Sunday, May 17, 2015

MENJUAL PENGUASA GAYA ABU NAWAS By M.Rakib



MENJUAL PENGUASA
GAYA ABU NAWAS
By M.Rakib Pekanbaru Riau Indonesia

Abu Nawas berjalan di beberapa pasar, di mana orang jarang mengenal khalifah secara langsung. Abu Nawas berniat hendak menjual khalifah kepada siapa saja yang mau membelinya.

Abu Nawas    :  Itu ada budakku, aku kurang suka karena dia agak sombong. Itu dia  berdiri dekat  kuda, aku jual murah aja padamu, ambillah.

Saudagar        :  Berapa dinar harganya, aku hanya sanggup 200 dinar.
Abu Nawas      :  Ambillah, tapi ingat dia itu akalnya kurang sehat. Kadang-kadang dia bisa mengaku  sebagai khalifah. (Padahal memang benar-benar khalifah)

Ternyata pemimpin bisa dijual. Paling tidak, bisa dinasehati atas nama kecintaan kepada rakyat. Sesungguhnya kehidupan masyarakat manusia tidak akan tegak kecuali dengan pemimpin dan rakyatnya. Masing-masing dari kedua kelompok ini memiliki hak dan kewajiban. Ketika dua hal (hak dan kewajiban masing-masing) ini diketahui dan dilaksanakan dengan baik maka kehidupan akan aman dan stabil. Akan tetapi, ketika dua hal ini tidak diketahui dan tidak dilaksanakan dengan baik maka akan berkuranglah keamanan dan kestabilan. Dan termasuk kesempurnaan syari’at Islam ialah bahwa syari’at Islam tidak mengabaikan hal itu sedikit pun.
Di antara kewajiban rakyat atas pemimpin adalah menasihati pemimpin dan meluruskan kesalahannya. Hal ini insya Allah telah diketahui oleh banyak dari kaum muslimin sesuai dengan kewajiban saling memberi nasihat dan saling memerintah kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar.
Akan tetapi, yang banyak terjadi perbedaan pendapat adalah bagaimana cara yang benar di dalam menasihati pemimpin atau penguasa, apakah dengan cara menjelaskan kesalahan-kesalahan para penguasa di hadapan rakyat dengan terang-terangan? Ataukah dengan cara mendekati dan menjilat para penguasa tersebut? Atau mereka dibiarkan saja karena sulit diharapkan mereka bisa berubah? Ada lagi sebagian kaum muslimin yang terpengaruh dengan cara-cara dan pemikiran-pemikiran orang-orang kafir sehingga mereka melakukan demonstrasi, provokasi, dan agitasi dengan dalih menasihati penguasa.
Lantas, bagaimanakah cara yang benar di dalam menasihati penguasa sesuai dengan manhaj (metode) generasi terbaik umat ini? Insya Allah di dalam bahasan kali ini akan kami paparkan sebagian jawaban atas hal ini dengan banyak mengambil faedah dari kitab asy-Syaikh Abdul Malik ibn Ahmad Ramadhani yang berjudul Thariqatus Salaf fi Nushhi as-Salathin wa Dzawisy Syaraf.

