PENDEKATAN ILMU ISLAMI
Catatan M.Rakib LPMP Riau Indonesia. 2004
PENDEKATAN KONTEKS STUDI ISLAM
I.
PENDAHULUAN
Sejalan dengan pembidangan ilmu dalam studi islam, pendekatan studi
islam pun mengalami perkembangan, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Pada bab ini dijelaskan sejumlah pendekatan yang dapat digunakan dalam studi
islam. Diantara lain yaitu pendekatan : Teologis, Yuridis, Psikologis,
Historis, Antropologis, Sosiologis, Filosofis, Fenomenologis.[1][1]
II.
RUMUSAN
MASALAH
a.
Bagaimana
Pendekatan Teologis dalam Studi Islam ?
b.
Bagaimana
Pendekatan Yuridis dalam Studi Islam
c.
Bagaimana
Pendekatan Historis dalam Studi Islam ?
d.
Bagaimana
Pendekatan Psikologis dalam Studi Islam?
e.
Bagaimana
Pendekatan Antropologis dalam Studi Islam ?
f.
Bagaimana
Pendekatan Sosiologis dalam Studi Islam ?
g.
Bagaimana
Pendekatan Filosofis dalam Studi Islam ?
h.
Bagaimana
Pendekatan Fenomenologis dalam Studi Islam ?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pendekatan
Teologis
Teologi
dari segi etimologi berasal dari bahasa yunani yaitu theologia. Yang
terdiri dari kata theos yang berarti tuhan atau dewa, dan logos yang artinya ilmu.
Sehingga teologi adalah pengetahuan ketuhanan . sedangkan pendekatan teologis
adalah suatu pendekatan yang normatif dan subjective terhadap agama. Pada
umumnya, pendekatan ini dilakukan dari dan oleh penganut agama dalam usahanya
menyelidiki agama lain. Secara harfiah, pendekatan teologis normatif dalam
memahami agama dapat diartikan sebagai upayamemahami agama dengan menggunakan
kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empiris
dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dubandungkan dengan
yang lainnya.
Menurut
The Encyclopedia of American Religion, di Amerika Serikat terdapat 1.200 sekte
keagamaan. Satu diantaranya adalah sekte Davidian bersama 80 orang pengikut
fanatiknya melakukan bunuh diri masal setelah berselisih dengan kekuasaan
pemerintah Amerika Serikat. Dalam Islam pun secara tradisional dapat dijumpai
teologi Mu’tazilah, teologi Asy’ariyah, dan teologi Maturidiyah. Sebelumnya
terdapat pula teologi bernama Khawarij dan Murji’ah.
Di
masa sekarang ini, perbadaan dalam bentuk formal teologis yang terjadi di
antara berbagai madzhab dan aliran teologis keagamaan. Namun, pluralitas dalam
perbedaan tersebut seharusnya tidak membawa mereka pada sikap saling bermusuhan
dan saling menonjolkan segi-segi perbedaan masing-masing secara arogan, tapi
sebaiknya dicari titik persamaanya untuk menuju subtansi dan misi agama yang
paling suci. Salah satunya adalah dengan mewujudkan rahmat bagi seluruh alam
yang dilandasi pada prinsip keadilan, kemanusiaan, kebersamaan, kemitraan,
saling menolong, saling mewujudkan kedamaian, dan seterusnya. Jika misi
tersebut dapat dirasakan, fungsi agama bagi kehidupan manusia segera dapat
dirasakan. [2][2]
B.
PENDEKATAN
YURIDIS
Ada
beberapa teori yang dapat digunakan dengan kajian pendekatan yuridis dan
sosiologi hukum. Misalnya: secara empirik-induktif, teori pengakuan
(anerkennungs theorie) menyatakan, bahwa hukum mempunyai kekuatan berlaku jika
diterima dan diakui oleh masyarakat. Secara normatif-deduktif, teori kekuatan
(machts theorie) menyatakan, bahwa hukum mempunyai kekuatan berlaku jika
dipaksakan oleh penguasa, terlepas diterima atau tidak oleh masyarakat.
Kaitannya
dengan usaha menafsirkan perundang-undangan ada beberapa teori dan sekaligus
pendekatan (approach) yang dapat digunakan, yakni:
1. The literal approach (teori
harfiah/literal)
Maksud
teori ini adalah menafsirkan teks perundang-undangan dengan mengandalkan teks
secara harfiah (bahasa).
2. The golden rule (teori emas)
Teori
yang sebenarnya pengembangan atau perbaikan teori literal ini bermakna, dengan
teori ini penafsiran pengambilan makna biasa dan berpegang teguh pada makna
itu, kecuali kalau makna tersebut tidak sesuai dengan maksud badan
perundang-undangan yang sedang dibahas.
