DAS SEIN
DAN DAS SOLLEN
Nah
, Sudikno Mertokusumo mengatakan apa yang dinamakan penemuan hukum lazimnya
adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya
yang diberi tugas untuk melaksanakan hukum atau menetapkan peraturan hukum umum
terhadap peristiwa hukum yang konkret. Lebih lanjut dikatakan bahwa penemuan
hukum merupakan konkretisasi dan individualisasi peraturan (das sollen) yang bersifat umum dengan
mengingat akan peristiwa konret (das
sein) tertentu.
entu lebih berkualitas. Thanks for
stopping by :)
Das
Sollen adalah segala sesuatu yang mengharuskan kita untuk berpikir dan
bersikap. Contoh : dunia norma, dunia kaidah dsb. Dapat diartikan bahwa das
sollen merupakan kaidah dan norma serta kenyataan normatif seperti apa yang
seharusnya dilakukan.
Das Sein adalah segala sesuatu yang merupakan implementasi dari segala hal yang kejadiannya diatur oleh das sollen dan mogen. Dapat dipahami bahwa das sein merupakan peristiwa konkrit yang terjadi.
Merokok merupakan peristiwa konkrit (das sein) tetapi bila orang merokok di dekat pom bensin dan terjadi ledakan akibat orang yang merokok tersebut, maka merokok menjadi peristiwa hukum yang dapat menyebabkan perokok tersebut dihukum.
Peristiwa konkrit (das sein) memerlukan das sollen untuk menjadi peristiwa hukum. Begitu pula sebaliknya, dunia norma (das sollen) juga memerlukan peristiwa konkrit (das sein) untuk menjadi peristiwa hukum. Contoh : terdapat aturan "barangsiapa membunuh harus dihukum..", maka bila tidak terjadi pembunuhan maka tidak berlaku pula aturan ini. Sehingga kami mempunyai kesimpulan umum bahwa das sollen dan das sein itu saling melengkapi satu sama lain.
Paul
Scholten menyatakan yang dimaksud dengan penemuan hukum adalah sesuatu yang
lain daripada hanya penerapan peraturan pada peristiwanya. Kadang-kadang dan
bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan, baik dengan
jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi atau ataupun rechtsverfijning
(penghalusan/pengkonkretan hukum).[1][14] Sedangkan D.H.M. Meuwissen berpendapat mengatakan penemuan
hukum ihwalnya adalah berkenaan dengan konkretisasi produk pembentukan hukum.
Penemuan hukum adalah proses kegiatan
pengambilan yuridik konkret yang secara langsung menimbulkan akibat hukum bagi
situasi individual (putusan-putusan hakim, ketetapan, pembuatan akta oleh
notaris, dan sebagainya).[2][15] Dengan demikian dalam penemuan hukum yang penting adalah
bagaimana mencarikan atau menemukan hukumnya untuk peristiwa konkret (in-concreto).[3][16]
Dalam
rangka menemukan hukum, Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan, bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat”. Adapun dalam penjelasan pasal tersebut menyatakan,
bahwa “Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai
dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat”. Dengan demikian ketentuan tersebut
memberi makna hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai hidup dalam
masyarakat, ia seharusnya dapat mengenal, merasakan, dan mampu menyelami
perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.[4][17]
Untuk dapat menemukan hukum, hakim dalam memeriksa dan
memutus suatu perkara menggunakan metode penemuan hukum. Metode penemuan hukum
yang dianut dewasa ini, seperti yang dikemukakan antara lain oleh J.J.H. Bruggink
meliputi metode interpretasi (interpretation
methoden) dan konstruksi hukum ini
terdiri atas nalar analogi yang gandengannya (spiegelbeeld) a contrario,
dan ditambah bentuk ketiga oleh Paul Scholten penghalusan hukum (rechtsverfijning) yang dalam bahasa
Indonesia oleh Soedikno Mertokusumo disebut penyempitan hukum.[5][18]
Menurut Achmad Ali, ada 2 (dua) teori penemuan hukum yang
dapat dilakukan oleh hakim dalam praktik peradilan, yaitu melalui metode
interpretasi atau penafsiran hukum dan metode konstruksi hukum.[6][19] Ada perbedaan pandangan tentang metode
atau cara penemuan hukum oleh hakim menurut yuris dari Eropa Kontinental dengan
yuris yang berasal dari Anglo Saxon.
Pada umumnya yuris Eropa Kontinental tidak memisahkan secara tegas antara
metode interpretasi hukum dengan metode konstruksi hukum. Hal ini dapat dilihat
dalam paparan buku-buku Paul Scholten, Pitlo, Sudikno Mertokusumo, dan Yudha
Bhakti Adiwisastra. Sebaliknya, para penulis yang condong ke sistem Anglo Saxon, seperti Curzon, B. Arief
Shidharta, dan Achmad Ali membuat pemisahan secara tegas antara metode
interpretasi hukum dan metode konstruksi hukum.[7][20]
Secara umum ada 11 (sebelas) macam
metode interpretasi hukum antara lain sebagai berikut:
1.
