PERTANYAAN LEBIH TAJAM,
BAGAIMANA KONSEP PENGHUKUMAN TERHADAP
ANAK-ANAK MENURUT FIQIH APAKAH SEJALAN DENGAN KONSEP ANTI KEKERASAN FISIK DI
DALAM HUKUM PERLINDUNGAN ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG 23/2002?
Jawaban:
Menurut Hukum Pidana Islam atau Fiqh Jinayah memukul anak sebagai penghukuman
dibolehkan, ketika umurnya sudah mencapai 10 tahun. Namanya hukuman ta’zir..
yang merupakan bagian dari syari’at islam yang berlaku semenjak diutusnya
Rasulullah saw. Oleh karenanya pada zaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin,
hukum pidana islam berlaku sebagai hukum publik. Yaitu hukum yang diatur dan
diterapkan oleh pemerintah selaku penguasa yang sah atau ulil amri.
Walaupun
dalam kenyataannya, masih banyak umat islam yang belum tahu dan paham tentang
apa dan bagaimana hukum pidana islam itu, serta bagaimana ketentuan-ketentuan
hukum tersebut seharusnya disikapi dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Maka pada kesempatan ini pemakalah akan mencoba menjelaskan tentang
hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum ta’zir, berikut dengan pengertian,
dasar hukum serta jarimah-jarimah yang meliputinya.(makalah
Fiqih: "TA'ZIR" Eka
Bonanza).
Ada tiga bagian jarimah yang
digolongkan menurut berat ringannya hukuman, yaitu Hudud, Qishas-Diyat dan
Ta’zir. Hudud dapat dikategorikan sebagai sebuah hukuman yang telah ditetapkan
oleh nash. Qishas-Diyat adalah hukuman yang apabila dimaafkan maka qishas dapat
diganti dengan diyat. Dan Ta’zir, adalah jarimah yang belum ada ketentuan
nasnya dalam Al-Qur’an. Belum ditentukan seberapa kadar hukuman yang akan
diterima oleh si tersangka/si pelaku kejahatan. Jarimah ta’zir lebih di
tekankan pada hukuman yang diberikan oleh pemerintah/kekuasaan mutlak berada di
tangan pemerintah tapi masih dalam koridor agama yang tidak boleh bertentangan
dengan hukum Allah swt.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan jarimah ta’zir?
2.
Apa dasar
hukum disyari’atkan jarimah ta’zir?
3.
Apa saja
hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum ta’zir?
C. Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan jarimah ta’zir.
2.
Untuk
mengetahui dan memahami apasaja dasar hukum disyari’atkan jarimah ta’zir.
3.
Untuk
mengetahui dan memahami hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum ta’zir.
A. PENGERTIAN
TA’ZIR
Menurut bahasa, lafaz ta’zir berasal
dari kata “azzara” yang berarti menolak dan mencegah, juga berarti mendidik,
mengagungkan dan menghormati, membantunya, menguatkan, dan menolong.[1]
Dari pengertian tersebut yang paling relevan adalah pengertian pertama yaitu
mencegah dan menolak, dan pengertian kedua yaitu mendidik. Karena ia dapat
mencegah pelaku agar tidak mengulangi lagi perbuatannya. Ta’zir diartikan
mendidik, karena ta’zir dimaksudkan untuk mendidik dan memperbaiki pelaku agar
ia menyadari perbuatan jarimahnya kemudian meninggalkan dan menghentikannya.
Pengertian ini sesuai dengan apa yang di kemukakan oleh Abdul Qadir Audah [2] dan Wa
dan Wahbah Zuhaili [3].
Menurut istilah, ta’zir didefinisikan oleh Al-Mawardi
sebagai berikut :
والّتعزير تأ د ب على ذنوب لم تشرع فيها الحدود
“Ta’zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas
perbuatan dosa yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’.[4]
Dari definisi yang dikemukakan
diatas, jelaslah bahwa ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas
jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’. Dikalangan
Fuqaha, jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’ dinamakan
jarimah ta’zir. Jadi, istilah ta’zir bisa digunakan untuk hukuman dan bisa juga
untuk jarimah (tindak pidana).
Ta’zir sering juga dapat dipahami
bahwa jarimah ta’zir terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak
dikenakan hukuman had atau kaffarat. Hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada
penguasa atau hakim. Hukuman dalam jarimah ta'zir tidak ditentukan ukurannya
atau kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan
sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan demikian, syari'ah mendelegasikan
kepada hakim untuk menentukan bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah.
