M.Rakib Pekanbaru Riau Indonesia
PERLU UNTUK MENGGAGAS SEBUAH FIQH YANG BERORIENTASI LOKAL
YANG LEBIH DIKENAL DENGAN ISTILAH FIQH KEINDONESIAAN.
Hukum Islam menyatu dengan adat lokal Indonesia, misalnya adat
Melayu
Wahai ananda dengarlah
pesan
Hukum Islam, jangan tinggalkan
Pakai olehmu untuk pedoman
Di dalamnya banyak tunjuk ajaran
Wahai ananda intan di karang
Adat Melayu jangan dibuang
Di dalamnya banyak amanah orang
Untuk bekalmu di masa datang
Wahai ananda kekasih ibu
Pakai olehmu nasehat Melayu
Di dalamnya banyak mengandung ilmu
Manfaatnya besar untuk bekalmu
Hukum Islam, jangan tinggalkan
Pakai olehmu untuk pedoman
Di dalamnya banyak tunjuk ajaran
Wahai ananda intan di karang
Adat Melayu jangan dibuang
Di dalamnya banyak amanah orang
Untuk bekalmu di masa datang
Wahai ananda kekasih ibu
Pakai olehmu nasehat Melayu
Di dalamnya banyak mengandung ilmu
Manfaatnya besar untuk bekalmu
Di Riau, daratan ada adat melayu daratan yang dipengaruhi adat Minang, misalnya di Kampar dan Kuansing. Sedangkan Melayu latutan atau Kepri, ada Hukum adat yang dipengaruhi budaya Arab, Bugis dan sedikit Hindu India dalam hal hiasan paakaian pengantin dan padakaian para pemimpin. Juga ada pengaruh adat Cina terhadap kebiasaan pakaian Melayu.
Adat
Melayu dan perubahan zaman, ya kondisi inilah kiranya yang menggugah kesadaran
para intelektual muslim untuk melakukan perubahan, agar muslim Indonesia tidak
terjebak pada perdebatan-perdebatan yang tidak menyentuh permasalahan
substantif. Hasbiy Ash-Shiddieqy merupakan salah satu tokoh yang ikut mendukung
gerakan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai bentuk perlawanan terhadap
pengekangan hukum Islam yang didominasi hukum adat. Selanjutnya, dianggap perlu
untuk menggagas sebuah fiqh yang berorientasi lokal yang lebih dikenal dengan
istilah fiqh keindonesiaan.
Adapun dasar pemikiran ini adalah bahwa selama
ini pemahaman umat Islam Indonesia terhadap hukum Islam masih sangat
kearab-araban, sehingga perlu kiranya membangun kesadaran untuk menggagas fiqih
lokalitas yang dapat mengakomodasi kepentingan sosial muslim Indonesia.
Wahai ananda permata intan
Syair Melayu jangan abaikan
Di dalamnya banyak mengandung pesan
Pegang olehmu jadi pedoman
Wahai ananda cahaya mata
Pantun Melayu jangan dinista
Isinya indah bagai permata
Bila dipakai menjadi mahkota
Wahai ananda bijak bestari
Pantun menjadi suluh negeri
Ilmu tersirat payah dicari
Bila disimak bertuahlah diri
Wahai ananda dengarlah manat
Pantun memantun sudah teradat
Di dalamnya banyak berisi nasehat
Bila dipakai hidup selamat
Syair Melayu jangan abaikan
Di dalamnya banyak mengandung pesan
Pegang olehmu jadi pedoman
Wahai ananda cahaya mata
Pantun Melayu jangan dinista
Isinya indah bagai permata
Bila dipakai menjadi mahkota
Wahai ananda bijak bestari
Pantun menjadi suluh negeri
Ilmu tersirat payah dicari
Bila disimak bertuahlah diri
Wahai ananda dengarlah manat
Pantun memantun sudah teradat
Di dalamnya banyak berisi nasehat
Bila dipakai hidup selamat
SUPAYA
IMAN TIDAK BERKISAR
SUPAYA HIDUP TIDAK TERLANTAR
BILA MATI TIDAK TERCEMAR
MASUK KE DALAM SYURGA BERSINAR
SUPAYA HIDUP TIDAK TERLANTAR
BILA MATI TIDAK TERCEMAR
MASUK KE DALAM SYURGA BERSINAR
Munculnya gerakan reformasi terhadap konstruksi
hukum Islam yang telah ada melahirkan sebuah konsep fiqh yang lebih berbasis
lokal atau dapat dikatakan sebagai fiqh keindonesiaan. Kaum reformis di
Indonesia bercita-cita ingin membangun hukum Islam yang indegenous keindonesiaan.