3. The mischief rule
(kaedah menghilangkan kemudratan)
Teori ini berasumsi, kadang-kadang dalam satu kasus tertentu dalam
undang-undang tidak begitu saja bisa dipakai dan dipahami dengan baik. Sebagai
jalan keluarnya, seorang penafsir atau hakim bisa melakukan dengan cara
menjauhi kemungkinan munculnya kemudaratan.
4. The purposive approach (teori tujuan)
Teori ini/ mencakup teori harfiah/literal (the literal approach),
teori keemasan (the golden rule) dan teori kemudratan (the mischief rule),
yaitu menafsirkan undang-undang sesuai dengan tujuan mereka yang membuat
undang-undang.
Lebih
lanjut dapat dicatat, untuk menganalisis hukum sebagai satu system, ada tiga
aspek yang dapat dikaji, yakni materi hukum (legal substance), struktur hukum
(legal structure) dan budaya hukum
(legal culture).
Dengan
demikian, objek kajian materi hukum (legal substance) adalah materi atau isi
dari hukum/undang-undang. Fokus kajian struktur hukum (legal structure) adalah
lembaga dan penegak hukum; hakim, jaksam pengacara, proses dan struktur. Sementara
fokus kajian budaya hukum (legal culture) adalah masyarakat yang menjadi subjek
yang diatur oleh hukum, menyangkut ide, gagasan, nilai-nilai, norma, kebiasaan,
dan semacamnya.
Sementara
peran hukum secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni hukum sebagai
alat pengatur atau pengontrol (law as a toot of social control) dan hukum
sebagai alat rekayasa/perubahan sosial (law as a tool of social engineering),
bahkan ahli sociological jurisprudence, Roscoe Pund sangat yakin bahwa hukum
dapat menjadi alat untuk mengubah masyarakat kearah keadaan yang lebih baik.[3][3]
C.
Pendekatan
Histori
Dengan
menggunakan pendekatan sejarah ada minimal dua teori yang bisa digunakan yaitu:
1. Idealist approach
2. Reductionalist approach
Maksud idealist approach adalah seorang peneliti yang berusaha
memahami dan menafsirkan fakta sejarah dengan mempercayai secara penuh fakta
yang ada tanpa keraguan. Sedangkan reductionalist approach adalah seorang
peneliti yang berusaha memahami dan menafsirkan fakta sejarah dengan penuh
keraguan. Seperti dijelaskan sebelumnya ada 3 teori lain yang penting dipahami
dengan pendekatan sejarah, yakni diakronik, sinkronik, dan sistem nilai.
Maksud diakronik adalah penelusuran sejarah dan perkembangan suatu
fenomena yang sedang diteliti. Misalnya, kalau sedang meneliti “konsep riba
menurut Muhammad ‘Abduh”, diakroninya adalah harus lebih dahulu membahas
kajian-kajian orang sebelumnya yang pernah membahas tentang riba.
Adapun sinkronik adalah kontekstualisasi atau sosiologis kehidupan
yang mengitari fenomena yang sedang diteliti. Kembali pada contoh konsep riba
Muhammad ‘Abduh, maka sosial kehidupan Muhammad ‘Abduh dan sosial kehidupan
tokoh-tokoh yang pernah membahas fenomena yang sama juga harus dibahas.
Sedang
sistem nilai adalah sistem nilai atau budaya sang tokoh dan budaya dimana dia
hidup. Maka penelitian dengan teori diakroni, sinkronik, dan system budaya
adalah penelitian yang menelusuri latar belakang dan perkembangan fenomena yang
diteliti lengkap dengan sejarah sosio-historis dan nilai budaya yang
mengitarinya. Maka menjadi wajar kalau alat analisis ini lebih dikenal sebagai
alat analisis sejarah dan atau sosial (sosiologi).[4][4]
D.
Pendekatan
Psikologis
Pendekatan ini merupakan usaha untuk memperoleh sisi ilmiah dari
aspek-aspek batini pengalaman keagamaan. Suatu esensi pengalaman keagamaan itu
benar-benar ada dan bahwa dengan suatu esensi, pengalaman tersebut dapat
diketahui. Sentimen-sentimen individu dan kelompok berikut gerak dinamisnya,
harus pula diteliti dan inilah yang menjadi tugas interpretasi psikologis.