B. HUKUM DISYARI’ATKAN JARIMAH TA’ZIR
1.
Ta`zir
adalah hukuman yang bersifat mendidik atas perbuatan dosa yang belum ditetapkan
oleh syara` atau hukuman yang diserahkan kepada keputusan Hakim. Dasar hukum
ta`zir adalah pertimbangan kemaslahatan dengan mengacu pada prinsip keadilan.
Pelaksanaannya pun bisa berbeda, tergantung pada tiap keadaan. Karena sifatnya
yang mendidik, maka bisa dikenakan pada anak kecil.
2.
Dalam
menetapkan jarimah ta'zir, prinsip utama yang menjadi acuan penguasa adalah
menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari
kemudharatan (bahaya). Di samping itu, penegakkan jarimah ta'zir harus sesuai
dengan prinsip syar'i.
3.
Bentuk
sanksi ta`zir bisa beragam, sesuai keputusan Hakim. Namun secara garis besar
dapat dibedakan menjadi beberapa macam, diantaranya yaitu hukuman mati bisa
dikenakan pada pelaku hukuman berat yang berulang-ulang. Hukuman cambuk,
hukuman penjara, hukuman pengasingan, menyita harta pelaku, mengubah bentuk
barang, hukuman denda, peringatan keras, hukuman nasihat, hukuman celaan,
ancaman, pengucilan, pemecatan, dan publikasi.
4.
Lihat QS.
Al-Maidah: 12, al-A’raf: 157.
QS.
Al-Maidah: 12
Artinya: “Dan Sesungguhnya Allah telah mengambil Perjanjian (dari) Bani Israil dan
telah Kami angkat diantara mereka 12 orang pemimpin dan Allah berfirman:
"Sesungguhnya aku beserta kamu, Sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat
dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka
dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik. Sesungguhnya aku akan
menutupi dosa-dosamu. dan Sesungguhnya kamu akan Kumasukkan ke dalam surga yang
mengalir air didalamnya sungai-sungai. Maka Barangsiapa yang kafir di antaramu
sesudah itu, Sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (QS.
Al-Maidah: 12)
Ø QS.
Al-A’raf: 157
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya)
mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang
menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan
yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan
bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan
belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman
kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang
diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung.”(
QS. Al-A’raf: 157)
Disamping itu dilihat dari segi
dasar hukum (penetapannya), ta’zir juga dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu
sebagai berikut:
1.
Jarimah
ta’zir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud atau qishash, tetapi
syarat-syaratnya tidak terpenuhi, atau ada syubhat, seperti pencurian yang
tidak mencapai nisab, atau oleh keluarga sendiri.
2.
Jarimah
ta’zir yang jenisnya disebutkan dalam nash syara’ tetapi hukumannya belum
ditetapkan, seperti riba, suap dan mengurangi takaran dan timbangan.
3.
Jarimah ta’zir
yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan oleh syara’ jenis ketiga ini
sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti pelanggaran disiplin pegawai
pemerintah, pelanggaran terhadap lingkungan hidup dan lalu lintas.[5]
C. HADITS-HADITS
YANG BERKAITAN DENGAN HUKUM TA’ZIR
1. Hadits Nabi
yang diriwayatkan oleh Burdah :
عن ابي بردة الانصاري انه سمع رسول
الله صلى الله عليه و سلم يقول : لا يجلد احد فوق عشرة اسواط الا فى حد من
حدود الله. (رواه مسلم )
Artinya: Dari Abu
Burdah Al Anshari r.a., katanya dia mendengar Rasulullah saw bersabda :
“Sesorang tidak boleh didera lebih dari sepuluh kali, melainkan hukuman yang
telah nyata ditetapkan Allah, seperti hukuman bagi orang berzina dan
sebagainya.” (Riwayat Muslim)[6]
Substansi:
a.
Untuk selain
dosa-dosa yang sudah ditentukan pukulan 40, 80 dan 100, tidak boleh dihukum
pukul lebih dari 10 dera (ta’zir).
b.
Ini berarti
hukuman yang tidak lebih dari 10 dera itu di serahkan kepada pertimbangan
hakim.
c.
Orang yang
dikenakan hukum oleh hakim muslim sebanyak 10 kali cambuk berdasarkan hadis di
atas dapat dimasukkan dalam hukuman ringan yang disebut dengan hukum ta’zir.