Mereka berusaha membebaskan adat Indonesia dari adat Arab karena menurut
mereka, Islam tidak berarti Arab. Di samping itu, perbedaan adat ini sangat
dipengaruhi oleh realita bahwa posisi Indonesia terletak di pinggiran bukan di
tengah-tengah dunia Islam.Tentu saja ruang gerak ijtihad yang dijadikan sarana
untuk mewujudkan hukum Islam ala Indonesia ini tidak memasuki wilayah ibadah.
Tema pertama ditandai dengan langkah-langkah yang
bertujuan untuk membersihkan praktek-praktek peribadatan umat Islam yang
disinyalir terpengaruh oleh unsur-unsur non Islam yang sering didefinisikan
sebagai TBC (Tahayul, Bid’ah dan Khurafat). Kemudian tema besar lainnya seperti
membuka pintu ijtihad yang lama dianggap tertutup, mengganyang taqlîd,
membolehkan talfîq dengan cara memperkenalkan kembali studi perbandingan
mazhab. Reformasi model ini dimotori oleh ulama yang kurang menguasai sistem
hukum Indonesia, seperti A. Hasan, Munawar Cholil, dan Hasbiy As-Siddiqy.
Disamping itu, tentunya juga tidak berlebihan untuk menyebut
organisasi-organisasi Islam semisal Muhammadiyah, Persatuan Islam dan Al-Irsyad
ke dalam kategori pendukungnya.
Ada dua kecenderungan utama tema tentang fiqih
keindonesiaan, yaitu cita-cita untuk membangun hukum Islam yang berciri khas
Indonesia dengan cara membebaskan budaya Indonesia dari budaya Arab dan
menjadikan adat Indonesia sebagai salah satu sumber hukum Islam di Indonesia.
Kecenderungan pertama ini ditandai dengan lahirnya konsep-konsep pembaharuan
hukum Islam yang kental dengan nuansa keindonesiaan. Misalnya pada awal tahun
1950-an, Hazairin menawarkan konsep ”Mazhab Nasional”, walaupun bertulang
punggung mazhab Syafi’i, tetapi mazhab nasional membatasi ruang lingkupnya pada
hukum-hukum non-ibadah yang belum dijadikan undang-undang oleh negara. Pada
tahun 1987, Munawir menawarkan kaji ulang terhadap interpretasi hukum Islam,
dengan menekankan pada perubahan ’urf, maslahat, dan mafsadat
– yang populer sebagai ”Reaktualisasi hukum Islam” – walau Munawir menyebutnya
”Dinamika Hukum Islam”.Di tahun yang sama, Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
mengemukakan gagasan ”Pribumisasi Islam” dan Masdar F. Mas’udi menawarkan
konsep ”Zakat sebagai Pajak”. Jauh sebelum teori-teori keindonesiaan hukum
Islam ini muncul, pada tahun 1940, Hasbi telah mengemukakan gagasan tentang
perlunya pembentukan ”Fiqh Indonesia”, yang pada tahun 1961 ia definisikan
sebagai ”fiqh yang ditentukan berdasarkan kepribadian dan karakter bangsa
indonesia”.
