Segi Kerahasiaan
Hikmah Hukum
OLEH M.RAKIB LPMP
PEKANBARU RIAU INDONESIA
2014
BERUBAH HUKUM KARENA BERUBAHNYA ZAMAN
POLITIK HUKUM SANGAT BERPERAN
PARA ULAMATERUS, MEMIJKIRKAN
BENTUK REPUBLIK ATAU KERAJAAN
Sistem pemilihan Kepala
Negara, sejak wafat Nabi SAW lagi telah memperlihatkan bentuk luaran
yang berbeda-beda.
1.
Perlantikan Abu Bakar RA melalui
permuafakatan di Saqifah Bani Saidah.
2. Abu Bakar mencalonkan‘Umar RA yang diterima
usulan itu tanpa pemilihan.
3. Umar
pula menyodorkan enam nama tokoh besar untuk bermusyawarah sehingga terlantik
Saidina Uthman RA.
4. Saidina ‘Ali menggambilalih tampuk kepimpinan
tertinggi negara melalui
persetujuan beberapa orang Ahl al-‘Aqdi
wa al- H allidi Madinah.Peristiwa di atas merupakan suatu panduan yang
dikatakan mengikat (ijma‘)oleh sebahagian besar penulis politik Islam. Al-Mawardi
misalnya menggunakancontoh-contoh tersebut bagi menyatakan bentuk pemilihan
ketua negara yang melahirkan dua kaedah yaitu melalui pemilihan oleh anggota Ahl al-‘Aqd wa Halli dan melalui penunjukkan oleh
kepimpinan yang sudah ada semasa hidupnya (‘ahdial-Imam).
Blessing In Disguise"
(untuk menekankan segi kerahasiaan
hikmah). Rechtspolitiek untuk politik hukum sebagai salah satu
istilah yang mandiri, yang dalam artian mampu ketika menjelaskan cabang-cabang
ilmu apa saja termasuk pengetahuan mengenai hukum. Pada awalnya kita mengenal
undang-undang sebagai sesuatu yang diidentikkan dengan hukum, ternyata persepsi
tersebut keliru. Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini lebih luas
produknya ketimbang dengan undang-undang, UU hanya memiliki produk DPR sementara
peraturan perundan-undangan adalah semua produk Badan pembuat UU dan produk
Badan atau pejabat negara.
Dari uraian singkat di atas penting kiranya kita lebih memahami menganai politik hukum
secara lebih spesifik. Agar wawasan kita berkembang dengan baik, kiranya dapat
menyimak uraian di bawah ini.Istilah politik hukum sendiri dapat kita lihat terdiri dari dua kata yaitu politik dan hukum . antara keduanya banyak para ahli yang menganggap bahwa hukum dan politik merupakan satu kesatuan yang paradok. Hukum ialah segala sesuatu yang sudah pasti kejelasannya, sementara politik sutu hal yang masih mengandung unsur ketidakpastian selalu berubah-ubah seiring berjalannya waktu dan bergantinya para pelaku politik.
Oleh karennya, dari pengertian di atas turut mengndang para ahli untuk mendefinisikan politik hukum, sebagai berikut :
1. Satjipto Rahardjo
Politik Hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara – cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat.
2. Padmo Wahjono disetir oleh Kotam Y. Stefanus
Politik Hukum adalah kebijaksanaan penyelenggara Negara tentang apa yang dijadikan criteria untuk menghukumkan sesuatu ( menjadikan sesuatu sebagai Hukum ). Kebijaksanaan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum dan penerapannya.
3. L. J. Van Apeldorn
Politik hukum sebagai politik perundang – undangan . Politik Hukum berarti menetapkan tujuan dan isi peraturan perundang – undangan . ( pengertian politik hukum terbatas hanya pada hukum tertulis saja.
HIKMAH AL-TASYRI’ WA FALSAFAFATUHU
Mengajarkan Kitab
Suci Dan Hikmah kepada mereka.