Interpretasi agama melalui pendekatan psikologis memang berkembang
dan dijadikan sebagai cabang dari psikologi dengan nama psikologi agama. Objek
ilmu ini adalah manusia, gejala-gejala empiris dari keagamaanya. Karena ilmu
ini tidak berhak mempelajari betul tidaknya suatu agama, metodenya pun tidak
berhak untuk menilai atau mempelajari apakah agama itu diwahyukan Tuhan atau
tidak, dan juga tidak berhak mempelajari masalah-masalah yang tidak empiris
lainnya. Oleh karena itu pendekatan psikologis tidak berhak menentukan benar
salahnya suatu agama karena ilmu pengetahuan tidak memiliki teknik untuk
mendemonstrasikan hal-hal seperti itu, baik sekarang maupun waktu yang akan
datang.
Selain itu, sifat ilmu pengetahuan sifatnya adalah empirical
science, yakni mengandung fakta empiris yang tersusun secara sistematis dengan
menggunakan metode ilmiah. Fakta empiris ini adalah fakta yang dapat diamati
dengan pola indera manusia pada umumnya, atau dapat dialami oleh semua orang
biasa, sedangkan Dzat Tuhan,wahyu,setan,dan fakta gaib lainnya tidak dapat
diamati dengan pola indera orang umum dan tidak semua orang mampu mengalaminya.
(Aziz Ahyadi,1981:9;Zakiah daradjat,1979:17-19).
Sumber-sumber ilmiah untuk mengumpulkan data ilmiah melalui
pendekatan psikologi ini dapat diambil dari:
1. Pengalaman dari orang-orang yang masih
hidup
2. Apa yang kita capai dengan meneliti
diri kita sendiri
3. Riwayat hidup yang ditulis sendiri oleh
yang bersangkutan, atau yang ditulis oleh para ahli agama (Zakiah
Daradjad,1979:20)[5][5]
E. PENDEKATAN
ANTROPOLOGIS
Dalam
melukiskan garis pemisah yang jelas antara antropologi dan sosiologi karena
kedua macam ilmu ini terbagi bukan karena metode yang dipakai oleh para
sarjana, melainkan metode yang dipakai oleh tradisi. Bagaimanapun, antropologi
telah memusatkan perhatiannya kepada kebudayaan-kebudayaan primitif yang tidak
bisa baca-tulis tanpa teknik.
Pendekatan
antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya
dalam memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh
dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan
dekat dengan masalah- masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan
dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain, cara-cara yang digunakan dalam
disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk
memahami agama. Antropologi dalam kaitannya hal ini, menurut Dawam Rahadjo,
lebih mengutamakan pengamatan langsung. Bahkan bersifat partisipatif. Dari
sini, timbul kesimpulan-kesimpulan yang bersifat induktif . penelitian
antrpologis yang induktif yaitu turun langsung kelapangan atau dengan upaya
membebaskan diri dari kungkugan teori-teori fornal yang pada dasarnya sangat
abstrak .
Dalam
berbagai penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan positif
antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Golongan
masyarakat yang kurang mampu dan miskin pada umumnya lebih tertarik pada
gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat messianic, yang menjanjikan perubahan
tatanan sosial kemasyarakatan. Adapun golongan orang kaya lebih cenderung untuk
mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran
tatanan ini menguntungkan pihaknya. Karl Mar (1818-1883) sebagai contoh:
melihat agama sebagai opium atau candu masyarakat tertentu sehingga
mendorongnya untuk memperkenalkan teori konflik atau yang biasa disebut teori
pertentagan kelas.
Melalui
pendekatan antropologis, kita melihat bahwa agama ternyata berkorelasi dengan
etos kerja dan perkembagan ekonomi suatu masyarakat. Dalam hal ini, jika ingin
mengubah pandangan dan sikap etos kerja seseorang, kita mengubah pandangan
keagamaannya.
Selanjutnya,
melalui pendekatan antropologis, kita dapat melihat agama adalah hubungannya
dengan mekanisasi pengorganisasian (social organization) juga tidak kalah
menarik untuk diketahui oleh para peneliti sosial keagamaan. Seperti kasus di
indonesia, karya Clifford Geertz, The Religion Of Java dapat dijadikan contoh
yang baik dalam bidang ini. Geertz melihat adanya klasifikasi sosial dalam
masyarakat muslim di jawa: santri, priyayi,dan abangan. Sungguhpun hasil
penelitian antropologis di jawa timur
ini mendapat sanggahan dari berbagai ilmuan sosial yang lain, konstruksi
stratifikasi sosial yang dikemukakannya cukup membuat orang berpikir ulang
untuk mengecek ulang keabsahannya.
