SURAT CINTA BERUSIA 500
TAHUN
MENGURAS AIR MATA
Catatan sementara M.Rakib
Pekanbaru
Tolong
baca surat ini dan berikan jawabanmu melalui mimpiku.
Karena
aku ingin mendengar penjelasan lengkapmu dalam mimpiku,
kubuat surat ini dan kuletakkan di dekatmu.
Lihatlah
lebih dekat dan bicaralah padaku.
Entah kapan aku melahirkan bayi yang kukandung
ini, siapa pula nanti yang bisa ia panggil ayah? Adakah orang yang bisa
merasakan penderitaan yang kualami? Hanya aku yang merasakan tragedi pedih ini
di muka bumi.
Kau hanya berada di tempat yang berbeda dan
tak merasakan rasa duka yang dalam seperti yang kurasakan. Selamanya aku akan
menderita. Tolong baca surat ini dan temui aku dalam mimpi, aku ingin
melihatmu, aku aku ingin mendengar jawabanmu. Aku percaya aku bisa melihatmu
dalam mimpi. Datanglah diam-diam dan tunjukkan dirimu. Ada banyak hal yang
ingin aku katakan..."
Sungguh mengharukan sekali, ya Ladies. Sudah
ratusan tahun berlalu, tapi perasaan duka sang istri karena ditinggal suaminya
masih bisa kita rasakan. Orang yang kita cintai memang bisa pergi
sewaktu-waktu. Tapi perasaan cinta kita padanya 'kan abadi selamanya.
Aku tak ingin berjuang sendirikehabisan darah lalu mati
sementara kau bisa bebas pergi.
Aku ingin bisa memaki
hadirnya ransel penuh bahan makanan
di punggungmu.
Sementara aku harus bertahan
lewat sisa roti yang terasa terlalu keras di mulutmu.
Bolehkah kulempar granat ke hatimu?
Hanya ingin tahu
mungkinkah ia remuk, karena aku?
Dulu, aku pernah percaya bahwa — suatu hari — kita akan bahagia
Tapi kamu membuatku percaya bahwa suatu hari semua perbedaan ini akan menemui muaranya. Kita akan tetap baik-baik saja.
Kubayangkan suatu hari kamu tidak akan keberatan kuajak naik kereta ke Pulau Dewata. Berbekal keril dan makanan kering seadanya. Hari itu kamu tidak takut keringat, tidak khawatir lelah. Walau punggung dan pantat pegal terhajar dudukan yang terlampau lurus, jok yang terlalu tipis. Kita akan tertawa melihat betapa kakunya kakimu terjepit diantara kursi yang sempit.
Dan kamu akan bahagia.
Pada suatu hari lainnya kamu akan mengerti cara bicaraku yang aneh. Bahwa kadang tidak berarti iya ; tidak sakit artinya sakit sekali ; terserah setara dengan dengar mauku. Kita akan berbicara banyak hal yang sama. Menggumamkan lagu yang kita gemari. Sesekali bertukar buku, barangkali.
Dan kamu akan bahagia.
Suatu hari, kita akan duduk berdampingan dengan nyaman. Merasa saling tergenapkan. Tanpa alasan, tanpa banyak usaha. Aku membuatmu cukup, kau menghormatiku sepantasnya. Kita saling menghargai, sebab tak ada alasan masuk akal untuk saling menikam pisau dalam sunyi. Akan ada puisi manis dan pesan singkat spontan yang rawan membuat kita sakit gigi.
Alih-alih tak paham, kamu, kita, akan bahagia.
Kutelan segala omong kosong soal cinta. Kuberikan semua yang aku punya
Aku menerima kebiasaanmu yang suka menunda mandi sebelum malam. Kuakrabi bulir-bulir keringat di atas lipatan bibirmu, kuseka dengan penuh cinta yang kini menyisakan sembilu. Kuterima protesmu yang jengah melihatku lamban. Kunikmati semburat tangis yang tak terelakkan.
