GHAZWUL FIKRI PADA
KONSEP PERLINDUNGAN
ANAK DUNIA (Bagian
ke-2)
HUKUM-HUKUMAN DALAM DUNIA PENDIDIKAN
Oleh Dr.H.M.Rakib Jamari, Drs.S.H.,M.Ag
Perbedaan
Konsep
1.
Perbandingan
Paradigma Yang Dianut Keduanya
Kesalahan
terjadi pada konsep dan falsafah yang dianut oleh Hukum Perlindungan Anak di dunia
Barat ialah paradigma[1] HAM (Hak Asasi Manusia) yang
bersifat liberal sekular,[2] tidak terkait dengan religius
spiritual. Sedangkan paradigma Hukum Islam ialah semua aturan telah ditetapkan
Allah dan terkait langsung dengan religius spritual. Kemudian siapa yang
melaksanakannya sama dengan melaksanakan ibadah.[3]
Dalam kaitannya dengan perbedaan
tentang perlindungan anak terhadap kekerasan, menurut Hukum Islam, tidak semua tindak kekerasan diartikan
melanggar hukum. Tidak semua hal yang
menimbulkan ketakutan itu terlarang. Lebih-lebih lagi jika diiringi dengan kebaikan dan dapat menampilkan rasa adil. Dalam pandangan Islam, ada kewajiban bagi umatnya agar
memelihara simbol-simbol kesucian agama.[4]
Berikut analisis pandangan ulama fiqh
tentang kekerasan dan dan perbedaan antara Hukum Islam dan Hukum
Perlindungan Anak dalam bentuk tabel :
Tabel
1
Perbedaan Antara Hukum Perlindungan Anak Indonesia Dan Hukum Islam
Tentang Hukuman Fisik Kepada Anak
No
|
Hukum
Perlindungan Anak
|
Hukum Islam
|
1
|
Berdasarkan
HAM dan konvensi PBB tentang hak-hak anak.
|
Berdasarkan
Al-Quran dan Hadits
|
2
|
Keterangannya
bersifat umum
|
Keterangannya bersifat
khusus
|
3
|
Untuk bangsa
Indonesia
|
Untuk seluruh umat
Islam seluruh dunia
|
4
|
Melarang hukuman
fisik, tanpa batas
|
Membolehkan
hukuman fisik, dengan batas-batas tertentu.
|
5
|
Bersifat liberal sekular
|
Bersifat relegius
|
6
|
Memuat sanksi
hukuman penjara dan denda bagi yang melanggarnya.
|
Memuat sanksi
hukuman qishas dan ta’zir bagi yang
melanggarnya. [5]
|
Tabel ini merupakan
hasil telaah penulis dari berbagai sumber,
khususnya pada baris nomor 5 dalam tabel
ini, membandingkan tentang dasar atau landasan dari UU Nomor 23 Tahun 2002
adalah Hak Asasi Manusia (HAM) dan
Konvensi PBB tentang hak-hak anak, yang sudah diratifikasi oleh Indonesia.
Sedangkan Hukum Islam, dasarnya adalah
al-Qur`an dan Hadits. Dasar dan
landasannya berbeda, tapi tujuannya sama, yaitu memberikan perlindungan kepada anak.
Dalam Hukum Islam, anak sampai umur tujuh tahun,
dibimbing bagaimana melakukan salat. Mereka biasanya lebih
dipengaruhi oleh kebiasaan orang tuanya. Setelah mulai sekolah, ia akan dibina
oleh guru dan dipengaruhi oleh lingkungan dan teman-temannya di sekolah. Kalau
pembinaan gurunya baik dan pengaruh teman-temannya pun baik, maka jiwa anak akan baik pula. Sebaliknya kalau
pembinaannya dan pengaruh teman-temannya buruk, si anak terbentuk dalam pola yang buruk pula.[6]
Untuk memelihara agama (Hifzuddin), memang diperlukan kekuatan yang menggentarkan, karena sewaktu-waktu
akan diperlukan, dalam pengertian kekuatan wibawa, kekuatan fisik, untuk
'menggentarkan',
para pelanggar hukum, demi
tersebarnya kedamaian.
Kekuatan fisik sebuah keharusan,
tentunya dengan cara-cara yang konstruktif. Sebaliknya, tindakan yang menimbulkan ketakutan dengan menggunakan
cara-cara destruktif; merusak, mengancam jiwa manusia, mengganggu, tentulah harus ditolak dalam pandangan
Islam.[7]
2. Perbedaan Dalam Mengartikan Tindak Kekerasan
Memang
Al-Qur'an dengan tegas
menyebut beberapa tindakan kekerasan yang mengarah kepada hal yang melampaui
batas, atau menghukum
dengan balasan tidak
setimpal, yang dikenal dengan kata Al-Baghy. Kata al-baghy,
terdapat pada Qur’an
Surat(QS) al-Nahl [16]: 90.
…وَيَنْهَى
عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ…
… Dia melarang melakukan perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran.[8]
Dalam kaitannya dengan menghukum anak, secaara umum ayat ini,
al-Qur'an melarang melakukan tindakan yang melampaui batas, sebab
menurut al-Ashfahani, al-baghy
berarti melampaui batas kewajaran.[9] Kemudian dalam arti
yang sama, kata tughyan,
terdapat dalam Qur’an Surat (QS). Hud [11]: 112.
“…Janganlah kamu
melampaui batas. Sesungguhnya Dia Mahamelihat apa yang kamu kerjakan."
Sesuatu
yang melampaui batas,[11] misalnya guru yang menghukum muridnya memlampaui batas, disebut
zalim yang dikategorikan dengan thaghut. Sikap ini sangat dikecam oleh
al-Qur'an seperti pada QS. al-Naba' [78]: 22 yang menjanjikan balasan keras
berupa neraka jahannam bagi yang melampaui batas (thaghin). Pakar tafsir
asal Tunisia, Ibnu 'Asyur, menjelaskan, ungkapan tathghaw pada QS. Hud [11]: 112 mencakup larangan untuk melakukan segala
bentuk kerusakan (ushul al-mafdsid). Dengan demikian, ayat tersebut
menghimpun upaya mencapai kemaslahatan melalui sikap konsisten pada
prinsip-prinsip agama, dan menghindari berbagai kerusakan .[12] Kekerasan (Al-Zhulm)[13] berupa tindakan orangtua
atau yang berlebihan menyimpang dari kebenaran. Al-zhulm dapat terjadi pada hubungan manusia dengan Tuhannya,
yaitu kzaliman dalam bentuk syirik.