Melalui
pendekatan antropologis fenomenologis, kita dapat melihat hubungan antara agama
dan negara (state dan religion). Topik ini selalu menarik dapat di lihat dari
fenomena negara agama seperti : Vatikan dalam bandingannya dengan negara-negara
sekuler dikelilingnya di Eropa Barat. Kenyataannya dinegara Turki modern yang
mayoritas penduduknya beragama islam, tetapi konstitusi negaranya menyebut
suklarisme sebagai prinsip dasar kenegaraan yang tidak dapat di tawar . Belum
lagi, meneliti dan membandingkan kerajaan Saudi Arabia dan Negara Republik Iran
yang berdasarkan islam. Orang akan bertanya apa sebenarnya yang menyebabkan
kedua sistem pemerintahan tersebut sangat BERBEDA, yaitu kerajaan dan republik,
tetapi sama-sama menyatakan islam sebagai asa tunggalnya. Belum lagi, jika
dibandingkan dengan negara kesatuan republik indonesia, yang mayoritas
penduduknya beragama islam, tetapi menjadikan pancasila serbagai asas tunggal.
Melalui
pendekatan antropologis, dapat ditemukan keterkaitan agama dengan psikoterapi.
Signum Frued (1856-1939) pernah mengaitkan agama dengan oedipus kompleks, yakni
pengalaman seorang anak yang tidak berdaya di hadapan kekuatan dan kepada
bapaknya. Agama dinilainya sebagai neorosis. Dalam psikonalisisnya, dia
megungkapkan hubungan antara ide, ego, dan superego. Meskipun penelitian Frued
berakhir dengan kurang simpati terhadap realita keberagaman manusia, temuannya
ini cukup memberi peringatan terhadap beberapa kasus keberagaman tertentu yang
lebih terkait dengan patologi sosial maupun kejiwaannya.
Melalui
pendekatan antropologis, sebagaimana dijelaskan di atas terlihat dengan jelas
hubungan agama dengan berbagai masalah kehidupan manusia, dan dengan itu pula,
agama terlihat akrab dan fungsional dengan berbagai fenomena kehidupan manusia.
Pendekatan
antropologis seperti itu diperlukan, sebab banyak hal yang dibicarakan agama hanya
dijelaskan dengan tuntas melalui pendekatan antropologis. Dalam Al-Qur’an yang
digunakan sebagai sumber agama ajaran
islam misalnya, kita memperoleh informasi tentang kapal Nabi Nuh di gunung
arafah, kisah Ashabul Khafi yang dapat bertahan hidup dalam gua lebih dari tiga
ratus tahun lamanya. Di mana kira-kira bangkai kapal Nabi Nuh itu, dan di mana
kira- kira gua itu dan bagaimana pula bisa terjadi hal yang menakjubkan seperti
itu, ataukah hal demikian merupakan kisah fiktif ? Tentu masih banyak lagi contoh
lain yang hanya dapat dijelaskan dengan ahli geografis dan arkologi.
Dengan
demikian, pendekatan antropologis sangat diutuhkan dalam memahami ajaran agama,
karena dalam ajaran agama tersebut terdapat uraian dan informasi yang dapat
dijelaskan melalui bantuan ilmu antropologi dengan cabang-cabangnya. [6][6]
F.
PENDEKATAN
SOSIOLOGI
Sosiologi
adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dengan masyarakat dan menyelidiki
ikatan-ikatan manusia yang menguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengerti
sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh, dan cara hidup
bersama dalam tiap persekutuan hidup manusia. Menurut Soejono
Soekantomengartikan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang membatasi
diri terhadap persoalan penilaian.
Dari dua definisi tersebut terlihat bahwa
sosiologi adalah ilmu yang menggambarkan keadaan masyarakat lengkap dengan
struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling
berkaitan. Dan juga mempelajari
kehidupan masyarakat dan menyelidiki ikatan- ikatan antara manusia yang saling berkaitan serta keyakinan-keyakinan yang mendasar
terjadinya proses tersebut. [7][7]
Sosiologi
dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami pendekatan. Hal
ini dapat dimengerti karena banyak kajian agama yang baru dapat dipahami secara
proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosiologi.
Dalam ajaran islam dapat dijumpai peristiwa Nabi Yusuf yang dahulu budak lalu
akhirnnya bisa jadi penguasa di Mesir. Mengapa dalam melaksanakan tugasnya Nabi
Musa harus di bantu Nabi Harun dan masih banyak lagi masalah yang lain.
Beberapa peristiwa tersebut baru dapat dijawab dan sekaligus dapat ditemukan
hikmahnya dengan bantuan ilmu sosial. Disinilah peran sosiologi sebagai salah
satu alat dalam memahami suatu agama.