Kecenderungan yang kedua adalah keindonesiaan
hukum Islam yang berorientasi konstitusional. Ini dimotori oleh tokoh-tokoh
umum yang menguasai sistem hukum Indonesia, tetapi kurang mendalami
prinsip-prinsip “Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah”. Cita-cita agar hukum
Islam dijadikan Undang-undang Dasar Negara dicuatkan kembali oleh wakil-wakil
umat Islam dalam BPUPKI.Aspirasi yang dikemukakan dalam rapat Panitia kecil
BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 ini berhasil memasukkan persyaratan, ”Dengan
kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” ke dalam Piagam
Jakarta. Persyaratan ini disahkan sebagai keputusan Panitia Kecil pada tanggal
22 juni 1945, tetapi akhirnya diganti dengan, ”Ketuhanan Yang Maha Esa” demi
non-muslim, khusunya orang Kristen.Memang tidak ada indikasi bahwa Hasbi ambil
bagian dalam proses ini, tetapi pada prinsipnya ia mendukung pihak-pihak yang
mensyaratkan syari’ah.
Orientasi konstitusional ini dapat dibagi lagi ke
dalam beberapa tahapan, dari sikap yang keras kemudian melunak. Pertama adalah
keinginan untuk membangun Negara Islam dengan cara menjadikan hukum Islam
sebagai Undang-Undang Dasar Negara, seperti tercermin dalam sikap umat Islam
dalam sidang BPUPKI, Piagam Jakarta, Negara Islam Indonesia, dan sidang-sidang
Konstituante. Semua perjuangan ini berjalan sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku, kecuali jalan yang ditempuh Negara Islam Indonesia melalui
pemberontakan.
Setelah mengalami beberapa kali kekalahan, kaum
reformis memperlunak langkah-langkah mereka. Walaupun tidak lagi
mencita-citakan Negera Islam, tetapi mereka masih saja harus menyingkirkan
rintangan konstitusional, yaitu mengganyang teori resepsi dengan Haizirin yang
tampil sebagai tokoh sentral. Dari sini kaum reformis melangkah dengan program
Kompilasi Hukum Islamnya. Tentu saja kodifikasi hukum Islam juga menjadi perhatian
serius mereka, dengan hasil Undang-Undang No. 1/1974 tentang Perkawinan dan
Undang-Undang No. 7/1989 tentang Peradilan Agama. Jadi, jelaslah bahwa Fiqh
Indonesia tidak hanya merupakan inisiatif pertama menuju keindonesiaan hukum
Islam di Indonesia, tetapi sekaligus merupakan jembatan penghubung antara tema
”Kembali kapada Al-Qur’an dan Sunnah”, dengan orientasi keindonesiaan yang
konstitusional. Jadi keindonesiaan Islam di Indonesia dimulai dari aspek hukum,
bukan dari aspek lainnya.
Terhitung sejak tahun 1970-an sampai sekarang
arah dinamika hukum Islam dan proses transformasi hukum Islam telah berjalan
sinergis searah dengan dinamika politik di Indonesia. Tiga fase hubungan antara
Islam dan negara pada masa Orde Baru yakni fase antagonistik yang bernuansa
konflik, fase resiprokal kritis yang bernuansa strukturalisasi Islam, dan fase
akomodatif yang bernuansa harmonisasi Islam dan negara, telah membuka pintu
lebar bagi islamisasi pranata sosial, budaya, politik dan hukum Islam di
Indonesia.
Berkenaan dengan itu, maka konsep pengembangan
hukum Islam yang secara kuantitatif begitu mempengaruhi tatanan sosial-budaya,
politik dan hukum dalam masyarakat. Kemudian diubah arahnya yakni secara
kualitatif diakomodasikan dalam berbagai perangkat aturan dan perundang-undangan
yang dilegislasikan oleh lembaga pemerintah dan negara. Konkretisasi dari
pandangan ini selanjutnya disebut sebagai usaha transformasi (taqnin)
hukum Islam ke dalam bentuk perundang-undangan.