Dalam kaitan ayat ini dengan
perlakuan zalim terhadap anak ialah adanya ancaman bagi orangtua dan para, agar
menghukum anak tidak berlebihan, sehingga dikategorikan sebagai kezaliman,
melakukan siksaan, tentu saja menistakan(lihat: QS. al-Furqan [25]: 19; QS. al-Syu'ara'
[26]: 227; QS. al-Zukhruf [43]:65). Dalam sebuah Hadits qudsi, Allah dengan
tegas melarang kezaliman. Allah berfirman, "Wahai hamba-hamba-Ku, Aku
telah mengharamkan kezaliman untuk diri-Ku, dan Aku tetapkan kezaliman bagi
kalian sebagai sesuatu yang haram/terlarang dilakukan, maka janganlah kalian
saling menzalimi."[14]
Apabila tidak memungkinkan, menggunakan kata-kata yang baik, dapat digunakan ucapan yang mengandung hardikan, juga
ancaman sesuai dengan kesalahan dan dosa
yang dilakukan oleh anak-anak. Apabila hal itu tidak dapat dilakukan dan tidak memberi
manfaat serta efek jera, saat itulah
dibutuhkan pukulan (kekerasan yang mendidik).[15]Adapun
contoh-contoh Kekerasan
Pada Hukuman Fisik :
a. Memukul
Memukul anak, tidak boleh dalam UU 23,
sedangkan dalam Hukum Islam dibolehkan, sebagaimana dalam Mazhab Hanafi yang menganjurkan menghukum anak, dengan menggunakan alat berupa
lidi, atau dengan alat yang tidak sampai
melukai.[16]
Apabila akibat pemukulan tersebut luka-luka, maka menurut Mazhab Hanafi dan
Syafi’i harus diqishas, karena yang
bersangkutan mengabaikan syarat pemukulan yaitu harus menjaga keselamatan yang
dipukul, kendati sebagai usaha memperbaiki sikapnya, tetapi akan lebih baik
apabila tidak memukulnya. Menghindari pemukulan terhadap anak adalah tindakan
yang terbaik.[17]
Sebagian ulama’ menafsirkan tentang
pemukulan terhadap anak, sebagai berikut:
1) Tidak boleh diarahkan ke wajah.
2) Tidak boleh sampai melukai, dianjurkan dengan benda
yang paling ringan seperti sapu tangan.
3) Dilakukan dalam rangka mendidik.
4) Dilakukan dalam rangka memberikan efek manfaat.[18]
b. Berdiri Di Depan Kelas
Murid berdiri di depan kelas, sebagai
hukuaman kepadanya, sedangkan di dalam UU 23 juga dilarang. Di dalam Hukum
Islam dibolehkan. Dalam praktekkya, hukuman fisik, berupa berdiri di depan kelas yang merupakan bagian dari ta’zir, masih dipakai di sebahagian pesantren dan
madrasah di Indonesia, sampai saat ini.[19] Di dalam fiqih klasik, ditemukan
istilah ta’zir, tapi
tidak dianggap sebagai suatu kekerasan apapun pada lembaga pendidikan Islam
yang berkembang pada saat itu. Pada masa hidup Rasulullah dan para sahabat beliau, sampai kepada zaman Khalifah Harun al-Rasyid, pelaksaan ta’zir tetap dikenal.
Pada Masa
Kejayaan Islam bentuk lembaga pendidikan Islam adalah kuttâb,
tidak
ditemukan adanya catatan tentang cara guru menghukum muridnya, baik pada pendidikan rendah di istana, halâqah,
masjid, majelis, rumah sakit dan rumah-rumah ulama’, dan perpustakaan. Istilah ta’zir masih tetap ada, sekalipun di lembagapendidikan Islam di masa al-Makmun, kuttâb, di istana, halâqah, masjid, majlis, rumah sakit, juga di observatorium, khan, ribâth,
toko buku dan perpustakaan.[20]
c. Membersihkan Lingkungan
Hukuman berupa membersihkan
lingkungan, dilarang juga oleh UU 23, karena berkitan dengan fisik, namun kegiatan
ini sesuai dengan tujuan pendidikan, selagi tidak merusak hubungan guru dan murid, bahkan di menurut Hukum Islam, sesuai pula
dengan tujuan
ta’zir. Tidak mengganggu pola hubungan guru dan murid, karena termasuk pada prinsip demokratis, karena telah dibuat kesepakatan sebelumnya.
Setelah penulis analisis konsep Hukum Islam dan UU RI Nomor 23/2002,
seakan-akan terjadi pertentangan secara tekstual. Sedangkan secara kontekstual, tampaknya tidak ada pertentangan, karena hukuman fisik
terhadap anak dalam Islam, tidak mengandung kekerasan, dan digunakan sebagai
alternatif terakhir, sekaligus sebagai antisipasi kerusakan (dar’al-mafâsid).[21]
Dar’al-mafâsid, artinya mencegah kerusakan yang lebih besar. Tidak semua hukuman
fisik mengadung kekerasan. Maksudnya memberikan hukuman fisik ringan kepada
anak, untuk mencegah kejahatan yang mungkin akan dilakukannya, akan tetapi
jangan sampai menghasilkan manusia yang suka dengan tindak kekerasan di kemudian
hari. Kalau itu terjadi, berarti pendidikan akan melakukan kesalahan besar. Di
tengah budaya masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi disiplin, hukuman
fisik dianggap suatu yang sangat wajar dan masih banyak orang tua dan pendidik
yang memberikan hukuman fisik. Suatu data menyebutkan sepanjang kwartal pertama
2007 terdapat 226 kasus kekerasan terhadap anak,[22] di
sekolah. Adapun rinciannya, kekerasan fisik 89 kasus,
kekerasan seksual 118 kasus, dan kekerasan psikis 210 kasus. Dari jumlah itu
226 kasus terjadi di sekolah.[23]
d. Hukuman Cambuk
Hukuman
cambuk juga dilarang oleh UU 23(UU Nomor 35 Tahun 2014), bahkan dilarang juga
oleh HAM, namun dalam Islam dibolehkan karena bagian dari ta’zir juga. Dicambuk
dan atau dibotakkan kepala anak yang bersalah, merupakan ciri khas hukuman di
pesantren. Biasanya pemberlakuan hukuman tersebut tidak dilakukan secara
sepihak oleh pengurus pesantren. Setiap santri yang melanggar peraturan
akan “ditawarkan” untuk
menjalani hukuman cambuk atau dikeluarkan dari pondok. Ketua Asosiasi Pondok, Gus Reza, menyatakan secara keseluruhan mereka telah memilih hukuman cambuk
karena masih ingin belajar agama di pondok itu. Hal itu juga atas persetujuan
orangtua santri yang diketahui pada saat pendaftaran.[24] Sanksi di pesantren ini, berupa diikat atau dicambuk. Hukuman
cambuk kepada santri di Pondok Pesantren Urwatul
Wutsqo, Desa Bulurejo, Kecamatan Diwek, Jombang, 100 persen kewenangan
pondok, karena itu, masyarakat tidak
bisa menilai hal itu secara hitam putih tanpa memahami makna penghukuman
tersebut, karena sudah sesuai dengan prinsip kemaslahatan.[25]
Ketua Asosiasi Pondok Pesantren, Gus Reza menyatakan Ponpes Urwatul Wutsqo menjelaskan tentang video hukuman cambuk melalui media sosial. Di pondok, meminta keterangan pengurus pondok, santri yang pernah menjalani hukuman cambuk, dan wali santri, tentang maksud penerapan hukuman cambuk secara menyeluruh,” dimuat di dalam Tempo, Rabu, 10 Desember 2014,bahwa pemberlakuan hukuman tersebut tidak dilakukan secara sepihak oleh pengurus pondok. Setiap santri yang melanggar peraturan akan ditawarkan untuk menjalani hukuman cambuk atau dikeluarkan dari pondok[26]
Menurut penulis, apapun jenis hukuman fisik di pesantren, harus
mendapatkan legalitasnya dari pemerintah dan disosialisasikan kepada wali murid. Kemudian harus dimaklumi oleh para pejabat negara dan
anggota masyarakat, agar tidak menimbulkan fitnah di belakang hari.
