CINA MENGATASI FORMALITAS SEKOLAH
AGAR TIDAK MENJADI PENDIDIKAN PEMBODOHAN
Anti pembodohan, Cina bisa begitu produktif untuk dapat
menghasilkan produk-produk berkualitas yang sangat diterima oleh pasar dunia.
Negara-negara G-7 saja bahkan secara terang-terangan merangkul Cina yang saat
ini menduduki peringkat keempat dalam perdagangan dunia, di bawah AS, Jerman
dan Jepang untuk mau berbagi dan berbicara dalam forum mereka (Pikiran Rakyat,
2 Oktober 2004).
Ternyata selain karena aliran modal asing dan
teknologi tinggi, yang justru sangat menarik dari pengalaman Cina adalah
besarnya peran Usaha Kecil dan Menegah (UKM) dan bisnis swasta daerah yang
disebut sebagai Township and Village Enterprises (TVEs) dalam menopang kekuatan
ekspornya.
Peran Penting TVEs Bagi Perekonomian Cina
Sumbangsih TVEs bagi perekonomian Cina memang
tidak bisa disepelekan. TVEs yang semula merupakan perkembangan dari industri
pedesaan yang digalakkan oleh pemerintah Cina. Jika pada tahun 1960 jumlahnya
hanya sekitar 117 ribu, namun semenjak reformasi tahun 1978 jumlahnya mengalami
pertumbuhan spektakuler menjadi 1,52 juta. Apabila dilihat dari sisi penyediaan
lapangan kerja, TVEs di akhir tahun 1990-an telah menampung setengah dari
tenaga kerja di pedesaan Cina.
Walaupun perkembangan TVEs ini sempat mengalami
pasang surut dan tidak merata di seluruh wilayah Cina, namun secara rata-rata
mengalami pertumbuhan yang sangat mengesankan. Produksi dari TVEs meningkat
dengan rata-rata 22,9 persen pada periode 1978-1994. Secara nasional, output
TVEs pada tahun 1994 mencapai 42% dari seluruh produksi nasional. Sedangkan
untuk volume ekspor, TVEs memberikan kontribusi sebesar sepertiga dari volume
total ekspor Cina pada tahun 1990-an (Pamuji, 2004).
Dilihat dari sisi perdagangan secara angka di
atas kertas memang masih terlihat bahwa ekspor kita masih surplus dibanding
Cina. Menurut data yang diperoleh dari Dubes RI di China, bahwa tepatnya sampai
dengan 3 Agustus 2004 dilihat dari sudut pandang perdagangan luar negeri China,
saat ini Indonesia merupakan negara tujuan ekspor urutan ke-17 dengan nilai
2,66 miliar dollar AS atau 1,03 persen dari total ekspor China yang mencapai
nilai 258,21 miliar dollar AS. Indonesia juga menjadi negara asal impor ke-17
bagi China dengan nilai ekspor 3,44 miliar dollar AS (Osa, 2004).
Akan tetapi dalam kenyataan di lapangan tampak
bahwa barang-barang produksi Cina terlihat di mana-mana. Kita tidak menutup
mata bahwa banyak produk dari negeri panda tersebut yang masuk secara ilegal ke
Indonesia sehingga tidak ikut tercatat secara resmi dalam laporan tersebut.
Namun penjelasan dari Ketua Umum Kadin Indonesia Komite Cina, Sharif Cicip
Sutardjo sangat masuk akal. Sebagaimana dikutip dari wawancara dengan Sinar
Harapan dijelaskan bahwa ekspor Indonesia ke Cina memang besar namun sebagian
besar merupakan bahan mentah dengan jumlah item yang sangat sedikit, kurang
lebih hanya 15 item seperti migas, CPO, karet, kayu, dan lain-lain. Sedangkan
dari Cina kita mengimpor ratusan item, mulai dari ampas, hasil pertanian,
peralatan sampai ke motor dan mobil. Sebagian besar perusahaan yang
menghasilkan produk-produk itu semua di Cina hanyalah industri swasta, UKM atau
TVEs (www.sinarharapan.co.id/ ekonomi/industri/2003/1224/ind2.html).
Kenyataan ini sungguh berkebalikan dengan keadaan
UKM kita yang kurang diberdayakan padahal memiliki potensi yang sangat besar.