Nasihat Kepada Para Pemimpin Kaum Muslimin

Memberikan nasihat secara umum adalah perbuatan yang mulia, karena ia menunjukkan iktikad baik terhadap orang yang dinasihati. Karena itu, nasihat termasuk sifat-sifat yang menonjol dari para rasul ’alaihimush shalatu wassalam. Nabi Nuh ‘Alaihissalam berkata kepada kaumnya:
 أُبَلِّغُكُمْ رِسَالاَتِ رَبِّي وَأَنصَحُ لَكُمْ وَأَعْلَمُ مِنَ اللهِ مَالاَتَعْلَمُونَ 
“Aku sampaikan kepadamu amanat-amanat Rabbku dan aku memberi nasihat kepadamu. Dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS al-A’raf [7]: 62)
Nabi Hud ‘Alaihissalam berkata:
أُبَلِّغُكُمْ رِسَالاَتِ رَبِّي وَأَنَا نَاصِحٌ أَمِينٌ
“Aku menyampaikan amanat-amanat Rabbku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasihat yang terpercaya bagimu.” (QS al-A’raf [7]: 68)
Nabi Shalih ‘Alaihissalam berkata:
فَتَوَلَّى عَنْهُمْ وَقَالَ يَاقَوْمِ لَقَدْ أَبْلَغْتُكُمْ رِسَالَةَ رَبِّي وَنَصَحْتُ لَكُمْ وَلَكِنْ لاَتُحِبُّونَ النَّاصِحِينَ 
“Maka Shalih meninggalkan mereka seraya berkata, ‘Hai kaumku, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat Rabbku, dan aku telah memberikan nasihat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberikan nasihat.’” (QS al-A’raf [7]: 79)
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
«إِنَّمَا مَثَلِي وَمَثَلُ النَّاسِ كَمَثَلِ رَجُلٍ اسْتَوْقَدَ نَارًا فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ جَعَلَ الْفَرَاشُ وَهٰذِهِ الدَّوَابُّ الَّتِي تَقَعُ فِي النَّارِ يَقَعْنَ فِيهَا فَجَعَلَ يَنْزِعُهُنَّ وَيَغْلِبْنَهُ فَيَقْتَحِمْنَ فِيهَا فَأَنَا آخُذُ بِحُجَزِكُمْ عَنْ النَّارِ وَهُمْ يَقْتَحِمُونَ فِيهَا».
“Perumpamaan diriku dan manusia yang aku dakwahi adalah bagaikan seseorang yang menyalakan api (lampu). Di kala api itu menyinari sekelilingnya, menjadikan serangga-serangga dan hewan menuju api itu, kemudian orang tersebut menarik serangga-serangga, tetapi mereka menuju kepadanya dan terjerumus dalam api. Maka akulah yang menarik ikat pinggang kalian dari api, ketika mereka terjerumus di dalamnya.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam Shahih-nya: 6002 dan Muslim di dalam Shahih-nya: 4235)
Di antara orang yang kita diperintahkan untuk menasihatinya adalah para penguasa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan mereka sebagai pemimpin kita. Dari Tamim ad-Dari Radhiallahu’anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
«الدِّينُ النَّصِيحَةُ». قُلْنَا: لِمَن ؟ْ قَال: «لِلّٰهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ».
“Agama itu adalah nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa (wahai Rasulullah)?” Beliau bersabda, “Bagi Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan bagi umumnya kaum muslimin.” (Shahih Muslim 1/74)
Al-Imam al-Khaththabi berkata, “Nasihat adalah kata yang mengungkapkan suatu kalimat yaitu: bahwa pemilik nasihat menghendaki kebaikan orang yang dia nasihati. Nasihat (النصح) asal katanya dalam bahasa Arab adalah (الخلوص): ‘memurnikan’; dari kata (نصحت العسل): ‘Aku murnikan madu dari kotoran yang melekat padanya.’” (Ma’alimus Sunan Syarh Abu Dawud No. 4944)
Al-Imam Muhammad ibn Nashr al-Marwazi berkata: “Adapun nasihat kepada para pemimpin kaum muslimin adalah mencintai kebaikan dan keadilan mereka, mencintai bersatunya umat di bawah mereka, membenci perpecahan umat dari mereka, beragama dengan menaati mereka dalam ketaatan kepada Allah, membenci siapa saja yang memberontak kepada mereka, dan mencintai kejayaan mereka di dalam ketaatan kepada Allah.” (Ta’zhim Qadri Shalat 2/694)
Al-Imam Ibnu Shalah berkata, “Nasihat bagi pemimpin kaum muslimin adalah dengan membantu mereka dalam kebenaran, menaati mereka dalam hal yang ma’ruf, mengingatkan mereka dalam kebenaran, menasihati mereka dengan cara yang halus dan lembut, menjauhi perlawanan kepada mereka, mendo’akan kebaikan bagi mereka, dan mengajak orang lain untuk melakukan hal yang sama.” (Shiyanatu Shahih Muslim 1/221–222)