Interpretasi
gramatikal, yaitu menafsirkan kata-kata dalam undang-undang sesuai kaidah
bahasa dan kaidah hukum tata bahasa;
2.
Interpretasi historis, yaitu mencari maksud
dari peraturan perundang-undangan itu seperti apa yang dilihat oleh pembuat
undang-undang itu dibentuk dulu;
3.
Interpretasi
sistematis, yaitu metode yang menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari
keseluruhan sistem perundang-undangan, artinya tidak satu pun dari peraturan
perundang-undangan tersebut dapat ditafsir- kan seakan-akan berdiri sendiri,
tetapi harus selalu dipahami dalam kaitannya dengan jenis peraturan lainnya;
4.
Interpretasi
teleologis/sosiologis, yaitu pemaknaan suatu aturan hukum yang ditafsirkan
berdasarkan tujuan pembuatan aturan hukum tersebut dan apa yang ingin dicapai
dalam masyarakat;
5.
Interpertasi
komparatif merupakan metode penafsiran dengan jalan memperbandingkan antara
berbagai sistem hukum. Dengan memperbandingkan hendak dicari kejelasan mengenai
makna suatu ketentuan peraturan perundang-undangan;
6.
Interpretasi
futuristik/antisipatif merupakan metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi
yang menjelaskan undang-undang yang berlaku sekarang (ius constitutum) dengan berpedoman pada undang-undang yang belum
mempunyai kekuatan hukum (ius
constituendum);
7.
Interpretasi
restriktif, yaitu metode penafsiran yang sifatnya membatasi atau mempersempit
makna dari suatu aturan;
8.
Interpretasi
ekstensif, yaitu metode interpretasi yang membuat interpretasi melebihi
batas-batas yang biasa dilakukan melalui interpretasi gramatikal;
9.
Interpretasi
autentik, yakni dimana hakim tidak diperkenankan melalukan penafsiran dengan
cara lain selain dari apa yang ditentukan pengertiannya di dalam undang-undang
itu sendiri;
10. Interpretasi
interdisipliner, yakni dimana hakim akan melakukan penafsiran yang disandarkan
pada harmoni-sasi logika yang bersumber pada asas-asas hukum lebih dari satu
cabang kekhususan dalam disiplin ilmu hukum;
11. Interpretasi
multidisipliner, yakni dimana hakim mem-butuhkan verifikasi dan bantuan dari
disiplin ilmu lain untuk menjatuhkan suatu putusan yang seadil-adinya serta
memberikan kepastian bagi para pencari keadilan.[8][21]
Dalam metode konstruksi hukum ada 4 (empat) metode yang
digunakan oleh hakim pada saat melakukan penemuan hukum, yaitu:
1.
Argumentum Per Analogiam (analogi) merupakan metode penemuan
hukum dimana hakim mencari esensi yang lebih umum dari sebuah peristiwa hukum
atau perbuatan hukum yang baik yang telah diatur oleh undang-undang maupun yang
belum ada peraturan nya;
2.
Argumentum a Contrario, yaitu dimana hakim melaku-kan
penemuan hukum dengan pertimbangan bahwa apabila undang-undang menetapkan
hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, berarti peraturan itu terbatas pada
peristiwa tertentu itu dan bagi peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya;
3.
Penyempitan/Pengkonkretan
hukum (rechtsverfijning) bertujuan
untuk mengkonkretkan/menyempitkan suatu aturan hukum yang terlalu abstrak,
pasif, serta sangat umum agar dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa
tertentu;
4.
Fiksi hukum merupakan
metode penemuan hukum yang mengemukakan fakta-fakta baru, sehingga tampil suatu
personifikasi yang baru di hadapan kita.[9][22]
Di samping metode penemuan hukum oleh hakim berupa
interpretasi hukum dan konstruksi hukum, perlu dikemukakan suatu metode
penemuan hukum yang lain yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam praktik
peradilan sehari-hari sebagai alternatif metode penemuan hukum baru oleh hakim
yang berdasarkan pada interpretasi teks hukum. Metode penemuan hukum ini
dinamakan hermeneutika hukum. Hermeneutika hukum sebenarnya bukan sesuatu yang
berdiri sendiri, sebaliknya justru lebih tepat bila digunakan untuk memecahkan
berbagai persoalan hermeneutis dan menemukan kesatuan hermeneutis masa lalu,
dimana para ahli hukum dan teolog bertemu dengan mereka yang mengkaji ilmu-ilmu
humaniora.[10]
No comments:
Post a Comment