HUKUMAN ATAS DASAR SUKARELA SANTRI
M.Rakib
Muballigh IKMI Riau Indonesia. 2014
1. IGNORANTIA
EXCUSATUR NON JURIS SED FACTI – Ignorance of fact is excused but not ignorance
of law.
Ketidaktahuan akan fakta-fakta dapat dimaafkan tapi tidak demikian halnya
ketidaktahuan akan hukum. IGNORANTIA JURIS NON EXCUSAT – Ignorance of the
law does not excuse (ketidaktahuan akan hukum tidak dimaafkan).
2. JURIS
QUIDEM IGNORANTIUM CUIQUE NOCERE, FACTI VERUM IGNORANTIAM NON NOCERE –
Ignorance of law is prejudicial to everyone, but ignorance of fact is not (pengabaian terhadap
hukum akan merugikan semua orang; tetapi pengabaian terhadap fakta tidak).
3. IGNORANTIA
JUDICIS EST CALANAITAX INNOCENTIS – The ignorance of the judge is the
misfortune of the innocent
(ketidaktahuan hakim ialah suatu kerugian bagi pihak yang tidak bersalah).
4. JUDEX
SET LEX LAGUENS – The judge is the speaking law (sang hakim ialah
hukum yang berbicara). JUDEX DEBET JUDICARE SECUNDUM ALLEGATA ET PROBATA –
The judge ought to give judgment according to the allegations and the proofs
(seorang hakim harus memberikan penilaian berdasarkan fakta-fakta dan
pernyataan).
5. IUDEX
NON ULTRA PETITA atau ULTRA PETITA NON COGNOSCITUR (hakim hanya
menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang didasarkan
kepadanya). IUDEX NE PROCEDAT EX OFFICIO (hakim bersifat pasif menunggu
datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya).
6. JUDEX
HERBERE DEBET DUOS SALES, SALEM SAPIENTIAE, NE SIT INSIPIDUS, ET SALEM
CONSCIENTIAE, NE SIT DIABOLUS – A judge should have two silts; the salt of
wisdom, lest he be foolish; and the salt of conscience, lest he be devilish (seorang hakim harus
mempunyai dua hal: suatu kebijakan, kecuali dia adalah orang yang bodoh; dan
hati nurani, kecuali dia mempunyai sifat yang kejam).
7. JUDEX
NON REDDIT PLUS WUAM QUOD PETENS IPSSE REQUIRIT – A judge does not give more
than the plaintiff himself demands
(seorang hakim tidak memberikan permintaan lebih banyak dari si penuntut).
8. JUDEX
NON PUTEST ESSE TESTIS IN PROPRIA CAUSE. A judge cannot be a witness in his own
cause
(eorang hakim tidak dapat menjadi seorang saksi dalam perkaranya sendiri). INIQUUM
EST ALIQUEM REI SUI ESSE JUDICEM – It is unjust for anyone to be judge in his
own (adalah tidak adil bagi seseorang untuk diadili pada perkaranya sendiri).
NEMO JUDEX IN CAUSA SUA – No man can be a judge in his own cause
(hakim tidak boleh mengatur/mengadili dirinya sendiri).
9. JUDICANDUM
EST LEGIBUS NON EXEMPLIS – Judgment must be given by the laws, not by examples (putusan hakim harus
berdasarkan hukum, bukan berdasarkan contoh. seorang hakim tidak dibatasi untuk
menjelaskan penilaian/putusannya sendiri).
10. JURAMENTUM
EST INDIVISINLE, ET NON EST ADMITTENDUM IN PARTLY TRUE AND PARTLY FALSUM – An
oath is indivisible; it is not to be accepted as partly true and partly false (sebuah sumpah tidak
dapat dibagi; sumpah tersebut tidak dapat diterima jika sebagiannya benar dan
sebagian lagi salah).
11. JURARE
EAT DEUM IN TESTEM VOCARE ET EST ACTUS DIVINI CULTUS – To swear is to call God
to witness, and is an act of religion
(memberikan sumpah ialah sama halnya dengan memanggil Tuhan sebagai saksi hal
itu adalah hal keagamaan).
