GAZWUL FIKRI 6 HUKUM-HUKUM DALAM DUNIA
PENDIDIKAN
Dr.H.M.Rakib,S.H.,M.Ag…LPMP RIAU INDONESIA
Penulis berpendapat, bahwa hukuman fisik di
madrasah dan sekolah dan pesantren, sebahagian harus dihapuskan. Kalau ada hukuman yang
bersifat mendidik kenapa harus menggunakan hukuman dengan kekerasan, karena
kebanyakan ta’zir yang menggunakan
kekerasan akan membuat santri lebih
parah, tingkat pelanggarannya dan bisa juga santri-santri yang dita’zir
menyimpan dendam. Terkadang tidak sadar bahwa ta’zir yang diberikan kepadanya itu
bermaksud baik agar kesalahan, tidak
diulang kembali.
Alternatif hukuman selain ta’zir
menurut penulis di tahap awal, harus dikuatkan akhlak atau etika, berupa sanksi
sosial. Dalam
tahap ini perlu dikembangkan aturan sekolah atau kode etik sekolah atau pesantren yang mendukung lingkungan sekolah yang aman dan
nyaman bagi semua anak dan mengurangi terjadinya
kekerasan yang disebut
bullying serta sistem penanganan korban konflik bullying di setiap sekolah.[1] Sistem
ini akan mengakomodir bagaimana seorang anak yang menjadi korban bullying bisa melaporkan kejadian yang
dialaminya tanpa rasa takut atau malu, lalu diselesaikan penanganan
bagi korban bullying di berbagai tempat. Ada tempat tertentu yang sering terjadinya tindak kekerasan, di antara
tempat itu, dinyatakan di ndalam tabel ini:
Tabel 6
Tempat Terjadinya Kekerasan Bullying
No
|
Kekerasan (Bullying)
|
Jumlah Kasus
|
Persentase
|
1
|
Di Sekolah
|
226
|
54,20%
|
2
|
Di Luar
Sekolah
|
191
|
45,80%
|
|
Total
|
417
|
100%
|
Sumber :
Komnas Perlindungan Anak, 2007
Tidak
kalah pentingnya adalah menghentikan praktek-praktek kekerasan di sekolah dan
di rumah yang mendukung terjadinya bullying
seperti pola pendidikan yang ramah anak dengan penerapan positive discipline di rumah dan di
sekolah. Langkah ini membutuhkan komitmen yang kuat dari guru dan orangtua
untuk menghentikan praktek-praktek kekerasan dalam mendidik anak.
Tabel
. IV.7
Bentuk Kekerasan Bullying Terhadap Anak
|
Kekerasan (Bullying)
|
Jumlah Kasus
|
Persentase
|
|
Kekerasan Fisik
|
89
|
21,34%
|
|
Kekerasan Seksual
|
118
|
28.30%
|
|
Kekerasan Psikis
|
210
|
50,36%
|
|
Total
|
417
|
100%
|
Sumber :
Komnas Perlindungan Anak, 2007.
Pelatihan tentang metode positif
disiplin perlu dilakukan kepada guru dan orangtua dalam tahap ini.Terakhir adalah membangun kapasitas
anak-anak kita dalam hal melindungi dirinya dari pelaku bullying dan tidak menjadi pelaku. Untuk
itu anak-anak bisa diikutkan dalam pelatihan anti Bullying serta berpartisipasi aktif dalam kampanye anti bullying di sekolah. Dalam tahap ini
metode dari anak untuk anak (child to child) dapat diterapkan dalam
kampanye dan pelatihan. Walaupun
demikian, hukuman fisik selama ini, juga punya dampak positif.
Sepantasnyalah Rasulullah SAW., dijadikan contoh oleh setiap pendidik yang baik dalam bersikap kepada anak,
sehingga hukuman benar-benar dapat efektif, dan memberikan dampak Positif. Armai
Arief, kesimpulan
penelitiannya mengatakan bahwa dampak
positif dari hukuman antara lain:
1) Menjadikan perbaikan-perbaikan terhadap
kesalahan murid.
2) Murid tidak lagi melakukan kelahan yang sama.
3) Merasakan akibat perbuatannya sehingga ia akan
menghormati dirinya. [2]
Kemudian M.
Ngalim Purwanto membagi dampak positif hukuman menjadi
dua, yaitu:
1) Memperbaiki tingkah laku pelanggar. Misalnya yang tidak mengerjakan PR,
akan dihukum menghafal 20 kosakata baru. Karena mendapat hukuman itu anak anak
merubah sikap malasnya mengerjakan PR, menjadi rajin mengerjakan PR Bahasa
Arab.
2) Memperkuat kemauan pelanggar untuk perbaikan
Murid
yang sadar dan mengubah tingkahnya kearah yang lebih baik, akan memberikan
ketenteraman kepada guru, walaupun guru
sendiri, sudah mendapatkan perlindungan
hukum, untuk bekerja secara aman, kreatif, profesional, dan menyenangkan,[3] sesuai
dengan yang implementasi Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 telah menjadikan
guru dan dosen, sebagai sebuah jabatan profesional.
Anak-anak yang
membolos sekolah oleh sebagian ahli, dilakukan pemanggilan orang tua murid dan diberi pengarahan, ujung-ujungnya paling
parah adalah skors. Tapi kejadian di Inggris, murid membolos, orang
tua dipenjarakan. Sudah lebih dari 11.000 orang tua di Inggris mendapatkan
sanksi karena membiarkan anak mereka bolos sekolah. Hukuman ini diberlakukan
oleh pemerintah Inggris bahkan pemerintah setempat masih menganggap hukum ini
terlalu ringan, lebih fantastis lagi mereka akan memperketat peraturan tentang
bolos sekolah ini, seperti yang dikutip dari vivanews.com. Dilansir
laman The Guardian, Selasa 8 November 2011, terdapat
11.757 orang tua yang dihukum karena ketidakhadiran anak mereka di sekolah.
Angka ini meningkat di mana 11.188 orang tua dijatuhi sanksi serupa. Sebanyak 25
orangtua di antaranya dihukum penjara, dengan vonis terlama 90 hari. Sejumlah
9.000 orang divonis bersalah dan dua pertiga di antaranya dijatuhi denda. Denda maksimal untuk kejahatan ini adalah 850 poundsterling atau
sekitar Rp12 juta. Lebih dari 400 orangtua mendapatkan hukuman kerja sosial,
dan 53 lainnya ditangguhkan hukumannya.Jumlah orangtua yang dihukum
akibat anak yang membolos di
Inggris dari tahun ke tahun bertambah jumlahnya. Pada tahun 2005, tercatat
hanya 4.000 orangtua yang dihukum. Jumlah orangtua yang dipenjara konstan,
sekitar 15 hingga 20-an.
Adapun
pukulan yang dimaksud adalah: a. Pukulan yang dapat diterima oleh si anak,
berupa pukulan yang ringan, b. Pukulan yang tidak menimbulkan bekas atau luka
pada tubuh si anak, c. Pukulan di bagian tubuh, kecuali wajah.[4]
Bersikap adil kepada semua anak dan bersabar dalam menghadapi mereka. Orang tua
terkadang memiliki kecenderungan pada salah satu atau sebagian anak
dibandingkan dengan anak-anak lainnya, baik dalam hal materi maupun imateri.
Padahal, sikap orang tua yang demikian itu tidak akan memberikan dampak yang
baik bagi kejiwaan anak-anaknya. Sebab akan ada anak yang merasa tidak
disayangi dan tersisihkan, sementara dia melihat saudaranya mendapatkan
perlakuan berbeda dari orang tuanya. Hal seperti ini akan sangat mungkin untuk
memicu perselisihan bahkan permusuhan antar sesama saudara. Dan sikap seperti
ini juga berarti menzhalimi mereka.[5]
Selain
itu, orang tua juga harus menyadari bahwa anak adalah “fitnah” bagi orang tua, karena hendaknya orang tua
dapat bersabar dalam menghadapi gangguan dari anak-anaknya. Allah SWT., mengingatkan bahwa anak-anak itu adalah
fitnah (ujian/cobaan). Tetap padanya terdapat ganjaran yang besar.”