Jumlah UKM mencakup 99 % dari total seluruh industri di Indonesia dan menyerap
sekitar 56 % dari jumlah total seluruh pekerja Indonesia (Rochman, 2003). Untuk
itu sangat perlu kita lihat upaya apa saja yang telah dilakukan oleh pemerintah
Cina untuk memajukan industri swasta khusunya UKM, mengingat UKM kita juga
sebenarnya punya kemampuan. Hal ini terbukti pada saat krisis moneter justru
sektor UKM yang mampu bertahan.
Usaha Pemerintah Cina yang Dirintis Sejak Lama
Apa yang sekarang Cina nikmati dari industrinya
terutama TVEs merupakan hasil usaha bertahun-tahun. Pada tahun 1986 dipimpin
oleh State Science and Technology Commission (SSTC) Cina memperkenalkan Torch
Program yang bertujuan untuk mengembangkan penemuan-penemuan dan
penelitian-penelitian oleh universitas dan lembaga riset pemerintah untuk
keperluan komersialisasi. Hasil yang diperoleh kemudian ditindaklanjuti dengan
membuat New Technology Enterprises (NTEs). Selanjutnya SSTC mengembangkan 52 high-tchnology
zones yang serupa dengan research park di Amerika dengan bertumpu pada NTEs
tadi (Mufson, 1998). Walaupun NTEs ini bersifat perusahaan bersakala besar
namun kedepannya memiliki peran sebagai basis dalam pengembangan teknologi
untuk industri-industri kecil dan menengah.
Pemerintah Cina kemudian masih dengan SSTC
mengeluarkan kebijakan untuk mendukung TVEs yang disebut sebagai The Spark
Plan. Kebijakan ini terdiri dari 3 kegiatan utama yang berangkaian. Pertama,
memberikan pelatihan bagi 200.000 pemuda desa setiap tahunnya berupa satu atau
dua teknik yang dapat diterapkan di daerahnya. Kegiatan kedua dilakukan dengan
lembaga riset di tingkat pusat dan tingkat provinsi guna membangun peralatan
teknologi yang siap pakai di pedesaan. Dan yang ketiga adalah dengan mendirikan
500 TVEs yang berkualitas sebagai pilot project (Pamuji, 2004).
Pemerintah Cina juga berusaha menempatkan diri
sebagai pelayan dengan menyediakan segala kebutuhan yang diperlukan oleh
industri. Mulai dari hal yang paling essensial dalam memulai sebuah usaha yaitu
birokrasi perizinan yang mudah dan cepat, dimana dalam sebuah artikel dikatakan
bahwa untuk memulai usaha di Cina hanya membutuhkan waktu tunggu selama 40
hari, bandingkan dengan Indonesia yang membutuhkan waktu 151 hari untuk
mengurus perizinan usaha (www.suaramerdeka.com/harian/0503/01/eko07.htm).
Tidak ketinggalan infrastruktur penunjang untuk
memacu ekspor yang disiapkan oleh pemerintah Cina secara serius. Bila pada
tahun 1978 total panjang jalan raya di Cina hanya 89.200 km, maka pada tahun
2002 meningkat tajam menjadi 170.000 km. Untuk pelabuhan, setidaknya saat ini
Cina memiliki 3.800 pelabuhan angkut, 300 di antaranya dapat menerima kapal
berkapasitas 10.000 MT. Sementara untuk keperluan tenaga listrik pada tahun
2001 saja Cina telah mampu menyediakan sebesar 14,78 triliun kwh, dan saat ini
telah dilakukan persiapan untuk membangun PLTA terbesar di dunia yang
direncanakan sudah dapat digunakan pada tahun 2009 (Wangsa, 2005).
SDM Terbaik Sebagai Pengusaha
Dalam hal SDM untuk dunia usaha Cina juga tidak
tanggung-tanggung dalam mengarahkan orang-orang terbaiknya untuk menjadi
pengusaha yang handal. Sejak tahun 1990-an, Cina telah mengirimkan ribuan
tenaga mudanya yang terbaik untuk belajar ke beberapa universitas terbaik di
Amerika Serikat, seperti Harvard, Stanford, dan MIT. Di Harvard saja, Cina
telah mengirimkan ribuan mahasiswanya untuk mempelajari sistem ekonomi terbuka
dan kebijakan pemerintahan barat, walaupun Cina masih menerapkan sistim ekonomi
yang relatif tertutup. Sebagai hasilnya, Cina saat ini telah memiliki jaringan
perdagangan yang sangat mantap dengan Amerika, bahkan memperoleh status sebagai
The Most Prefered Trading Partner (Kardono, 2001).