12. CUM ADSUNT TESTIMONIA
RERUM, QUID OPUS EST VERBIST – When
the proofs of facts are present, what need is there of words? (saat bukti dari fakta-fakta ada, apa gunanya kata-kata?). FACTA SUNT
POTENTIORA VERBIS – Deeds or facts are
more powerful than words (perbuatan atau fakta lebih kuat dari kata-kata).
Penulis adalah guru SMA Plus Pekanbaru Riau(1998-2000)
Penulis menyusun dosertasi di UIN 2014, juga tentang hukuman n fisik dari guru
terhadap muridnya. Penulis tertarik menyimak kisah hukuman dari kiyai kepada
sangtrinya di Jawa, seperti yang ditulis Kompas. Sebagai pendidik, dalam hal
ini kyai maupun ustad yang mana keduanya merupakan pembimbing, dan pendidik di
pondok pesantren hendaknya meniru Rasululloh SAW. Karena Rasululloh merupakan
pendidik terbaik di kalangan umat manusia. Disebutkan dalam hadis Rasululloh
SAW riwayat Abu Daud, yang artinya ”Dan Amr bin Syuaib dari ayahnya, dari
kakeknya bahwa Rasululloh SAW bersabda: “Suruhlah anak-anak kalian mengerjakan
solat sejak mereka berusia tujuh tahun. Pukullah mereka jika melalaikannya
ketika mereka berusia sepuluh tahun,dan pisahkan tempat tidur mereka ”.
Maksud dari hadis ini
islam memperbolehkan adanya hukuman atau pukulan yang diistilahkan kekerasan
dalam mendidik seorang anak namun penerapannya penuh dengan rasa kasih sayang,
tidak dengan benda keras, dan hukuman tersebut tidak terlepas untuk mendidik
mereka ke arah yang lebih baik. Hendaknya hukuman pukulan itu seperti garam
dalam masakan, sedikit tetapi membuatnya lezat dan bila kebanyakan akan merusak
rasanya.
Kyai berperan besar dalam mencetak santri-santri yang
berakhlakul karimah, berpengetahuan luas, dan memiliki kecakapan social yang
baik. Karena itulah pondok pesantren dijadikan sebagai media untuk pembelajaran
ini. Dalam melakukan peran ini, kyai dibantu oleh staf-staf yang lain seperti ustad/ustadah.
Tidak jarang seorang santri yang melakukan pelanggaran peraturan dalam pondok,
dan karena itu mereka dihukum.
Dalam
pelaksanaan hukuman, tidak serta merta santri disuruh melakukan ini itu, namun
beberapa hal perlu diperhatikan, yaitu:
1. Alasan
mengapa santri melakukan pelanggaran. Pengurus pondok perlu mengetahui hal ini
sebagai bahan evaluasi untuk kedepannya, apakah memang peraturan yang dibuat
sudah sesuai atau belum dengan kondisi santri.
2. Pemberian
pengertian kepada santri mengenai hukuman. Jika santri memang layak dihukum
atas kesalahannya, maka pengurus bertanggung jawab untuk memberikan pengertian
atau alasan mengapa santri perlu dihukum, dan tujuan santri diberi hukuman.
Karena hukuman yang baik adalah hukuman yang dapat memberikan efek jera pada
santri sehingga mendorong santri untuk berperilaku lebih baik kedepannya.
Jangan sampai santri tidak tahu alasan mengapa mereka dihukum.
3. Pelaksanaan
hukuman tidak boleh dalam keadaan emosi. Pengurus harus pandai dalam meregulasi
emosinya, karena hukuman yang dilakukan atas dasar emosi akan menimbulkan efek
di luar keinginan, yang ada hanyalah limpahan amarah pengurus atas pelanggaran
santri.