[6] Terutama bagi pasangan orang tua yang
memiliki anak perempuan, orang harus lebih bersabar dalam mengasuh dan
mendidiknya, karena anak perempuan dapat menjadi penghalang bagi kedua orang
tuanya dari api neraka.[7].
Secara
yuridis, UU Perlindungan Guru dan Dosen telah termuat dalam UU No 14/2005. Hal
ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa Pemerintah,
masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan
perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.Adapun maksud Perlindungan
Profesi yang diamanatkan dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen adalah
perlindungan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang tidak sesuai dengan
peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, pemberian imbalan yang tidak
wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan
pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan
tugasnya. Sementara perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja meliputi
perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja,
kesehatan, dan/atau resiko lainnya.Berangkat dari paparan di atas, terlihat
bahwa eksistensi UU No 14/2005 telah memuat perlindungan terhadap guru atas
profesinya.
Implementasi terhadap UU tersebut masih belum terlaksana. UU tersebut
lebih banyak disoroti sebagai kekuatan hukum atas peningkatan kesejahteraan
guru/dosen, sementara perlindungan terhadap profesi guru/dosen seringkali lepas
dari perhatian. Sebaliknya harus ada sanksi terhadap tindakan oknum guru yang
kurang mendidik dengan memberikan hukuman di luar nilai pendidikan. Jangan
sampai mereka memposisikan peserta didiknya sebagai penjahat yang harus dihukum
berat, bukan sosok yang perlu dibimbing dan diperbaiki. Demikian pula sikap
orang tua/masyarakat yang mulai mengalami pergeseran dalam memandang profesi
guru.
Masyarakat
menuntut guru agar dapat mengahntarkan peserta didik sebagai masyarakat
terdidik, namun tidak seiring dengan penghargaan dan perlindungan yang
diberikan. Ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan guru dalam menghadapi murid
yang bersalah, sebelum mereka menetapkan hukuman, yaitu; Pertama, perlu
memberikan laporan kepada orang tua murid perihal prilaku anak mereka dengan
cara pemanggilan secara langsung. Tahapan ini dilakukan sebanyak 2 kali dengan
ikut melibatkan guru BK. Kedua, bila selama 2 kali pemanggilan tidak menunjukan
perubahan dan kerjasama yang baik, seorang guru bisa memberikan hukuman dengan
syarat : (1). Hukuman tidak pada tempat yang vital. (2) hukuman dilakukan dalam
bentuk yang mendidik. (3) hukuman dilaksanakan secara adil dan ikut
mempertimbangkan aspek psikologis peserta didik. Sulit menentukan kadar sanksi
fisik di lingkungan sekolah.
Perintah
ajaran Islam, “pukullah mereka saat usia sepuluh tahun. Dan pisahkan
tempat tidur mereka.”[8]As-Subki
berkata, "Wali bagi anak diwajibkan memerintahkan anaknya memukulnya
mereka jika tidak shalat setelah berusia sepuluh tahun. Kami tidak mengingkari
wajibnya perintah terhadap perintah yang
tidak wajib, atau memukul terhadap hal yang tidak wajib. Jika dibolehkan memukul binatang untuk melatih mereka, lebih-lebih
lagi anak yang belum baligh, demi kebaikannya agar terbiasa sebelum masuk usia
baligh."[9]
Anak kecil diperintahkan melakukan salat dan membaca Al-Quran, salat sunah, haji dan umrah, memperbanyak membaca tasbih, tahlil, takbir dan serta melarang mereka dari semua bentuk kemaksiatan. Disyaratkan pada masalah “memukul “anak yang tidak salat yaitu pukulan yang tidak melukai, tidak membuat kulit luka, atau tidak membuat tulang atau gigi menjadi patah. Pukulan di bagian punggung atau pundak dan semacamnya. Hindari memukul wajah karena diharamkan memukul wajah berdasarkan larangan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Pukulan hendaknya tidak lebih dari sepuluh kali, tujuannya semata untuk pendidikan dan jangan perlihatkan pemberian hukuman kecuali jika dibutuhkan menjelaskan hal tersebut karena banyaknya anak-anak yang melalaikan shalat. Dari Abu Burdah Al-Anshari, dia mendengar Rasulullah bersabda, "Seseorang tidak boleh dipukul lebih dari sepuluh kali kecuali dalam masalah hudud (hukuman tetap) dari Allah Ta'ala." [10]
Ibnu Qayim menyatakan,"Sabda
Rasulullah SAW., bahwa tidak boleh memukul lebih dari sepuluh kali kecuali
dalam masalah hudud' maksudnya dalam
hal jinayat pidana kriminal, misalnya mencuri yang penetapan
hukumannya, merupakan hak Allah. "Kapan harus memukul
di bawah sepuluh kali, jika yang dimaksud hudud
dalam hadits tersebut adalah jinayah?"Jawabannya adalah saat seorang
suami memukul anak atau isterinya atau budaknya atau pegawainya
dengan tujuan mendidik atau semacamnya. Ketika
itu tidak boleh memukul lebih dari sepuluh kali.
Selayaknya hukuman
tersebut dilakukan tidak di depan orang lain, untuk
melindungi kehormatan sang anak atas dirinya dan orang lain dari teman-temannya
atau selainnya. Ibu bapak memukul anak
semata-mata bertujuan agar taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Demi perhatiannya
dalam mendidiknya sesuai ketentuan Syar’i agar jangan timbul perasaan benci
sang anak terhadap perkara syar'i yang berat dia lakukan dan karena
meninggalkannya, dia dipukul. Ibn Baz
berkata, "Perhatikanlah keluarga dan jangan lalai dari mereka wahai
hamba Allah. Hendaknya kalian bersungguh-sungguh untuk kebaikan mereka.
Perintahkan putera puteri kalian untuk melakukan shalat saat berusia tujuh
tahun, pukullah mereka saat berusia sepuluh tahun dengan pukulan yang ringan
yang dapat mendorong mereka untuk taat kepada Allah dan membiasakan mereka
menunaikan shalat pada waktunya agar mereka istiqomah di jalan Allah dan
mengenal yang haq sebagaimana hal itu dijelaskan dari riwayat shahih dari Nabi SAW.
Ibnu Utsaimin menyatakan,
bahwa Nabi Muhammad SAW.,
telah memerintahkan agar orang tua memerintahkan anak-anaknya
melakukan salat dan memukul mereka saat mereka berusia sepuluh tahun, tidak salat. Jika ketika itu
mereka belum berusia balig, tujuannya adalah
agar mereka terbiasa melakukan ketaatan, sehingga
terasa mudah dilakukan apabila mereka telah besar dan mereka mencintai salat.
Begitu pula dengan tindakan yang tidak terpuji, tidak selayaknya
mereka dibiasakan sejak kecil meskipun mereka belum balig, agar mereka terbiasa
ketika sudah besar. Beliau juga berkata, Perintah ini
bermakna wajib. Akan tetapi dibatasi apabila pemukulan itu mendatangkan
manfaat. Karena kadang-kadang, anak kecil dipukul tapi tidak ber-manfaat
pukulan tersebut. Hanya sekedar jeritan dan tangis yang tidak bermanfaat.
Kemudian, yang dimaksud pukulan adalah pukulan yang tidak melukai. Pukulan yang
mendatangkan perbaikan bukan mencelakakan.