Mendo’akan Kebaikan Bagi Waliyyul Amr

Di antara nasihat kepada waliyyul amr adalah mendo’akan kebaikan kepada para waliyyul amr yang banyak dilalaikan oleh kaum muslimin padahal mereka mampu melakukannya.
Al-Imam Abu Ja’far ath-Thahawi (wafat tahun 321 H) berkata:
ولا نرى الخروج على أئمتنا و ولاة أمورنا وإِن جاروا، ولا ندعوا عليهم ولا ننزع يدا من طاعتهم، ونرى طاعتهم من طاعة الله w فريضة ما لم يأمروا بمعصية، وندعوا لهم بالصلاح والمعافاة
“Dan kami tidak memandang bolehnya memberontak kepada para pemimpin dan para waliyyul amr kami meskipun mereka berbuat kecurangan. Kami tidak mendo’akan kejelekan kepada mereka. Kami tidak melepaskan diri dari ketaatan kepada mereka. Kami memandang bahwa ketaatan kepada mereka adalah ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai suatu kewajiban selama mereka tidak memerintahkan kepada kemaksiatan, dan kami do’akan mereka dengan kebaikan dan keselamatan.” (Aqidah Thahawiyyah beserta syarahnya 2/540)
Al-Imam Abu Utsman ash-Shabuni (wafat tahun 449 H) berkata:
ويرى أصحاب الحديث الجمعة والعيدين و غيرهما من الصلوات، خلف كل إِمام، برا كان أو فاجرًا، ويرون جهاد الكفرة معهم، وإِن كانوا جَوَرة فجرة، ويرون الدعاء لهم بالإِصلاح والتوفيق والصلاح، وبسط العدل في الرعية
“Dan Ashabulhadits memandang bahwa shalat Jum’at, Idain (dua hari raya), dan shalat-shalat yang lainnya di belakang setiap imam yang muslim yang baik maupun yang fajir, mereka memandang hendaknya mendo’akan para pemimpin dengan taufiq dan kebaikan, dan menyebarkan keadilan terhadap rakyat.” (Aqidah Salaf Ashabil Hadits hlm. 106)
Abu Bakar al-Marudzi berkata, “Aku mendengar Abu Abdillah (al-Imam Ahmad) menyebut Khalifah al-Mutawakkil seraya mengatakan:
إِني لأدعو له بالصلاح والعافية …
“Sesungguhnya aku selalu mendo’akannya dengan kebaikan dan keselamatan…” (as-Sunnah oleh al-Khallal hlm. 84)
Fudhail ibn Iyadh berkata:
لو كانت لي دعوةٌ مستجابة ما جعلتها إِلا في السلطان
“Seandainya aku memiliki do’a yang mustajab maka tidaklah aku jadikan kecuali pada penguasa.” Ketika ditanyakan tentang maksudnya maka Fudhail ibn ’Iyadh berkata:
إذا جعلتُها في نفسي لم تَعْدُني.وإِذا جعلتها في السلطان صَلَح فصَلَح بصلاحه العبادُ والبلاد
“Jika saya jadikan do’a itu pada diriku maka tidak akan melampauiku, sedangkan jika saya jadikan pada penguasa maka dengan kebaikannya akan baiklah para hamba dan negeri.” (Diriwayatkan oleh al-Barbahari di dalam Syarhu Sunnah hlm. 116–117 dan Abu Nu’aim di dalam al-Hilyah 8/91–92 dengan sanad yang shahih)
Maka sepantasnyalah bagi kaum muslimin yang ingin menegakkan kewajiban nasihat, dan menempuh jalan Salaf, sepantasnyalah bagi mereka mengkhususkan kepada waliyyul amr di dalam sebagian dari do’a-do’a kebaikan mereka, duhai seandainya orang-orang yang berkubang di dalam kehormatan para waliyyul amr berhenti dari apa yang mereka lakukan, dan menggantinya dengan do’a kebaikan, seandainya mereka melakukan ini maka sungguh ini adalah baik bagi mereka, ditambah lagi bahwa menyibukkan diri dengan pelanggaran-pelanggaran kehormatan tidaklah memperbaiki, bahkan akan menyesakkan dada dan memperbanyak dosa. Al-Hafizh Abu Ishaq as-Sabi’i berkata:
ما سب قومٌ أميرهم إِلا حُرموا خيره
“Tidaklah suatu kaum mencaci penguasa mereka kecuali diharamkan mereka dari kebaikannya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr di dalam at-Tamhid 21/287)