Langkah Penerapan Hukuman dalam
Perspektif Pendidikan Islam
Adapun
dalam proses pemberian hukuman mengunakan kekuatan (pukulan) juga ada
aturannya, Muhammad ‘Athiyah Al-Abrasyi memberikan syarat untuk bolehnya
dijatuhkan hukuman fisik (jamaniah) kepada anak didik, sebagi berikut (Ralwi:
2011):
a.
Sebulum anak berusia 10 tahun, anak-anak tidak boleh diberikan hukuman. Ini
sesuai dengan hadits yang di riwayatkan oleh Abu Daud.
b.
Pemukulan tidak boleh lebih dari tiga kali dan pemukulan yang dimaksudkan
disini dengan menggunakan lidi atau tongkat kecil bukan dengan besi atau
tongkat yang besar.
Hukuman
atas dasar, sukarela,
Jangan
melanggar, hak asasi mausia
Kesepakatan,
betapapun hebatnya,
Jangan
melanggar, ketentuan Allah.
Reaksi masyarakat beragam – meski
semuanya bernada menentang – ketika sebuah video berisi rekaman kekerasan terhadap
tiga orang santri, beredar di Jombang. Diduga, peristiwa tersebut terjadi di
sebuah pondok pesantren (ponpes) di Kabupaten Jombang, Jawa Timur.
Rekaman video tersebut menggambarkan
tiga santri diikat di pohon dengan mata tertutup. Kemudian beberapa orang yang
lebih senior memukuli santri tersebut dengan rotan secara bergiliran. Setiap
santri yang diikat di pohon tersebut mendapat total 35 kali pukulan. Ironisnya,
tindakan tak lazim itu dilakukan di depan puluhan santri lainnya.
Rekaman video tersebut menyebar dari
telepon selular ke ponsel milik warga sejak sekitar akhir pekan lalu. Bahkan
beberapa anggota Komisi D DPRD Jombang juga sudah mendapat video tersebut.
Ketua Komisi, Mulyani Puspita Dewi menyebutkan, hasil penelusuran yang
dilakukannya pihaknya, menduga lokasi pesantren tersebut di Jombang.
Terkait isi rekaman video, Dewi
menyatakan sangat menyayangkan terjadinya tindak kekerasan terhadap santri yang
diduga melakukan pelanggaran aturan internal tersebut. “Kekerasan itu tidak
baik. Jika pemukulan itu merupakan hukuman untuk menimbulkan efek jera, bisa
dalam bentuk lain, misalnya mengepel lantai.”
Dia mengaku sudah berkoordinasi
dengan Polres Jombang untuk menindaklanjuti kasus ini dan berharap diusut
tuntas. “Pengakuan pihak pondok, video itu rekaman 2010. Tapi bagi Komisi D,
rekaman tahun 2010 atau 2014, tetap harus diusut, karena ada faktanya. Saya
juga minta apakah pesantren tersebut sudah ada legitimasinya secara formal atau
belum.”
Tiga orang santri dicambuk
Dalam video berdurasi 5 menit 21
detik itu tampak sejumlah orang yang diduga pengurus pondok pesantren mengikat
tiga orang santri di sebuah pohon dengan kondisi mata ditutup.
Salah seorang berpeci berbicara di
depan puluhan santri, memerintahkan beberapa santri mencambuki tiga santri yang
terikat tersebut dengan menggunakan dua batang rotan. Satu per satu dari
beberapa santri mendekati ketiga santri yang terikat di pohon.
Sambil mengucapkan kalimat
‘bismillahi Allah Akbar’, mereka dengan semangat memukulkan dua batang rotan
itu ke punggung tiga santri yang terikat. Masing-masing santri mengayunkan lima
kali pukulan. ‘Prosesi’ baru dihentikan ketika masing-masing santri yang
terikat di pohon itu sudah dicambuk 35 kali.
Kepolisian Jombang langsung
menyelidiki identitas ponpes – Al-Urwatul Wutsqo yang lebih dikenal dengan
PPUW, di Desa Bulurejo, Kecamatan Diwek, sekitar 15 kilometer arah selatan Kota
Jombang – yang menerapkan hukuman cambuk tersebut.