5. Analisis Terhadap Kebijakan
Memberikan Hukuman Ringan
Analisis di sini adalah analisis normatif, yaitu
meneliti hukum yang pernah diterapkan dalam pendidikan Islam. Syariat
menetapkan pandangan yang lebih realistis dalam menghukum seseorang yang
melakukan jarimah, tidak semata-mata ketika terjadi pelanggaran harus dihukum
dengan apa yang telah tertera dalam nash al-Qur'an maupun hadits, akan tetapi
perlu digali lebih dalam nash
tersebut. Pertama kebijakan
Kepala Sekolah atau pondok, tasharruful imam (kebijakan pemimpim) Kedua al-maslahat (maslahat tujuan dan manfaatnya). Kaedah ini memberikan
kata kunci yang menentukan arah dari konsep kebijakan tersebut, yaitu maslahat, karena itu, hal pokok yang menjadi kajian dalam permasalahan
ini adalah bagaimana sebenarnya konsep maslahat pada
hukuman fisik. Maslahat inilah
yang nantinya akan membawa dan mengantarkan kepada sebuah kebijakan yang akan
dibuat oleh seorang pemimpin.
Ketika memperhatikan kaidah tasharruful
imam ‘ala al ra’iyyah manutun bi al malahat,[11] yang berarti bahwa kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya
bergantung pada kemaslahatan, maka ada dua kata yang tidak hanya memerikan
makna secara retorik saja, tetapi dua kata yang sekaligus memberikan gambaran
dan batasan serta suatu konsep yang dimaksud. Dua kata tersebut adalah tasharruful
imam (kebijakan dari seorang pemimpin) dan al maslahat (kemaslahatan).
Maka dalam hal ini akan lebih banyak mengkaji tentang bagaimana konsep
kemaslahatan yang akan dijadikan sebagai landasan tehadap pembuatan suatu
kebijakan.
Kaidah ushul fiqih yang
menyatakan Tasharruful Imam ‘Ala al- Ra’iyyati Manutun Bi al- Maslahah .Kaidah ini
merupakan kaidah yang mempunyai aspek horizontal, karena dalam implementasinya
memerlukan hubungan antara seorang pemimpin dengan masyarakat atau rakyat yang
dipimpin.[12]
Perlu diketahui makna dari kaidah tersebut, kaidah yang berbunyi tasharruful
imam ‘ala al ra’iyyati manuutun bi al maslahat mempunyai pengertian retorik
(harfiyyah) kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung
pada maslahat.
Kebijakan
kepala sekolah, sangat diperlukan
harus dimusyawarahkan. Tidak sekedar pengetian retorik. Lebih luas yaitu segala aspek yang
meliputi sanksi hukuman fisik, demi ketertiban
anak didiknya. Musayawarah dengan
kaidah yang menekankan pada aspek
kemaslahatan, karena metode musyawarah adalah salah satu bentuk yang riil untuk
mencapai dan medapatkan suatu kemaslahatan untuk bersama. Hal ini yang juga
ditekankan dalam firman Allah.
Artinya: Bagi orang-orang yang
menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari
rezeki yang kami berikan kepada mereka. [13]
Pakar tafsir Muhammad Rasyid Ridha
menyatakan, bahwa Allah telah menganugerahkan kepada manusia, berupa
kemerdekaan penuh dan kebebasan sempurna di dalam urusan dunia dan kepentingan
masyarakat, dengan jalan memberi petunjuk
untuk melakukan musyawarah. Harus dilakukan oleh orang-orang cakap dan
terpandang yang kita percayai, untuk menetapkan bagi kita (masyarakat) pada
setiap periode hal-hal yang bermanfaat.
Ketika
murid beberapa kali mendapat hukuman
dari guru, saat ini bisa merupakan bentuk penganiayaan. Hukuman diberikan
karena memang murid salah. Apapun kesalahan, pasti mendapatkan hukuman. Itulah
yang berlaku saat itu. Ketika pelajaran menggambar, beberapa murid lupa membawa pengaris, lalu disuruh maju ke
depan kelas, menyodorkan tangan, guru memukulkan
penggaris kayu di punggung dan telapak tangan siswa. Itulah kekerasan
yang diancam oleh UU Nomor 23 tahun 2002.
Untuk jenis hukuman menendang dan tempeleng, sudah menjadi kebiasaan sebelum berlakunya UU
No.23 tersebut, seringkali guru menempeleng murid untuk kategori pelanggaran
ringan. Ada
juga, jari guru mengenai mata muridnya. Kalau pelanggaran
berat, dipukul di betis dengan
menggunakan kayu rotan. Sekalipun murid sering mendapatkan kekerasan dari guru,
tidak ada yang berani melaporkan peristiwa itu kepada orang tua. Bukan lantaran
diancam oleh guru, melainkan karena takut mendapat hukuman tambahan dari orang
tua. Di kampung pada
umumnya, jika murid dihukum dan
diketahui oleh orang tua, berarti akan
mendapatkan lagi hukuman dari orang tuanya. Justru karena hukuman itu banyak orang yang berubah, akhirya sukses dalam hidupnya. Mereka yang berhasil menghadapi
hukuman karena bagian dari proses
pembinaan. Dengan hukuman itulah murid belajar mengetahui kesalahan dan menemukan
kebenaran dan kebaikan. Orang yang tidak berani menghadapi hukuman dengan cara
lari meninggalkan sekolah, orang-orang ini yang gagal dalam hidupnya.
Sejak tanggal 22 Oktober 2002, Pemerintah
R.I, memberlakukan UU Perlindungan Anak ( UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak). Sejak saat itu keberadaan sanksi terhadap anak-anak di sekolah menjadi sensasi berita. UU
Perlindungan anak, khususnya Pasal 13 ayat (1), menyatakan bahwa setiap anak selama dalam
pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab
atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun
seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e.ketidakadilan
f.perlakuan salah lainnya.
Ketentuan yang sangat
tegas tertulis dalam pasal 13 ayat (1)
ditegaskan dalam pasal 16 ayat (1) dan (2) yang berbunyi:
1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran
penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
Dengan adanya UU Perlindungan Anak,
guru di sekolah tidak lagi berani memberikan hukuman kepada anak, takut karena
sanksi hukumannya tidak ringan. Sanksi hukuman terhadap tindakan penganiayaan
anak tertuang dalam pasal 80. bahwa:
(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman,
kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda
paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
Ternyata bukan UU Perlindungan Anak saja yang menjadi instrumen
perlindungan anak, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga mengatur soal
penganiayaan
secara umum. Hal itu terdapat dalam
Pasal 351 jo. 352 KUHP.
“Penganiayaan” masih terjadi, sekalipun UU Perlindungan Anak sudah diundangkan,
ternyata tindakan memberi hukuman, yang masuk kategori penganiayaan, masih
kerap terjadi,
misalnya penamparan oleh oknum
guru terhadap murid SD Harmoni di Batam. Dikatakan bahwa bekas tamparan itu
meninggalkan luka lebam di pipi anak kecil itu sehingga menjadi trauma ke sekolah. Orang tua sudah
melaporkan kasus itu ke polisi. Diberitakan, guru M dilaporkan ke Polsek diduga
melakukan penganiayaan terhadap muridnya.
Menurut penulis, tindakan guru menghukum murid, tidak salah seratus
persen,
wajar, tapi jangan menimbulkan
memar. Guru memegang
prinsip:“yang salah harus
dihukum.“
Tidak mungkin guru
menghukum murid yang baik. Dengan hukuman, anak disadarkan. UU Perlindungan
Anak dapat membuat anak tidak menemukan” kesalahan” diri murid. Muridpun merasa benar. Buktinya, dibela dan guru dihukum. Konsep benar-salah menjadi hilang. Derita Guru: Sebuah
Dilema Pendidikan. Keberadaan UU Perlindungan Anak ini, menurut penulis menjadi sebuah
penderitaan guru. Mereka dihadapkan pada
masalah dilematis dalam proses pendidikan dan pembinaan anak muridnya.
Situasi mereka berhadapan dengan UU Perlindungan Anak.[15] Demi pembinaan dan penegakan disiplin kepada
siswa,
ada guru yang terpaksa menampar
siswanya. Tingkat penyadarannya lebih kuat dibandingkan menegur dan menasehati. Tempeleng hanya sekali, bisa merupakan bentuk shock therapy.[16]
Menurut penulis, UU.