Metode Syar’i di Dalam Menyampaikan Nasihat Kepada Para Penguasa

Jika terjadi kesalahan pada para penguasa maka yang wajib adalah menasihati mereka dengan cara yang syar’i dan ittiba’ kepada jalan as-Salafushshalih yaitu dengan menasihatinya secara sembunyi-sembunyi, bukan dengan cara demonstrasi, provokasi, dan agitasi. Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
من أراد أن ينصح لسلطان بأمر فلا يبد له علانية ولكن ليأخذ بيده فيخلو به فإن قبل منه فذاك وإلا كان قد أدى الذي عليه له
“Barang siapa yang hendak menasihati penguasa pada suatu perkara maka janganlah dia tampakkan kepadanya terang-terangan, tetapi hendaknya dia pegang tangannya dan menyendiri dengannya. Kalau dia (penguasa) menerima (nasihat tersebut) maka itu bagus, dan kalau tidak maka dia telah memunaikan kewajibannya memberikan nasihat.” (Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya 3/403 dan Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah hlm. 507 dan dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah: 1096)
Umar ibn al-Khaththab Radhiallahu’anhu berkata, “Wahai para rakyat sesungguhnya kalian memiliki kewajiban kepada kami, ‘Nasihat dengan cara sembunyi-sembunyi dan saling membantu dalam kebaikan.’” (Diriwayatkan oleh Hannad ibn Sari dalam az-Zuhd 2/602)
Ketika Ibnu Abbas Radhiallahu’anhuma ditanya tentang cara amar ma’ruf dan nahi mungkar kepada penguasa maka dia mengatakan, “Jika kamu harus melakukannya maka antara dia dan dirimu saja.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Mushannaf: 37307 dengan sanad yang hasan)
Abdullah ibn Abi Aufa berkata:
إِنْ كَانَ السُّلْطَانُ يَسْمَعُ مِنْكَ فَأْتِهِ فِي بَيْتِهِ فَأَخْبِرْهُ بِمَا تَعْلَمُ فَإِنْ قَبِلَ مِنْكَ وَإِلَّا فَدَعْهُ فَإِنَّكَ لَسْتَ بِأَعْلَمَ مِنْهُ
“Jika sang penguasa mendengar sesuatu darimu, maka datangilah rumahnya dan beri tahulah dia apa-apa yang kamu ketahui hingga ia menerimanya, dan jika tidak maka tinggalkanlah, karena kamu tidak lebih tahu daripada dia.” (Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad di dalam Musnad-nya: 19415 dan dihasankan oleh asy-Syakh al-Albani di dalam Zhilalul Jannah: 905)