3.
Perbandingan Sanksi
Di Dalam Hukum Perlindungan Anak dan Hukum Islam
a. Larangan Memukul Bagi Guru
Pada prinsipnya dalam UU 23 (UU Nomor
35 Tahun 2014), guru tidak boleh memukul murid, apapun alasannya, akan tetapi menurut analisis penulis, sebenarnya dalam prakteknya masih
ada toleransi, dalam bentuk pukulan
ringan, buktinya jika murid melapor ke
polisi, kan ditanyakan mana bekasnya. Pukulan ringan, tidak akan berbekas. Analisis
psikologisnya, kalau anak tidak pernah
merasakan hukuman atau tidak pernah dihukum, akan menjadi liar,[27]
atau anak akan menjadi orang yang manja, cengeng.
UU Perlindungan Anak dapat membuat anak tidak menemukan kesalahan
dirinya. Dia merasa dirinya benar. Buktinya, dia dibela dan sang guru dihukum.
Karena itu, konsep benar-salah menjadi hilang dengan adanya UU Perlindungan
Anak,[28] padahal fungsi hukuman adalah menyadarkan murid bahwa dirinya salah. Kalau
anak sudah
menyadarinya, tentulah tidak
boleh menghukumnya, guru
hanya memotivasi
agar selanjutnya berhati-hati karena semua orang pasti bisa berbuat salah. Jika anak sering salah pada masalah yang sama, boleh dihukum, tetapi juga dikomunikasikan dengan bijaksana. Ketika
anak sudah diberitahu berkali-kali, sebagai jalan terakhirnya, dilakukan
hukuman, sebagai konskwensi
kesalahannya.
Di dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002, Pasal 54,
bahwa, anak di dalam dan di lingkungan
sekolah, wajib dilindungi dari tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di
dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya”. Redaksi Pasal 54 ini, seakan akan bertentangan
dengan Hukum Islam yang membolehkan hukuman fisik terbatas, untuk melindungi
dan menjunjung tinggi kesucian kehidupan
anak. Hal ini diterangkan oleh sejumlah
ayat dan
hadits, sebagai landasan hukum kehidupan yang
harus dipelihara, kecuali dengan alasan
yang benar, misalnya pembelaaan diri.
Di saat melakukan pendidikan terhadap anak,
kedua orang tua yang ditanamkan
kepada anak selama masa tujuh tahun itu lambat laun terkikis. Sedang pembinaan dari
orang tua belum tentu berlanjut atau setidak-tidaknya tidak ada peningkatan.
Orang tua merasa anaknya sudah disekolahkan pasti telah dibina oleh gurunya di
sekolah, padahal guru-guru belum tentu membina dengan baik. Ada guru membekali
otak anak dengan
ilmu teori dan itupun sifatnya menjurus
kepada materi keduniaan. Sedikit sekali yang menyangkut pembinaan rohani,
akhlaq, jiwa, hati, keimanan, keikhlasan atau akhlaq secara keseluruhan.
Sehingga aspek ukhrawi justru
terabaikan. Kemaslahatan manusia dapat
terwujud apabila terjamin kebutuhan pokok (dharûriyah/necessary interests)
yang meliputi hifzh ‘ala al-dîn, al-nafs, al-nasl, al’aql wa al-mâl,
kebutuhan sekunder (hâjjiyah/ supporting needs) maupun
kebutuhan pelengkapnya (tahsîniyyah/complementary interests).[29]
b. Sanksi Bagi Orangtua Memeberikan Hukuman
fisik
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 melarang orangtua melampiaskan kemarahanya dengan
kebiasaan menghukum, baik secara fisik, maupun
secara fisikis, jika hal itu dilakukan, bukan merupakan persoalan sederhana,
tetapi memiliki dimensi psikologis yang kompleks, baik
secara fisik maupun psikis bagi anak didik maupun psikososial bagi lingkungannya. Analisis ahli fikih
dalam kaitannya dengan ta’zir,
berorientasi
pada akhlak dan etika sosial hukumnya,
tidak sekedar halal atau haram, boleh dan tidak boleh, tetapi memberikan
jawaban berupa solusi hukum terhadap persoalan sosial yang dihadapi anak. Fikih
sosial bertolak dari pandangan bahwa mengatasi masalah sosial yang kompleks
dipandang sebagai perhatian utama syari’at Islam.[30]
Dalam konteks menetapkan kepastian
hukum mengenai tingginya angka kekerasan terhadap anak, yang tidak aman di rumah atau di sekolah dan
merupakan kondisi yang membahayakan. Hal
ini dapat dianalisis dengan menggunakan beberapa kaidah fikih, antara lain: Pertama, bahaya itu harus dihilangkan الضَـــرَرُ يُـــزَالُ .