Karena cakupan maknanya
yang demikian luas,
"hikmah"
diterangkan
kedalam berbagai pengertian
dan konsep,
diantaranya wisdom atau
kewicaksanaan (dari bahasa
Jawa,
untuk
membedakannya dari kata
"kebijaksanaan"), ilmu
pengetahuan, filsafat, malahan "blessing in disguise"
(untuk
menekankan segi kerahasiaan
hikmah). [6] Mendasari konsep
itu ialah kesadaran bahwa suatu "hikmah" selalu
mengandung
kemurahan dan rahmat Ilahi yang maha luas dan mendalam, yang
tidak seluruhnya kita mampu
menangkapnya. Maka disebutkan
bahwa siapa
dikaruniai hikmah, ia sungguh telah mendapatkan
kebajikan yang berlimpah-ruah. [6]
Jika
"hikmah" itu kita
hubungkan kembali pada
istilah
"muhkam"
(kedua kata itu terambil dari akar kata yang sama,
yaitu h-k-m), maka
dalam menumbuhkan tradisi
intelektual
yang integral dan
kreatif berdasarkan kaidah taqlid dan
ijtihad itu
memerlukan kemampuan menangkap
hikmah pesan
Ilahi seperti yang
terlembagakan dalam ajaran-ajaran agama.
Berkenaan dengan ini, dan dikaitkan pada
keterangan dalam
Kitab Suci tentang
adanya ayat-ayat mahkam dan mutasyabih
tersebut, menarik sekali kita mengangkat penafsiran A. Yusuf
Ali atas makna muhkam itu: [7]
... The Commentators
usually understand the
verses "of
established meaning" (muhkam) to refer to
the categorical
orders of the
Shari'at (or the Law), which are plain to
everyone's understanding. But perhaps the meaning is wider:
"the mother of the Book" must include the very
foundation on
which all Law
rests, the essence
of God's Message,
as
distinguished
from the various
illustrative parables,
allegories, and ordinances.
If we refer to xi. 1 and xxxix. 23, [8] we shall find
that
in a sense
the whole of the Qur'an has both
"established
meaning" and allegorical
meaning. The division
is not
between the verses,
but between the meanings to be attached
to them. Each is but a Sign or Symbol: what it represents is
something immediately
applicable, and something eternal and
independent of time and space, - the "Forms
of Ideas" in
Plato's Philosophy.
The wise man will understand that there
is an "essence" and an illustrative clothing given
to the
essence, throught the
Book. We must try to understand it as
best we can, but not waste our energies in disputing
about
matters beyond our depth.[9]
Sesuatu dari ajaran
Kitab Suci yang abadi dan tak terikat
oleh waktu dan ruang (eternal and independent of
time and
space) dalam
pengertian tentang muhkam itu tidak lain ialah
makna, semangat, atau tujuan universal yang
harus ditarik
dari suatu materi
ajaran agama yang bersifat spesifik, atau
malah mungkin ad-hoc.
Kadang-kadang makna dan
tujuan
universal
dibalik suatu ketentuan
spesifik itu sekaligus
diterangkan langsung dalam
rangkaian firman itu
sendiri.
Tapi,
kadang-kadang makna itu harus
ditarik melalui proses
konseptualisasi atau ideasi (ideation). Contoh yang pertama
ialah firman Ilahi
yang mengurus perceraian Zaid (seorang
bekas budak yang dimerdekakan dan diangkat anak oleh
Nabi)
dari istrinya, Zainab
(seorang wanita bangsawan Quraisy
dengan status sosial tinggi dan rupawan), dan perceraian itu
kemudian diteruskan
dengan dikawinkannya Nabi dengan Zainab
oleh Tuhan. Maka terlaksanalah perkawinan seseorang -dalam
hal ini Nabi
menikahi bekas isteri anak
angkatnya. Namun
kejadian yang bagi orang-orang tertentu
terdengar sebagai
skandal ini justru -katakanlah- dirancang oleh Tuhan
untuk
suatu maksud
yang mendukung nilai
universal yang sejak
semula menjadi klaim
ajaran Islam, yaitu
nilai sekitar
konsep kealamian (naturalness)
yang suci, yakni
konsep
fithrah. Dalam hal
ini, anak angkat bukanlah anak alami
seperti anak
(biologis) sendiri, sehingga
juga tidaklah
alami dan tidak
pula wajar jika hubungannya dengan ayah
angkatnya dikenakan ketentuan yang sama dengan anak
alami,
termasuk dalam urusan
nikah. Maka, kejadian ad-hoc yang
menyangkut Zaid, Zainab dan Nabi itu
langsung diterangkan
tujuan
universalnya, yaitu "agar
tidak ada halangan bagi
kaum beriman untuk mengawini (bekas) isteri-isteri anak-anak
angkat
mereka." [10] Tujuan
ini jelas langsung terkait
dengan segi universal yang lebih menyeluruh,
yaitu konsep
atau ajaran fithrah,
yang mengimplikasikan bahwa segala
sesuatu dalam tatanan hidup
manusia ini hendaknya
diatur
dengan ketentuan yang
sealami mungkin sesuai dengan hukum
alam (Qadar) [11] dan hukum sejarah (Sunnat-u 'l-Lah)
yang
pasti dan tak
berubah-ubah. [12] Pandangan bahwa segala
sesuatu harus sealami
mungkin adalah benar-benar
sentral
namun menuntut pemahaman mendalam yang disebut sebagai agama
ftthrah yang hanif.