Hikmah Menasihati Pemimpin Dengan Sembunyi-Sembunyi

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya tidaklah memerintahkan sesuatu kecuali dengan hikmah yang diketahui oleh orang yang mengetahui dan tidak mengetahui orang yang tidak mengetahui, yang terkadang hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mengetahuinya sebagai ujian keimanan para hamba-Nya, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ
“Agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot.” (QS al-Baqarah [2]: 143)
Di antara hal yang dijelaskan oleh para ulama tentang hikmah menasihati para pemimpin dengan cara sembunyi-sembunyi adalah:

1.   Menghindarkan dari sebab-sebab khuruj dan pertumpahan darah.

Dari Syaqiq bahwa Usamah ibn Zaid Radhiallahu’anhuma ditanya, “Tidakkah Anda menemui Utsman dan berbicara kepadanya…” Beliau berkata:
أَتُرَوْنَ أَنِّى لَا أُكَلِّمُهُ إِلَّا أُسْمِعُكُمْ؟ وَاللهِ لَقَدْ كَلَّمْتُهُ فِيمَا بَيْنِي وَبَيْنَهُ مَا دُونَ أَنْ أَفْتَتِحَ أَمْرًا لَا أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ أَوَّلَ مَنْ فَتَحَهُ
“Apakah kalian menganggap bahwa jika aku berbicara dengan beliau lantas aku harus memperdengarkannya kepada kalian? Demi Allah! Saya telah berbicara empat mata dengan beliau. Tanpa perlu saya membuka suatu perkara yang saya tidak suka jika saya menjadi orang yang pertama kali membukanya.” (Shahih al-Bukhari 6/3380 dan Shahih Muslim: 7674)
Asy-Syaikh Ibnu Baz berkata, “Keluar di dalam demonstrasi dan unjuk rasa tidaklah baik, dan jika tidak baik maka ia adalah jelek, karena tidak ada di sana kecuali baik dan jelek.”
Beliau berkata, “Dan ia bukanlah termasuk kebiasaan para sahabat Rasul Shallallahu’alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Bukankah pada waktu itu ada kemungkaran-kemungkaran? Bukankah pada waktu itu ada penyimpangan-penyimpangan? Bukankah pada masa itu ada hal-hal yang menyelisihi syari’at Allah dan hal-hal yang bertolak belakang dengan Kitabullah? Ya, dan mereka tidaklah menuju kepada hal-hal itu semua dan tidaklah melakukannya walaupun yang lebih ringan dari hal itu semua.”
Beliau berkata, “Sesungguhnya hanyalah nasihat, arahan, memerintah kepada yang ma’ruf, melarang dari yang mungkar, dan bekerja sama atas kebajikan dan taqwa, dan ini yang datang di dalam atsar Usamah ibn Zaid Radhiallahu’anhuma di dalam nasihatnya kepada Utsman Radhiallahu’anhu, empat mata dengannya, tanpa membuka pintu kerusakan dan pengrusakan, dan tanpa memprovokasi hati dan akal atas para waliyyul amr dari perkara-perkara yang merusak dan tidak memperbaiki, dari hal-hal yang membawa kejelekan dan tidak benar.” (Majalah al-Furqan Kuwait Edisi 82 hlm. 12)

2.   Tidak menyebabkan gangguan dan bahaya pada orang lain.

Terkadang orang yang menasihati penguasa ini adalah orang yang pemberani yang mampu menanggung akibat yang terjadi meskipun pahit. Akan tetapi, jika dia menyampaikannya dengan terang-terangan maka terkadang akan membahayakan orang lain karena sebagian penguasa akan membalas dendam atas setiap orang yang memiliki hubungan dengan orang yang menasihati dia dengan terang-terangan tersebut. Karena itulah, wajib atas seorang penyeru kepada kebaikan agar merasa menyayangi umatnya sebagaimana kasih sayang seorang ayah terhadap anaknya. Inilah kebiasaan salaf, di mana mereka menasihati penguasa tentang hak-hak rakyat seperti seorang bapak membela anak-anaknya, seperti pernah dilakukan oleh Sufyan ibn Uyainah terhadap seorang penguasa yang bernama Ma’n ibn Zaidah. Al-Imam Ahmad ibn Hanbal berkata, “Sufyan ibn Uyainah masuk kepada Ma’n ibn Zaidah ketika di Yaman, dan Sufyan tidak pernah terkotori oleh perkara kekuasaan sebelumnya, maka Sufyan menasihati Ma’n dan menyebutkan kepadanya perkara-perkara kaum muslimin, maka Ma’n mengatakan, ‘Apakah kamu bapak mereka?! Apakah kamu bapak mereka?!’” Dan Ma’n adalah seorang gubernur dari Khalifah al-Manshur. (Lihat al-Jarh wat Ta’dil 1/53 dan Masa’il al-Imam Ahmad riwayat Shalih 1/240.)

