GURU UBUR-UBUR (JELLYFISH TEACHER).
Catatan M.Rakib LPMP Riau Indonesia. 2004
Bekalnya cukup, untuk berbur
Di hutan jati, jangan tersesat
Mulianya hidup, sebagai guru
Sampai mati, tetap bermanfaat
Sang guru laiknya matahari di siang hari dan rembulan di
malam hari.Kehadirannya amat dibutuhkan dan dirindukan karena keikhlasannya
dalam menularkan ilmunya, keberadaannya menyejukkan hati karena kasih sayangnya
yang tulus. Sebuah sosok dan figur yang terukir dan terpatri di hati hingga
menjadi obsesi hampir disetiap murid.Sungguh mulia menjadi seorang guru yang
bagai matahari di siang hari dan rembulan di malam hari.
Kenangan itu serasa masih dipelupuk mata padahal kejadian itu sudah hampir
tiga puluh tahun berlalu.
Kini,segalanya sudah berubah.Mula-mula gejala
alam akibat keserakahan manusia yang berujung terjadinya bencana
bertubi-tubi, disusul dengan kemajuan teknologi yang melesat tanpa bisa dibendung,tragisnya
usernya (manusia)tidak dibekali dengan pondasi aqidah dan akhlak yang kuat dan
kokoh.Sehingga guru banyak mengalami kesulitan dan hambatan dalam menanamkan
caracter building pada anak didik disatu sisi, sementara anak didik
kurang begitu yakin dengan keikhlasan dan kasih sayang dari guru dalam berbagai
interaksinya di sisi lain.Kondisi ini diperparah oleh sebagian besar orang tua
selaku wali murid yang kurang bahkan tidak peka dan tidak peduli terhadap
perkembangan psikhis dan fisiologis anak. Hal ini ditandai dengan
persepsi sebagian besar orangtua (wali murid) yang menganggap di sekolah segala
permasalahan anaknya sudah teratasi, sementara orang tua tinggal menunggu dan
melihat hasilnya.
Dalam kondisi seperti ini hal yang dibutuhkan
adalah kearifan dari berbagai pihak dan elemen lembaga pendidikan untuk
saling proakatif mengambil peran positif sehingga terbangun sinergi
diametral sesama stake holder. Dengan tujuan adanya satu persepsi dalam
mendidik anak yang kelak diharapkan menjadi generasi yang unggul dalam iptek
dan tangguh dalam imtak.Tentu semua itu belum cukup untuk mewujudkan masyarakat
madani yang mumpuni kecuali semua sepakat untuk senantiasa menjalankan segala
aktivitas sesuai dengan sunnah-sunnah Rasululoh sallallohu alaihi wa sallam
khususnya dalam hal yang terkait dengan ubudiyah, karena hanya beliaulah
satu-satunya sosok uswah hasanah.
Penulis terterik dengan ungkapan AKHMAD
SUDRAJAT tentang guru ubur-ubur..
Tata
tertib kelas, pengendalian kelas, manajemen kelas atau apapun namanya,
merupakan hal yang amat krusial bagi seorang guru. Apabila seorang guru tidak
mampu memelihara disiplin dalam kelas maka kemungkinan proses pembelajaran akan
mengalami kegagalan. Kegiatan ini merupakan langkah awal untuk menciptakan
sebuah lingkungan belajar yang kondusif.
Sebagai
agen sosialisasi (socialization agent), guru hendaknya membelajarkan
siswa tentang berbagai perilaku yang sesuai dengan tuntutan situasi.
Dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan siswa, guru menyampaikan
berbagai pesan kepada siswa agar dapat berperilaku sesuai dengan situasi yang
diharapkan di kelas.
Terdapat
4 (empat) hal penting untuk mencapai kesuksesan di kelas:
- Guru perlu merencanakan secara matang pendekatan individual dalam mendisiplinkan siswa.
- Guru harus memahami secara baik berbagai teori disiplin, beserta asumsi yang mendasarinya.
- Guru memahami nilai-nilai dan filsafat pendidikan yang diyakininya.
- Guru harus mampu menentukan pendekatan disiplin yang sejalan dengan keyakinan siswanya, sehingga tidak menimbulkan kebingungan siswa dan konflik personal.
Sesungguhnya,
banyak teori tentang disiplin yang bisa kita terapkan, salah-satunya
adalah teori Inner Discipline yang digagas oleh Barbara Coloroso.
Dalam upaya mendisiplinkan siswa di kelas (sekolah), Coloroso mengemukakan 3
(tiga) kategori guru (dalam tulisan ini saya menggunakan istilah tipe guru),
yaitu: (1) Brickwall Teacher (Guru Tembok Bata); (2) Jellyfish
Teacher (Guru Ubur-ubur); dan (3) Backbone Teacher (Guru
Tulang Punggung). Berikut ini disampaikan penjelasan singkat dari ketiga tipe
tersebut:
- Guru Tembok Bata (Brickwall Teacher). Guru tipe ini berusaha membatasi dan mengendalikan siswa secara ketat, menganggap siswa sebagai bawahan dan kerap menghina siswa. Disini tidak ada wilayah abu-abu, yang ada hanyalah dikhotomi antara hitam dan putih. Guru tipe ini mengoperasikan tugas dalam suasana ketakutan, melalui aturan tetap dan kaku, menekankan ketepatan waktu, kebersihan dan ketertiban. Dalam proses pembelajaran sering mematahkan kehendak siswa, menekankan ritual dan hafalan, lebih mengandalkan pada kompetisi dan mengajarkan tentang apa yang harus dipikirkan daripada bagaimana berpikir (what to think rather than how to think). Guru Tembok Bata (Brickwall Teacher) kurang memberi kepercayaan kepada siswa untuk mengembangkan Inner Discipline-nya.