Pentingnya
pendekatan sosiologi dalam memahami agama dapat dipahami karena banyak ajaran
agama yang berkaitan dengan masalah sosial. Besarnya perhatian agama terhadap
masalah sosial ini selanjutnya mendorong kaum agama memahami ilmu-ilmu sosial
sebagai alat untuk memahami agamanya. Dalam bukunya yang berjudul Islam
Alternatif, Jalaludin Rahmat telah menunjukkan betapa besarnya perhatian agama,
dalam hal ini islam, terhadap masalah sosial, dengan mengajukkan lima alasan
berikut.
Pertama,
dalam Al-Quran atau kitab-kitab hadis proporsi terbesar kedua sumber hukum
islam itu berkenaan urusan muamalah. Menurut Aytul Khumaini dalam bukunya
Al-hukumah Al-islamiyah yang dikutip Jalaludin Rahmat yang mengungkapkan bahwa
perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan
sosial adalah suatu perbandingan seratus untuk satu ayat ibadah, dan seratus
muamalah (masalah sosial).
Kedua,
ibadah yang mengandung segi masyarakat diberi ganjaran lebih besar daripada
ibadah yang bersifat perorangan. Oleh karena itu shalat yang dilakukan salat
berjamaah dinilai lebih tinggi nilainya dari pada shalat sendirian (munfarid) dengan ukuran
satu berbanding dua puluh derajat.
Ketiga,dalam
islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau
batal, karena melanggar pantangan tertentu, kifaratnya (kifaratnya) ialah
melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial. Bila puasa tidak
mampu dilakukan misalnya, jalan keluarnya dengan jalan membayar fidyah dalam
bentuk memberi makan bagi orang miskin. Bila suami istri bercampur di siang
hari pada bulan ramadhan atau ketika istri dalam keadaan haid, tebusannya
adalah dinyatakan bahwa salah satu orang yang diterima shalatnya ialah orang
yang menyantuni orang miskin, anak yatim, janda, dan yang mendapat musibah.
Melalui
pendekatan sosiologis, agama dapat dipahami dengan mudah karena agama itu
sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam Al-Quran misalnya, kita
jumpai ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusia lainnya, sebab-sebab yang
menyebabkan terjadinya kemakmuran suatu bangsa, dan sebab-sebab yang
menyebabkan kesengsaraan. Semua itu jelas baru dapat dijelaskan apabila yang
memahaminya mengetahui sejarah sosial pada saat ajaran agama itu diturunkan.[8][8]
G.
PENDEKATAN
FILOSOFIS
Dalam
kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) filosofis berarti berdasarkan filsafat,
filsafat merupakan pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada,
sebab, asal dan hukumnya. Teori ini merupakan teori yang mendasari alam pikiran
atau suatu kegiatan yang menghasilkan ilmu yang berintikan logika, estetika,
dan metafisika. (kamus besar bahasa indonesia).
Pendekatan
Filosofis merupakan metode yang sering digunakan dalam studi keagamaan untuk
mengkaji agama. Dalam pendekatan ini penekanannya lebih pada upaya penyingkapan
dan pemahaman fenomena agama daripada menilai evisensi dan mengevaluasi
kebenaran apa-apa yang diklaim agama. Pendekatan filosofis dalam studi agama
mungkin harus melakukan penelitian dan penyelidikan yang berfokus pada:
bagaimana ide-ide dan konsep-konsep dalam sejarah filsafat memungkinkan kita
memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang doktrin atau memahami pandangan
para teolog secara lebih akurat. Pendekatan ini berhubungan dengan teologi
sehingga muncul “teologi filosofis”karena perangkat-perangkat dan teknik-teknik
digunakan untuk meneliti persoalan-persoaln teologis dan memungkinkan mahasiswa
menjadikan teologi lebih baik.
Pendekatan
filosofis tidak hanya berada dalam satu tempat, dan kenyataan bahwa pendekatan
ini digunakan dalam sejumlah konteks yang berbeda-beda menambah krisis
identitas yang dialami. Kita dapat menemukan orang yang menemukan orang yang
melakukan pendekatan filosofis dalam studi keagamaan, departemen teologi, dan
dalam departemen kemanusiaan.