Kedua, bahaya yang lebih
berat, dapat dihilangkan dengan memilih bahaya yang lebih ringan اِذَا
تَعَارَضَ مَفْسَـــدَتَانِ رُوْعِيَ اَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَــــابِ
اَخَفِّهَا “Jika
dihadapkan pada dua kondisi yang sama-sama membahayakan, maka pilihlah bahaya
yang lebih kecil risikonya. Ketiga,
keterpaksaan dapat memperbolehkan untuk melakukan hal-hal yang dilarang (al-dlaruraatu
tubiihul mahdzuraat).[31]
Keempat, perubahan hukum Islam
dapat dilakukan, dengan adanya perubahan zaman, perubahan
tempat, perubahan kondisi, perubahan niat dan kultur atau adat (taghayyur
al-ahkam bitaghayyur al-azminah wal-amkinah wal-ahwal wan-niyaat wal-‘awaaid).[32]
c.
Larangan Memberikan
Ancaman
Hukuman
juga bisa berupa ancaman, cara
kekerasan seperti ini, dahulunya bisa
menjadi sarana paling efektif. Tingkat penyadarannya lebih kuat dibandingkan hanya menegur dan menasehati. Tempeleng (dan itu
hanya sekali) bisa merupakan bentuk shock therapy.[33] Tapi sekarang para guru lain tidak berani bertindak tegas kepada
siswa dan para siswa berbuat seenaknya saja. Anak-anak tumbuh “liar” dan para
guru tak berani menegur. Yang terjadi adalah proses pembiaran. Ketika guru mau
bertindak tegas, anak dapat mengancam dengan UU Perlindungan Anak. Anak akan
dengan mudah mengejek gurunya bahkan menghina gurunya, sedangkan guru, tidak
bisa berbuat apa-apa karena takut dengan UU Perlindungan Anak.
Ada argumentasi klasik di
kalangan ulama bahwa dibandingkan pengancaman, pencegahan atau mendahulukan prevensi (syaddu
al-dzari’ah) lebih baik. Dalam hal
tawuran, melarang dan mencegah sejak awal, dianggap lebih aman, karena ada kehawatiran
kalau perkelahian
pelajar, atau merokok dibolehkan akan dijadikan sebagai peluang bagi
pelakunya, ke arah narkoba. Bila merokok
dibolehkan sama dengan memberikan kesempatan untuk melakukan pesta narkoba bebas. Pertanyaannya adalah bagaimana fikih menjawab
realitas yang sudah terjadi berupa tingginya angka pencandu rokok dan narkoba. Tidak aman, jelas-jelas
mengancam kematian, apakah pembiaran masih
relevan menjawab dengan argumentasi preventif. Pandangan tersebut nampak sangat
tekstual karena hanya berorientasi pada teks tanpa melihat realitas sosial.
Ada satu kondisi lain yang mengancam
anak, yang
perlu dijembatani supaya kenakalan anak, tidak terus berlangsung. Di
sinilah letak kesenjangannya antara teks UU 23 tahun 2002 dan kenyataan di lapangan. Orangtua murid dapat
mengancam dengan menggunakan UU Perlindungan Anak. Dalam prakteknya anak akan dengan mudah mengejek gurunya
bahkan menghina guru, tapi guru, tidak
bisa berbuat apa-apa karena takut dengan UU Perlindungan Anak. Itulah sebabnya sebagian
pakar pendidikan menganggap hukuman untuk anak masih diperlukan dan masih bisa
diandalkan,[34] walaupun terjadi pro-kontra.
Tabel
2
Pro Kontra Hukuman Fisik Terhadap Anak
No
|
Pro
|
Kontra
|
Konvergensi
/Gabungan.[35]
|
1
|
Sebahagian
psikolog
|
Sebagian filosuf
|
Al-Qur’an
|
2
|
Tokoh-tokoh Militer
|
Injil
|
Taurat
|
Posisi Islam,[36] pada konsep komvergensi atau gabungan,
mengabungkan antara yang pro, [37] dan yang kontra,
tapi tidak sekedar gabungan, bahkan
bersikap moderat (wasathan) berkaitan dengan fitrah manusia. Aristoteles yang pro dengan hukuman fisik, mengatakan, "Rasa takut akan
hukuman itu lebih efektif untuk membina manusia, dari
ajakan-ajakan untuk berbuat baik. Hal ini diakui oleh orang yang
mengutamakan nalarnya. Pembuat peraturan
untuk mendisiplinkan anak, berkewajiban mengajak kepada tingkah laku yang nyata, dan memberikan hukuman kepada anak didik yang
melanggar
disiplin."Powelson
mengatakan, "Tanpa rasa takut alias rasa hormat atas wacana hukuman maka
pendidikan tidak akan berjalan efektif."Karena pendidikan adalah pembiasaan dan
pemaksaan adalah termasuk salah satu cara di dalamnya.[38]
Menurut analisis ulama, bahwa anak bukan subjek hukum, khususnya menurut ulama ushul fiqh bahwa anak-anak statusnya belum bisa menjadi
subjek hukum. Bukan mahkum alaihi, yang perbuatannya dikenai khitab Allah SWT, bukan mukallaf. Secara etimologi, mukallaf berarti
yang dibebani hukum. Istilah mukallaf disebut juga dengan mahkum
alaih (subjek hukum). Orang mukallaf, mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan
perintah maupun dengan larangan. Apabila
mengerjakan perintah, ia mendapat imbalan pahala dan kewajibannya terpenuhi,
apabila mengerjakan larangan Allah SWT.,
ia mendapat ganjaran pula.
Anak-anak belum dikenai taklif (pembebanan hukum) karena
belum cakap untuk bertindak hukum. Untuk
itu, para ulama ushul fiqih, mengemukakan bahwa dasar pembebanan hukum adalah
akal dan pemahaman. Seseorang dapat
dibebani hukum apabila dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan
kepadanya. Dengan demikian, orang yang tidak atau belum berakal, yaitu orang
gila dan anak kecil tidak dikenakan taklif. Tidak dapat memahami syara’. Begitu pula orang yang tidur, mabuk, dan lupa. Orang yang mabuk,
tidak sadar, hilang akal. Sabda Rasulullah SAW. :
رفع القلم عن ثلاث: عن النائم حتي يستيقظ و عن الصبي حتي يحتلم وعن المجنون حتي يفيق )رواه البخاري وأبوداوود والترمذي والنسائ وابن ماجة والدارقطني)”
Artinya,
Diangkatkan pembebanan hukum dari tiga (jenis orang), orang tidur sampai bangun, anak kecil sampai baligh, gila sampai sembuh.[39]
Dalam
hadits lain dikatakan :
رُفِعَ
الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّبِيِّ
حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
Artinya, Umatku
tidak dibebani hukum apabila mereka terlupa, tersalah, dan dalam keadaan
terpaksa. [40]
Ada
dua syarat sahnya memberi beban kepada mukallaf, yaitu berikut ini :
a. Mukallaf dapat memahami dalil
taklif, yaitu mampu memahami nash
yang dibebankan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah secara langsung atau melalui
perantaraan. Orang yang tidak mampu memahami dalil taklif tidak dapat tumpuan
yang dibebankan kepadanya dan tujuannya tidak dapat mengarah kesana. Kemampuan
memahami dalil itu hanya dapat nyata dengan akal sehingga dengan akal tersebut
adanya nash-nash yang dibebankan dapat diterima pemahamannya karena akal merupakan
alat memahami dan menjangkau. Dengan akal tertujulah keinginan untuk mengikuti.
