PERUBAHAN ZAMAN PENYEBAB PERUBAHAN
HUKUM
M.Rakib
Pekanbaru Riau Indonesia. 2015
Perubahan zaman, adalah
takdir,
Tiada seorangpun dapat,
mungkir
Manusialah yang harus berfikir
Perubahan hukum, terus
bergulir
Santet
itu adalah sihir,
Kumpul
kebo, itu zina.
Penyakit
batin, yang terus hadir,
Sejak
zaman, dahulu kala.
Zina dan sihir, jika merata,
Akan lenyap,
satu benua.
Hilang ditelan, dasar samudera,
Hanya tinggal, dalam sejarah.
Ada empat, benua hilang,
Peradabannya, dahulu gemilang.
Karena, melanggar yang dilarang,
Murka Tuhan, tiada terbilang.
Kumpul kebo, terang-terangan,
Sihirpun,
jadi pegangan,
Bersahabat, jin juga Setan.
Tandanya kehancuran, sudah
di depan.
ILLAT yang membedakan hukum arak berbanding
produk makanan yang halal sedangkan masing-masing mengandungi
bahan alkohol yang sama contohnya etanol.
Oleh yang demikian, artikel ini cuba
membincangkan konsep alkohol yang
terkandung dalam produk kepenggunaan terutamanya
makanan dan sejauh mana kaitannya dengan alkohol dalam arak. Kadar penentuan piawaian alkohol
yang dibenarkan dalam makanan
terutamanya bagi tujuan penetapan hukum sama
ada ianya halal dimakan atau tidak
juga akan dibahaskan dakam penulisan
ini.
‘Illah boleh disimpulkan sebagai suatu ciri zahir
yang konsisten yang wujud pada sesuatu
bahan yang mana ia akan menentukan bentuk hukum terhadap bahan tersebut. Al-Zuhayli
, Wahbah, Usul al-Fiqh al-Islami,
(Damshiq: Dar al-Fikr, 1986) juz. 1, h. 646-649.279
Penentuan Piawaian Alkohol Dalam Makanan Yang Dibenarkan
Dari Perspektif Islam KONSEP
ARAK (AL-KHAMR) MENURUT FIQH Jika tinjau dari sudut penggunaan bahasa Arab,
arak atau khamr boleh diertikan dengan
pelbagai maksud antaranya seperti penutupan (taghtiyah), percampuran (mukhalatah),
perubahan (taghayyur), cukup masa (idrak wa bulugh al-awan) dan meninggalkan (tark).Namun
demikian, maksud yang paling serasi dengan khamr ialah
penutupan dan percampuran seperti yang
ditegaskan oleh Ibn al-‘Arabi memandangkan sifat khamrmampu menutup fungsi akal
dan mencampur-adukkan pemikiran manusia sehingga menghilangkan kewarasannya.
Dalam Kamus Dewan Bahasa dan
Pustaka, arak atau khamr didefinisikan sebagai
minuman yang mengandungi alkohol
atau minuman keras.
Dari sudut istilahnya, jumhur ulama
telah mendefinisikan arak sebagai apa jua bahan yang mampu memabukkan dan menghilangkan
kewarasan akal. Pandangan ini adalah berdasarkan hadis yang telah diriwayatkan
oleh Ibn ‘Umar daripada Rasulullah
SAW yang bersabda:
“Setiap bahan yang memabukkan itu adalah arak
dan setiap bahan yang memabukkan itu
adalah
haram, dan sesiapa yang meminum arak
di dunia
lalu dia meninggal dunia dalam
keadaan dia
menagihnya (dan) tidak (sempat)
bertaubat nescaya
(sebagai balasan) dia tidak akan
dapat meminumnya
di akhirat kelak”.
Zaman
dan tempat tidak menentukan rupa bentuk Islam, tetapi Islam mempengaruhi
perubahan manusia, tempat dan zaman. Inilah yang disebut oleh ulama’ usuliyyin:
Taghayir
al-hukmi bi taghayir al-Amkinah wa al-Azminah yaitu berubahnya fatwa disebabkan berubahnya tempat dan zaman.
Umpamanya di dalam hadith-hadith yang sahih termasuk yang diriwayatkan oleh
al-Bukhari Rasulullah S.A.W. melarang menyimpan daging korban lebih daripada
tiga hari. Pada tahun berikut para sahabat bertanya, lagi kepada Nabi S.A.W., apakah mereka seperti tahun lalu?
