DI ANTARA MURID DURHAKA
DAN GURU YANG DIANGGAP
ZALIM
M.Rakib
Jl.Ciptakarya Panam Pekanbaru Riau Indonesia
Murid nakal itu wajar dan guru zalim
itu kasar(melakukan kekerasan)
Murid disumpah, jadi batu,
Bukan badannya, yang begitu.
Hatinya yang , keras terlalu
Undang-undang, memberi tempat lalu.
Murid disumpah, jadi batu,
Bukan badannya, yang begitu.
Hatinya yang , keras terlalu
Undang-undang, memberi tempat lalu.
Pesan
moral dari cerita Malin Kundang, ialah kisah seorang anak yang durhaka terhadap
ibu kandungnya yang akhirnya dikutuk menjadi batu. Pelajaran berhara buat
anak-anak bagaiamana seharusnya menghormati orang tua dan memperlakukannya.
Tidak sedikit kisah-kisah mirip Malin Kundang, namun kutukan menjadi batu
hanyalah kiasan belaka, namun otak dan hati nurani yang membatu. Bagaimana jika
seorang murid durhaka terhadap gurunya..?
Sebaliknya
guru yang “zalim”, melakukan kekerasan, atas pengaduan muridnya bisa ditahan
polisi dan dimasukkan ke penjara.
Pasal 82 UU Perlindungan
Anak 2014:
(1) Setiap orang yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
(2) Dalam hal tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang
Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan,
maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
UU Perlindungan Anak
2014 tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian perbuatan cabul. Akan
tetapi, kita dapat merujuk pada pengertian perbuatan cabul yang diberikan oleh
R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal” yang mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau
perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu berahi kelamin,
misalnya: cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dsb
(hal. 212).
Sebagaimana juga pernah
dijelaskan dalam artikel Pasal untuk Menjerat Anak yang Lakukan Pencabulan,
Ratna Batara Munti dalam artikel “Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas”
menyatakan antara lain bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) mengenal
istilah perbuatan cabul, yakni diatur dalam Pasal 289 sampai dengan Pasal 296
KUHP. Mengutip buku “KUHP Serta Komentar-komentarnya” karya R. Soesilo, Ratna
menyatakan bahwa istilah perbuatan cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang
melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam
lingkungan nafsu berahi kelamin. Misalnya, cium-ciuman, meraba-raba anggota
kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya. Menurut Ratna, dalam pengertian
itu berarti, segala perbuatan apabila itu telah dianggap melanggar
kesopanan/kesusilaan, dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul.
Oleh karena itu, jika
seseorang memegang bokong anak dengan maksud memang untuk melakukan perbuatan
cabul yang melanggar kesusilaan, yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan,
atau membujuk Anak,maka orang tersebut dapat dipidana dengan Pasal 82 jo. Pasal
76E UU Perlindungan Anak 2014.
Jawaban: dari konsultan
hukum: Letezia Tobing, S.H., M.Kn., cukup menarik.
Memang dalam pertanyaan
Anda tidak ada keterangan yang mengatakan adanya kekerasan atau ancaman
kekerasan, dan sebagainya. Akan tetapi, jika anak perempuan tersebut juga tidak
mau dipegang bokongnya, maka dalam hal ini ada pemaksaan, dalam artian seseorang
melakukan suatu tindakan kepada orang lain yang tidak diinginkan oleh orang
tersebut.
Sebagai contoh, dalam
Putusan Mahkamah AgungNo. 442 K/Pid.Sus/2008 (putusan ini masih menggunakan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak – “UU Perlindungan
Anak), terdakwa meraba bokong anak berumur 14 tahun yang menjaga warung, tempat
terdakwa membeli rokok. Atas perbuatannya, terdakwa didakwa dengan Pasal 82 UU
Perlindungan Anak. Dalam perkara ini Hakim menyatakan terdakwa telah terbukti secara
sah meyakinkan melakukan tindak pidana “memaksa anak untuk melakukan perbuatan
cabul”, serta menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 3
(tiga) tahun dan denda Rp 60.000.000.- (enam puluh juta rupiah) dengan
ketentuan jika denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3
(tiga) bulan.
Memang pasal yang
digunakan tidak sama karena UU Perlindungan Anak telah diganti dengan UU
Perlindungan Anak 2014. Tetapi pada dasarnya pengaturan tindak pidana dalam
Pasal 82 UU Perlindungan anak serupa dengan ketentuan dalam Pasal 76E UU
Perlindungan Anak 2014:
Pasal 82 UU
Perlindungan Anak:
Setiap orang yang
dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan
tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah).
Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Teringat
kisah Malin Kundang, jadi teringat pula kisah seorang Teman yang berprofesi
menjadi guru disebuah sekolah di Kota. Teman datang sambil berkeluh kesah
mengenai murid-muridnya bertindak layaknya Malin Kundang. Lantas dalam benak
ini bertanya “murid yang dikutuk menjadi batu oleh gurunya, kejam amat
gurunya…?”.
“murid-murid
sekarang sudah berani dengan gurunya. Dikasih tugas masih berani tawar-menawar
dan minta keringanan. Dapat PR tidak juga dikerjakan, di kelas sepertinya tak
menghiraukan guru memberi penjelasan”. Masih banyak lagi cerita yang isinya
hanyalah kegundahan guru menghadapi muridnya.
Memang sangat susah mencari akar
permasalahan ini. Sangat kompleks jika harus merunut darimana sumber
permasalahan. Apakah guru yang tak becus mengurus muridnya.?. Apakah tabiat
murid yang memang sudah keluar jalur, Atau orang tua murid yang salah asuh.?.
Jangan-jangan faktor lingkungan demikian juga.?.