23 tentang perlindungan anak ini, bisa menjadi penderitaan para guru di sekolah, karena guru tidak berani bertindak
tegas kepada muridnya
sendiri, karena takut terkena sanksi dari UU. 23. Jika terkena Pasal 80 ayat (1)
ganti
ruginya sangat besar. Inilah merupakan penderitaan bagi semua
guru. Karena itu, ada guru memilih masuk
penjara, asalkan tiap bulan gajinya jalan terus, tidak akan jadi masalah serius. Tetap mengajar
dengan ganti rugi sebesar
Rp 72 juta,
akan memberatkan
keluarganya.
Analisis kasus, di sebuah sekolah menengah
pertama, tentang siswa sedang berkelahi, guru melerai. Tapi disambut dengan caci
maki oleh siswa yang berkelahi, karena tidak terima acara duelnya dipisahkan. Guru
juga masih muda, dan caci maki itu terjadi di muka umum, diketahui murid lain,
dan demi harga diri yang diinjak murid, guru itu menampar siswanya satu kali. Sang guru
dilaporkan ke polisi, akibatnya,
beberapa hari dimasukkan ke penjara. Akhirnya dibebaskan
dengan tebusan.
Guru- guru lain tidak berani bertindak tegas
kepada siswa dan para siswa berbuat semaunya saja. Anak-anak tumbuh “liar” dan para guru tak berani
menegur. Yang terjadi adalah proses pembiaran. Ketika guru bertindak tegas,
anak dapat mengancam dengan UU Perlindungan Anak. Anak akan dengan mudah
mengejek gurunya bahkan menghina guru dan guru tidak bisa berbuat apa-apa
karena takut dengan UU Perlindungan Anak. UU Perlindungan Anak merusak dunia
pendidikan. Tidak setuju dengan UU Perlindungan Anak, karena UU itu bisa
digunakan anak untuk merendahkan martabat guru. Dia sangat prihatin dengan
nasib para guru.
Menurut penulis, hukuman fisik,
sebahagian bukan penganiayaan, ada perbedaan
pemahaman dalam UU Perlindungan Anak, berkaitan dengan kata “penganiayaan” dan
kekerasan. Kategori penganiayaan adalah kekerasan yang bertubi-tubi, mirip
dengan penyiksaan. Memukul atau menempeleng berkali-kali, sekalipun murid sudah minta
ampun. Tapi jika cuma sekali, bukan penganiayaan. Kalau dikatakan kekerasan,
seperti kasus di
Institut Pemerintahan Dalam Negeri(IPDN), penganiayaan memang
kejam, karena bertubi-tubi. Misalnya, dipukul lalu ditendang berkali-kali.
Karena itu ada yang cacat dan bahkan sampai tewas.
Penulis
tidak setuju jika hukuman”menempeleng
ringan”, satu kali saja masuk
kategori kekejaman (Pasal 13 ayat 1) tidak
manusiawi (Pasal 16 ayat 1). Dalam
kasus-kasus penganiayaan di sekolah, dilakukan
oknum guru sebenarnya tidak masuk kategori kekerasan, yang bukan kekejaman,
penganiayaan yang tidak manusiawi.Hal yang menjadi persoalan, haruskah pelaku kekerasan ringan itu bisa dihukum, jika pelakunya adalah guru
yang bertujuan baik, menyadarkan murid akan kesalahannya.
Melalui
penelitian ini penulis dapat membuat konklusi[17]
atau prediksi atau tesis sebagai berikut:
Pertama,
akan muncul peraturan tentang anak boleh memilih untuk ”tidak beragama,” atau
pindah agama(murtad), berdasarkan prinsip hak asasi anak, kebebasan beragama dan berkeyakinan, karena dalam dokumen hak asasi manusia (HAM) internasional, secara jelas disebutkan dalam Pasal 18, bahwa setiap
orang berhak atas kemerdekaan berfikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk „berganti
agama“ atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau
kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran, peribadatan, pemujaan dan ketaatan,
baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum atau secara
pribadi.“
Hak
anak untuk murtad, bersamaan dengan hak anak dalam keluarga, memiliki
keyakinan berbeda dengan orangtua. Di beberapa media masa, ditemukan
ungkapan bagini “Saya remaja,15 tahun, berniat untuk memiliki keyakinan, agama yang berbeda dengan garis keturunan saya. Untuk
merealisasikannya, saya harus keluar dari rumah karena tidak disetujui oleh
orangtua. Orangtua memaksa untuk tetap memiliki keyakinan yang sama. Apa
keputusan saya untuk keluar dari rumah demi mempertahankan keyakinan dapat
dilindungi oleh hukum? Apa yang masih menjadi wewenang orang tua saya?”, demikian keluhan sebahagian anak.
Untuk dapat pindah keyakinan dan
dinyatakan sah secara hukum, ternyata tidak diperlukan syarat – syarat
tertentu. Selama anak telah meyakini keputusan tersebut, maka dia dapat melakukannya. Hak setiap orang untuk
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dijamin oleh konstitusi dan
undang-undang.
Pasal 28 E
Undang-Undang Dasar(UUD) 1945
menyatakan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya. Selanjutnya, dalam Pasal 28 I UUD 1945 dinyatakan bahwa hak beragama merupakan hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non
derogable human rights). Jadi, kebebasan anak untuk beragama adalah
hak asasi Anda, termasuk untuk murtad, memilih agama baru, yang anak yakini.
Kebebasan beragama juga ditegaskan dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (“Undang-Undang 39/1999”) yang menyatakan, bahwa setiap orang, bebas memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Menurut penjelasan pasal 22 ayat (1)
Undang-Undang 39/1999, yang dimaksud dengan ”hak untuk bebas memeluk
agamanya dan kepercayaannya” adalah hak setiap orang untuk beragama menurut
keyakinannya sendiri, tanpa adanya paksaan dari siapapun juga.
Mengenai wewenang orangtua, memang benar bahwa
seorang anak berada di bawah kekuasaan orang tuanya. Akan tetapi dalam konteks
kekuasaan orang tua, perlu diingat bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan)
membatasi usia anak dalam Pasal 47
ayat (1), yaitu anak yang belum mencapai
umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Anak yang demikian
berada di bawah kekuasaan orang tuanya, dan orang tua mewakili anak tersebut
mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan,
sesuai
dengan Pasal 47
ayat [2] UU Perkawinan.
Dalam kasus ini, untuk saat sekarang ini, anak
yang sudah berusia 18 tahun, artinya, sudah tidak lagi berada dalam kekuasaan orangtua.
Dengan demikian secara hukum sudah dianggap
dewasa dan karena itu sudah cakap untuk melakukan perbuatan hukum sendiri tanpa
perlu izin dari orang tua, kecuali untuk melangsungkan perkawinan.
Dalam Pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan diatur bahwa
untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun, harus mendapat izin kedua orang tua. Jika orang tua tidak
menyetujui perkawinan tersebut, maka anak
dapat meminta izin dari Pengadilan dalam daerah tempat tinggal Anda. Pengadilan
dapat memberikan izin menikah setelah mendengar pendapat dari orang tua, sesuai dengan Pasal 6
ayat [2] UU Perkawinan.Harus juga diperhatikan
kewajiban anak. Dalam UU Perlindungan Anak, khususnya soal hak dan kewajiban anak dan pasal
lain yang berkaitan dengan hak anak (18 pasal), sementara kewajiban hanya satu
pasal saja (Pasal 19). Hal yang ditekankan pada
Pasal 19 UU Perlindungan Anak ini, bahwa setiap anak berkewajiban untuk :
1. menghormati
orang tua, wali, dan guru;
2. mencintai
keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
3. mencintai tanah
air, bangsa, dan negara;
4. menunaikan
ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
5. melaksanakan
etika dan akhlak yang mulia.[18]
Kedua, akan terjadi legalisasi
anak durhaka.[19] Jika anak tidak
melaksanakan kewajibannya
dan menghina guru, sanksi apa yang dapat
diberikan UU RI No.23 Th 2002? Tidak ada pasal yang mengatur hal ini. Orang hanya melihat hak anak, mengabaikan hak guru. Itulah sebabnya kasus ini punya daya
tarik bagi polisi dan pengacara? Tidak tentang bagaimana hukuman terhadap anak? Apakah anak berbuat nakal, bahkan tidak melakukan
kewajibannya, seperti yang tertera dalam UU Perlindungan Anak, juga dapat
ditindak? Kasus anak SD mengganggu temannya yang sedang latihan, berarti tidak
melakukan kewajiban no. 2 dalam pasal (19) UU Perlindungan Anak. Kasus Sekolah Menengah
Kejuruan(SMK), siswa tidak melaksanakan kewajiban no. 3 dan
5. Guru punya wewenang melaporkan siswa
ke polisi? Dan apa sanksi buat anak tersebut? Hak dan kewajiban mesti
seimbang. Orang tidak bisa menuntut hak tanpa melaksanakan kewajibannya, karena berkaitan dengan UU Perlindungan Anak.