Pemerintah Cina juga membujuk para overseas
Chinese scholars and professionals, terutama yang sedang dan pernah bekerja di
pusat-pusat riset dan MNCs di bidang teknologi di seluruh penjuru dunia untuk
mau pulang kampung dan membuka perusahaan baru di Cina. Mantan-mantan tenaga
ahli dari Silicon Valley dan IBM ini misalnya, diharapkan nantinya juga akan
dapat mempermudah pembukaan jaringan usaha dengan MNCs ex-employer lainnya yang
tersebar di seluruh dunia (www.mail-archive.com/bhtv
@paume.itb.ac.id/msg00042.html). Tentu saja bujukan itu dilakukan dengan
iming-iming kemudahan dan fasilitas untuk memulai usaha, seperti insentif
pajak, kemudahan dalam perizinan, dan suntikan modal.
Menarik apa yang ditulis oleh :
Sakiben Sinaga, S.Pd, bahwa Pendidikan merupakan sebuah proses penting dalam
kehidupan manusia, karena melalui proses ini manusia dibentuk dan dilahirkan
sebagai seorang manusia yang utuh dan sebenarnya. Pendidikan bertanggungjawab
terhadap proses pencerdasan bangsa yang berimplikasi kuat pada proses
empowerment (pemberdayaan). Hal ini perlu ditegaskan kembali, karena tingkat
pendidikan yang meningkat ternyata tidak selalu inheren dengan tingkat
pemberdayaan, dan karenanya tidak inheren pula dengan tingkat kemandirian.
Sebaliknya, kadang-kadang meningginya tingkat pendidikan malah berimplikasi
pada makin meningkatnya ketergantungan kepada pihak-pihak lain.
Dalam
upaya mencerdaskan bangsa, pendidikan seharusnya dipandang sebagai alat
perjuangan pencerahan manusia. Sebagai alat perjuangan pencerahan dan
mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tujuan utama bangsa kita yang
termaktub dalam pembukaan UUD 45. Upaya yang mencerdaskan yang ditempuh melalui
pendidikan nasional.
Namun
saat ini, tampaknya harapan tentang pendidikan dan manisnya pendidikan itu
tidak sesuai dengan realita. Masih banyak tindakan pembodohan yang terjadi
dalam pendidikan kita. Mulai dari pihak pemerintah, sekolah bahkan dari
pihak masyarakat sekalipun. Misalnya saja pembodohan yang terjadi dari sistem
pendidikan kita yang hanya mengutamakan kognitif dan nilai bagus namun kurang
memperhatikan sikap dan perilaku serta kemandirian dari peserta didik.
Tetap
diberlakukannya ujian nasional sebagai penentu kelulusan bagi siswa merupakan
bentuk pembodohan yang hanya melihat nilai. Padahal nilai tersebut bukanlah
satu-satunya tujuan pendidikan. Dan tidak hanya itu, nilai yang diberikan juga
sering tidak mewakili kognitif dan tidak mampu mengevaluasi pendidikan
tersebut. Tidak jarang kita dengar supaya nilai ujian nasional si anak bagus
dan lulus, kecurangan sering terjadi. Ujian nasional (UN) dari tahun ke tahun
selalu diwarnai dengan kecurangan.
Pembodohan
berikutnya juga sering terjadi dari pihak sekolah. Sudah menjadi rahasia umum
tentang guru yang melakukan manipulasi nilai ujian siswa. Ada yang melakukannya
atas dasar kasihan, kedekatan dengan siswa atau orangtua siswa tertentu, tekanan
dari pimpinan (kepala sekolah), bahkan ada yang melakukanya karena mendapat
sogok dari orangtua siswa ataupun siswa itu sendiri. Dan manipulasi nilai siswa
juga sering terjadi supaya guru yang mengajarkan bidang studi tertentu dianggap
berhasil dalam proses belajar dan pembelajaran karena nilai siswanya
bagus-bagus. Dengan berbagai alasan tersebut, manipulasi nilai siswa telah
menjadi pembodohan terhadap pendidikan. Sehingga tidak mengherankan lagi kalau
banyak orang, termasuk siswa itu sendiri akhirnya menyepelekan pendidikan.