Dalam
kaitanya dengan agama, terdapat banyak dan beragam pendekatan filosofis. Lagi-
lagi kita perlu melacak asal usul pendekatan filosofis dengan kembali keYunani
kuno, namun kita perlu memahami bahwa di eropapemikiran filosofis tidak bermula
dari tanggapannyaterhadap agama atau sebagai bagian dari penyelidikan religius
dalam rangka memehami dunia. Beberapa filsuf Yunani awal yang termasyhur-
Socrates, Plato, Aristoteles –berfilsafat tanpa merasa perlu memasukkan agama
atau pemikiran religius. Salah satu alasannya bahwa budaya yunani adalah
politeistik dikelilingi oleh banyk tuhan yang merupakan bagian dari kosmos dan
di bangun oleh hukum-hukum dan prinsip-prinsip impersonal yang sama yang
berjalan dalam kosmos, sebagai hail yang juga berlaku bagi manusia. Alasn
kedua, filsuf-filsuf awal memulai membuang mite bdan sejarah-sejarah dunia,
yang tidak memiliki landasan dan menggunakan rasionalitas kritis
untukmenginterprestasikan dunia untuk mencapai pengetahuan. Merekaberharap
sampai pada kebenaran denganmenggantikan mite, sejarah, dan tradisi klasik
denga pembahasan yang lebih ternalar dan reflektif mengenai kehidupandan
pengalaman manusia. Bahasan- bahasan yang lebih ternalar itu menjadi dasarbagi
aktifitas filosofis. [9][9]
H. PENDEKATAN
FENOMENOLOGIS
Definisi
fenomenologis yaaitu barasal dari bahasa Yunani “fenomenon” yaitu sesuatu yang tampak yang terlihat
karena berkecakupan. Dalam bbahasa
indonesia dipakai istilah gejala, jadi fenomenologi adalah suatu aliran yang
membicarakan fenomena atau gejala sesuatu yang menampakkan diri. Ilmu yang
dipelajari adalah ilmu tentang perkembangan kesadaran dan pengenalan diri
manusia sebagai ilmu yang mendahului ilmun filsafat atau bagian dari filsafat.
Pendekatan
Fenomenologis mula-mula merupakan upaya membangun suatu metodologi yang kohern
bagi studi agama. Sekarang kitadapat melihat perkembangan pendekatan ini dengan
lebih detil.
Fenomenologi
agama muncul di luar perdebatan itu, namun berangkat dari evaluasi atas anteseden
(pendekatan yang telah mendahuluinya), dan berusaha menetapkan kerangka kerja
metodologisnya sendiri dalam studi agama dalam kaitannya sebagai pendekatan
alternatif terhadap sujek agama. Meski demikian kita mesti berhati-hati
terhadap kecenderungan menganggap fenomenologi sama sekali berbeda dari
disiplin-disiplin lain. Keadaannya lebih komplek dan tidak stabil.
Sarjana-sarjana awal dengan tekun memanfaatkan pandangan-pandangan pemikir dari
disiplin-disiplin yang berbeda hingga sampai pada kesimpulan mereka sendiri.
Mengakui
bahwa gagasan mengenai studi agama secara fenomenologis sesungguhnya merupakan
upaya menjustifikasi (hukum/keadilan) studi agama berdasar istilah yang
dimilikinya sendri dari pada berdasar sudut pandang teolog atau ilmuwan sosial.
Gagasan umum yang terdapat dibalik pilihan ini, telah dan tetap bersifat
liberal, yang menegaskan pentingnya pengkajian yang setara terhadap kultur
keagamaan yang berbeda-beda yang melampaui atau yang ada sekarang, berempati
dan berusaha memahami sudut pandang trads yang berbeda-beda yang melintasi
spektrum praktik keagamaam dan mengonstruksi suatu kasus demi kepentingan
studii agama dalam dunia akademik.
Fenomenologi
yang tampak mulai menyelidiki dunia agama, melalui upaya kolektif, menemukan
bahwa dunia ini sulit dipetakan. Dia
terancam oleh mereka yang berusaha dinilai baik umat beriman maupun
peneliti-peneliti ilmiah lainnya yang mengunakan perangkat dan metode yang
berbeda. Meskipun tujuannya lunak, dunia disekitarnya telah berubah (dia
menjadi bagian pelaku perubahan-perubahan itu), dan dalam batas tertentu
berbalik melawan meereka.
Bekalnya cukup, untuk berbur
Di hutan jati, jangan tersesat
Mulianya hidup, sebagai guru
Sampai mati, tetap bermanfaat
Sang guru laiknya matahari di siang hari dan rembulan
di malam hari.Kehadirannya amat dibutuhkan dan dirindukan karena keikhlasannya
dalam menularkan ilmunya, keberadaannya menyejukkan hati karena kasih sayangnya
yang tulus. Sebuah sosok dan figur yang terukir dan terpatri di hati hingga
menjadi obsesi hampir disetiap murid.Sungguh mulia menjadi seorang guru yang
bagai matahari di siang hari dan rembulan di malam hari.
Kenangan itu serasa masih dipelupuk mata padahal kejadian itu sudah hampir
tiga puluh tahun berlalu.