Kritik penulis ialah perlu ditinjau soal keseimbangan hak dan kewajiban
bagi anak itu sendiri, di dalam UU No.23. Jangan hanya membebani kesalahan pada
guru. Penulis
setuju dengan pendapat Al-Ghazali, bahwa para pendidik harus membimbing peserta
didiknya agar belajar bukan karena ijazah semata, mengejar harta, jabatan,
popularitas, dan kemewahan duniawi, sebab semua itu bisa mengarah pada sifat materialistis.
Sementara seorang pendidik yang materialistis akan membawa kehancuran bagi
dirinya sendiri dan peserta didiknya. Sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali;
“Barang siapa mencari harta dengan menjual ilmu, maka bagaikan orang yang
membersihkan bekas injakan kakinya dengan wajahnya. Dia telah mengubah orang
yang dilayani menjadi pelayan dan pelayan menjadi orang yang dilayani.
Pernyataan al-Ghazali yang terkesan mencela
pendidik yang mencari upah ini tidak kemudian harus diartikan, al-Ghazali
melarang pendidik yang menerima upah sebagaimana kesimpulan sebagian ilmuwan
–yang kontra dengan al-Ghazali- dalam memandang pendapat al-Ghazali tentang
upah bagi pendidik karena harus mengikuti jejak Rasul Saw. Memang sebelumnya
al-Ghazali pernah menyatakan: “Hendaklah guru (pendidik) mengikuti jejak
Rasulullah Saw.; maka ia tidak mencari upah, balasan, dan terima kasih, tetapi
mengajar karena Allah dan mencari kedekatan diri kepada-Nya.”
Pernyataan ini dapat diartikan bahwa pendidik
harus ikhlas dalam mengajar dan kriteria ikhlas itu tidak hanya bersihnya
tujuan dari mencari upah. Lebih dari itu, ikhlas berhubungan dengan niat yang
letaknya dalam hati, dan itu merupkan proses panjang, sepanjang usia manusia
dalam usahanya menjadikan dirinya sebagai manusia yang sempurna. Lebih
jelasnya, ikhlas adalah pekerjaan atau amal dan semua aktivitas -yang bernilai
ibadah- yang dikerjakan dengan tujuan mencari kedekatan diri kepada Allah. Jadi
secara prinsip, al-Ghazali tidak mengharamkan pendidik yang menerima upah
karena mengajar.
Sudah merupakan kewajiaban guru, harus
membimbing peserta didiknya agar belajar bukan karena ijazah semata, mengejar
harta, jabatan, popularitas, dan kemewahan duniawi, sebab semua itu bisa
mengarah pada sifat materialistis. Sementara seorang pendidik yang
materialistis akan membawa kehancuran bagi dirinya sendiri dan peserta
didiknya. Sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali; “Barang siapa mencari harta
dengan menjual ilmu, maka bagaikan orang yang membersihkan bekas injakan
kakinya dengan wajahnya. Dia telah mengubah orang yang dilayani menjadi pelayan
dan pelayan menjadi orang yang dilayani.”
Pernyataan
al-Ghazali yang terkesan mencela pendidik yang mencari upah ini tidak kemudian
harus diartikan, al-Ghazali melarang pendidik yang menerima upah sebagaimana
kesimpulan sebagian ilmuwan –yang kontra dengan al-Ghazali- dalam memandang
pendapat al-Ghazali tentang upah bagi pendidik karena harus mengikuti jejak
Rasul Saw. Memang sebelumnya al-Ghazali pernah menyatakan: “Hendaklah guru
(pendidik) mengikuti jejak Rasulullah SAW.; maka ia tidak mencari upah, tetapi mengajar karena Allah dan mencari
kedekatan diri kepada-Nya.”
Pernyataan
ini dapat diartikan bahwa pendidik
mengajar tidak hanya tujuan dari mencari upah, lebih
dari itu, berhubungan dengan niat yang
letaknya dalam hati, dan itu merupakan
proses panjang, menjadikan dirinya
sebagai manusia sempurna. Lebih jelasnya, ikhlas adalah pekerjaan atau amal dan
semua aktivitas yang bernilai ibadah- yang dikerjakan
dengan tujuan mencari kedekatan diri kepada Allah. Jadi secara prinsip,
al-Ghazali tidak mengharamkan pendidik yang menerima upah karena mengajar. Pernyataan
al-Ghazali; “Hendaknya pendidik melarang
muridnya mempelajari suatu tingkat sebelum menguasai tingkat sebelumnya;
dan jangan belajar ilmu yang tersembunyi sebelum selesai ilmu yang terang.
Setelah itu menjelaskan kepadanya bahwa maksud menuntut ilmu adalah mendekatkan
diri kepada Allah; bukan untuk menjadi kepala dan mencari kemegahan.”
Ketiga, akhlak dan moral semakin terpinggirkan. Prediksi ini
dibuat berdasarkan analisis kenyataan bahwa akhlak dan etik atau etika, semakin terpinggirkan
di dalam pendidikan di Indonesia. Pelanggaran etika bukan hanya dilakukan siswa, bahkan kepala sekolah dan guru.
Mahasiswa pun telah melakukan tindak
kekerasan yang menyebabkan kematian temannya. Pendidikan di sekolah telah
terreduksi, menjadi penyampaian pengetahuan, tidak lagi mendidik watak atau
karakter dan kepribadian. Mendidik bukan lagi sebagai seni yang dilandasi
dengan hati dan kasih sayang. Yang selalu muncul adalah wajah seram yang siap
memberi hukuman. Tindakan "bullying" sudah menjadi budaya di sekolah
yang dilakukan guru maupun siswa tanpa merasa menyesal. Contoh siswa Sekolah Menengah Pertama(SMP) yang
keluarganya miskin, ibunya diejek oleh
teman-temannya diolok-olok dan dipermalukan sehingga menderita batin (depresi). Peristiwa ini
justru pada sekolah yang berlatar belakang agama,[20]mengindikasikan
bahwa pendidikan etika tidak lagi menjadi landasan moral pembentukan watak. Etika telah terpinggirkan oleh dunia pendidikan
yang hanya mengejar jumlah kelulusan akademis. .