Namamu pernah begitu gigih kutasbihkan. Mengaliri oksigen nafas tersenggal-senggal menuju puncak. Kamu sempat jadi alasanku bertahan di tengah perjalanan yang membuatku hampir mati karena kelelahan.
Menemukan lingkar tubuhmu di ujung perjuangan, di atas kasur empuk — pernah jadi satu-satunya alasan aku tak berhenti berjuang.
Perjalanan keras macam itu membuatku makin mensyukurimu sebagai kenyamanan. Sayangnya kini aku hanya sedang kehilangan pijakan. Kehabisan cara meyakinkan diri sendiri untuk berjalan dan bertahan. Hingga aku habis nafas, setengah pingsan, lalu kehilangan jawaban atas tanda tanya besar,
“Masih pantaskah kamu diperjuangkan?”
Di depan matamu ingin kuteriakkan, “Apa yang kamu cari?” Tak sadarkah dirimu atas kehadiranku di sini?
Bagiku kamu adalah muara kehidupan, poros tengah yang membuat seluruh duniaku berputar. Tapi bagaimana dengan posisiku di matamu?Bukankah aku hanya satu episode yang kamu nikmati sebaik mungkin, untuk kemudian ditinggalkan saat tulisan “Tamat”; “Fin”; “The End” muncul di hadapan? Bukankah aku hanya persinggahan, yang pada akhirnya juga akan kamu lepaskan?
Mati-matian aku berkorban. Kuberikan semua yang bisa kupersembahkan. Hanya bersamamu aku pernah menjelma jadi wanita yang mau mengerjakan apa saja, selama kau suka. Kau minta aku memasak? Aku belajar sebisanya, meski kuyakin potongan kentangku masih jauh dari sempurna.
Kau minta ku belajar merapikan rumah? Kuiyakan kemauanmu tanpa banyak bicara. Tak hanya sekali-dua kali kau temukan aku menyapu tanpa diminta, menepuk-nepuk bantal dan gulingmu yang sudah terlalu lama tidak dijemur dalam takaran sewajarnya.
Dalam semua tindak kecil itu, tak bisakah kau temukan setitik saja rasa cinta? Aku yang memang tak ada pesona, atau kau yang tak punya hati sebagai manusia?
Kucintai kau sebisanya, kau cintai ku sewajarnya. Dan seperti sudah kuduga sebelumnya, cinta kita punya masa kadaluarsa. Kau memilih dia, yang bisa mendapatkan cintamu tanpa perlu banyak usaha.
Bohong jika kubilang aku baik-baik saja. Merindukanmu adalah bentuk hukuman Tuhan paling menyiksa
Aku pernah jadi masokis yang suka menyiksa diri sendiri dengan mengunjungi tempat-tempat ke mana kita biasa pergi. Kubayangkan kembali betapa nyamannya jika kamu ada di sisi, mendampingi, meski hanya separuh hati. Kubuka kembali pesan-pesan lawasmu hanya demi sedikit rasa hangat di hati. Aku rela membayar apapun, dengan cara apapun, demi mendapatkannya sekali lagi.
Tapi tahukah kamu apa yang paling menyiksa dari semuanya? Kejatuhanku yang sangat dalam padamu membuatku takut tak bisa lagi jatuh cinta. Kamu sudah mengambil semuanya, padamu sudah kuberikan segalanya — tak ada sekerat pun rasa yang tersisa untuk cinta selanjutnya. Aku mati rasa, hatiku tak bisa lagi membuka.
Dalam titik-titik terlemahku sempat terucap permohonan agar diberikan amnesia. Atau matikan saja aku, tak peduli jika Tuhan mengirimku ke neraka. Merindukanmu adalah bentuk terkejam dari hukuman Tuhan — kemampuanku sebagai manusia sungguh tak seberapa untuk menghadapinya tanpa kesakitan.