Selain
daripada itu, kurikulum yang selalu berubah-ubah, obral ijasah, guru yang
kurang berkualitas serta adanya orientasi bisnis dalam dunia pendidikan
juga merupakan pembodohan yang selanjutnya. Seperti beberapa minggu yang lalu,
beberapa koran lokal di Medan memberitakan adanya oknum guru (masih banyak)
yang membeli ijasah palsu yaitu ijasah sarjana. Sungguh memprihatinkan. Apalagi
yang melakukan hal itu adalah pendidik yang diharapkan dapat memajukan
pendidikan bangsa ini. Ternyata pembodohanlah yang terjadi. Ironis.
Tidak
hanya itu, pembodohan juga sering terjadi dari masyarakat. Menjelang pembagian
raport, sering orang tua siswa mengeluh dan meminta nilai anaknya untuk
dinaikkan supaya jangan mendapat nilai merah di raport, jangan tinggal kelas
atau bahkan supaya dapat melanjut kesekolah favorit nantinya. Padahal nilai
tersebut tidak sesuai dengan apa yang telah diperoleh anaknnya. Dengan kata
lain, nilai tersebut tidak pantas karena tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh
si anak.
Dengan
berbagai tindakan pembodohan tersebut, sehinggga sering juga kita mengeluh
dengan output pendidikan kita. Tidak jarang out put pendidikan kita, yang
katanya kaum terdidik melakukan hal-hal yang tidak terdidik seperti berkelahi,
anarkis, tawuran antar pelajar atau bahkan tawuran mahasiswa dan
tindakan-tindakan lainnya yang mencoreng muka pendidikan.
Output Pendidikan Kita
Pengganguran
terdidik merupakan masalah berikutnya yang cukup serius. Pengangguran ibarat
hantu yang sangat menakutkan bagi masyarakat kita. Tidak peduli bagi mereka
yang tidak mengenyam pendidikan ataupun bagi masyarakat yang mengenyam
pendidikan tinggi. Masalah pengangguran selalu dikaitkan dengan masalah
pendidikan. Dengan asumsi bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin
dewasa dan semakin mampu berfikir alternatif. Sehingga sangat menjadi sorotan
dan ironis jika sang penganggur itu adalah sarjana (intelektual) dimana
seharusnya ia sudah mampu berfikir alternatif. Pendidikan yang semula
diharapkan mampu mengangkat status sosial tetapi malah menjadi beban dalam
pergaulan sehari-hari. Bahkan tak jarang para sarjana mengalami kegamangan
dalam masyarakat.
Jika
dicermati lebih lanjut jumlah pengangguran semakin tahun semakin meningkat,
apalagi ditengah keterpurukan ekonomi seperti saat ini. Pola ini menjadi
menarik untuk dikaji, karena sarjana yang seharusnya mampu berfikir alternatif
untuk menjadikan dirinya mandiri ternyata tidak demikian adanya. Ini
menunjukkan sistem pendidikan kita belum mampu menjadi rahim yang melahirkan
lulusan berjiwa enterpreneurship. Akibatnya mereka cenderung untuk mengandalkan
lowongan pekerjaan dibandingkan dengan menciptakan lapangan kerja. Dunia
pendidikan kita terjebak pada kata “How to use”, sehingga melahirkan produk
sarjana konsumtif tidak kreatif. Lembaga-lembaga pendidikan akhirnya berfungsi
sebagai pabrik-pabrik penghasil tenaga kerja yang terampil dan terlatih.
Kondisi
ini diperparah lagi dengan penerjemahan tujuan pendidikan yang menyesatkan.
Penerjemahan tujuan pendidikan secara tidak sadar selalu dibawa pada
aspek/orientasi lapangan kerja, memperoleh kursi dimana, gajinya berapa,
fasilitasnya apa, dan sebagainya. Dengan demikian ketika produk sarjana ini
dihadapkan pada realita kesempatan kerja yang sempit mereka tidak mampu untuk
berfikir alternatif memanfaatkan ilmu dan sumber daya yang ada menjadi sesuatu
yang produktif.