Peristiwa terjadi tahun 2010
Kapolres Jombang AKBP Ahmad Yusep
Gunawan mendatangi lokasi pondok dan menemui Pengasuh PPUW, KH Mohammad Qoyim,
Senin (8/12). Usai pertemuan dia mengungkapkan, dari pengakuan pihak pondok,
peristiwa hukuman cambuk kepada tiga santri yang terekam dalam video tersebut
terjadi tahun 2010.
Menurut Qoyim, aturan hukuman cambuk
bagi santri yang melanggar sudah berlaku di ponpes itu sejak pesantren ini
berdiri, tahun 1990. “Dari penyelidikan kami sendiri, video diunggah di sebuah
blog. Pengunggahnya, Agus mengaku menemukan video tersebut dari memory card
ponsel telepon seluler,” kata Kapolres sambil menambahkan bahwa dia belum
memastikan kelanjutan kasus ini bisa diangkat ke ranah pidana atau tidak.
“Kepolisian memerlukan dua alat
bukti. Termasuk menguji keakuratan atau validitas video tersebut ke ahli
teknologi informasi komputer,” katanya.
Salah satu korban pencambukan, sudah
teridentifikasi namun dia sudah lulus dan berada di Sidoarjo, sehingga belum
bisa dioeriksa. Demikian juga pelaku, belum bisa diperiksa sepanjang belum ada
kepastian tentang keaslian video yang menghebohkan tersebut. “Polisi tetap
terus melakukan penyelidikan untuk memastikan ada-tidaknya unsur pidana pada
peristiwa tersebut.”
Komnas HAM prihatin
Kasus hukuman cambuk terhadap santri
di ponpes itu memunculkan keprihatinan Komnas HAM. “Kami mendorong Polri untuk
menyelidiki praktek hukum cambuk di salah satu ponpes di Jombang itu secara
profesional,” kata Komisioner Komnas HAM Maneger Nasution.
Dia menilai, penerapan hukuman
cambuk terhadap santri dalam konteks pendidikan tidak tepat. “Ada baiknya
dilakukan evaluasi terhadap pola pengasuhan siswa di lingkungan sekolah,
madrasah atau pesantren sehingga lebih humanis, berkeadilan dan berkeadaban,”
ujarnya.
Maneger juga mendesak kementerian
agama agar mengharmonisasi regulasi kesiswaan di sarana pendidikan yang ada di
lingkungan Kemenag agar lebih bermartabat.
Pengasuh pondok pesantren Urwatul
Wustqo, KH M Qoyim Ya’kub (kiri).
(Foto: Antara Jatim)
(Foto: Antara Jatim)
Ada cara lebih manusiawi
Pengasuh Pondok Pesantren Urwatul
Wustqo di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, KH M Qoyim Ya’kub mengakui bahwa video
hukuman cambuk yang beredar luas di masyarakat terjadi di pondok pesantren
tersebut. Tetapi hukuman itu dilakukan atas dasar sukarela dan tanpa paksaan,
saat ada seorang santri yang melanggar tata tertib pesantren atau perintah agama.
Kiayi itu mengatakan, hukuman cambuk
merupakan syariat Islam yang termaktub dalam tata tertib Ponpes. Pondok
menjatuhkan hukuman itu karena ketiga santri tersebut mengonsumsi minuman
keras.
Di pondok pesantren yang dipimpinnya
ada berbagai macam bentuk hukuman bagi santri yang melanggar tata tertib
pesantren. Jika pelanggarannya bersifat ringan, santri akan ditawari menjalani
hukuman ringan seperti puasa atau beristigfar.
Saat ini, Ponpes Urwatul Wutsqo
dihuni sekitar 880 santri, sebagian besar berasal dari Nusa Tenggaran Timur
(NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Ponpes ini memilik lembaga pendidikan
mulai dari PAUD, TK, Madrasah Ibtida’iyah (MI) sampai Sekolah Tinggi Ilmu
Tarbiyah (STIT) Al Urwatul Wutsqo.