Kini,segalanya sudah berubah.Mula-mula gejala
alam akibat keserakahan manusia yang berujung terjadinya bencana
bertubi-tubi, disusul dengan kemajuan teknologi yang melesat tanpa bisa
dibendung,tragisnya usernya (manusia)tidak dibekali dengan pondasi aqidah dan
akhlak yang kuat dan kokoh.Sehingga guru banyak mengalami kesulitan dan
hambatan dalam menanamkan caracter building pada anak didik disatu sisi,
sementara anak didik kurang begitu yakin dengan keikhlasan dan kasih
sayang dari guru dalam berbagai interaksinya di sisi lain.Kondisi ini
diperparah oleh sebagian besar orang tua selaku wali murid yang kurang bahkan
tidak peka dan tidak peduli terhadap perkembangan psikhis dan fisiologis
anak. Hal ini ditandai dengan persepsi sebagian besar orangtua (wali murid)
yang menganggap di sekolah segala permasalahan anaknya sudah teratasi,
sementara orang tua tinggal menunggu dan melihat hasilnya.
Dalam kondisi seperti ini hal yang dibutuhkan
adalah kearifan dari berbagai pihak dan elemen lembaga pendidikan untuk
saling proakatif mengambil peran positif sehingga terbangun sinergi
diametral sesama stake holder. Dengan tujuan adanya satu persepsi dalam
mendidik anak yang kelak diharapkan menjadi generasi yang unggul dalam iptek
dan tangguh dalam imtak.Tentu semua itu belum cukup untuk mewujudkan masyarakat
madani yang mumpuni kecuali semua sepakat untuk senantiasa menjalankan segala
aktivitas sesuai dengan sunnah-sunnah Rasululoh sallallohu alaihi wa sallam
khususnya dalam hal yang terkait dengan ubudiyah, karena hanya beliaulah
satu-satunya sosok uswah hasanah.
Tata
tertib kelas, pengendalian kelas, manajemen kelas atau apapun namanya,
merupakan hal yang amat krusial bagi seorang guru. Apabila seorang guru tidak
mampu memelihara disiplin dalam kelas maka kemungkinan proses pembelajaran akan
mengalami kegagalan. Kegiatan ini merupakan langkah awal untuk menciptakan
sebuah lingkungan belajar yang kondusif.
Sebagai
agen sosialisasi (socialization agent), guru hendaknya membelajarkan
siswa tentang berbagai perilaku yang sesuai dengan tuntutan situasi.
Dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan siswa, guru menyampaikan
berbagai pesan kepada siswa agar dapat berperilaku sesuai dengan situasi yang
diharapkan di kelas.
Terdapat
4 (empat) hal penting untuk mencapai kesuksesan di kelas:
- Guru perlu merencanakan secara matang pendekatan individual dalam mendisiplinkan siswa.
- Guru harus memahami secara baik berbagai teori disiplin, beserta asumsi yang mendasarinya.
- Guru memahami nilai-nilai dan filsafat pendidikan yang diyakininya.
- Guru harus mampu menentukan pendekatan disiplin yang sejalan dengan keyakinan siswanya, sehingga tidak menimbulkan kebingungan siswa dan konflik personal.
Sesungguhnya,
banyak teori tentang disiplin yang bisa kita terapkan, salah-satunya
adalah teori Inner Discipline yang digagas oleh Barbara Coloroso.
Dalam upaya mendisiplinkan siswa di kelas (sekolah), Coloroso mengemukakan 3
(tiga) kategori guru (dalam tulisan ini saya menggunakan istilah tipe guru),
yaitu: (1) Brickwall Teacher (Guru Tembok Bata); (2) Jellyfish
Teacher (Guru Ubur-ubur); dan (3) Backbone Teacher (Guru
Tulang Punggung). Berikut ini disampaikan penjelasan singkat dari ketiga tipe
tersebut:
- Guru Tembok Bata (Brickwall Teacher). Guru tipe ini berusaha membatasi dan mengendalikan siswa secara ketat, menganggap siswa sebagai bawahan dan kerap menghina siswa. Disini tidak ada wilayah abu-abu, yang ada hanyalah dikhotomi antara hitam dan putih. Guru tipe ini mengoperasikan tugas dalam suasana ketakutan, melalui aturan tetap dan kaku, menekankan ketepatan waktu, kebersihan dan ketertiban. Dalam proses pembelajaran sering mematahkan kehendak siswa, menekankan ritual dan hafalan, lebih mengandalkan pada kompetisi dan mengajarkan tentang apa yang harus dipikirkan daripada bagaimana berpikir (what to think rather than how to think). Guru Tembok Bata (Brickwall Teacher) kurang memberi kepercayaan kepada siswa untuk mengembangkan Inner Discipline-nya.