- Guru Ubur-ubur (Jellyfish Teacher). Berbanding terbalik dengan Guru Tembok Bata, guru tipe yang kedua ini sama sekali tidak memiliki ketegasan dan cenderung lemah dalam mengelola kelas, sehingga memungkinkan terjadinya kekacauan dan anarki di kelas. Tidak memiliki aturan dan struktur yang jelas, serta seringkali menetapkan aturan dan hukuman yang tidak konsisten. Guru tipe ini cenderung menggunakan ancaman dan emosional serta meremehkan proses pembelajaran. Sama halnya dengan tipe guru Tembok Bata (Brickwall Teacher), guru tipe yang kedua ini juga tidak memperhatikan kebutuhan siswa akan pengembangan kemampuan Inner Discipline-nya.
- Guru Tulang Punggung (Backbone Teacher). Guru tipe ketiga ini adalah guru yang senantiasa berusaha memberikan dukungan dan menyediakan struktur yang diperlukan siswa untuk menyadari keunikan dan mengenal diri yang sejatinya. Proses pembelajaran berlangsung secara demokratis dengan aturan yang sederhana tetapi jelas. Guru tipe yang ketiga ini selalu berusaha mendukung siswa untuk melakukan kegiatan yang kreatif, konstruktif dan bertanggung jawab, memotivasi siswa agar dapat melakukan semua hal yang mereka miliki bisa. Guru Tulang Punggung (Backbone Teacher) berupaya membelajarkan siswa bagaimana berpikir dan memperoleh kepercayaan terhadap diri sendiri maupun orang lain. Pada Guru Tulang Punggung (Backbone Teacher) inilah memungkinkan terjadinya pengembangan Inner Discipline siswa.
Coloroso
berkeyakinan bahwa dalam berhubungan dengan siswa, seorang guru seyogyanya
dapat membantu siswa untuk mengembangkan Inner Discipline-nya. Dalam
arti, membantu siswa agar mampu menunjukkan perilaku yang kreatif, konstruktif,
kooperatif, dan bertanggung jawab, tanpa harus diatur dan dikendalikan orang
lain. Siswa dibelajarkan untuk menerima masalah yang dimiikinya, mengambil
tanggung jawab penuh atas masalah perilakunya dan dapat mengambil
tindakan yang tepat untuk mengatasinya, bukan atas dasar rasa takut
tetapi berdasarkan pemahaman dan kesadaran bahwa memang itulah hal yang benar
untuk dilakukan (it is the right thing to do).
Teori
Inner Discipline meyakini bahwa setiap siswa pada dasarnya terhormat,
oleh karena itu sudah sepatutnya mereka menerima perlakuan secara terhormat dan
setiap saat dapat diperlakukan dengan tanpa harus melukai kehormatan dirinya.
Langkah-langkah penerapan Inner Discipline dikembangkan dalam 6
(enam) tahapan, yaitu: (1) identifikasi dan mendefinisikan masalah; (2)
menentukan kemungkinan-kemungkinan pemecahannya; (3) mengevaluasi
pilihan-pilihan yang tersedia; (4) memilih salah satu pilihan yang ada;
(5) membuat sebuah rencana dan melaksanakannya; (6) melakukan
retrospeksi, dengan mengevaluasi ulang masalah dan solusi yang dijalankan.
Menurut
Coloso, keenam langkah ini telah mencakup 3 R tentang Disiplin,
yaitu: (1) Restitusi: memperbaiki kerusakan perilaku dan
kepribadian yang dialami siswa ; (2) Resolusi: menentukan cara
untuk tidak membiarkan perilaku itu terjadi lagi atau dengan kata lain siswa
dapat menerima apa yang yang telah dilakukannya dan memulai hal baru; dan
(3) Rekonsiliasi: proses penyembuhan, siswa dibelajarkan untuk
menghormati rencana restitusi yang telah disepakati, dan berkomitmen
untuk berbuat sesuai dengan resolusi.
Menjadi
Guru Tulang Punggung (Backbone Teacher) yang mampu mengimplementasikan Inner
Discipline sebagaimana disarankan oleh Coloso tentu bukan hal yang mudah,
apalagi bagi guru-guru yang sudah kadung menjadi menjadi Guru Tembok Bata atau
Guru Ubur-ubur, tetapi barangkali itulah pilihan yang paling memungkinkan
dalam konteks pendidikan saat ini, yang mengedepankan proses pemanusiaan
manusia.
Bagaimana
pendapat Anda?
Sumber:
Diolah
dan adaptasi dari: metu.edu.tr
dan ditulis dengan judul yang sama dari tulisan saya yang disimpan di website
Guraru
No comments:
Post a Comment