Jika pelanggarannya berat seperti
berzina atau meminum minuman keras santri akan ditawari menjalani hukuman
dikeluarkan dari pondok atau bertaubat, katanya. “Jika santri memilih
bertaubat, maka sesuai Syariat Islam mereka harus dicambuk 35 hingga 100 kali.
Atas hukuman itu, kebanyakan santrinya memilih bertaubat atau dicambuk.
Tak hanya terhadap santrinya, kata
Qoyim, ponpes juga menerapkan hal serupa kepada masyarakat umum yang ingin
bertaubat sesuai Syariat Islam. “Pernah ada juga warga yang menjalani hukuman
cambuk berasal dari luar pesantren atas keinginannya sendiri.”
Terkait hukuman cambuk tersebut, MUI
Jombang meminta segala bentuk kekerasan terhadap santri di ponpes di Jombang
dihentikan sebab menurut KH Cholil Dahlan, penerapan hukum syar’i di lingkungan
pesantren justru akan berdampak negatif terhadap anak didik.
Dia juga mendukung sepenuhnya
penuntasan penyelidikan kasus yang meresahkan masyarakat tersebut. Pengasuh
Ponpes Darul Ulum (PPDU) Jombang ini berpendapat, pesantren sebagai tempat
pendidikan nilai-nilai Islam tidak serta merta harus menerapkan hukuman fisik
kepada anak didik. Apalagi, proses pemberian vonis hukum syar’i sebenarnya
sangat ketat.
MUI khawatir, penerapan hukum syar’i
itu tidak memenuhi syarat dan rukun yang berlaku. “Vonis hukuman di internal
pondok merupakan solusi terakhir,” katanya sambil menunjuk contoh aturan di
PPDU.
Di sana, seorang santri yang
melanggar aturan, hukuman awalnya adalah dicukur gundul. Jika masih saja
melanggar, maka santri bandel itu akan dihukum dengan menghafal ayat-ayat
Alquran. Bila melanggar lagi, santri tersebut akan dikenai skorsing dalam waktu
tertentu.
Sanksi terhadap berulangnya
pelanggaran tersebut, terlebih yang tergolong berat, santri dikeluarkan dari
pesantren. “Dia kami kembalikan kepada orang tuanya. Itu atauran yang kami
terapkan di PPDU. Kami tidak menerapkan Syariat Islam seperti hukum cambuk dan
sejenisnya,” kata Cholil.
Pengasuh Ponpes Tebuireng, Jombang,
KH Solahudin Wahid (Gus Solah) juga angkat bicara. Menurutnya, hukum cambuk
untuk santri di pesantren yang melakukan pelanggaran sungguh sangat tidak
manusiawi. Sebab untuk menimbulkan efek jera dan bersifat mendidik, masih
banyak hukuman lain ketimbang memukulkan rotan ke tubuh santri.
“Selain kaget, ya saya prihatin atas
terjadinya hukuman cambuk,” ujar Gus Solah yang juga mantan Wakil Ketua Komnas
HAM. “Saya memang belum melihat video dimaksud, tetapi sekali lagi, hukuman
cambuk sangat tidak manusiawi. Di Tebuireng ada ribuah santri, tapi tidak ada
kebijakan yang menghukum santri dengan kekerasan, baik fisik maupun mental.”
Ponpes Tebuireng dikelola dengan
metode yang bersifat mendidik, ujarnya. Jika memang pihak pesantren tidak
sanggup atau santri sudah kelewat batas melakukan pelanggaran, maka solusinya
dikeluarkan dari pesantren.
Hukuman fisik yang tergolong berat,
tidak bisa diberlakukan kepada siapapun apalagi terhadap para siswa dengan
dalih apapun. Selain tidak mendidik, semua orang memiliki hak azasi manusia
yang harus dihormati dan dijunjung tinggi. Pelanggaran atas HAM – dalam wujud
praktek kekerasan – hukum urusannya. (T/R01/P3)
No comments:
Post a Comment