Ketika akal itu adalah hal yang sembunyi yang tidak dapat dijangkau oleh indera
lahir, maka syar’i telah menghubungkan beban taklif dengan hal nyata yang dapat
dijangkau oleh indera, yang menjadi tempat dugaan akal, yaitu sifat kedewasaan.
Dengan demikian barang siapa telah sampai pada keadaan dewasa dan tak tampak
padanya sifat-sifat yang merusak kekuatan akalnya, ia telah sempurna untuk
diberi beban.
Kewajiban zakat, nafkah, jaminan
(dhamman) terhadap anak dan orang
gila, bukan berarti memberi beban kepadanya, tetapi memberikan beban kepada
walinya agar melaksanakan kewajiban harta yang menjadi milik anak-anak dan
orang gila itu, antara lain, membayar pajak tanah dan irigasi dari harta
miliknya. Dalam kaitan itu, dinyatakan oleh firman
Allah pada Surat
an-Nisâ’ayat 43 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ
وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ ّ
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk,[41]
sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan...”
Awaridl Muktasabah (halangan yang dibuat sendiri)
adalah mabuk. Mabuk ialah hilangnya akal karena khamar atau yang menyerupainya
hingga kacau omongan dan mengigau. Kata
mabuk, tentu luas artinya, yaitu segala
sesuatu segala kekacauan fikiran atau fikiran yang
tidak bulat, hati yang bercabang kepada yang lain atau fikiran
yang sedang susah terbawa ke dalam salat.[42]
Mabuk menurut penyebabnya terbagi atas dua macam :
Pertama
yang penyebabnya tidak diharamkan seperti mabuknya
orang yang terpaksa minum khamar dan mabuk yang timbul dari obat-obatan. Ini
hukumnya sama dengan pingsan, tidak sah tindakannya, thalaqnya dan pembebasan
budaknya. Kedua yang jalannya diharamkan dan ini tidak membatalkan taklif
sehingga berlakulah hukum-hukum bagi pemabuk dan ucapan-ucapannya seperti
thalaq, pembebasan budak, jual beli, pengakuan, mengawinkan anak kecil, kawin,
menghutangi dan minta dihutangi. Hal itu karena akalnya sempurna, hanya saja ia
kehilangan pemahaman khitob oleh maksiat, maka tetaplah taklifnya dalam hak
dosa dan kewajiban mengqodlo bagi
ibadah yang diqadla secara syara’. Muhamad ’Atthiyyah Al-Abrasyi,
mengemukakan bahwa ada 3 hal yang harus diperhatikan dalam memberikan hukuman
fisik terhadap anak, yaitu :
1) Sebelum berumur 10 tahun, anak tidak
boleh dipukul.
2)
Pukulan tidak lebih dari tiga kali. Yang dimaksud
dengan pukulan disini ialah dengan menggunakan lidi atau tongkat kecil bukan
dengan tongkat besar dan tidak sampai menyakiti dan menimbulkan cedera.
3)
Diberikan kesempatan besar kepada anak-anak untuk
tobat dari apa yang ia lakukan dan memperbaiki kesalahannya tanpa perlu
menggunakan pukulan atau merusak nama baiknya.[43]
Penulis membandingkan dan
mengaitkan dengan teori hukuman yang sudah dikenal dunia Barat, berdasarkan sudut pandang hukuman yang mendidik, timbullah beberapa teori tentang hukuman.
4. Analisis Teori-Teori
Hukuman Terhadap Anak
a. Teori
Hukum Alam
Menurut
Umar
Muhammad Al-Taumy Al-Syaibany
bahwa “hukum alam
bukan saja mencakup segala makhluk,
tetapi juga merangkum sistem, peraturan atau undang-undang alam yang
semua bagian alam tunduk kepada dasar-dasarnya dan sesuatu itu terjadi atau
berlaku mengikuti ketentuan persyaratan di sekelilingnya,[44]
sependapat dengan penganjur pendidikan
alam, yaitu J.J. Rousseau, yang tidak menghendaki hukuman yang dibuat-buat. Biarkan alam
sendiri yang menghukumnya. Yang dimaksud di sini ialah, bahwa hukuman itu
hendaknya merupakan akibat yang sewajarnya dari suatu perbuatan, hukuman harus
merupakan sesuatu yang natuur menurut hukum-hukum alam, akibat logis yang tidak
dibuat-buat. Anak yang senang memanjat pohon, adalah wajar dan logis apabila
suatu ketika ia jatuh. Jatuh ini adalah merupakan suatu hukuman alam sebagai akibat dari perbuatanya dari
senang memanjat pohon . [45]
b. Teori Bakat Alam
Aliran nativisme berpendapat
bahwa hukuman fisik terhadap anak, tidak berguna. Semua pembawaan anak adalah baik. Ia
membiarkan anak berkembang sendiri dan menyerahkannya kepada alam. Kalau anak
berbuat salah, biarlah alam yang menghukumnya, anak akan menderita sebagai
akibatnya. Hukuman semacam ini dinamai hukum alam. Contoh dari hukuman alam
adalah anak bermain dengan air panas dan berakibat tersiram kakinya. Anak
dibiarkan merasakan kakinya sakit, hukuman lain tidak ada. Dari hukuman alam,
anak akan menerima pendidikan dan berusaha tidak menjalankan permainan berbahaya lagi. Ia berusaha mengelak. Menurut penulis, hukuman alam saja,
tidak cukup. Masih diperlukan hukuman yang lain.
c. Teori Ganti Rugi
Dalam
hal ini, anak diminta untuk bertanggung jawab atau menanggung risiko dari
perbuatannya, misalnya anak yang mengotorkan atau merobekkan buku milik
kawannya, maka harus menggantinya. Anak yang berkejar-kejaran di kelas,
kemudian memecahkan jendela, maka ia harus mengganti kaca jendela itu dengan
kaca yang baru. Teori ganti rugi,[46]
di mana anak harus mengganti kerugian akibat perbuatannya yang salah, misalnya
anak memecahkan kaca jendela tetangga, maka ia harus mengganti dengan uang
tabungannya.
d. Teori Menakut-nakuti.