3.   Agar rakyat tidak merasa bersih dari dosa.

Kebiasaan para da’i politik yang menyandarkan kezhaliman-kezhaliman kepada para penguasa mereka dengan terang-terangan di hadapan rakyat akan membutakan rakyat dari kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa mereka sendiri, sehingga mereka merasa bersih dari dosa dan tidak memperbaiki diri. Dan kapan seseorang buta dari dirinya maka dia telah fasik. Allah Ta’ala berfirman:
وَلاَتَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللهَ فَأَنسَاهُمْ أَنفُسَهُمْ أُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS al-Hasyr [59]: 19)
Padahal, tidak akan baik suatu kaum hingga mereka memperbaiki diri-diri mereka. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللهَ لاَيُغَيِّرُ مَابِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَابِأَنفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS ar-Ra’du [13]: 11)

4.   Nasihat di hadapan umum akan menghalangi diterimanya nasihat tersebut.

Orang yang memberikan nasihat mengharapkan tiga perkara:
Pertama: Mendapatkan pahala di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kedua: Diterimanya nasihat tersebut oleh orang yang dinasihati sehingga dia kembali kepada kebenaran.
Ketiga: Menyebarkan rahmat kepada manusia dengan menyucikan negeri dari kesalahan orang yang dinasihati tersebut.
Nasihat secara sembunyi-sembunyi kepada penguasa akan membantu mereka untuk menerima nasihat dan memudahkan mereka untuk memperbaiki perbuatan-perbuatan mereka. Sebaliknya, jika mereka dinasihati di hadapan umum maka akan menghalangi mereka dari taubat dan memperbaiki diri, bahkan terkadang membutakan mereka dari menerima kebenaran.
Demikian juga, orang yang memberikan nasihat di hadapan khalayak ramai dikhawatirkan sia-sia amalannya karena ingin didengarkan dan dilihat sehingga menghilangkan keikhlasan.
Al-Imam Ibnul Qayyim berkata, “Di antara kecerdasan yang jeli bahwa engkau tidak membantah kesalahan orang yang memiliki banyak pengikut di hadapan umum, karena kedudukannya akan membawanya untuk membela kesalahan, dan itu adalah kesalahan yang kedua. Akan tetapi, hendaknya dengan sembunyi-sembunyi memberitahukan kepadanya hingga yang lainnya tidak ada yang tahu.” (ath-Thuruq al-Hukmiyyah hlm. 58)
Nasihat di hadapan umum memfitnah orang yang dinasihati sehingga dia tidak memandangnya kecuali pembeberan aib, Sulaiman al-Khawwash berkata:
من وعظ أخاه فيما بينه وبينه فهي نصيحة، ومن وعظه على رءوس الناس فإنما فضحه
“Siapa yang menasihati saudaranya secara empat mata saja maka ia adalah nasihat, dan siapa yang menasihatinya di hadapan manusia maka sesungguhnya ia adalah pembeberan aib.” (al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ’anil Munkar oleh Ibnu Abid Dunya hlm. 58)