Kejadian lainnya, ada
oknum Kepala Sekolah mencuri soal Ujian
Nasional, dan ada guru yang memberikan jawaban soal Ujian
Nasional kepada siswanya, pengawas membiarkan siswa mempergunakan HP saat UN.[21]
Editorial Metro Senin 23 April 2007 jam 19.40 menyebutkan dari hasil survai
riset ditemukan sebanyak 70% peserta Ujian Nasional menyontek, karena guru
pengawas dengan sengaja memberi kan peluang untuk nyontek. Berita
jam 18.30 ,pada hari Selasa 24 April 2007 diberitakan pengawas Ujian Nasional SMP di sebuah SMP
memberikan peluang untuk berbuat curang
dengan cara mengawasi tidak ketat. Di Medan
dilaporkan justru Kepala Sekolah menyuruh guru mendiktekan jawaban ujian (Air
Mata Guru Bongkar Kecurangan. Dinamika Pendidikan No. 1ffh.XIV / Mei 2007 13 UN
Medan.Kecurangan UN SMA dan SMP direncanakan sangat sistematis. Kompas,Jumat 27
April 2007). Ada guru olah raga yang menempeleng siswasiswanya karena tidak
memakai seragam pakaian olah raga. Kejadian tragis di IPDN dengan terbunuhnya
sejumlah mahasiswa IPDN karena tindak kekerasan yang terjadi di kampus. Siswa
SD klas II meninggal dunia setelah dianiaya oleh 4 ( empat) temannya di kamar
mandi sekolah.[22].
Masalah pelanggaran moral yang dilakukan para mahasiswa dan siswa di beberapa
daerah juga semakin marak sebagaimana pernah ditulis dalam koran Jawa Pos.
Di
dalam lingkungan perguruan tinggipun tidak luput dari masalah pelanggaran etika
akademik. Pada tahun 2000 Universitas Gajah Mada harus mencabut gelar doktor
dari seseorang promovendus yang telah dinyatakan lulus ujian doktor.,karena
materi disertasi yang diajukan ternyata karya milik orang lain dan dinilai
sebagai perbuatan plagiat. Di Universitas Jenderal Soedirman juga mengangkat seorang dosen yang ijazah dan gelar kesarjanaan SI, S2 dan S3
nya palsu. Ijazah yang diperdagangkan di
dalam masyarakat, onisnya para pembeli adalah pejabat
bupati ada anggota DPR. Gejala tersebut mengindikasikan pendidikan etika akhlak
dan moral, berujung pada pelanggaran hukum. ,
Institusi pendidikan yang seharusnya menanamkan dan mengembangkan serta
melestarikan nilai-nilai luhur sebagai nilai etika, pedoman moral justru
berkembang ke budaya kekerasan yang mengarah pada sikap arogansi para siswanya.
Pendidikan Agama dan Pendidikan Pancasila tidak lagi mampu mewujudkan misinya
dan berubah menjadi wahana penyampai pengetahuan dan bukan membentuk watak and
sikap sebagai warga negara, pribadi dan warga masyarakat yang bersifat makluk
individu sosial sekaligus. Penulis setelah mencermati kejadian-kejadian
tersebut timbul pertanyaan apa yang salah dalam praktek pendidikan. Dalam
konteks inilah kajian tentang tinjauan yuridis
hukuman fisik untuk disiplin pendidikan, serta pendidikan etika yang disajikan.[23]
Hukum jangan dipisahkan dari akhlak atau etika dimaknai
sebagai ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.
Kata etika dijelaskan dengan membedakan tiga arti: 1) ilmu tentang apa yang
baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral. 2)
kumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, 3) nilai mengenai benar
dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Menurut
Bertens etika mempunyai tiga arti,
yaitu: pertama, kara etika biasa dipakai dalam arti: nilai-nilai dan
norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok
dalam mengatur tingkah lakunya.
Dalam
arti ini etika bersifat relatif di dalam suatu daerah.
Misal apa yang dianggap baik oleh suatu kelompok belum tentu baik oleh kelompok
lain meski mereka berada dalam suatu daerah atau wilayah yang sarna karena beda
suku atau agama dan kepercayaan. Contoh adat kawin lari yang masih
terdapat disebagian desa di propinsi Bali, oleh mereka yang menganut agama
non Hindu, dianggap tidak baik. Demikian pula kawin siri yang oleh suatu
kelompok Islam diterima baik, tetapi oleh kelompok lain yang berbeda kepercayaan
akan dianggap tidak baik.Dengan demikian akan terdapat etika berdasarkan atas
suku, agama dan kepercayaan yang menyatu di dalam suatu sistem nilai, seperti
adat istiadat Jawa,[24]
Sunda, Bali , Suku Badui dalam, suku Dayak ,Etika
Kristen, Akhlak / etika Islam , ada tasawuf.. Kedua, etika berarti juga kumpulan asas atau nilai moral.[25]
Kumpulan nilai moral yang kemudian dijadikan
dasar bertindak/berperilaku bagi anggotanya ini yang kemudian menjadi kode
etik. Seperti kode etik guru, kode etik dokter, kode etik paramedik, kode etik
hakim, kode etik peneliti dan lain sebgainya. Ketiga, etika mempunyai arti ilmu
tentang yang baik atau buruk yang sam artinya dengan filsafat moral karena
berkaitan dengan asas-asas dan nilai tentang yang dianggap baik dan buruk.
Dalam kajian ini etika ditekankan pada arti nilai-nilai dan norma-norma etis
yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya di dalam berkehidupan bermasyarakat. Di dalam kehidupan sosial
bermasyarakat warga dituntut untuk mematuhi apa yang telah ditetapkan oleh
masyarakatnya sebagai aturan, tata nilai, larangan (tabu) serta pantanagn.
Semakin kompleks kehidupan masyarakat semakin banyak aturan adat , larangan
(tabu) serta pantangan yang diperuntukan bagi warganya.
Murid
yang akan menjadi warga dewasa penuh dari suatu masyarakat dan sebagai
warga negara serta warga dunia harus belajar
memahami, melestarikan
nilai-nilai luhur yang dianut masyarakat
dan bangsa serta dunia agar dapat hidup damai, bertoleransi dan saling
mengharagai. Intemalisasi nilai dalam diri seseorang dapat terjadi secara
intensif lewat pendidikan apabila direncanakan dan dilakukan secara kontekstual
sesuai dengan lingkungan hidup para siswa. Siswa tidak hanya tahu tetapi akan
memahami makna nilai dan akan menrima sebagai nilainya sendiri serta akan
menerapkan di dalam kehidupannya sebagai acuahn berperilaku atau bertindak.[26]
Jika siswa memasuki dunia kerja
profesional, akan diikat dengan hukum dan
kode etik profesi yang dijadikan
acuan di dalam melaksanakan pekerjaan atas profesinya. Di dalam pergaulan
sosial, seseorang juga dituntut untuk berperilaku sesuai dengan etika[27]
yang ditetapkan. Ada aturan yang
sederhana, dalam jamuan makan intemasional, ada aturan pakaian dan cara
berpakaian, tata cara makan, cara mempersilahkan makan, cara mengambil makanan,
meminta makanan juga cara memegang sendok dan pisau makan, cara minum untuk
berkunjung dan lainnya. Kursus etika cara
makan, disebut "table manner"
yang biasanya diberikan kepada para calon diplomat dan istrinya sebelum
berangkat untuk bertugas di luar negeri. Seseorang yang hidup di dalam
masyarakat yang memilki peradaban harus
menerapkan nilai-nilai yang berlaku
selama dia hidup dalam lingkungan
di mana ia tinggal.
Menurut penulis, hukum
perlindungan anak saja, tidak cukup untuk melindungi anak. Hukuman
disiplin pendidikan saja juga tidak cukup. Seharusnya
lebih diutamakan akhlak dan etika. Hal ini
dapat dirumuskan dalam berbagai bentuk sesuai dengan sudut pandang dan
konteks yang dipakai. Rumusan hukum
formal yang tertulis di dalam penejelasan UU Sisdiknas No 20 tahun 2003
dinyatakan bahwa, pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan
potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan
atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat." Sedang
fungsi pendidikan dikatakan, mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab".