Hukuman ta’zir ini dapat dilakukan menurut keputusan hakim muslim misalnya
karena mengejek orang lain, menghina orang, menipu dan sebagainya. Dengan
demikian hukuman ta’zir ini keadaannya lebih ringan dari 40 kali dera yang
memang sudah ada dasarnya dari Nabi terhadap mereka yang minum minuman keras.
Berarti dibawah 40 kali cambuk itu dinyatakan sebagai hukuman ta’zir (yaitu
dipukul yang keras). Jadi orang yang melakukan peerbuatan-perbuatan yang
melanggar hukum syariat yang telah jelas hukumannya misalnya gadis yang berzina
dengan lelaki (yaitu dicambuk 100 kali), peminum minuman keras (sebanyak 40
kali) dan lainnya adalah termasuk melakukan pelanggaran syariat yang disebut
dengan hudud (Hukum Allah). Adapun yang lebih ringan disebut ta’zir yang
dilakukan menurut pertimbangan hakim muslim.[7]
d.
Yang
dimaksud had disini adalah had atas perbuatan maksiat, bukan hukum yang telah
ditetapkan dalam syariah. Akan tetapi, yang dimaksud disini adalah semua bentuk
perbuatan yang diharamkan. Semua hudud Allah adalah haram, maka pelakunya harus
dita’zir sesuai dengan kadar pertimbangan maslahat dan kemaksiatan yang
dilakukannya.[8]
2. Hadits Nabi
yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah :
عن عا عشة ان النبي قال اقيلوا ذوى
هيئا ت عسراتهم الا الحدود.
(رواه احمد ابو داوود و
النسائي و البيها قي)
Artinya: Dari ‘Aisyah
bahwasanya Nabi saw bersabda : ”Ampunkanlah gelinciran orang-orang yang
baik-baik kecuali had-had.” (Riwayat Ahmad, Abu Daud, An-Nasai, dan Baihakki) [9]
Substansi:
Maksudnya, bahwa orang-orang baik,
orang-orang besar, orang-orang ternama kalau tergelincir di dalam sesuatu hal,
ampunkanlah, karena biasanya mereka tidak sengaja kecuali jika mereka telah
berbuat sesuatu yang mesti didera maka janganlah di ampunkan mereka.
Mengatur tentang teknis pelaksanaan
hukuman ta’zir yang bisa berbeda antara satu pelaku dengan pelaku lainnya,
tergantung kepada status mereka dan kondisi-kondisi lain yang menyertainya.
Perintah “Aqi-lu” itu ditunjukan kepada para pemimpin/para tokoh, karena kepada
mereka itulah diserahi pelaksanaan ta’zir, sesuai dengan luasnya kekuasaan
mereka. Mereka wajib berijtihad dalam usaha memilih yang terbaik, mengingat hal
itu akan berbeda hukuman ta’zir itu sesuai dengan perbedaan tingkatan pelakunya
dan perbedaan pelanggarannya. Tidak boleh pemimpin menyerahkan wewenang pada
petugas dan tidak boleh kepada selainnya.[10]
Adapun tindakan sahabat yang dapat
dijadikan dasar hukum untuk jarimah dan hukuman ta’zir antara lain tindakan
Sayyidina Umar ibn Khattab ketika ia melihat seseorang yang menelentangkan
seekor kambing untuk disembelih, kemudian ia tidak mengasah pisaunya. Khalifah
Umar memukul orang tersebut dengan cemeti dan ia berkata: ”Asah dulu pisau itu”[11]
3. Hadits Nabi
yang diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim :
عن بهز ابن
حكيم عن ابي عن جدّه, أنّ النّبيّ صلى الله عليه وسلّم حبس فى التهمة (رواه ابو
داود و التّرمذي و النسا ئى والبيهقى و صّحيحه الحاكم)
Artinya: Dari Bahz ibn Hakim dari ayahnya dari kakeknya, bahwa
Nabi saw menahan seseorang karena disangka melakukan kejahatan. (Hadits
diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i, dan Baihaqi, serta dishahihkan
oleh Hakim).[12]
Substansi:
Hadits ini menjelaskan tentang