Seremoni dan protokoler wajib
sebelum masuk kelas, biarkan murid yang jalan pak Guru cukup memandang,
dok.pri.
Tiba-tiba
saya terbawa ke tahun 80-90an saat masih berseragam SD dan SMP. Saya dan
teman-teman 1 kelompok saban 1 kali dalam seminggu selalu mendapat jatah yang
namanya piket. Jam 6 pagi sudah harus tiba di sekolahan, lalu bersih-bersih
ruangan kelas dan merapikan bangku dan meja. Menata meja guru dan menaruh bunga
segar dan merapikan buku-bukunya. Usai itu, teman-teman menyiram bungan
dihalaman kelas ada yang berlari ke kantor guru untuk minta kapur tulis.
Usai
jam sekolah masih belum boleh pulang, karena harus menyapu dan mengepel lantai
kelas dan mengangkat bangku-bangku diatas meja. Hampir 12 tahun pekerjaan yang
bernama piket itu mampir saban 1 hari dalam seminggu. Naik kelas SMA tak jauh
beda, tetep saja piket itu ada namun tak seberat saat di bangku SD dan SMP.
Kata yang punya cerita, apakah piket itu ada dijaman sekarang atau sudah digantinkan jasa
kebersihan (cleaning service). Dugaan saya benar, jaman memang berubah,
demikian juga kebijakan masing-masing sekolahan. Kini murid di tuntut untuk
belajar yang bener, urusan kebersihan serahkan jasa kebersihan.
Pertanyaan
sekarang, apa ada anak sekolah yang mau megang sapu, menenteng kain/lap pel,
berlari ke kantor TU ambil kapur, dan semua kebutuhan rumah tangga kelas. Film
Laskar Pelangi yang fenomenal, dalam salah satu adegannya yakni saat Ikal dan
kawannya harus naik sepeda berkilo-kilo untuk berhutang kapur di toko Sinar
Harapan. Pekerjaan yang melelahkan, namun tetap dijalankan sesuai dengan amanat
gurunya. Apa ya sekarang ada Ikal-ikal masa kini yang mau seperti itu.
“Jangankan
ambil kapur, kerjakan PR saja susah minta ampun” kata teman saya. Perubahan
jaman yang kadang tak disikapi dengan strategi baru, sebab saat ini bukan
saatnya ambil kapur dan ngepel lantai lagi. Sudah tidak musimnya piket-piket
seperti jaman dulu yang memakasa datang lebih awal dan pulang paling akhir.
Jaman sudah berubah, makanya strategi juga harus berubah.
Menurut
tulisan di Kompas “Pendekatan model pak Mustar M. Djaid’din, B.A”, yang dilukiskan Andrea Hirata dalam novel Sang Pemimpi kini mungkin akan ditentang
oleh banyak orang. Dikisahkan Pak Mustar adalah seorang guru dan kepala sekolah
yang antagonis di mata beberapa murid-muridnya. Keras, tegas, disiplin dan
kadang sabetan tongkat bambu menghujam keras di meja kelas adalah ciri khas
beliau. Cara-cara mengajar konvensional jaman dulu memang demikian dibuat untuk
menghajar murid-muridnya. Memang saat itu metode disesuikan dengan situasi yang
ada, walau tokoh seperti pak Balia bak protagonis dan menjadi idola murid
adalah bumbu penyedapnya.
Coba
sekarang mengajar dengan cara yang konvensional dijamin tak lama masuk bui
gara-gara dituntut orang tua murid. Jaman sudah berubah, maka pendekatanya
harus disesuikan dengan jaman bagaimana mendekati anak-anak durhaka tersebut.
Anak-anak jaman dulu tak beda jauh dengan jaman sekarang, namun berbeda situasi
dan kondisinya sebab waktu yang merubah mereka.
Trauma
masa lalu bagaimana digampar guru, dilempar penghapus, disuruh berdiri ditiang
bendera setangah hari adalah menu-menu hukuman masa lalu, yang kini sudah tidak
relevan lagi bahkan dilarang. Anak-anak sekarang berbeda dan berpikir lebih
cerdas, maka imbangi dengan cara yang bijak dan cerdas. Jika murid durhaka, tak
ada jaminan mereka takut jadi batu maka dirubah saja orang tuanya yang disulap
jadi batu. Mengapa demikian?, karena anak yang sekolah orang tua pusing tujuh
keliling. Lihat saja saat Ujian Nasional dan penerimaan siswa baru, yang pusing
siapa, apakah orang tua atau siswa.?
Jika memang mereka durhaka menjadi
batu, maka ukir dan poles mereka agar menjadi cerdas, berpekerti yang luhur dan
baik adanya, dok.pri.
Tak
ada yang salah, sebab jaman memang menuntut demikian. Tantangan seorang guru
bukanlah berkeluh kesah, sebab guru dibayar tidak hanya mencerdaskan anak
bangsa tetapi mengubah hati dan otak yang membatu itu menjadi lunak dan
dibentuk sesuai aturan dan norma-norma yang berlaku. Tak di kota atau desa,
memang seperti itu karakter anak-anak. Jika anak itu tidak nakal, ibarat tak
ada proses bagi dia untuk matang dalam pemikiran dan tindakan. Bentuk mereka
memang kasar dan tak utuh, nah itu tugas kita untuk mengukir dan memoles
menjadi anak yang cerdas, berbudi pekerti lihur. “Caranya”, tanya teman saya,
“ya pikir sendiri kan kamu gurunya…?”…hahahahhaha…. “ingat kita juga pernah
durhaka terhadap orang tua, guru, dosen, aparat pemerintah, bahkan Tuhan…”.
No comments:
Post a Comment