ADAGIUM
HUKUM ISLAM
M.Rakib Muballigh IKMI dan
Lpmp.Pekanbaru Riau Indonesia
0823 9038 1888
KAEDAH (berasal dari bahasa arab) atau norma (berasal dari
bahasa latin) atau UKURAN-UKURAN. Norma-norma itu mempunyai dua macam isi, dan
menurut isi nya berwujud :’
1. Perintah :
yang merupakan keharusan bagi
seseorang
untuk
berbuat sesuatu oleh karena akibat-akibatnya di pandang baik.
2. Larangan : yang merupakan
keharusan bagi seseorang untuk tidak berbuat.
21 Kaidah
Keduapuluh Satu
الفرض افضل من النفل
“fardhu itu lebih utama daripada sunnat.” (as-Suyuthi.TT:99)
Misalnya seseorang yang masih mempunyai tanggungan menqadha’ puasa ramadhan,
kemudian ia melakukan puasa bulan syawal dengan niatan puasa, maka yang lebih
baik dan yang lebih utama adalah melakukan puasa qadha’ ramadhan dulu, karena
itu lebih penting.
Ibadah merupakan suatu keharusan yang dikenal dengan fardlu atau wajib, ada
pula yang hanya dianjurkan pengamalannya (sunah). Perdebatan karasteristik
semacm ini merupakan memberi pengaruh pada tinggi rendahnya derajat ibadah.
Dasar kaidah
Kaidah ini merupakan kesimpulan beberapa hadits yang menerangkan pengertian di
atas dengan berbagai redaksi yang berbeda, diantaranya hadits qudsi yang
diriwayatkan Ibn Khuzaymah ra:
من
تقرب فيه بخصلة من خصال الخير كان كمن ادى فريضة فيما سواه ومن ادى فريضة فيه كان
كمن ادى سبعين فريضة فيم سواه (رواه ابن خزيمة عن سلمان الفا رسى
)
“Sesungguhnya Rasullah bersabda: Barang siapa yang
melakukan taqorrub (ibadah sunnah) kepda Allah SWT. Di bulan ramadlon, maka ia
akan mendapakan pahala sebagai ia melakukan satu ibadah fardu dibulan ramadlon,
maka seperti halnya mengerjakan 70 kali ibadah faardu pada selain bulan
romadlon ”
Dalam hadits ini Nabi telah memperbandingkan adalah sunnah dalam bulan ramadlon
dengan fardlu diluar romadlon, dan antara fardlu dibulan romdlon dengan 70
fardlu dibulan romdlon. Semua ini memberi pengertian bahwa fardlu itu lebih
utama daripada sunnat dengan 70 derajat/tingkat.
Sebagian ulama’ menganggap hal-hal berikut ini sebagai pengecualian, yaitu:[1]
1.
Membebaskan
pembayaran orang yang dalam kesulitan, lebih utama dari pada penundaan
pembayaran.
2.
Memulai memberi
salam hukumnya sunat, tetapi lebih utama dari pada yang menjawabnya , sedang
menjawab salam hukumnya wajib.
3.
Wudlu sebelum
masuk waktu sholat itu sunnah, dan itu lebih baik dari pada wudlu (yang wajib)
karena masuk waktu, sebab wudlu sbelum waktu sholat mengandung beberapa
kemaslahatan.
2 22
Kaidah
Keduapuluh Dua
الفضيلة المتعلقة بذات العبا دة اولى من المتعلقة بمكانها
“keutamaan yang dipautkan dari esensi ibadah lebih baik daripada dipautkan
dengan tempatnya.”(as_Suyuthi.TT:100)
Misalnya shalat fardhu di masjid lebih utama daripada di
luar masjid, namun shalat di luar masjid berjama’ah lebih utama daripada shalat
di masjid sendirian. Shalat sunnah dirumah lebih utama dari pada di masjid,
sebab dengan shalat di rumah menambah kekusyukan, dan keihklasan seseorang dari
shalatnya.[2]
Keutamaan ibadah tanpa melihat tempat dan waktu ini
sangat logis dan wajar, karena penyempurnaan terhadap entitas ritual ibadah itu
sendiri tentu harus diutamakan dari pada sibuk dengan faktor eksternal diluar
ibadah. Dalam tataran teoritis-praktis, pelaksanaan ibadah misalnya sholat,
jika sholat dilangsungkan secara berjamaah, akan memiliki nilai yang lebih
tinggi dibandingkan dengan dilakukan sendirian.
Dalam kaidah di atas terdapat pengecualian yaitu:
meskipun kaidah ini diterapkan dengan cermat pada sebagian besar permasalahan
yang tercakup didalamnya, namun tak urung, beberapa obyek tidak dapat
diberlakukan sesuai dengan terapan kaidah.
23 Kaidah Keduapuluh Tiga
الواجب لايترك الا لوا جب
“sesuatu yang wajib tidak dapat ditinggalkan kecuali dengan yang wajib
pula.”(as-Suyuthi.TT:101)
Misalnya seseorang istri berpuasa senin atau kamis, namun suaminya tidak
menginginkan atas puasanya tersebut, maka seorang istri harus
meninggalkan atau membatalkan puasanya untuk memenuhi keinginan suaminya,
karena taat pada suami itu jauh lebih penting (wajib) daripada puasa sunnat.