tindakan Nabi yang menahan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dengan
tujuan untuk memudahkan penyelidikan. Perkataan “karena suatu tuduhan” itu
menunjukkan bahwa penahanan itu disamping ada yang berstatus sebagai hukuman,
juga sebagai membersihkan diri.[13]
D. JENIS-JENIS
HUKUMAN TA’ZIR
Dalam menetukan hukuman tersebut, hakim hanya menentukan hukuman secara
umum saja artinya pembuat undang-undang tidak menetapkan hukuman untuk masing-
masing jarimah ta’zir, melainkan hanya menetapkan hukuman untuk masing-masing
jarimah ta’zir, dari yang seringan-ringan sampai seberat- beratnya. Jenis-jenis
hukuman ta’zir adalah sebagai berikut:
1. Hukuman Mati
Pada dasarnya hukuman ta’zir dalam hukum Islam adalah hukuman yang bersifat
mendidik. Sehingga dalam hukuman ta’zir tidak boleh ada pemotongan anggota
badan atau penghilangan nyawa. Tetapi sebagian besar fuqoha memberikan
pengecualian terhadap peraturan hukuman tersebut yaitu diperbolehkannya hukuman
mati apabila kepentingan umum menghendakinya atau kerusakan yang dilakukan
pelaku tidak bisa dihindari kecuali dengan membunuhnya, seperti menjatuhkan
hukuman mati kepada mata-mata, penyeru bid’ah (pembuat fitnah), atau residivis
yang berbahaya. Oleh karena itu, hukuman mati merupakan suatu pengecualian dari
aturan hukuman ta’zir, hukuman tersebut tidak boleh diperluas dan diserahkan
seluruhnya kepada hakim.
2. Hukuman Cambuk
Hukuman cambuk merupakan salah satu hukuman pokok dalam hukum Islam dan
hukuman yang ditetapkan untuk hukuman hudud dan hukuman ta’zir. Dikalangan
fuqoha‟ terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir.
Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama‟ Maliki, batas tertinggi
diserahkan kepada penguasa karena hukuman ta’zir didasarkan atas kemaslahatan
masyarakat dan atas dasar berat ringannya jarimah.
3. Hukuman Kawalan (Penjara atau Kurungan)
Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam. Pembagian ini didasarkan
pada lama waktu hukuman yaitu hukuman kawalan terbatas dan hukuman kawalan
tidak terbatas. Pertama, hukuman kawalan terbatas. Batas terendah dari hukuman
ini adalah satu hari, sedangkan batas tertinggi ulama‟ berbeda pendapat. Ulama‟
Syafi‟iyyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena mereka
mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina. Sementara ulama-ulama
lain menyerahkan semuanya kepada penguasa berdasarkan maslahat. Kedua, hukuman
kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak ditentukan
terlebih dahulu karena hukuman ini tidak terbatas, melainkan berlangsung terus
sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan
hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang-ulang
melakukan jarimah-jarimah yang berbahaya.
4. Hukuman Salib
Hukuman salib sudah dibicarakan dalam jarimah gangguan keamanan (hirobah),
dan para fuqoha mengatakan bahwa hukuman salib dapat menjadi hukuman ta’zir.
Akan tetapi untuk jarimah ta’zir hukuman salib tidak dibarengi atau didahului
dengan oleh hukuman mati, melainkan si terhukum disalib hidup-hidup dan tidak
dilarang makan minum, tidak dilarang mengerjakan wudhu, tetapi dalan
menjalankan shalat cukup dengan isyarat. Dalam penyaliban ini, menurut fuqoha
tidak lebih dari tiga hari.