Hukuman yang diberikan untuk menakut-nakuti anak agar anak
tidak melakukan pelanggaran atau perbuatan yang dilarang, dalam hal ini nilai
didik itu telah ada, hanya saja perlu diperhatikan bahwa hal ini harus dijaga
jangan sampai anak itu tidak berbuat kesalahan lagi hanya karena rasa takut
saja, melainkan tidak berbuat kesalahan lagi karena adanya kesadaran, sebab
apabila tidak berbuat kesalahan itu karena hanya takut, takut kepada bapak atau
ibu guru. Jika tidak ada bapak atau ibu guru,
kemungkinan besar ia akan mengulang kembali perbuatannya.[47] Ia akan mengulangi perbuatannya
secara sembunyi-sembunyi. Jika terjadi demikian, dapat dikatakan bahwa nilai
didik dari hukuman tersebut sangat minim sekali.[48]
Teori menakutnakuti ialah memberi hukuman supaya menimbulkan rasa takut pada
anak, sehingga mencegah dirinya berbuat salah.[49]
Teori ini bertujuan menimbulkan
rasa takut kepada orang lain. Biasanya hukuman dilaksanakan di muka umum.
Pelanggaran kedua kalinya dihukum lebih berat, sebab perulangan pelanggaran
berarti jeranya pelanggar. Begitulah hukuman makin lama makin berat, agar orang
lain menjadi lebih takut. Fungsi hukuman dengan teori hukuman menakuti ini terhadap
orang lain juga preventif.
e. Teori Balas Dendam
Macam-macam
hukuman yang paling jelek, yang paling jahat dan paling tidak
dipertanggungjawabkan dalam dunia pendidikan ialah hukuman yang didasarkan kepada rasa sentimen.
Sentimen ini dapat ditimbulkan oleh kekecewaan-kekecewaan (frustasi) yang
dialami oleh guru, baik mengenai hubungannya dengan orang-orang lain, maupun
hubungannya dengan para siswa secara langsung. Misalnya, karena seorang guru
merasa dikecewakan dalam hal cinta,
melempiaskan kekecewaannya itu kepada para siswanya. Bagi guru
muda, mungkin merasa bahwa seorang siswa
telah dianggap sebagai saingan atau penghalang dari maksud-maksudnya, berusaha
mencari kesempatan menghukumnya.[50]
f. Teori Memperbaiki
Satu-satunya
hukuman yang dapat diterima oleh dunia pendidikan ialah hukuman yang bersifat
memperbaiki, hukuman yang bisa menyadarkan anak kepada keinsafan atas kesalahan
yang telah diperbuatnya. Dan dengan adanya keinsafan ini, anak akan berjanji di
dalam hatinya sendiri tidak akan mengulangi kesalahannya kembali. Hukuman yang
demikian inilah yang dikehendaki oleh dunia pendidikan. Hukuman yang bersifat
memperbaiki ini disebut juga hukuman yang bernilai didik atau hukuman
pedagogis.[51]
Teori inilah yang harus kita gunakan sebagai pendidik, maksudnya untuk
memperbaiki perbuatan anak yang buruk/salah.[52]
Teori ini bertujuan untuk memperbaiki.
Sesuatu yang perlu diperbaiki ialah
hubungan antara pemegang kekuasaan dan pelanggar dan sikap serta
perbuatan pelang
gar.
Hubungan antara penguasa dengan umum yang tadinya telah menjadi rusak dengan
terjadinya pelanggaran oleh orang yang bersikap dan berbuat salah itu perlu
dibetulkan lagi. Rusaknya hubungan itu mengakibatkan hilangnya kepercayaan
penguasa terhadap pelanggar. Fungsi hukuman dengan teori membetulkan ini
korektif dan edukatif.
Di dalam dunia pendidikan,[53]
pendidik tidak menganut teori hukuman lain dari pada teori hukuman pembetulan.
Hal ini sesuai dengan tugas pendidik, yaitu membimbing anak didik agar berbuat
dan bersikap luhur. Tidak pada tempatnya pendidik menakut-nakuti dan membalas
dendam anak didiknya. Anak didik yang takut pada pendidiknya menutup diri
baginya dan tidak bersedia menerima petunjuk. Pendidik yang membalas dendam
anak didiknya menganggap anak didiknya sebagai musuh, bukan sebagai anak
asuhannya.[54]
g. Teori Melindungi
Teori
melindungi, anak dihukum untuk melindungi lingkungan,[55] atau masyarakat terhadap
perbuatan-perbuatan salah yang merusak/ merugikan lingkungan tersebut.[56]
h. Teori Menjerakan
Teori
ini bertujuan agar pelanggar sesudah menjalankan hukumannya akan jera dan tidak
akan menjalankan pelanggaran lagi. Fungsi hukuman tersebut adalah preventif,
yaitu mencegah terulangnya pelanggaran sesudah pelanggar dikenai hukuman.
Sebagian pakar menerima hukuman sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
pendidikan, tapi tidak secara mutlak. Hukuman adalah instrumen sekunder dan
diberikan dalam kondisi serta syarat tertentu. Jadi, menurut mereka, kalau guru
atau orangtua masih bisa menangani anak didiknya dengan nasihat-nasihat atau
dengan penjelasan rasional, maka tidak perlu lagi memberikan hukuman. Hukuman
itu boleh diberikan setelah nasihat-nasihat verbal atau apa saja tidak lagi
dapat mengusik kesadarannya.
5. Hak
Dan Kewajiban Anak Dalam Islam
a. Pengertian hak
Kata hak berasal
dari bahasa Arab 'haqq' yang memiliki beberapa makna. Di antaranya, hak bermakna 'ketetapan'
atau 'kewajiban'.[57]Hal ini bisa
dipahami dari firman Allah, surah al-Anfal ayat 8 :
Agar
Allah menetapkan yang hak (Islam) dan membatalkan yang batil (syirik) walaupun orang-orang yang
berdosa (musyrik)
itu tidak menyukainya. [58]
b. Hak-Hak Anak
Di dalam suatu penefsiran dari salah satu hadits dinyatakan:
1)
diakikahkan
pada hari ketujuh dan diberi nama.