Keempat,semakin banyak ketentuan Hukum agama
yang sakral, justru dikategorikan sebagai tindakan kriminal dan tidak manusiawi,
misalnya memukul anak yang melalaikan salat, larangan homo dan lesbi dan
larangan minuman keras, bahkan termasuk poligami. Rumusan dari
sudut pandang filsafat sebagaimana dikemukan oleh Driyarkara pendidikan adalah
"memanusiawikan manusia", bukan sekedar membantu pertumbuhan secara
fisik, tetapi keseluruhan perkembangan pribadi manusia dalam konteks lingkungan
manusia yang memiliki peradaban.[28]Masa
belajar manusia untuk berkembang menjadi dewasa dalam arti pribadi yang utuh
memerlukan waktu yang lebih panjang. Proses belajar terjadi sepanjang hidupnya,
sejalan dengan dinamika masyarakat yang
terus berubah dan berkembang. Proses belajar dapat terjadi dalam lingkungan
pendidikan formal dan non-formal
(pendidikan-pelatihan dan kursus) serta pendidikan informal yang terjadi di
dalam keluarga maupun masyarakat, seperti dalam home schooling yang saat ini mulai marak di kota-kota besar.
Menurut penulis, jika dikaji kembali konsep dan fungsi hukuman
fisik dalam pendidikan yang dinginkan untuk
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Membentuk individu maupun warga bangsa Indonesia, yang
diharpakan menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan berakhlak mulia. Harus sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Untuk beriman dan bertakwa dan berakhlkak mulia, mempelajari
dan menerapkan nilai-nilai yang diajarkan
atas dasar etika agama, serta etika universal.
Dalam hukum Islam, terdapat
ajaran boleh dan tidak boleh dilakukan,
perbuatan baik dan buruk, dan
pantas dilakukan dan tidak pantas dilakukan di depan umum. Istilah halal
dan haram, wajib, sunnah dan tidak boleh dilanggar. Di dalam ajaran Nabi Musa ada yang disebut 10 ( sepuluh)
perintah Allah yang ditulis dalam dua buah batu log .Selain nilai-nilai yang
bersumber dari kitab suci, ada nilai-nilai adat yang diterima dan diakui oleh
masyarakat intemasional, misalnya HAM yang tertuang dalam perjanjian Jenewa
tahun 1948.
Kelima, semakin runtuhnya wibawa orang
tua dan guru.Mengingat orang tua dan guru tidak dapat lagi memberikan hukuman
kepada anak, karena telah terjadi kriminalisasi tindakan guru yang menegakkan
disiplin, diperkirakan wibawa mereka akan runtuh. Anak mencari dunianya
sendiri, bisa terjebak ke dalam nilai-nilai baru yang tidak terbayangkan
sebelumnya.
Nilai-nilai baru, bisa juga muncul
dengan adanya profesi baru yang diakui oleh masyarakat yang menuntut perilaku
tertentu di dalam melaksanakan tugas pekerjaannya. Kumpulan nilai-nilai ini
kemudian dirangkum menjadi kode etik profesi. Sekalipun secara jelas disebutkan
di dalam Undang-Undang No:20 Tahun 2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional
dalam Bab I Pasal 1 ayat (1) , Bab II Pasal 318 , dalam Jurnal Dinamika
Pendidikan No. 1/ Th. XIV / Mei 2007 salah satu tujuannya disebutkan "berakhlak
mulia", namun dalam kenyataannya tujuan belajar dan pembelajaran diredusir
dan difokuskan ke penguasaan pengetahuan untuk kepentingan ujian nasional maupun
ujian sekolah sebagai syarat lulus. Hasil pendidikan hanya diukur dari
banyaknya siswa yang lulus ujian dan nilai yang diperoleh dalam ujian. Tujuan-
tujuan lain tidak pemah diukur secara sungguh-sungguh. Pencapaian akhlak mulia
hanya diukur dari aspek pengetahuan dalam ujian sekolah dan difokuskan pada
pengetahuan agama yang diikuti siswa dalam belajar. Oleh karena itu pengukuran
dan evaluasi hasil proses pendidikan perlu ditinjau ulang
Proses intemalisasi akhlak dan etika dalarn diri siswa tidak dapat
dilakukan secara instant, namun melalui proses sejalan dengan perkembangan
jasarnani dan rohani siswa. Proses intemalisasi dimulai dengan pengenalan
nilai-nilai di dalam keluarga oleh orangtua maupun sanak famili yang serumah. Jika anak sudah bergaul dengan
lingkungan sosial- masyarakat sekitar ia akan berkenalan dengan berbagai nilai
di sekitarnya. Dan jika ia sudah bersekolah pengenalan nilai-nilai
akan sernakin banyak dan beragam yang dibawa oleh teman-teman,
guru dan juga orang lain yang hadir di sekolah. Jika ia sudah mulai tertarik
nonton televisi, rnaka ia juga akan berkenalan dengan nilai yang ditawarkan dan
disampaikan oleh para artis-selebritis melalui adegan-adegan yang dibawakannya,
selain lewat promosi atau iklan yang ditayangkan. Nilai-nilai yang diterima
siswa ada yang berbeda bahkan bertolak belakang dengan nilai-nilai yang
dikenalkan di rumah dan di sekolah
Terhadap
rnasuknya nilai tersebut mungkin diterima melalui saringan atau filter orangtua
dan guru, tetapi juga ada nilai yang
diterirna tanpa filter. Pertentangan nilai dalarn diri siswa dapat menyebabkan
siswa memiliki standar ganda. Di rumah dan di
sekolah siswa kelihatan alim, sopan, baik dan takwa, tetapi di
luar, jika sudah bergabung dengan kelornpoknya, gengnya, akan
berperilaku berbeda. Ana bisa mengkonsumsi minuman
beralkohol sampai mabuk, pesta narkoba
bahkan pesta seks. Sering diberitakan penggerebekan yang
dilakukan polisi terhadap rumah kos, ada
pesta mabuk-mabukan, narkoba dan seks terjadi , dan ternyata pelakunya anak yang belum berumur 18
tahun, atau
siswa yang masih belajar di Sekolah Menengah.
Keenam, akan banyak muncul penafsiran ulang terhadap ketentuan Hukum
Islam yang berkaitan dengan hak asasi kebebasan anak, tapi penafsirannya lebih
banyak yang berbeda dari ketentuan fiqih yang sudah ada, bahkan ada yang sama
sekali tidak dikenal dan tidak diperkenankan sebelumnya. Metode
penafsiran baru, yang saat ini saja, sudah banyak dibicarakan bahkan diperdebatkan oleh para
ahli Hukum Islam maupun ahli Filsafat Hukum Islam misalnya
hermeneutika. Hermeneutika
itu sendiri dalam sejarahnya merupakan metode filsafat yang pada awalnya
berkembang dalam penafsiran Kitab Injil/Bibel. Hal ini pulalah yang menjadi
salah satu objek perdebatan di kalangan ahli Hukum Islam dan Filsafat Hukum
Islam, terutama dalam penggunaan metode ini dalam penafsiran Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul. Hermeneutika dianggap telah berhasil meng-obrak-abrik Bibel,
sehingga ada semacam kekhawatiran bahwa hermeneutika
akan meng-obrak-abrik Al Qur’an juga, diakibatkan oleh adanya perbedaan
pandangan penafsiran yang mungkin timbul karena kuasa bahasa, sebagaimana
dikatakan oleh Amin Abdullah bahwa satu hal yang tidak dapat dihindari oleh
siapapun adalah suatu kenyataan bahwa perintah-perintah Tuhan (divine instruction) selalu bertumpu pada
teks (Kitabah, qawliyah), sedang teks
itu sendiri sepenuhnya bersandar pada alat perantara bahasa (lughah).
Ketujuh, makin tersalurkannya keinginan
anak untuk lebih cepat bebas dari kendali orangtua yang mendapat legitimasi
dari undang-undang dan aturan lainnya. Puncak dari keinginan anak untuk bebas,
ada semacam pengakuan dari sebait kata yang
diungkapkan oleh Kahlil Gibran bahwa,[29]
anakmu adalah anak masa depan. Putra-putrimu, “bukan milikmu.”Masa depannya
tidak bisa kamu hayalkan, di dalam mimpi sekalipun. Akan tetapi penulis tidak
setuju dengan pesan dari ungkapan ini, memberikan gambaran seakan-akan orangtua
tidak berhak mewarnai masa depan anaknya.