5. Hukuman Pengucilan
Hukuman pengucilan merupakan salah satu jenis hukuman ta’zir yang
disyari‟atkan oleh Islam. Dalam sejarah, Rasulullah pernah melakukan hukuman
pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk, yaitu
Ka‟ab bin Malik, Miroroh bin Rubai‟ah dan Hilal bin Umayyah. Mereka dikucilkan
selama lima puluh hari tanpa diajak bicara. Sehingga turunlah firman Allah
surat At-Taubah ayat 118, sebagai berikut:
’n?tãur ÏpsW»n=¨W9$# šúïÏ%©!$# (#qàÿÏk=äz #Ó¨Lym #sŒÎ) ôMs%$|Ê ãNÍköŽn=tã ÞÚö‘F{$# $yJÎ ôMt6ãmu‘ ôMs%$|Êur óOÎgøŠn=tæ óOßgÝ¡àÿRr& (#þq‘Zsßur br& žw r'yfù=tB z`ÏB «!$# HwÎ) Ïmø‹s9Î) ¢OèO z>$s? óOÎgøŠn=tæ (#þqçqçFu‹Ï9 4 ¨bÎ) ©!$# uqèd Ü>#§qG9$# ÞOŠÏm§9$# ÇÊÊÑÈ
Artinya: “Dan
terhadap tiga orang yang tinggal, sehingga apabila bumi terasa sempit oleh
mereka meskipun dengan luasnya, dan sesak pula diri mereka, serta mereka
mengira tidak ada tempat berlindung dari Tuhan kecuali padaNya, kemudian Tuhan
menerima taubat mereka agar mereka bertaubat”(Q.S. At-Taubah: 118)
6. Hukuman Ancaman, Teguran, dan peringatan
Ancaman juga merupakan salah satu hukuman ta’zir, dengan syarat dapat akan
membawa hasil dan bukan hanya ancaman saja. Misalnya dengan ancaman cambuk,
dipenjarakan atau dihukum dengan hukuman yang lain jika pelaku mengulangi
tindakanya lagi. Sementara hukuman teguran bisa dilakukan apabila dipandang
hukuman tersebut bisa memperbaiki dan mendidik pelaku. Hukuman teguran pernah
dilakukan oleh Rasulullah terhadap sahabat Abu Dzar yang memaki-maki orang lain
dengan menghinakan ibunya. Hukuman peringatan juga diterapkan dalam syari‟at
Islam dengan jalan memberikan nasehat, kalau hukuman ini cukup membawa hasil.
Hukuman ini dicantumkan dalam Al-Qur‟an sebagaimana hukuman terhadap istri yang
berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz.
7. Hukuman Denda
Hukuman denda ditetapkan juga oleh syari‟at Islam sebagai hukuman. Antara
lain mengenai pencurian buah yang masih tergantung dipohonnya, hukumannya
didenda dengan lipat dua kali harga buah tersebut, disamping hukuman lain yang
sesuai dengan perbuatannya tersebut. Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap
orang yang menyembunyikan barang hilang. Sebagian fuqoha berpendapat bahwa
denda yang bersifat finansial dapat dijadikan hukuman ta‟zir yang umum, tapi
sebagian lainnya tidak sependapat.
E. PENDAPAT
IMAM MAZHAB
1.
Tersebut di
dalam suatu riwayat bahwa Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu menta’zir dan
memberi pelajaran terhadap seseorang dengan mencukur rambut, mengasingkan dan
memukul pelakunya, pernah pula beliau radhiyallahu ‘anhu membakar kedai-kedai
penjual khamr dan membakar suatu desa yang menjadi tenpat penjualan khamr.
Ta’zir dalam perkara yang disyariatkan adalah ta’zir yang wajib menurut
pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad rahimahumullah.[14]
2.
Adapun Imam
Syafi’i mengatakan bahwa Hukum Ta’zir itu tidak wajib.
A.
KESIMPULAN
Dari uraian singkat
tentang jinayat ta’zir di atas, terdapat hal-hal yang menarik perhatian kita
untuk dikaji lebih jauh, baik yang berkaitan tentang pengertian atau definisi
hingga pendapat para fuqaha tentang hal-hal yang berkaitan, yaitu :
1.
Kita dapat
menyimpulkan bahwa ta’zir adalah sebuah jarimah dengan kebijakan hukuman paling
ringan dibanding jarimah yang lain. Jarimah ini pun memiliki tingkat
kemungkinan paling luas, karena keputusan hukuman sangat bergantung pada hakim.
2.
Rasulullah
melarang para hakim untuk memberikan hukuman pada terdakwa pelaku jarimah
ta’zir melebihi hukuman had atau untuk jarimah yang telah ditetapkan hukumannya
oleh Allah. Karena sesungguhnya hukuman jarimah ta’zir di tujukan untuk
mendidik agar pelaku tidak melanggar itu kembali.
B.
SARAN
Menurut
pemakalah, Hukum Ta’zir di dalam Islam harus dilaksanakan pada setiap perbuatan
maksiat yang tidak ada hukuman had ataupun ketentuan membayar kafaratnya.
Karena, perbuatan tersebut termasuk kategori perbuatan yang terlarang dalam
syariat. Pelaksanaan hukuman ta’zir berbeda-beda sesuai dengan kejahatan yang
diperbuat, sebab kejahatan sendiri ada bermacam-macam, dari yang ringan sampai
yang berat. Hukum Ta’zir dan semua hukum islam yang diperintahkan oleh Allah
adalah hukuman yang paling efektif. Kerena memenuhi semua aspek dari sebuah
hukuman yaitu preventive, edukatif dan repressive. Sehingga dapat mewujudkan
kehidupan yang aman, damai dan tentram.