- Guru Ubur-ubur (Jellyfish Teacher). Berbanding terbalik dengan Guru Tembok Bata, guru tipe yang kedua ini sama sekali tidak memiliki ketegasan dan cenderung lemah dalam mengelola kelas, sehingga memungkinkan terjadinya kekacauan dan anarki di kelas. Tidak memiliki aturan dan struktur yang jelas, serta seringkali menetapkan aturan dan hukuman yang tidak konsisten. Guru tipe ini cenderung menggunakan ancaman dan emosional serta meremehkan proses pembelajaran. Sama halnya dengan tipe guru Tembok Bata (Brickwall Teacher), guru tipe yang kedua ini juga tidak memperhatikan kebutuhan siswa akan pengembangan kemampuan Inner Discipline-nya.
- Guru Tulang Punggung (Backbone Teacher). Guru tipe ketiga ini adalah guru yang senantiasa berusaha memberikan dukungan dan menyediakan struktur yang diperlukan siswa untuk menyadari keunikan dan mengenal diri yang sejatinya. Proses pembelajaran berlangsung secara demokratis dengan aturan yang sederhana tetapi jelas. Guru tipe yang ketiga ini selalu berusaha mendukung siswa untuk melakukan kegiatan yang kreatif, konstruktif dan bertanggung jawab, memotivasi siswa agar dapat melakukan semua hal yang mereka miliki bisa. Guru Tulang Punggung (Backbone Teacher) berupaya membelajarkan siswa bagaimana berpikir dan memperoleh kepercayaan terhadap diri sendiri maupun orang lain. Pada Guru Tulang Punggung (Backbone Teacher) inilah memungkinkan terjadinya pengembangan Inner Discipline siswa.
Coloroso
berkeyakinan bahwa dalam berhubungan dengan siswa, seorang guru seyogyanya
dapat membantu siswa untuk mengembangkan Inner Discipline-nya. Dalam
arti, membantu siswa agar mampu menunjukkan perilaku yang kreatif, konstruktif,
kooperatif, dan bertanggung jawab, tanpa harus diatur dan dikendalikan orang
lain. Siswa dibelajarkan untuk menerima masalah yang dimiikinya, mengambil
tanggung jawab penuh atas masalah perilakunya dan dapat mengambil
tindakan yang tepat untuk mengatasinya, bukan atas dasar rasa takut
tetapi berdasarkan pemahaman dan kesadaran bahwa memang itulah hal yang benar
untuk dilakukan (it is the right thing to do).
Teori
Inner Discipline meyakini bahwa setiap siswa pada dasarnya terhormat,
oleh karena itu sudah sepatutnya mereka menerima perlakuan secara terhormat dan
setiap saat dapat diperlakukan dengan tanpa harus melukai kehormatan dirinya.
Langkah-langkah penerapan Inner Discipline dikembangkan dalam 6
(enam) tahapan, yaitu: (1) identifikasi dan mendefinisikan masalah; (2)
menentukan kemungkinan-kemungkinan pemecahannya; (3) mengevaluasi
pilihan-pilihan yang tersedia; (4) memilih salah satu pilihan yang ada;
(5) membuat sebuah rencana dan melaksanakannya; (6) melakukan
retrospeksi, dengan mengevaluasi ulang masalah dan solusi yang dijalankan.
Menurut
Coloso, keenam langkah ini telah mencakup 3 R tentang Disiplin,
yaitu: (1) Restitusi: memperbaiki kerusakan perilaku dan
kepribadian yang dialami siswa ; (2) Resolusi: menentukan cara
untuk tidak membiarkan perilaku itu terjadi lagi atau dengan kata lain siswa
dapat menerima apa yang yang telah dilakukannya dan memulai hal baru; dan
(3) Rekonsiliasi: proses penyembuhan, siswa dibelajarkan untuk menghormati
rencana restitusi yang telah disepakati, dan berkomitmen untuk berbuat
sesuai dengan resolusi.
Menjadi
Guru Tulang Punggung (Backbone Teacher) yang mampu mengimplementasikan Inner
Discipline sebagaimana disarankan oleh Coloso tentu bukan hal yang mudah,
apalagi bagi guru-guru yang sudah kadung menjadi menjadi Guru Tembok Bata atau
Guru Ubur-ubur, tetapi barangkali itulah pilihan yang paling memungkinkan
dalam konteks pendidikan saat ini, yang mengedepankan proses pemanusiaan
manusia.
Bagaimana
pendapat Anda?
Sumber:
Diolah
dan adaptasi dari: metu.edu.tr dan
ditulis dengan judul yang sama dari tulisan saya yang disimpan di website
Guraru
No comments:
Post a Comment