2)
dibersihkan
dari penyakit, maka .
3)
apabila dia
sudah berumur enam tahun hendaklah dididik.
4)
apabila
sudah berumur sembilan tahun hendaklah dipisahkan tempat tidurnya.
5)
apabila
sudah berumur “ tiga belas tahun”,
hendaklah dipukul apabila meninggalkan shalat dan puasa.
6)
apabila
sudah berumur 16 tahun hendaklah dinikahkan, kemudian dia memegang tangannya
seraya mengatakan: aku telah mendidik dan mengajarmu dan juga menikahkanmu, aku
berlindung dari fitnah yang kaubawa di dunia dan siksaanmu di akhirat.[59]
Anak umur 10 tahun boleh dipukul, tapi dalam hadits ini dinyatakan, apabila sudah berumur “ tiga
belas tahun”, hendaklah dipukul
apabila meninggalkan shalat dan puasa, juga segala yang mereka sia-siakan, atau
melalaikannya.[60] Kesalahan
besar orang tua, jika berpendirian bahwa anak tidak boleh mengungkapkan
pendapat! Penerapannya bisa saja keliru bahwa haram hukumnya anak tidak
melaksanakan perintah orangtuanya. Masalah keharusan beribadah berbeda dengan keharusan
menururti keinginan orang tua tentang memilih jurusan
sekolah sesuai kemampuan anak dan hanya menuruti ego orang tua agar bersekolah
sesuai keinginannya. Berbeda pula dengan tindakan
orang tua yang berlebihan, selalu mengumpat anaknya,[61] dan
selalu marah. Berbeda lagi dengan sikap orang tua yang selalu mengungkapkan
kekesalannya, agar anaknya
wajib taat.
c. Makna Menghukum Anak Yang
Melalaikan Salat
Setiap yang diperintahkan Allah dan
Rasul-Nya pasti memiliki maqashid,[62] atau hikmah dan tujuan. Dalam hal
perintah dan larangan Allah, secara umum manusia terbagi menjadi dua golongan,
yaitu orang yang cukup menerima nasihat
dengan dalil kitab dan sunnah dan orang yang membangkang. Golongan yang kedua
inilah yang perlu diterapkan hukuman padanya. Maqashid itu di antaranya bermakna manfaat, misalnya dimanfaatkan besi adalah untuk membuat senjata, untuk menegakkan qishash. Ini adalah manfaat yang sangat
nampak, sebab manusia akan takut pada pedang sehingga mereka pasrah pada agama
Allah. Maqashid atau manfaat memukul anak
karena meninggalkan salat, bertujuan untuk antara lain:
1) Memberi pelajaran kepada anak bahwa
hak Allah adalah sangat lebih besar, dibandingkan hak manusia, misalnya Ibrahi yang
mengorbankan anaknya, menjadi contoh bahwa segala sesuatu akan menjadi hina di hadapan-Nya. Tubuh yang seharusnya dipelihara dan tidak boleh (haram) disakiti, tapi demi hukum, menjadi halal dan harus merasakan
sakit lantaran meremehkan hak Penciptanya.
2) Menampakkan kepada anak bahwa orang
tua memiliki kekuasaan dalam melazimkan hukum-hukum Allah kepada mereka,
sehingga tidak ada pilihan baginya kecuali pasrah dan menyerah kepada Rabbnya.
3) Memberi pelajaran kepada anak bahwa
manusia setinggi apapun kedudukannya, status sosialnya dan nasab keturunannya,
tidak memiliki kebebasan mutlak dalam mengikuti kehendaknya yang bertentangan
dengan kehendak Allah.
6.
Analisis Terhadap
Hukuman Fisik Yang Sesuai
Dengan Syari’ah
a. Memukul anak
Penulis mencatat bahwa, ada perbedaan yang sangat
prinsipil, antara memukul biasa, dengan
memukul yang diatur oleh syari’at.[63] Memukul menurut kebiasaan sebagian
orang tua atau pendidik yang mudah emosi dan suka memukul. Suka memukul adalah
akhlaq tercela. Perhatikan nasehat Rasulullah SAW., kepada Fatimah binti Qais,
ketika mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya dilamar oleh dua orang sahabat,
salah satunya adalah Abu Jahm. Karenanya Rasulullah bersabda,”Adapun Abu Jahm, sebenarnya suka
memukul wanita (maksudnya selalu memberikan hukuman fisik, akhlaqnya tidak baik).”[64]
Nilai
filosofis dari memukul anak secara ringan, hanyalah agar anak takut, sehingga tunduk kepada perintah
Allah bukan agar anak takut, kepada bapaknya semata, sehingga makin berwibawa. Maksud
memukul adalah agar anak mengamalkan perintah Allah dengan ikhlas karena-Nya.
Sesungguhnya tidak ada manfaatnya bila seorang anak nampak taat kepada Allah di
hadapan orang tuanya sementara di balik itu ia tidak bertaqwa kepada-Nya.
b. Memukul Yang Melampaui Batas
Memukul yang melampaui batas adalah memukul dengan cambuk seperti ekor sapi untuk memukul
manusia.[65] Ada ulama fiqih yang menyatakan
bahwa yang dimaksud orang yang boleh memukul, bisa saja guru, para polisi,
satpam, mandor-mandor pada jaman sekarang ini.[66] Mereka berkeliling dengan tongkat
lalu memukuli dan menendang siapa saja, hanya karena mengatur dan megamankan.
Lalu bagaimana caranya mereka dapat mengamankan dan mengatur tanpa berbuat
aniaya? Jawabnya, dengan anjuran taqwa kepada Allah, nasihat dan pengarahan
dengan lisan, dengan cara yang baik atau dengan tangan tanpa menyakiti karena kezhaliman adalah kegelapan di akhirat!
Aturan
yang paling populer selama ini adalah anak-anak harus berhati-hati dengan
‘kekeramatan’ orang tua. Tapi patut diingat,
secara religi ada lima,[67] kejahatan orang tua yang
wajib dihindarkan. Pertama, apabila suka memaki. Kedua menghina anak sendiri.
Ketiga melebihkan anak dari yang lain. Keempat mendoakan keburukan anak. Kelima
tidak memberi pendidikan anak. Merupakan
kemuliaan bangsa, jika orang tua dan guru, mampu menjadikan generasi muda,
cerdas lahir batin, bermoral mulia dan berbhakti kepada orang tua, sesama,
bangsa dan semesta.