DAFTAR
PUSTAKA
Shan’Ani ASH, Subulus Salam,
jilid 4, Surabaya: Al-Ikhlas. 1996
Bahreisj, Hussein, Terjemah Hadits Shahih Muslim
3, Jakarta : Widjaya, 1983
Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam,
Jakarta: Sinar Grafika Offset.
2005, Cet.II.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Koleksi
Hadis-Hadis Hukum, jilid
9, Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra. 2001, Cet III
Bahreisj, Hussein Khallid, Himpunan Hadits
Shahih Muslim, Surabaya : Al-
Ikhlas, 1987
Al-fauzan, Saleh, Terjemah Al-mulakhkhasul fiqh.
Terj. Ahmad Ikhwani,dkk,
Jakarta : Gema Insani, 2005
Ujian tertutup : 17
Juni 2014;
PERTANYAAN DAN SARAN PERBAIKAN UNTUK
UJIAN TERTUTUP:
1.
Masalah teknis dan bahasa;
a.
Nomor halaman dalam daftar isi tidak
sama dengan nomor halaman di dalam isi/batang tubuh;
b. Kalimat ada yang tidak lengkap, tidak jelas pokok dan
sebutannya; misalnya halaman 7, kalimat pertama alinea kedua (yang diakhiri
dengan catatan kaki nomor 12 dan 13); serta kalimt dalam catatan kaki nomor 12
dan 13 itu juga.
c.
Salah ketik huruf, salah
menuliskan/meletakkan tanda baca, salah menuliskan bentuk huruf (miring atau
tegak, tebal atau tipis) misalnya halaman 7, nama buku, nama undang-undang dan
seterusnya.
d. Penulisan Daftar Pustaka, tidak baku dan tidak taat asas,
misalnya tidak sesuai dengan abjad;
e.
Ada daftar ralat dan sisipan yang
relatif sangat panjang (9 halaman) yang tidak lazim dalam penulisan disertasi;
sisipan ini tidak jelas apakah akan dimasukkan atau tidak ke dalam disertasi;
kalau dimasukkan tidak dijelaskan juga di bagian mana, karena tidak ada nomor
halamannya; format pengetikannya pun tidak baku.
Disarankan kepada promovendus untuk
meminta bantuan ahli bahasa guna melakukan penyuntingan, meliputi perbaikan
bahasa dan memeriksa kesalahan pengetikan dan format penulisan.
2.
Masalah dan pertanyaan yang diteliti
adalah mengenai konsep hukuman yang berisi kekerasan fisik terhadap anak-anak
menurut fiqih sekiranya dibandingkan dengan UU 23/02.
a.
Mungkin pertanyaan ini akan lebih
tajam sekiranya diubah menjadi: Bagaimana konsep penghukuman terhadap anak-anak
menurut fiqih; apakah sejalan dengan konsep anti kekerasan (perlindungan)
terhadap anak menurut UU 23/02 atau tidak.
b. Tidak ada bagian yang membahas definisi operasional. Karena
itu istilah yang digunakan cenderung tidak terjelaskan secara baik; apa yang
dimaksud dengan hukuman fisik serta kekerasan terhadap anak, cenderung tidak
jelas; apakah hukuman fisik dan kekerasan berkaitan dengan putusan pengadilan
atau lebih luas dari itu, tidak ada penjelasannya. Begitu juga apa yang
dimaksud dengan istilah Hukum Islam tidak dijelaskan secara memadai; apakah
identik dengan fiqih atau identik dengan syari`ah.
3.
Bidang ilmu dan teori yang
digunakan; kelihatannya apa bidang ilmu dan apa teori utama yang digunakan
dalam penelitian ini belum terjelaskan
dengn baik.
Rasanya akan sangat baik apabila dua
hal ini dimasukkan ke dalam disertasi.
4.
BAB II DASAR-DASAR KETENTUAN HUKUM
DALAM ISLAM:
a.
Uraian tentang “Sumber Hukum Islam”
dianggap tidak memadai karena tidak dilanjutkan dengan bagaimana cara memahami
dan mengambil hukum dari ayat dan hadis;
b. Uraian tentang “Karakteristik Hukum Islam” tidak disebutkan
sumber kutipan dan alasan pemilihannya, sehingga susah untuk ditelusuri kenapa
begitu isi dan jumlahnya.
c.