Melihat
berbagai permasalahan pendidikan kita saat ini, hendaknya pembodohan terhadap pendidikan
ini dapat dihentikan agar tercipta pendidikan yang betul-betul mencerdaskan dan
menjadikan manusia seutuhnya. Serta output dari pendidikan kita bukanlah gelar
pengangguran, namun manusia kreatif yang mampu berfikir alternatif untuk
menjadikan dirinya mandiri. Bukan hanya sekedar mengisi lowongan pekerjaan yang
ada namun mampu menciptakan lowongan pekerjaan baru. Semoga. (Penulis adalah
guru, pemerhati sosial, aktif dalam koalisi peduli pendidikan (KPP) dan menjadi
pemimpin kelompok mahasiswa di UKMKP-FMIPA Unimed Medan)
Terbit
di Batak Pos Edisi 13 Februari 2012
PENELITIAN ILMIAH
Hebatnya pengaruh bacaan al Qur’an pada
syaraf, otak dan organ tubuh lainnya. Subhanallah, menakjubkan!
Tak
ada lagi bacaan yang dapat meningkatkan terhadap daya ingat dan memberikan
ketenangan kepada seseorang kecuali membaca Al-Qur’an…”.
Dr.
Al Qadhi, melalui penelitiannya yang panjang dan serius di Klinik Besar Florida
Amerika Serikat, berhasil membuktikan hanya dengan mendengarkan bacaan
ayat-ayat Alquran, seorang Muslim, baik mereka yang berbahasa Arab maupun
bukan, dapat merasakan perubahan fisiologis yang sangat besar.
Penurunan
depresi, kesedihan, memperoleh ketenangan jiwa, menangkal berbagai macam
penyakit merupakan pengaruh umum yang dirasakan orang-orang yang menjadi objek
penelitiannya. Penemuan sang dokter ahli jiwa ini tidak serampangan.
Penelitiannya
ditunjang dengan bantuan peralatan elektronik terbaru untuk mendeteksi tekanan
darah, detak jantung, ketahanan otot, dan ketahanan kulit terhadap aliran listrik.
Dari hasil uji cobanya ia berkesimpulan, bacaan Alquran berpengaruh besar
hingga 97% dalam melahirkan ketenangan jiwa dan penyembuhan penyakit.
Penelitian
Dr. Al Qadhi ini diperkuat pula oleh penelitian lainnya yang dilakukan oleh
dokter yang berbeda. Dalam laporan sebuah penelitian yang disampaikan dalam
Konferensi Kedokteran Islam Amerika Utara pada tahun 1984, disebutkan, Al-Quran
terbukti mampu mendatangkan ketenangan sampai 97% bagi mereka yang
mendengarkannya.
Kesimpulan
hasil uji coba tersebut diperkuat lagi oleh penelitian Muhammad Salim yang
dipublikasikan Universitas Boston. Objek penelitiannya terhadap 5 orang
sukarelawan yang terdiri dari 3 pria dan 2 wanita. Kelima orang tersebut sama
sekali tidak mengerti bahasa Arab dan mereka pun tidak diberi tahu bahwa yang
akan diperdengarkannya adalah Al-Qur’an.
Penelitian
yang dilakukan sebanyak 210 kali ini terbagi dua sesi, yakni membacakan
Al-Qur’an dengan tartil dan membacakan bahasa Arab yang bukan dari Al-Qur’an.
Kesimpulannya, responden mendapatkan ketenangan sampai 65% ketika mendengarkan
bacaan Al-Qur’an dan mendapatkan ketenangan hanya 35% ketika mendengarkan
bahasa Arab yang bukan dari Al-Qur’an.
Al-Qur’an
memberikan pengaruh besar jika diperdengarkan kepada bayi. Hal tersebut
diungkapkan Dr. Nurhayati dari Malaysia dalam Seminar Konseling dan Psikoterapi
Islam di Malaysia pada tahun 1997. Menurut penelitiannya, bayi yang berusia 48
jam yang kepadanya diperdengarkan ayat-ayat Al-Qur’an dari tape recorder
menunjukkan respons tersenyum dan menjadi lebih tenang.
Sungguh
suatu kebahagiaan dan merupakan kenikmatan yang besar, kita memiliki Al-Qur’an.
Selain menjadi ibadah dalam membacanya, bacaannya memberikan pengaruh besar
bagi kehidupan jasmani dan rohani kita. Jika mendengarkan musik klasik dapat
memengaruhi kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosi (EQ) seseorang,
bacaan Al-Qur’an lebih dari itu. Selain memengaruhi IQ dan EQ, bacaan Al-Qur’an
memengaruhi kecerdasan spiritual (SQ).
Mahabenar
Allah yang telah berfirman, “Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, simaklah dengan
baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat” (Q.S. 7: 204).
No comments:
Post a Comment