Di antara produk undang-undang dan peraturan yang
bernuansa hukum Islam, umumnya memiliki tiga bentuk: Pertama, hukum
Islam yang secara formil maupun material menggunakan corak dan pendekatan
keislaman; Kedua, hukum Islam dalam proses taqnin diwujudkan
sebagai sumber-sumber materi muatan hukum, di mana asas-asas dan prinsipnya
menjiwai setiap produk peraturan dan perundang-undangan; Ketiga, hukum
Islam yang secara formil dan material ditransformasikan secara persuasive
source dan authority source.
Sampai saat ini, kedudukan hukum Islam dalam
sistem hukum di Indonesia semakin memperoleh pengakuan yuridis. Pengakuan
berlakunya hukum Islam dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan yang
berimplikasi kepada adanya pranata-pranata sosial, budaya, politik dan hukum.
Salah satunya adalah diundangkannya Hukum Perkawinan No. 1/1974.
Abdul Ghani Abdullah mengemukakan bahwa
berlakunya hukum Islam di Indonesia telah mendapat tempat konstitusional yang
berdasar pada tiga alasan, yaitu: Pertama, alasan filosofis, ajaran
Islam rnerupakan pandangan hidup, cita moral dan cita hukum mayoritas muslim di
Indonesia, dan ini mempunyai peran penting bagi terciptanya norma fundamental
negara Pancasila; Kedua, alasan sosiologis. Perkembangan sejarah
masyarakat Islam Indonesia menunjukan bahwa cita hukum dan kesadaran hukum
bersendikan ajaran Islam memiliki tingkat aktualitas yang berkesiambungan; dan Ketiga,
alasan Yuridis yang tertuang dalam pasal 24, 25 dan 29 UUD 1945 memberi tempat
bagi keberlakuan hukum Islam secara yuridis formal.
Implementasi dan tiga alasan di atas, sebagai
contoh adalah ditetapkannya UUPA No.7/1989 yang secara yuridis terkait
dengan peraturan dan perundang-undangan lainnya, seperti UU No.2/1946 Jo,
UU No.32/1954, UU Darurat No.1/1951, UU
Pokok Agraria No.5/1960, UU No.14/1970,
UU No.1/1974, UU No.14/1985, Perpu Nol/SD
1946 dan No.5/SD 1946, PP. No.10/1947 Jo.
PP. No.19/1947, PP. No.9/1975, PP. No.28/1977, PP. No.10/1983
Jo, PP. No.45/1990 dan PP. No. 33/1994.
Penataan Peradilan Agama terkait pula dengan UU No.2/1986 tentang Peradilan
Umum, UU No.5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan UU No.7/1989
tantang Dradi1an Agama.
Dalam kenyataan lebih konkret, terdapat beberapa
produk peraturan dan perundang-undangan yang secara formil maupun material
tegas memiliki muatan yuridis hukum Islam, antara lain:
a. UU No. 1/1974 tentang Hukum Perkawinan
b. UU No. 7/ 1989 tentang Peradilan Agarna (Kini
UU No. 3/2006)
c. UU No. 7/1992 tentang Perbankan Syari’ah (Kini
UU No. 10/1998)
d. UU No. 17/1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah
Haji
e. UU No. 38/ 1000 tentang Pangelolaan Zakat,
Infak dan Shadaqah (ZTS)
f. UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Otonomi
Khusus Nangroe Aceh Darussalam
g. UU Politik Tahun 1999 yang mengatur ketentuan
Partai Islam
h. UU No. 4 1/2004 tentang Wakaf
Di samping tingkatannya yang berupa
Undang-undang, juga terdapat peraturan-peraturan lain yang berada di bawah
Undang-undang, antara lain:
a. PP No.9/1975 tentang Petunjuk Pelaksanaan UU
Hukum Perkawinan
b. PP No.28/1977
tentang Perwakafan Tanah Milik
c. PP No.72/1992
tentang Penyelenggaraan Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil
d. Inpres No.1/ 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam
e. Inpres No.4/2000 tentang Penanganan Masalah
Otonomi Khusus di NAD
Lebih jauh nuansa-nuansa pembaharuan hukum Islam
di Indonesia dapat dicermati dalam beberapa bidang, yaitu dalam bidang
perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Dalam bidang perkawinan, misalnya,
terdapat beberapa bentuk pembaharuan seperti pencatatan perkawinan, batas usia
kawin, persetujuan calon mempelai, izin poligami, perceraian di depan sidang
pengadilan, dan semua tindakan hukum yang merupakan upaya-upaya untuk
mewujudkan perkawinan dengan segala akibat hukumnya.