Uraian tentang “Kebijksanaan Hukum
Islam” juga sukar diketahui ke mana arah dan apa yang ingin dicapai dari uraian
tersebut. Dalam “Daftar Isi” ada dua bagian uraian dalam anak bab ini; tetapi
di dalam isi hanya ada satu bagian saja. Kalau memang hanya dibagi menjadi satu
bagian saja, maka akan lebih baik tidak ada pembagian lagi.
5.
BAB III UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN
2002
a.
Apa saja bentuk kekerasan terhadap
anak seperti disebutkan dalam UU tidak dibahas secara khusus dan runtut,
sehingga menjadi tidak jelas apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan
terhadap anak menurut UU ini.
b. Sebagai contoh pada halaman 247 dituliskan uraian bahwa
menurut undang-undang: “Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran
penganiayaan, peyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.” Penulis
tidak memberi uraian memadai tentang apa yang dimaksud dengan istilah-istilah
tersebut, sehingga tidak jelas kenapa dianggap berbeda dengan ketentuan dalam
hukum Islam. Menurut penguji semua yang disebtkan di atas juga dilarang oleh
syariah. Karena itu seharusnya tidak ada perbedaan besar antara UU 23/02 dengan
ketentuan dalam Al-qur’an dan hadis sahih.
c.
Uraian dalam angka 4, “Sisi yang
Tidak Dapat Dikompromikan” cenderung masih terlalu sederhana sehingga tidak
jelas ke mana arahnya dan apa kesimpulannya.
d. Hadis-hadis tentang kebolehan memukul anak dalam Islam tidak
diuraikan secara memadai sehingga terasa menggantung dan tidak memuaskan.
6.
KESIMPULAN
Isi kesimpulan masih terlalu
sederhana, karena tidak menunjukkan tentang adanya pembahasan mendalam yang
dilakukan di dalam disertasi.
7.
SARAN UMUM
Perlu penyempurnaan dan penambahan
uraian, data dan analisis pada bagian-bagian yang sudah dibicarakan di
atas.
Pekanbaru, 16 Juni 2014.
Al Yasa` Abubakar, Prof. Dr.
[1 ] Ibrahim Unais, et. al.,
Al-Mu’jam Al-Wasith, Juz II, Dar
Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi, tanpa tahun, hlm. 598.
[2] dan Wa Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz I,
Dar Al-Kitab Al-A’rabi, Beirut, tanpa tahun, hlm. 81.
[3] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI, Dar Al-Fikr, Damaskus,
1989, hlm. 197.
[4] Abu Al-Hasan Ali Al-Mawardi, Kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah, Dar
Al-Fikr, Beirut, 1996, hlm. 236.
[5] Drs. H. Ahmag Wardi Muslich. Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar
Grafika, 2005. Hlm. 255
[6] Hussein Bahreisj, Terjemah Hadits Shahih Muslim 3,
Jakarta : Widjaya 1983, Hal. 255
[7] Hussein Khallid Bahreisj, Himpunan Hadits Shahih
Muslim, Surabaya : Al-Ikhlas, 1987, Hal. 241-242
[8] Saleh al-fauzan, Terjemah Al-mulakhkhasul fiqh.
Terj. Ahmad Ikhwani,dkk, Jakarta : Gema Insani, 2005, Hal. 847
[9] Al-Asqalany Ibnu Hajar, Terjemah Bulughul Maram,
Bandung : CV. Penerbit Diponegoro 2002, Cet. 26, Hal. 576-577
[10] Ash.Shan’Ani, Subulussalam, Terj. H.Abubakar Muhammad, Surabaya: Al-Ikhlas,
hlm. 158
[11] Abd Al-Qadir Audah, I, op. cit., hlm. 155-156
[12] Teuku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum,
Juz IX, PT.Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2001,
hlm. 202.
[13] Mu’ammal Hamdy dkk, Nailul Authar, Juz VI, PT Bina Ilmu,
Surabaya, 2005, hlm. 2662-2663
[14] Sa’id Abdul ‘Adhim, Kafarah Penghapus
Dosa, Terj. Abu Najiyah Muhaimin bin Subaidi, Malang : Cahaya Tauhid Press,
Hal. 76
No comments:
Post a Comment