Murid
atau anak yang selalu membangkang, disebut durhaka. Suatu sikap yang sangat
dipantangkan dalam kehidupan:
Wahai
ananda kekasih ibu
Hormati
ibu bapak dan gurumu
Tunjuk
ajar diingat selalu
Bahagia kelak
dalam hidupmu.[30]
[1]Anak sekolah membolos apa
hukumanya? Paling tidak, pemanggilan
orang tua murid ke sekolah dan diberi pengarahan, ujung-ujungnya paling parah
adalah skors. Tapi di Inggris, murid membolos
sekolah, orang tua
dipenjarakan. Sudah lebih dari 11.000 orang tua di Inggris mendapatkan sanksi
karena membiarkan anak mereka bolos sekolah. Hukum ini diberlakukan oleh
pemerintah Inggris bahkan pemerintah setempat masih menganggap hukum ini
terlalu ringan, lebih fantastis lagi mereka akan memperketat peraturan tentang
bolos sekolah ini, seperti yang dikutip dari vivanews.com. Dilansir laman The Guardian, Selasa
8 November 2011, terdapat 11.757 orang tua yang dihukum karena ketidakhadiran
anak mereka di sekolah. Angka ini meningkat dari tahun lalu di mana 11.188
orangtua dijatuhi sanksi serupa.Sebanyak 25 orangtua di antaranya dihukum
penjara, dengan vonis terlama 90 hari. Sejumlah 9.000 orang divonis bersalah
dan dua pertiga di antaranya dijatuhi denda. Denda maksimal untuk kejahatan ini adalah 850 poundsterling atau
sekitar Rp12 juta. Lebih dari 400 orangtua mendapatkan hukuman kerja sosial,
dan 53 lainnya ditangguhkan hukumannya.Jumlah orangtua yang dihukum
akibat anak yang membolos di
Inggris dari tahun ke tahun bertambah jumlahnya. Pada tahun 2005, tercatat
hanya 4.000 orangtua yang dihukum. Jumlah orangtua yang dipenjara konstan,
sekitar 15 hingga 20-an.
[5] Lihat
Ensiklopedi Adab Islam (I/201)] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah bersabda, “Aku tidak mau menjadi saksi atas perbuatan
zhalim, bertakwalah kalian kepada Allah dan bersikap adillah kepada anak-anak
kalian.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari, no. 2586, 2587 dan Muslim no.
1623, dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhu
[12] Khams
(lima prinsip pokok) yang menjadi kebutuhan primer (dharuri) bagi setiap insan. Kelima prinsip tersebut
adalah:
a) Hifzhun Nafs, yaitu jaminan atas jiwa (kehidupan) yang dirniliki warga negara (rakyat).
b) Hifzhud Din, yaitu jaminan kepada warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya.
c) Hifzhul Mal, yaitu jaminan terhadap keselamatan harta benda yang dirniliki oleh warga negara.
d) Hifzhun Nasl, yaitu jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara.
e) Hifzhul 'lrdh, yaitu jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara. Kelima prinsip di atas beserta uraian derivatifnya dalam era sekarang ini lebih menyerupai Hak Asasi Manusia (HAM).Lihat Said Agil Siradj, Ahlussunnah Wal Jamaah dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta: LKPSM, 1999),21-26
[16] Di dalam QS.
Shad: 41-44 dinyatakan bahwa Nabi
Ayub menyeru Tuhannya, bahwa dirinya diganggu
setan dengan siksaan.' Kemudian Allah
anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya sebagai rahmat dari Allah,.
Belaiau dengan di tangannya ada seikat (rumput), maka memukul
isterinya dengan itu
dan jangan melanggar
sumpah. Sesugguhnya Kami mendapati dia (Ayuh) seorang yang sabar. Dialah
sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia sangat taat (hepada Tuhannya)."
Lihat juga
Bagir Manan, Restoratif Justice (suatu
Perkenalan), dalam Refleksi Dinamika Hukum RangkaianPemikiran dalam dekade
terakhir, (Jakarta: Perum Percetakan Negara RI 2008), hlm 4.
Dikdik M.
Arief Mansyur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan Antara Norma dan Realita (Jakarta: Rajawali Press 2007) hlm.
165.John Dussich, Concepts and Forms
of Victim Services, makalah yang dipresentasikan
pada 11th Asian Postgraduate Course on Victimology and Victim
Assistance, Kampus Fakultas Hukum Universitas Indonesi, Depok 18 – 29 Juli
2011.
Rena
Yulia, Viktimologi: Perlindungan
Hukum Terhadap Korban Kejahatan, hlm 164-165.
[23] Marijan, Menghukum Peserta Didik Ala Ki Hajar Dewantara, (Yogyakarta : Wates
Kulonprogo,
2014), hlm 217, bahwa FX Sajiyanto,dalam makalahnya berjudul “ Bolehkah Guru Menghukum Murid ?” pada
majalah Candra edisi VI 2004 terusik untuk melengkapinya. Dari simpulan
yang ditulis sekaligus merupakan jawaban atas judul artikelnya memperbolehkan
guru menghukum peserta didiknya asalkan dengan bijaksana. Hukuman
bijaksana dimaksud di atas adalah tidak menerapkan hukuman fisik pada daerah
organ-organ penting (dada, perut, dan kepala). Oke, penulis sangat setuju
dengan pendapat tersebut.
[25] Marijan, loc.cit. Apabila
sanksi hukuman sama sekali tidak diadakan niscaya perilaku
siswa akan lebih semrawut. Kita bisa menduga-duga, ada penerapan
hukuman saja siswa yang melanggar masih banyak, apalagi jika sanksi hukuman
ditiadakan. Tambah ruwet. Jika hukuman itu diadakan menuntut konsekuensi bagi
para pendidik itu sendiri. Maksudnya, pendidik harus benar-benar bisa sebagai
suri tauladan bagi anak didiknya. Penerapan aturan hukuman bagi para siswa yang
melanggar tetapi tidak diikuti kedisiplinan pendidik , bagaikan halilintar di waktu
mareng , banyak yang menyepelekan.
[27] Mulyasa, Sanksi
Pelanggaran Kode Etik
(Jakarta: Rajawali
Press, 2007),hlm
46, menjelaskan, bahwa sanksi pelanggaran kode etik tersebut adalah sebagai
berikur :1.Sanksi moral, berupa celaan dari rekan-rekannya. Karena pada umumnya
kode etik merupakan landasan moral, pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan.
2.Sanksi dikeluarkan dari organisasi, merupakan sangsi yang dianggap terberatKode
etik keprofesian memiliki kedudukan, peran dan fungsi yang sangat penting dan
strategis dalam menopang keberadaan dan kelangsungan hidup suatu profesi di
mata masyarakat, dan bagi para pengemban tugas profesi akan menjadi pedoman
dalam bertindak serta acuan dasar dalam segala bentuk keprilakuannya dalam
rangka memelihara dan menjunjung tinggi martabat dan wibawa serta kredibilitas
visi,misi dan fungsi bidang profesinya.
[29]Kahlil Gibran, On Children. (Jakarta: Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI),
Indonesian Heritage Trust, 2011), hlm 89.
Your children are not your children.
They are the sons and daughters of Life's longing for itself.
They come through you but not from you,
And though they are with you yet they belong not to you.
They are the sons and daughters of Life's longing for itself.
They come through you but not from you,
And though they are with you yet they belong not to you.
You may give them your love but not your thoughts,
For they have their own thoughts.
You may house their bodies but not their souls,
For their souls dwell in the house of tomorrow,
which you cannot visit, not even in your dreams.
You may strive to be like them,
but seek not to make them like you.
For life goes not backward nor tarries with yesterday.
For they have their own thoughts.
You may house their bodies but not their souls,
For their souls dwell in the house of tomorrow,
which you cannot visit, not even in your dreams.
You may strive to be like them,
but seek not to make them like you.
For life goes not backward nor tarries with yesterday.
No comments:
Post a Comment