KHI misalnya, telah mengatur secara lengkap
tentang rujuk, baik yang bersifat normatif, teknis maupun administratif, yaitu
diatur dalam Bab XVIII Pasal 163, 164, 165 dan 166, sedang secara teknis diatur
dalam Pasal 168 dan 169. Persoalan yang bukan bersifat normatif tidak
disinggung dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 maupun Peraturan Pemerintah No.
9 Tahun 1975. Sedangkan yang bersifat teknis dan administratif, KHI hanya memperkuat
ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam Permenag No. 3 Tahun 1975, bahkan
hampir semua kata yang dipakai sama. Hal ini dapat dimaklumi karena KHI dibuat
untuk memperkokoh atau mencari rujukan undang-undang atau peraturan-peraturan
sebelumnya dan menambah yang belum ada. Oleh karena itu, materi KHI tidak hanya
terbatas pada satu mazhab, tetapi beberapa mazhab. Pasal 163 (2) point b
menegaskan bahwa rujuk tidak dapat dilakukan jika perpisahan itu terjadi
disebabkan zina yang pelaksanaannya berdasarkan putusan Pengadilan Agama. Pasal
ini juga menegaskan bahwa rujuk dapat terjadi dengan putusnya perkawinan
berdasarkan putusan Pengadilan Agama dengan satu atau beberapa alasan. Dalam
hal ini, KHI tidak menyebutkan secara rinci, selain zina dan khulu’.
Alasan-alasan ini bersifat umum, yakni dapat berwujud istri tidak diberi
nafkah, istri selalu disakiti, suami pergi tanpa ada berita dan suami
dipenjara. Tentang bunyi Pasal 163 (2) point b, kompilasi berbeda dengan
kebanyakan ulama. Menurut KHI, alasan yang dapat dimasukkan ke dalam talak
raj’i yang dapat dilakukan rujuk hanya talak yang diputuskan pengadilan
karena suami tidak memberi nafkah, sebagaimana pendapat Hanafiyah.
Oleh karena itu, pasal ini merupakan hasil
ijtihad ulama Indonesia yang concern terhadap persoalan yang muncul
antara suami dan istri. Jika dicermati lebih mendalam, maka
pasal ini merupakan pengembangan atau analog dari pendapat ulama Hanafiyah yang
memasukkan thalaq raj’i dengan alasan tidak memberi nafkah. Dalam hal
ini ditemukan alasan adanya bahaya kepada istri. Pasal 164 KHI menegaskan bahwa
mantan istri yang akan dirujuk memiliki hak untuk mengajukan keberatan atas
kehendak rujuk mantan suaminya, yang akan merujuk. Artinya, jika dia keberatan
dirujuk, maka suami tidak boleh memaksakan kehendaknya untuk rujuk. Pernyataan
ini berbeda dengan pendapat mayoritas fuqahâ’. Demikian juga Pasal 165
KHI menegaskan bahwa rujuk yang tidak mendapat persetujuan mantan istri dapat
dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama. Unsur kerelaan menjadi
faktor determinan. Pasal ini juga berbeda dengan seluruh pendapat fuqahâ’.
Kewajiban untuk mencatatkan rujuk yang dimaksudkan sebagai bukti otentik dalam
kepastian hukum, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 165, juga merupakan
ketentuan baru dalam proses rujuk.
No comments:
Post a Comment