Kata Nabi S.A.W.: “Makan dan
simpanlah kerana pada tahun lepas orang ramai dalam keadaan susah dan aku mahu
kamu menolong mereka”. Dalam riwayat yang lain
disebutkan disebabkan daffah yaitu orang yang datang dari luar Madinah. Jelas
sekali bahwa adanya larangan Nabi S.A.W. disebabkan oleh keadaan tertentu atau
punca tertentu yang sebut dalam usul al-Fiqh sebagai illat al-Hukum. Apabila
penyebab dikeluarkan sesuatu hukum maka hukum pun dipadamkan. Dengan itu,
al-Imam as-Syaf`ii sebagai tokoh awal menulis dalam Usul al-Fiqh memasuk bab
al-`Ilal fi al-Ahadith (`ilat-ilat di dalam hadith-hadith) dalam kitabnya
al-Risalah.
Banyak lagi contoh-contoh yang lain di dalam hadith,
jika disebutkan, yang menunjukkan perubahan zaman mengubah fatwa. Inilah juga
keputusan para sahabah yang menghukum beberapa hal tidak sama seperti hukuman
pada zaman Nabi s.a.w. disebabkan perubahan yang berlaku, umpamanya Saidina Umar
tidak memberi zakat kepada golongan al-muallaf qulubhum (yang cuba
didekatkan kepada Islam) pada zamannya sekalipun hak mereka disebut di dalam
al-Quran dan mereka diberikan zakat oleh Rasulullah S.A.W.. Ini disebabkan
perubahan keadaan dan suasana dengan kata Umar : Allah telah memuliakan Islam
dan tidak memerlukan mereka!” Sesiapa yang ingin pendetilan dia boleh menyemak
tuisan para ulama termasuk tulisan Dr. Yusuf al-Qaradawi dalam Fiqh al-Zakah.
Untuk itulah, tulisan ini dihadirkan. Tentu saja tulisan ini tidak dapat menguraikan secara lengkap dan detail setiap rincian sejarah hukum Islam di Tanah air, namun setidaknya apa akan Penulis paparkan di sini dapat memberikan gambaran tentang perjalanan hukum Islam, sejak awal kedatangan agama ini ke bumi Indonesia hingga di era reformasi ini. Pada bagian akhir tulisan ini, Penulis juga menyampaikan kesimpulan tentang apa yang sebaiknya dilakukan oleh kaum muslimin Indonesia untuk –apa yang Penulis sebut dengan- “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam.
Wallahu a’la wa a’lam!
Hukum Islam pada Masa Pra Penjajahan Belanda
Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara.
Pengaruh dakwah Islam yang cepat
menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa
kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh.
Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri
Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri
Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore. Kesultanan-kesultanan
tersebut –sebagaimana tercatat dalam sejarah- itu tentu saja kemudian
menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan hukum
Islam sebagai hukum positif di setiap kesultanan tersebut tentu saja menguatkan
pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa
itu. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang
ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17.[3] Dan kondisi
terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.
Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda
Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa.
Dalam kenyataannya, penggunaan
hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi
berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun
membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka
jalankan.Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang
dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:
1.Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.
2. Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
3. Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone.
Pengakuan terhadap hukum Islam ini
terus berlangsung bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan
Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles
menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali
memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak
Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini.
Namun upaya itu menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang
penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep
dar al-Islam dan dar al-harb. Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan
ragam cara untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya dengan (1) menyebarkan
agama Kristen kepada rakyat pribumi, dan (2) membatasi keberlakuan hukum Islam
hanya pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja.
Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan keberlakuan
hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis adalah sebagai
berikut:1. Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.
2. Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.
3. Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh hukum adat setempat).
4. Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi.
Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942.
Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan Belanda.
Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:
1. Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
2. Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.
3. Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
4. Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.
5. Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.
6. Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama
dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka.
Dengan demikian, nyaris tidak ada
perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di
Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada
Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam
mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa,
Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam.
Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid
atau pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang
memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa
Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan.
** BANJIR BANJIR BANJIR UANG DI MEJA **
ReplyDeleteVIPbandarQ - YOUR No #1 BandarQ Online Indonesia
----------------------------------------------
Menyediakan 7 Jenis Permainan TerFAVORIT
BANDAR Q | ADU Q | DOMINO QQ | POKER | CAPSA SUSUN | Bandar Poker | Sakong (New Game) ----------------------------------------------
Di Dukung 5 Bank Ternama di INDONESIA
BCA - MANDIRI - BRI - BNI - DANAMON
----------------------------------------------
Bonus Terbesar di VIPbandarQ
1. Bonus Refferal TANPA SYARAT
2. Bonus Rolligan TIAP MINGGU
----------------------------------------------
Selalu Ada Kejutan Untuk Member VIPBANDARQ
----------------------------------------------
Gabung Sekarang Juga dan Raih Kemenangan Puluhan Juta Setiap Hari
CS ONLINE 24/7
BBM : 55AB0E6C
INSTAGRAM : VIPBANDARQORG
SKYPE : VIPBANDARQ
FACEBOOK : VIPBANDARQ
www. VIPBANDARQ. org