ما كان ممنوعا اذاجا زوجب
“semua yang
dilarang, apabila boleh, menjadi wajib”
Jadi dari kaidah-kaidah ini dapat ditegaskann, bahwa sesuatu yang telah
diwajibkan, tidak boleh ditinggalkan kecuali ada sesuatu kewajiban, tidak boleh
ditinggalkan kecuali ada sesuatu kewajiban yang mengharuskan unutuk
meninggalkannya.
Contoh:
1.
Memotong tangan
pencuri, seandainya tidak wajib tentu hukumnya haram, sebab memotong/ melukai
adalah tindak pidana.
2.
Wajibnya makan
bangkai bagi orang yang terpaksa, kalau tidak, pasti haram hukumnya.
3.
Khitan adalah
wajib, jika tidak tentu haram hukumnya. Sebab khitan itu melukai/ memotong
anggota badan, disamping membuka aurat yang paling vital bahkan memegangnya
lagi.
Pengecualian dari kaidah di atas ini adalah:
1. Sujud syahwi
dan syujud tilawah itu tidak wajib, namun jika tidak disyari’atkan tentu tidak
boleh dikerjakan.
2. Melihat wanita
yang akan dinikahi itu tidak wajib, tetapi kalau saja tidak disyari’atkan tentu
tidak boleh dilakukan.
Istinbath dengan kaidah ini, maka untuk memperoleh fadilah shalat
berjama’ah, shaf awal harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum membentuk shaf
lagi, sesungguhnya jika masih ada yang kosong untuk mengisinya tentu melewati
shaf jama’ah. Padahal melangkahinya itu haram atau makruh.
24
Kaidah
Keduapuluh Empat
ما اوجب اعظم الامرين بحصوصه لايوجب دونهما بعما بعمومه
“apabila yang mewajibkan yang lebih besar dari dua perkara karena kekhususanya,
tidaklah diwajibkan yang lebih ringan dari keduanya karena keumumannya.”
(as-Suyuti.TT:101)
Misalnya keluarnya air mani (sperma) tidak mewajibkan wudhu walaupun itu merupakan
salah satu benda yang dari kemaluan yang membatalkan wudhu, sebab dari
kekhususanya telah mewajibkan mandi, dan mandi merupakan akibat yang lebih
besar daripada sekedar wudhu untuk menghilangkan hadas kecil.
Apabila suatu kejadian (perbuatan) dapat ditinjau dari sifat/ keadaan umum dan
khusus, kemudian apabila dari kekhususannya sudah mewajiban suatu kewajiban
yang besar/ berat, maka dari keumumannya tidak lagi mewajibkan kewajiban yang
lebih kecil/ ringan.
Contoh:
1. Meraba dan
mencium tidak wajib di takzir, bagi orang yang melakukan zina karena telah
terkena kewajiban yang lebih besar yakni hadduz zina.
2. Orang yang
melakukan zina muhson tidak wajib dijilid melainkan kena kewajiban yang lebih
besar yakni di rajam.
3. Keluarnya
seperma tidak mewajibkan wudlu melainkan hanya wajib mandi saja.
Kaidah ini tidak berlaku bagi wanita yang mestruasi dan bersalin, selain
itu berkewajiban mandi bila sudah suci tetap berkewajiban pula wudlu bila akan
mengerjakan sholat.
Pengecualian dari kaidah diatas adalah:
1.
Haid, nifas dan
wildah selain mewajibkan juga membatalkan wudlu.
2.
Pembeli budak
wanita dengan cara fasid wajib membayar mahar ganti rugi keperawanannya jika
budak tersebut disetubuhi.
3.
Orang yang
memberi kesaksian atas orang yang tertuduh melakukan zina muhson, kemudian
setelah terdakwa di rajam orang tersebut mencabut kesaksiannya maka ia wajib
dikhisos beserta hadud qodzaf.
25
Kaidah Kedua Puluh Lima
ما ثبت با لشرع مقدم على ماوجب با
لشرط
“Apa yang telah menurut syara, didahulukan dari pada apa yang wajib menurut
syarat.”
Ketetapan yang berasal dari syara harus didahulukan pengamalannya daripada
ketetapan yang timbul dari syarat-syarat yang dibuat manusia, sehingga
karenanya tidak boleh bernadzar dengan sesuatu yang wajib, seperti nadzar
berpuasa Ramadhan, atau nadzar sholat fardhu, dan sebagainya.
Demikian pula apabila sorang suami berkata pada istrinya: ” saya thalak kamu
dan kepadamu akan saya beri uang Rp. 10.000,- asal saya masih ada hak untuk
rujuk kepadamu”. Perkataan memberi uang Rp. 10.000,- sebagai syrat untuk rujuk
kembali adalah gugur, sebab pada hakikatnya syara’ telah menetapkan akan
haknya, yaitu rujuk.