Aku memilih pergi bukan karena kau tak lagi kucintai. Kini, izinkan aku mencintaimu dengan caraku sendiri
Aku, memutuskan. Pergi.
Di mataku, ini bukan soal kepemilikan. Bukan soal kamu menemani siapa makan siang. Bukan juga soal bersama siapa kamu seharian. Semuanya soal keputusan. Ada yang harus berani ambil resiko dan memulai. Dan nampaknya, hatimu terlalu lembut untuk menyakiti. Maka, ijinkan aku mengawali.
Aku punya cara berbeda untuk menyayangimu. Pegang kata-kataku ini. Aku pergi, bukan berarti membenci. Aku cuma mau kamu tahu bagaimana pentingnya aku. Aku cuma mau kamu merasakan dunia tanpa berbagi nafas denganku. Aku ingin memberanikan diri merasakan belantara hidup tanpa lenganmu, melindungiku. Supaya kita sama-sama tahu. Bahagiakah jika kau tak menyandingku? Tangguhkah aku tanpa topanganmu?
Apakah kekitaan yang takut dilepaskan itu, perlu?
Izinkan aku menyayangimu dengan caraku sendiri. Aku tidak akan banyak bertanya kamu sedang apa dan sedang bersama siapa. Tak akan rewel kuminta kau menemaniku makan, atau berjalan-jalan. Akan kubuktikan aku sanggup menghadapi masa berat sendirian. Mencintaimu, berarti menangguhkan diri. Aku ingin jadi wanita yang menguatkan. Bukan membuka lubang kelemahan.
Mencintaimu dengan berbeda, bukan berarti tidak mencintaimu sama sekali. Saat kau butuh teman diskusi, waktuku sudah pasti kau miliki. Aku tak pernah jauh, hanya sedikit menyingkir demi menjaga hati. Perhatianku jelas berjeda, tapi berarti.
Kasih sayangku pendiam, tak perlu diteriakkan lantang. Jika terlalu keras cintaku kusuarakan, justru nanti kau sakit telinga.
Dan bukankah sesuatu yang tenang dan tak lantang biasanya tak kunjung reda?
Tabik,
Yang meninggalkanmu karena sungguh
mencintaimu
Tentang Komitmen yang Tetap Bertahan. Meski Dihadapkan Pada Ia yang Lebih Menawan
Saat Dosen Lain Risih Lihat Mahasiswanya Bawa Bayi, Dosen Ini Malah Mengajar Sambil Menggendong Bayi Mahasiswanya
Alasan-Alasan yang Membuat Pria yang Dekat Dengan Ibunya, Adalah Pasangan yang Tak Akan Membuangmu Sia-Sia
Surat Terbuka Untuk Penutur Bahasa Bengali & Urdu yang Baik Hati. Dari Nilai Kemanusiaan yang Perlu Dijembatani
Surat Untuk Yogyakarta – Dari Perantau Yang Selalu Mengaggumi Sosokmu
Pengen Nonton Film Horor Tapi Ciut Nyali? Coba Saja Lakukan 13 Cara Ini!
Dengan Menikah, Pintu Rezekimu Memang Benar-Benar Bisa Lebih Terbuka. Ini 8 Alasan Logisnya
Bukan Salahmu atau Salahku, Hanya Saja Kita Memang Tak Ditakdirkan untuk Bersatu
Jika 7 Tanda Ini Kamu Rasakan, Kamu Memang Terlahir Sebagai Traveler yang Selalu Rindu Perjalanan
Agar Momen Selama Traveling Tak Mudah Dilupakan, 7 Cara Menyimpan Souvenir Ini Sebaiknya Kamu Terapkan
Berani bercerita?
Vemale.com - Sebuah surat berusia
500 tahun ditemukan di sebuah makam tua di Kota Andong, Korea Selatan. Tak
hanya sepucuk surat, di dalam makam tersebut juga ditemukan sepasang sandal
tua. Surat dan sepasang sandal itu ternyata adalah bagian dari jenazah pria
yang dimakamkan tersebut.
Dilansir
dari koreaboo.com, bulan April 1998, para
arkeolog membongkar peti mati dari pria bernama Eung Tae Lee, pria dari abad
ke-16 yang meninggal di usianya yang baru 30 tahun. Saat makamnya dibongkar,
para arkeolog menemukan sepucuk surat yang rupanya ditulis oleh sang istri.
Juga ada sepasang sandal yang dibuat sendiri oleh istri dari rambut dan jalinan
kulit.
Makam tua dengan sepucuk surat dan sepasang sandal dalam
liang yang sama. | Foto: copyright koreaboo.com
Dari
isi surat tersebut, terlihat jelas kalau sang istri sangat berduka karena
suaminya meninggal di saat ia sedang hamil. Seperti apa isi surat tersebut?
"Kepada Ayah Won
1
Juni, 1586
Kau
selalu berkata, "Sayangku, mari kita habiskan hidup bersama hingga akhir
hayat dan meninggal di hari yang sama." Tapi bagaimana kau meninggal lebih
dulu? Kepada siapa kini aku dan putraku mengadu dan bagaimana kami hidup
selanjutnya? Teganya kau meninggalkanku lebih dulu.
Ingatkah
bagaimana kita dulu saling menautkan hati masing-masing? Setiap kali kita tidur
berbaring bersama, kau selalu bilang, "Sayangku, apakah orang lain bahagia
dan saling mencintai seperti kita? Apakah ada yang sebahagia kita di luar
sana?" Betapa teganya kau melupakan itu semua dan meninggalkanku sendiri?
Aku
tak bisa hidup tanpamu. Aku hanya ingin pergi bersamamu. Ajaklah aku pergi
bersamamu. Perasaan cintaku padamu tak akan pernah luntur dan penderitaan ini
terasa makin menyiksa saja. Bagaimana aku menata hatiku sekarang dan bagaimana
aku membesarkan seorang anak yang akan selalu merindukanmu?
Tolong baca surat ini
dan berikan jawabanmu melalui mimpiku. Karena aku ingin mendengar penjelasan
lengkapmu dalam mimpiku, kubuat surat ini dan kuletakkan di dekatmu. Lihatlah
lebih dekat dan bicaralah padaku.
Entah kapan aku
melahirkan bayi yang kukandung ini, siapa pula nanti yang bisa ia panggil ayah?
Adakah orang yang bisa merasakan penderitaan yang kualami? Hanya aku yang
merasakan tragedi pedih ini di muka bumi.
Kau hanya berada di
tempat yang berbeda dan tak merasakan rasa duka yang dalam seperti yang
kurasakan. Selamanya aku akan menderita. Tolong baca surat ini dan temui aku
dalam mimpi, aku ingin melihatmu, aku aku ingin mendengar jawabanmu. Aku
percaya aku bisa melihatmu dalam mimpi. Datanglah diam-diam dan tunjukkan
dirimu. Ada banyak hal yang ingin aku katakan..."
Sungguh mengharukan
sekali, ya Ladies. Sudah ratusan tahun berlalu, tapi perasaan duka sang istri
karena ditinggal suaminya masih bisa kita rasakan. Orang yang kita cintai
memang bisa pergi sewaktu-waktu. Tapi perasaan cinta kita padanya 'kan abadi
selamanya.
CERITA
DAN KISAH LAINNYA
(vem/nda)
----
Anda punya kisah inspirasi (cinta, pernikahan, persahabatan, keluarga, dll) atau punya tips keren seputar wanita? Silakan kirim ke redaksivemale@kapanlagi.net.
Share your story and let's be friends with Vemale.com :)
Anda punya kisah inspirasi (cinta, pernikahan, persahabatan, keluarga, dll) atau punya tips keren seputar wanita? Silakan kirim ke redaksivemale@kapanlagi.net.
Share your story and let's be friends with Vemale.com :)
No comments:
Post a Comment