Itulah hikmah pesan agama dalam arti yang seluas-luasnya dan
secara global. Dalam
arti yang lebih terinci, konsep hikmah
agama dinyatakan
dalam berbagai ungkapan,
seperti telah
menjadi tema dan
judul sebuah buku yang cukup terkenal,
Hikmat al-Tasyri' wa Falsafatuhu. [13] Hikmah
pesan agama
ini juga dikenal
dengan istilah lain
sebagai maqashid
al-syari'ah (maksud dan tujuan syari'ah). Berkaitan
dengan
ini berbagai konsep
yang telah mapan dalam pembahasan agama
Islam, khususnya
pembahasan bidang hukum
(syari'ah -par
excellence),
seperti konsep sekitar 'illat
al-hukm (Latin:
ratio legis), yang juga sering disebut dengan manath al-hukm
(sumbu perputaran hukum). Konsep-konsep ini dibuat berkenaan
dengan perlunya menemukan
suatu rationale yang
mendasari
penetapan suatu hukum.
Contoh nyata penerapan konsep ini
ialah yang dikenakan pada
hukum khamr. Bahwa
rationale
diharamkannya
minuman keras (alkoholik,
seperti khamar)
ialah sifatnya yang memabukkan. Kemudian
sifat memabukkan
itu sendiri dihukumnya
sebagai tidak baik,
karena ia
mengakibatkan suatu jenis kerusakan, yaitu kerusakan mental.
Dan selanjutnya, kerusakan
mental itu -betapa pun jelas
negatif- masih bisa
dilihat rationalenya sehingga
ia
negatif, yaitu bahwa
ia berarti hilangnya akal sehat yang
menjadi bagian
dari fithrah manusia.
Padahal memelihara
fithrah itulah, justru merupakan salah satu ajaran sentral
agama Islam. [14]
IJTIHAD
Uraian di atas dibuat dengan tujuan memberi gambaran
bahwa
masalah taqlid dan
ijtihad, lebih dari pada yang dipahami
umum, menyangkut hal-hal yang cukup
rumit, mendalam, dan
meluas serta kompleks. Karena itu di kalangan ulama klasik
ada pendapat hampir merata bahwa ijtihad adalah suatu tugas
yang penuh gengsi,
tapi justru karena
itu menuntut
persyaratan banyak dan berat. Maka ijtihad
bisa dilakukan
hanya oleh orang-orang
tertentu yang benar-benar
telah
memenuhi syarat itu.
Syarat-syarat itu sekarang
boleh
kedengaran kuno, namun
ia dibuat dengan tujuan menjamin
adanya kewenangan dan tanggung jawab.
Hanya saja, pelukisan
tentang kegiatan ijtihad
sebagai
sesuatu yang amat eksklusif telah melahirkan persepsi salah.
Dalam sejarah masyarakat Muslim sempat tumbuh pandangan yang
hampir menabukan ijtihad. Sikap penabuan dengan sendirinya
tidak dapat dibenarkan meskipun sesungguhnya ia muncul dari
obsesi para ulama
pada ketertiban dan
ketenangan atau
keamanan, yaitu tema-tema teori politik Sunni,
khususnya di
masa-masa penuh kekacauan
menjelang keruntuhan Baghdad.