5.   Menghindarkan diri dari menjatuhkan kewibawaan penguasa.

Jika manusia terbiasa merendahkan penguasa dengan mencelanya dan menyebutkan kejelekannya maka akan jatuhlah kewibawaan penguasa tersebut. Jika sudah hilang kewibawaannya maka rakyat akan lancang kepadanya dan melakukan hal-hal yang tidak baik akibatnya.
Dari Ziyad ibn Kusaib al-Asadi dia berkata, “Aku bersama Abu Bakrah Radhiallahu’anhu di bawah mimbar Ibnu ’Amir yang sedang berkhutbah dengan memakai pakaian yang tipis, maka Abu Bilal (seorang Khawarij) berkata, ‘Lihatlah amir (penguasa) kita ini memakai pakaian orang-orang yang fasik!!’ Maka Abu Bakrah Radhiallahu’anhu berkata, ‘Diam kamu! Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
«مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللهِ في الْأَرْضِ أَهَانَهُ اللهُ».
“Siapa yang menghinakan penguasa Allah di muka bumi niscaya Allah akan menghinakannya.” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi di dalam Jami’-nya: 2224 dan dihasankan oleh at-Tirmidzi dan asy-Syaikh al-Albani di dalam Takhrij as-Sunnah 2/492)
Al-Imam Ibnu Jama’ah berkata, “Hak penguasa yang keempat: Hendaknya diketahui agungnya haknya dan apa yang wajib dari mengagungkan kedudukannya, sehingga dia diperlakukan dengan apa-apa yang wajib baginya dari pemuliaan dan penghormatan, dan apa yang Allah berikan kepadanya dari pengagungan.” (Tahrirul Ahkam hlm. 20).

40 KUTIPAN
Dari Kitab Nahjul Balagh dan Al-Bayan Wattabyin.
Rakib Jamari
M.Rakib Pekanbaru Riau Indonesia.2015
Peminat masalah hikmah dan kebijaksanaan

Hati adalah tempat mangkalnya berbagai perasaan, tumbuh kembang antara kebaikan dan keburukan. Hati juga menjadi sumber ilham dan permasalahan, tempat lahirnya cinta dan kebencian, serta muara bagi keimanan dan kekufuran.

Hati juga sumber kebahagiaan jika sang pemiliknya mampu membersihkan berbagai kotorannya yang berserakan, namun sebaliknya ia merupakan sumber bencana jika sang
empunya gemar mengotorinya.

Hati yang kotor hanya akan menyebabkan kapasitas ruangnya menjadi pengap, sumpek, gelap, dan bahkan mati. Jika sudah mati seluruh komponen juga akan turut mati. Dalam makna yang sama, Abu Hurairah RA berkata, “Hati ibarat panglima, sedangkan anggota badan adalah tentara. Jika panglima itu baik maka akan baik pulalah tentaranya. Jika raja itu buruk maka akan buruk pula tentaranya.”

- Nasihat Sayyidina Ali bin Abu Thalib RA ...
"Ya Allah, limpahkanlah shalawat dan salam atas Muhammad, Nabi yg ummi; juga kpd keluarga dan para sahabatnya, sebanyak jumlah apa Yg Engkau ketahui, seindah apa Yg Engkau ketahui, dan sepenuh apa Yg Engkau ketahui." Aamiin.
Sahabat2 fillah yg smoga dimuliakanNya. Ada 40 nasihat dari Khulafaur Rasyidin keempat, Sayyidina Ali bin Abi Thalib Radiyallahu Anhu. Yang berguna bagi kita sebagai renungan dalam menjalani kehidupan & muhasabah diri. Ke 40 Nasihat itu sebagai berikut :