Mengadakan perjanjian kemerdekaan terhadap hamba perempuan yang teah
mendapatkan anak karena dikumpuli tuannya adalah tidak sah, kerena syara’ telah
menentukan dia akan sendirinya merdeka, kalau tuannya mati, tidak perlu lagi
tadbir baginya.
26 Kaidah Kedua
Puluh Enam
لُهُ حَرُمَ١تِّخَاذُﻩُ مَاحَرَمُ اِسْتِعْمَا
“Apa saja yang penggunaannya diharamkan berarti diharamkan pula
memperolehnya.” (as-Suyuthi, TT:102)
Sebagian ulama memberikan batasan makruh, bukan haram seperti pada kaidah di
atas. Misalnya, memakan babi adalah haram, maka membelinya atau memeliharanya
juga haram, dan makan harta hasil penjualannya juga haram.
27 Kaidah Kedua
Puluh Tujuh
مَاحَرَمُ اَخْذُہُ حَرَمُ اِعْطَاؤُہُ
“Apa yang haram mengambilnya berarti haram pula memberikannya.”
(as-Suyuthi, TT:102)
Tidak
diperkenankan seseorang memberikan harta haramnya pada orang lain. Apabila
diperbolehkan memberikannya berarti ia menolong dan mendorong pekerjaan yang
dosa dan diharamkan. Karena itu, diharamkan memberi uang suap, riba, upah
pelacur, pemberian pada khanin dan segala macam dari perbuatan yang fasiq
sebagaimana yang diharamkan dalam mengambilnya.
Pengecualian dari kaiah diatas adalah:
1.
Memberi suap
hakim untuk mendapatkan haknya orang dzolim.
2.
Uang yang
diberikan untuk menebus orang yang ditawan
3.
Uang yang
diberikan kepada orang yang dikhawatirkan meninggalkan orang yang memberi agar
orang yang memberi mendapatkan haknya.
28 Kaidah Kedua
Puluh Delapan
اَلْمَشْغُوْلُ لَايُشْغَلُ
“Sesuatu yang dijadikan obyek perbuatan tertentu, tidak boleh
dijadikan obyek perbuatan tertentu yang lain.” (as-Suyuthi, TT:103)
Artinya, apabila ada sesuatu yang sudah menjadi obyek pada satu akad, maka
obyek tersebut tidak boleh dijadikan obyek pada akad-akad yang lain karena
sudah terikat pada pada satu akad.
Misalnya: seseorang telah menggadaikan suatu barangnya sebagai jaminan hutang,
maka barang tersebut tidak boleh dijadikan sebagai jaminan pada hutang yang
lain. Dan juga orang yang sudah nikah kontrak dengan sesuatu perusahaan, tidak
boleh mengadakan kontrak kerja lagi pada waktu yang sama.
29 Kaidah Kedua
Puluh Sembilan
لَا يُكَبِّرُ
اَلْمُكَبَّرُ
“Yang sudah diperbesar tidak boleh diperbesar.” (as-Suyuthi, TT:103)
Maksudnya:
sesuatu yang hukumnya sudah mencapai puncaknya tidak boleh diperbesar dengan
hukum yang lain. Contohnya: membasuh jilatan anjing merupakan perbuatan mencuci
paling sulit, yakni membasuh tujuh kali dengan air dan salah satunya harus
diberi debu. Kondisi tersebut tidak perlu atau tidak disunnahkan membasuh
masing-masing tiga kali seperti yang biasa diisyaratkan pada membasuh benda
najis lainnya.
Demikian pula tidak perlu ada penguat lagi pda sumpah yang sudah disertai
kesaksian Allah.
30 Kaidah Ketiga
Puluh
نِهِ
قَبْلَ
اَوَانِهِ عُوْقِبَ بِحِرمَا شَيْىًٔا مَنِ
اسْتَعْجَلَ
“Barang siapa tergesa-gesa terhadap sesuatu yang belum tiba waktunya,
maka harus menanggung akibat tidak mendapatkan sesuatu itu.” (as-Suyuthi,
TT:103)
Kaidah ini lebih bersifat sebagai peringatan agar orang
tidak tergesa-gesa melakukan sesuatu perbuatan atau tindakan dalam rangka untuk
mendapatkan haknya sebelum waktunya. Misalnya, dalam masalah warisan. Waktu
pembagian warisan adalah setelah kematian ayah yang meninggalkan warisan.
Seandainya si anak tergesa-gesa menginginkan warisan dengan cara membunuh
ayahnya, maka akibatnya justru ia tidak memperoleh harta warisan itu.
Dalam kaidah
di atas terdapat pengecualian, yakni apabila ketergesa-gesaan itu tujuannya
untuk mashlahat maka diperbolehkan. Misalnya, mengembalikan utang yang belum
jatuh tempo pelunasannya.
[1] Mudjib Drs H Abdul,1993,
kaidah-kaidah ilmu fiqih (al-qowa’idatul fiqhiyyah), Jakarta, kalam mulia
No comments:
Post a Comment