Tapi, dalam perkembangan selanjutnya penabuan itu juga dapat
dilihat sebagai kelanjutan
masa kegelapan (obskurantisme)
dalam pemikiran Islam.
Kini, ijtihad itu diajukan orang sebagai
salah satu tema
pokok usaha reformasi
atau penyegaran kembali pemahaman
terhadap agama. Melalui
tokoh-tokoh pembaharu seperti
Muhammad Abduh dan
Sayid Ahmad Khan, ijtihad
dikemukakan
kembali sebagai metode
terpenting menghilangkan situasi
anomalous dunia Islam
yang kalah dan dijajah oleh dunia
Kristen Barat. (Disebut anomalous,
karena selama paling
kurang tujuh atau
delapan abad, orang-orang muslim terbiasa
berpikir bahwa dunia ini
milik mereka, dan
hak mengatur
dunia hanya ada
pada mereka, sebagai
salah satu akibat
penguasaan
mereka atas daerah-daerah
sentral peradaban
manusia,
terutama daerah Nil
sampai Ozus, jantung kawan
(Oikoumene).
Para pembaharu mendapati
bahwa praktek taqlid
yang umum
menguasai orang-orang
muslim, baik awam maupun ulama, telah
berkembang menjadi suatu
sikap mental, jika
bukan malah
pandangan
teologis, yang meliputi
penolakan secara sadar
terhadap segala sesuatu yang baru, khususnya jika berbentuk
unsur dari budaya
asing. [15] Ini
dengan mudah dilihat
gejala xenophobia. Xenophobia itu sendiri merupakan gejala,
paling untung chauvinisme,
paling celaka kecemasan
dan
rendah diri. Gejala ini
pula yang hari-hari
ini dilihat
al-Makki,
seorang pemikir Makkah
dari madzhab Maliki. Ia
melukiskan semangat kosmopolit zaman klasik Islam, khususnya
zaman 'Umar. Sebab,
sepanjang penuturannya, 'Umar
adalah
seorang yang "berpikiran luas,
yang tidak segan-segan
mengambil apa saja yang baik dari umat-umat lain, meskipun
umat itu kafir. [16] Bahkan
'Umar "tidak memandang
semua
perkara
bersifat ta'abbudi (bernilai
'ubudiyyah,
devotional), dan tidak memandang baik terhadap sikap
jumud
dalam hukum, tetapi
mengikuti berbagai pertimbangan
kemaslahatan dan melihat makna-makna yang
merupakan poros
penetapan hukum (manath
al-tasyri') yang diridlai Allah
s.w.t."
[17] Pandangan 'Umar
ini sejalan dengan,
dan
merupakan konsekwensi dari, penegasannya bahwa
"tidaklah ada
gunanya
berbicara tentang kebenaran
namun tidak dapat
dilaksanakan." [18]
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Kairo Mesir :
Maktabah Wahbah, h. 288. dilandaskan kepada “ sesungguhnya aku dapati
masyarakat di Syam tidak seperti masyarakat di Madinah”
. Beliau juga pernah mengungkapkan bahwa
(memperbaharui hukum terhadap manusia berdasarkan kepada kadar kerosakan yang
mereka lakukan).Ini menunjukkan pengaruh perubahan dan perkembangan bagi isu kontemporer,
turut mempengaruhi keputusan hukum.
Perubahan-perubahan inilah yang menjadi titik kajian bagi menghasilkan apa yang
diistilahkan oleh al-Qaradawi sebagai Fiqhal-W aqi‘i
. Konsep Fiqh al-W a qi‘i Fiqh al-W
aqi‘i menurut al-Qaradawi berkonsepkan pengetahuan tentang keadaan
realitas . Pengetahuan ini mencakupi realitas dari segi positif mahupun yang negatif. Ia menilai sesuatu faktor yang
mempengaruhi keadaan realiti secaraobjektif. Fakta ditimbang tidak bersandar
kepada imiginatif dan sebagainya yangboleh mencacatkan pemahaman terhadap
keadaan realiti. Dengan itu fiqh ini akanmemandu pengkaji bagi memahami realiti
dengan menilai keadaan yang ada secarailmiah, topikal dan juga objektif.
Hal
yang sama dijelaskan oleh Paizah Ismail tentang
Fiqh al-W
aqi‘
.
Menurut beliau faham yang mendalam tentang realitas hidup. Ia akan
ditemukan melalui pembacaan, penelitian dan penyelidikan ilmiah tentang
realitas hidup di zaman ini dalam satu waktu semasa dalam berbagai-bagai
aspek yang berkaitan.
Apa
yang difokuskan tentang fiqh ini ialah berkaitan dengan:i.Perubahan hukum
kerana perubahan kemaslahatanii.Perubahan ‘uruf dan tempat.
i.
Perubahan Hukum
Karena Perubahan Kemaslahatan
Hukum-hukum Syariat yang dilandasi dengan
kemaslahatan semasa bolehmenerima perubahan hukum jika sandaran kepada
kemaslahatan itu sendiri telahberubah. Ini sesuai dengan kaedah “sesuatu yang
dilandaskan kepada suatu ‘illatberkisar menurut ‘illatnya ada atau tidak ada”
Sebagai contoh dalam masalah untuk membezakan antara
penganut pelbagaiagama. ‘Umar ‘Abd al-‘Aziz
memutuskan “kerana mereka (ahl al-Dhimmah)bercampur dengan orang Islam, maka
mereka perlu dibedakan dengan kita.
Pengaruh
Perubahan Dalam Pembinaan Hukum Siyasah Syar‘iyyah
Peristiwa ini tujuannya supaya dapat mengelakkan
mereka diperlakukan seperti orang Mus-lim. Kemungkinan mereka mati secara
mendadak di tengah jalan, sedangkan identitas
mereka tidak diketahui hingga dilakukan solat jenazah dan dikuburkan dikawasan
orang Islam. Peristiwa ini tentu tidak dapat
diterima oleh keluarga mangsa korban dan
juga orang Muslim. Menurut al-Qaradawi peristiwa
ini perlu di perhatikan serius sesuai
dengan pada awal pembukaan daerah-daerah baru sebagai langkah berhati-hati.
Asas kemaslahatan untuk membezakan identiti agama
seseorang mengikutagamanya seperti cara pada masa lalu (iaitu berasaskan
pengenalan pada pakaian)boleh menerima perubahan. Bahkan perbezaan atas hal
tersebut tidak diterimaramai. Malahan pada masa ini ia telah dipermudahkan
caranya dengan adanyapasport atau kad pengenalan yang tidak menyinggung
perasaan penganut agamalain. Justeru, mewajibkan pakaian tertentu sahaja atau
apa-apa yang berkaitandengannya tidak perlu lagi dikuatkuasakan oleh
pemerintah.
Perubahan ‘Uruf dan Tempat
Penggunaan
‘uruf, tempat dan masa antara faktor
berpengaruh dalam penetapan hukum pada masa lalu akibat dari berlakunya
perubahan atas faktor-faktor tersebut. Sebagai contoh, pengguguran saksi kerana
dia berjalan tanpa menutup kepala
(serban atau kopiah), kebiasaan makan minum di gerai-gerai tepi jalan, mencukur
janggut, suka mendengar lagu-lagu dan lain-lain lagi dari berbagaitradisi atau
budaya yang mengalami perubahan. Kasus-kasus tersebut mengandung nilai dari
sudut pandangan masyarakat yang berbeda–beda sekaligus memberikesan terhadap
penerimaan atau penolakan nilai tersebut.Fakta di atas pada asasnya telah
diterima dengan baik oleh kalanganfuqaha apabila mereka merumuskan kaedah
penetapan hukum berdasarkan‘uruf, masa dan tempat akan berubah jika faktor tersebut
telah berubah. Di bawah ini akan dibawa beberapa contoh isuberkaitan dengan
perubahan ‘uruf dan tempat yang mempunyai kesan terhadappolitik.
Isu
Perubahan Realitas Dalam Konteks Sejarah Politik Islam
Orang
Islam pernah memegang tampuk pemerintahan dalam tempoh yang panjang sehingga kejatuhan sistem Khalifah
‘Uthmaniyyah di Turki pada 1924. Dalam masa
pemerintahan tersebut, berbagai bentuk isu dan peristiwa yang memerlukan
Untuk
itu beberapa kejadian akan dikemukakan
sebagai contoh.
a.Sistem
Pemilihan Pemimpin
Sistem pemilihan Kepala
Negara, sejak wafat Nabi SAW lagi telah memperlihatkan bentuk luaran
yang berbeda-beda.
1.
Perlantikan Abu Bakar RA melalui
permuafakatan di Saqifah Bani Saidah.
2. Abu Bakar mencalonkan‘Umar RA yang diterima
usulan itu tanpa pemilihan.
3. Umar
pula menyodorkan enam nama tokoh besar untuk bermusyawarah sehingga terlantik
Saidina Uthman RA.
4. Saidina ‘Ali menggambilalih tampuk kepimpinan
tertinggi negara melalui
persetujuan beberapa orang Ahl al-‘Aqdi
wa al- H allidi Madinah.Peristiwa di atas merupakan suatu panduan yang
dikatakan mengikat (ijma‘)oleh sebahagian besar penulis politik Islam. Al-Mawardi
misalnya menggunakancontoh-contoh tersebut bagi menyatakan bentuk pemilihan
ketua negara yang melahirkan dua kaedah yaitu melalui pemilihan oleh anggota Ahl al-‘Aqd wa Halli dan melalui penunjukkan oleh
kepimpinan yang sudah ada semasa hidupnya (‘ahdial-Imam).
Pengiktirafan kepada proses perlantikan melalui
lantikan semasa hidup pada asasnya merupakan suatu bentuk penerimaan kepada
real yang ada. Halini dianggap sebagai usaha bagi mengatasi kebimbangan berlaku
ketidakstabilan jika tiada penjelasan tentang bakal kepimpinan masa hadapan.
”
atas kekuatan yang dimiliki olehkeluarga Umayyah telah berakar umbi dalam
pemerintahan negara. Pertukarankepimpinan luar daripada lingkungan keluarga
tersebut berpotensi melahirkankeadaan yang tidak stabil dan menggugat
keharmonian.
Contohnya dalam peperangan Uhud. Rasulullah SAW meminta
pandangan para Sahabat untuk menentukan tempat berperang menentang Musyrikin, apakah
perlu
bertahan di kota Madinah saja atau keluar dari Madinah. Akhirnya Baginda menyetujui pandangan Sahabat untuk keluar
dari Madinah.
Contohnya
dalam peperangan Khandak, Rasulullah SAW mau berbaik-baik denganBani Ghassan
dengan memberi sebahagian dari hasil tanaman Madinah. Rasulullahberbuat
demikian kerana tidak mau mereka menyerang umat Islam. Namun rancangan Baginda
ini dibantah oleh Sahabat seperti Sa‘ad bin Ubâdah dan Sa‘adbin Mu‘az. Rencana
atau cadangan balas dari Sahabat Rasul tersebut
diterima oleh Baginda.
Negatif pula melalui cadangan yang dikemukakan
sendiri oleh paraSahabat kepada Rasulullah SAW dan Baginda merestuinya.
Contohnya Bagindamenyetujui cadangan al-Hubâb Ibn al-Mundhir berkhemah
berhampiran dengansumber air pihak musuh di dalam peperangan Badar.iii.Syura
di
antara kedua-duanya iaitu keadaan Baginda yang bertekad untuk melakukan sesuatu
dengan memulainya hingga di pertengahan dan menilainyasemula melalui Sy
Dilihat
dari aspek ini, nyatalah bahawa pada zaman Rasulullah SAW syuradirealisasikan
dengan berbagai cara. Pelaksanaan demikian dari sudut ilmiahmengundang
pentafsiran dan analisis yang menunjukkan
sunnah
fi‘liyyah
Dalam kes aatau
kejadian ini bukanlah sebagai satu-satunya model yang mutlak dan abadi. Ini
keranaperjalanan syura pada masa Baginda dilaksanakan dalam bentuk yang
sederhana.Selepas Rasulullah SAW wafat, bentuk pelaksanaan syura berubah. Ia
bermuladengan pemilihan ketua kerajaan. Dua golongan yang mempunyai kepentingan
secara langsung yaitu Muhr. Dialog perbincangan mereka itu akhirnya mencapai kata sepakat dengan
terangkat Abu Bakar sebagai khalifahpertama negara Islam. Syura pada masa itu
menjadi institusi penting dengankeanggotaan terdiri daripada Ann, para tokoh
masyarakat sertadaripada golongan ulama.Seterusnya institusi ini dijalankan
berdasarkan kebijaksanaan pemerintah.Lantaran itu, pada masa Umawi institusi
ini ditubuhkan di bawah kawasan-kawasanpentadbiran di Damsyik, Madinah, Iraq,
Khurasan (Iran) dan Mesir. Ahli majlistersebut terdiri daripada tiga unsur
iaitu tokoh masyarakat Arab, golongan pimpinantentera, para ulama, cerdik
pandai dan para profesional. Perkembangan bentuk ini mempunyai indikasi yang
besar kerana ia melibatkan rakyat dalam prosespengambilan keputusan semakin
banyak dan menyeluruh.
Tindakan
demikian juga pada asasnya merupakan tuntutan yang diperlukan bagi reformasi.
siyasah pada penggunaannya di sudut bahasa bermaksud
‘mentadbir sesuatu perkara dengan baik’ atau ‘pemerintah mentadbir urusan
rakyat’.
Perkataan Syari`ah berasal dari
perkataan “Syari`at” dalam bahasa Arab, yang
dalam penggunaan biasanya dimengertikan sebagai ‘sumber air minum atau
pembawaan yang jelas’ Perkataan ‘Syari`ah’ juga dipakai oleh
al-quran dalam banyak ayat antaranya ada yang bermaksud sebagai peraturan hidup
yang terkandung dalam suruhan dan larangan dan ada juga yang bermaksud seluruh
ajaran agama yang merangkumi aspek keimanan, perundangan dan akhlak.
Manakala ‘Syari`at Islam’ ialah seluruh apa
yang disyari`atkan oleh Allah di dalam agama sama ada dengan wahyu atau dengan
sunnah rasul saw. Ianya termasuklah perkara-perkara yang berkaitan dengan
persoalan akidah dan keimanan, akhlak-akhlak yang mulia dalam perhubungan
sesama anggota masyarakat dan hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan perbuatan
para mukallaf sama ada halal, haram, wajib, sunat dan harus yang dikenali
sebagai fiqh dan juga perundangan Islam.
· Definasi
Siyasah Syar`ieyyah Menurut Istilah.
Para fuqaha’ pula mentakrifkannya sebagai:
“Tindakan pemerintah terhadap sesuatu perkara kerana mendapatkan suatu
kemaslahatan walaupun tindakan itu tidak mempunyai dalil pada juzu’nya.” Dalam
penakrifan lain mereka berkata: “Menguruskan kemaslahatan manusia dengan
mengikut ketentuan syarak.”
Kebanyakan tulisan yang berkaitan dengan siyasah
syar`ieyyah mendefinasikan pengertian siyasah dengan definasi
yang berkisar di atas kedua-dua takrif tersebut.
Siyasah syar`ieyyah ialah ilmu
yang membincangkan mengenai pentadbiran sesebuah kerajaan Islam yang terdiri
daripada undang-undang dan sistem yang berasaskan kepada asas-asas Islam
atau mentadbir urusan umum daulah Islamiah dengan cara yang membawa kebaikan
kepada manusia dan mengelakkan mereka daripada kemudharatan, tanpa melanggar
sempadan syarak dan asas-asas kulliah walaupun dalam perkara yang
tidak disepakati oleh ulama’ mujtahidin.
Oleh itu topik perbincangan siyasah
syar`ieyyah dikalangan para fuqaha’ ialah sistem, peraturan dan
undang-undang yang diperlukan di dalam mengurus sesebuah negara bertepatan
dengan asas-asas agama bagi menjamin pencapaian kemaslahatan kepada manusia,
menunaikan segala keperluan mereka dan menjauhkan mereka daripada kemudaratan
dunia dan akhirat.
No comments:
Post a Comment