1.Pendapat seorang yg lebih tua adalah lebih baik daripada tenaga seorang muda.
2.Menyokong kesalahan adalah menindas kebenaran.
3.Kebesaran seseorang itu bergantung dgn qalbunya yg mana adalah sekeping daging.
4.Mereka yg bersifat pertengahan dlm smua hal tidak akan menjadi miskin.
5.Jagalah ibu-bapamu, niscaya anak2mu akan menjagamu.
6.Bakhil terhadap apa yg ditangan adalah tidak mempunyai kepercayaan terhadap Allah.
7.Kekayaan seorang bakhil akan turun kepada ahli warisnya atau ke angin. Tidak ada yg terpencil dari seorang yg bakhil.
8.Orang arif lebih baik daripada kearifannya. Orang jahat lebih jahat daripada kejahatannya
9. Ilmu lebih baik daripada kekayaan karena kekayaan harus dijaga, sedangakan ilmu akan menjagamu
10.Jagalah harta bendamu dengan mengeluarkan zakat dan angkatlah kesusahanmu dengan mendirikan shalat
11.Sifat menahan kemarahan adalah lebih mulia daripada membalas dendam
12.Mengajar adalah belajar
13.Berkhairatlah mengikut kemampuanmu dan janganlah kau jadikan keluargamu hina dan miskin
14.Insan terbagi kepada 3 golongan :
a) Mereka yang mengenal Allah
b) Mereka yang mencari kebenaran
c) Mereka yg tidak berpengetahuan dan tidak mencari kebenaran.
Golongan yg terakhir inilah yg paling rendah dan tak baik sekali dan mereka akan ikut sembarang ketua dg buta seperti kambing.
15.Insan tak akan melihat kesalahan seseorang yg bersifat tawadhu’ dan lemah
16.Janganlah engkau takut kpada siapa melainkan dosamu terhadap Allah
17.Mereka yg mencari kekhilafan dirinya sendiri adalah selamat dari mencari kekhilafan orang lain
18.Harga diri seseorang itu adalah berdasarkan apa yg ia lakukan untuk memperbaiki dirinya
19.Manusia sebenarnya sedang tidur tetapi akan bangun bila ia mati
20.Jika kau mempunyai sepenuh keyakinan akan Al-Haq dan kebenaran, niscaya keyakinanmu tetap tidak akan berubah walaupun terbuka rahasia2 kebenaran itu.
21.Allah merahmati mereka yg kenal akan dirinya dan tidak melampaui batas
22.Sifat seseorang tersembunyi dibalik lidahnya
23.Orang yg membantu adalah sayapnya orang yg meminta
24.Insan tidur di atas kematian anaknya, tetapi tidak tidur di atas kehilangan hartanya
25.Barangsiapa yg mencari apa yg tidak mengenainya niscaya hilang apa yg mengenainya
26.Mereka yg mendengar orang yg mengumpat terdiri daripada golongan mereka yg mengumpat
27.Kegelisahan adalah lebih sukar dari kesabaran
28.Seorang yg hamba kepada syahwatnya adalah seorang yang lebih hina daripada seorang hamba kepada hamba
29.Orang yg dengki marah kepada orang tidak berdosa
30.Putus harapan adalah satu kebebasan, mengharap (kepada manusia) adalah suatu kehambaan
31.Sangkaan seorang yg berakal adalah suatu ramalan
32.Seorang akan mendapat tauladan di atas apa yang dilihat
33.Taat kepada perempuan (selain ibu) adalah kejahilan yg paling besar
34.Kejahatan itu mengumpulkan kecelaan yang memalukan
35.Jika berharta, berniagalah karena Allah dengan bersedekah
36.Janganlah engkau lihat siapa yg berkata tetapi lihat apa yg dikatakannya
37.Tidak ada percintaan dengan sifat yang berpura2
38.Tidak ada pakaian yg lebih indah daripada keselamatan
39.Kebiasaan lisan adalah apa yg telah dibiasakannya
40.Jika engkau telah menguasai musuhmu, maafkanlah mereka, karena perbuatan itu adalah syukur kepada keberhasilan yg telah kau peroleh.

Sumber dari kitab Nahjul Balagh dan Al-Bayan Wattabyin.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook