untuk diungkapkan kembali
2. Konsep sederhana, yakni konsep
awal yang diabstraksikan dengan nama atau lambang
3. Istilah adalah nama atau
lambang yang dipersepsi secara sama
4. Definisi adalah istilah yang
dijelaskan secara khusus
5. Pengertian adalah definisi
yang dijelaskan secara khusus
6. Faktor, adalah fakta yang
mempengaruhi
7. Proposisi, adalah hubungan
antar faktor atau konsep yang dapat dinilai benar atau salah
8. Teori, adalah hubungan
proposisi secara khusus atau konsep yang terkait secara sistematis dengan
definisi dan proposisi sehingga dapat menjelaskan gejala
9. Dalil adalah teori yang teruji
dan bertahan
10. Postulat adalah pernyataan
yang tidak perlu dibuktikan kebenarannya
11. Hipotesis adalah rumusan
proposisi untuk diuji kebenarannya.
12. Definisi operasional adalah
petunjuk tentang bagaimana suatu variabel diukur
13. Variabel adalah sebuah konsep
yang mempunyai variasi nilai
No comments:
Post a Comment