Hukuman itu untuk menyadarkan bukan untuk melakukan pembalasan. Hukuman itu agar anak-anak menyadari kekeliruan mereka dan agar tidak mengulangi perbuatan jeleknya, bukan untuk melakukan balas dendam. Hukuman dalam pendidikan jangan dikelirukan dengan balas dendam. Jean Soto menulis, "Semua penderitaan manusia, ketidakadilan, dan sebagainya berakar dari hukuman dan kekerasan-kekerasan yang diterima oleh anak-anak dari orangtua mereka. Karena itu hukuman-hukuman itu harus dihapus sama sekali agar penderitaan umat manusia ini bisa sirna."
Tetapi argumentasi beliau ini bisa
dijawab dengan; pertama-tama , itu hanyalah klaim dan belum tentu bisa
dibuktikan secara ilmiah. Yang kedua , seandainya kita terima pernyataan
seperti itu bahwa penderitaan manusia itu berakar dari hukuman-hukuman keras
yang diterima dari orangtuanya, maka akarnya adalah terlalu kerasnya hukuman
tersebut dan bukan hukuman biasa. Hukuman ekstrem
itulah yang menjadi sumber penderitaan umat manusia.
Russel menambahkan, "Hukuman fisik ringan, yang tidak berbahaya, tapi tetap tidak ada gunanya dalam pendidikan. Hukuman
seperti itu baru efektif kalau bisa menyadarkan si anak. Sementara hukuman
fisik seperti itu biasanya tidak bisa membuat jera. Hukuman fisik itu membuat
si anak merasa terpaksa memperbaiki diri dan bukan atas niatnya sendiri." Tujuannya
agar anak-anak menyadari kekeliruannya melalui hukuman itu
dan lebih mengerti bahwa perbuatannya tidak disenangi orang lain. Jika ingin
diterima oleh orang lain, harus menyesuaikan keinginannya dengan
keinginan orang lain, supaya bisa mendapatkan bantuan atau memperoleh apa yang
diinginkannya dari orang lain. Dengan demikian, menurut penulis, hukuman fisik
yang ringan pun masih ada gunanya jika diberikan dengan kadar dan waktu yang
tepat.[68]Argumen lain yang disodorkan
kelompok penentang adalah pendidikan
yang dijalankan dengan menanamkan rasa takut kepada si anak, akan membuat si
anak seperti robot yang harus mengikuti suatu perintah. Proses pendidikan
seperti itu sangat membahayakan perkembangan jiwa si anak, karena akan
melahirkan anak-anak yang bermental budak yang harus tunduk terhadap segala
perintah.
Penulis membantah pendapat tersebut, dengan alasan, memang anak tidak boleh dididik
dengan sistem perbudakan, tapi tidak semua hukuman fisik, akan melahirkan
kondisi demikian. Kalau hukuman itu dijalankan dengan benar dan dengan
memperhatikan seluruh syarat-syaratnya,
tidak akan lahir anak-anak seperti itu. Seorang anak yang terus-menerus
melakukan perbuatan yang buruk padahal sudah sering kali diperingatkan, agar tidak melakukan perbuatan tersebut harus dihentikan dengan hukuman. Kalau
kebiasaan buruknya tidak segera dihentikan,
anak akan semakin berani melawan. Tentunya hukuman harus ringan dan tepat sasaran.
Alasan lain menurut kelompok penantang, bahwa hukuman fisik sama sekali
tidak mendidik, sebab hukuman itu tidak menghilangkan motivasi buruknya.
Memang akan mengurungkan niatnya, karena
perasaan takut, tapi di dalam batinnya keinginan itu tetap ada. Ketika rasa
takut itu, hilang, si anak akan kembali mengulangi perbuatan buruknya. Pukulan
itu mungkin dihadapi oleh si anak dengan pura-pura berjanji akan menghentikan
kebiasaan buruknya. Karena itu patut diingat statmen mereka bahwa hukuman juga
akan melahirkan anak-anak yang asosial, penakut serta pasif.
Pernyataan bahwa hukuman itu tidak menghentikan apa yang
bergetar di dalam batin. Untuk menghentikan kenakalan-kenakalannya, hal ini menurut penulis, harus dipelajari apa
sebetulnya yang menjadi latar belakang kenakalan-kenakalannya dan dicari
solusinya sehingga anak-anak itu tidak mengulangi perbuatannya.
[1]Usman
Suparman, Hukum Islam, (Jakarta:Gaya
media pratama, 2001) hlm 54. Paradigma
diartikan sebagai kerangka berpikir. Paradigma Liberalisme dalam
memberikan makna tentang kebebasan sering di terjemahkan dalam makna yang tidak
pada tempatnya. Pemahaman liberal cenderung mengarah kepada kebebasan tanpa
batas, walaupun ada sebagian para penggerak paham liberal, bahwa liberal juga
punya batasan tentang sebuah kebebasan antara individu dan sosial. Namun dalam
realita makna kebebasan hanya terbatas pada ranah individu, bukan kebebasan
dalam makna secara universal, liberalisme berarti kebebasan menganut, meyakini, dan mengamalkan apa
saja, sesuai kecenderungan, kehendak dan selera masing-masing. Bahkan lebih
jauh dari itu, liberalisme mereduksi agama menjadi urusan privat. Artinya,
konsep amar ma'ruf maupun nahi munkar bukan saja dinilai tidak relevan, bahkan
dianggap bertentangan dengan semangat liberalisme. Asal tidak merugikan pihak lain,
orang yang berzina tidak boleh dihukum, apalagi jika dilakukan atas dasar suka
sama suka, menurut prinsip ini. Karena menggusur peran agama dan otoritas wahyu
dari wilayah politik, ekonomi, maupun sosial, maka tidak salah jika liberalisme
dipadankan dengan sekularisme.
[2]Ibid. Sekular adalah pergerakan menuju
pemisahan antara agama dan pemerintahan. Hal ini dapat berupa hal seperti
mengurangi keterikatan antara pemerintahan dan agama negara,
menggantikan hukum keagamaan dengan hukum sipil.
[4]Shihab, M.Quraish. Tafsir
al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. (Jakarta: Lentera Hati,
2002), hlm 231.
Bandingkan Tim
Penafsir Kemenag Republik Indonesia. al-Qur’an dan Tafsirnya. (Jakarta: Lentera Abadi,
2010), hlm 331.
Lihat juga al-Thabathaba’i,
Muhammad Husein. al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an. Beirut: Mu’assasah al-A’lami li
al-Mathbu’at,
1417 H/1997 M.
Lihat juga Yaqub, Ali Mustafa. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.
Bandingkan dengan al-Zuhaili, Wahbah. al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj.Beirut: Dar al-Fikr, 1430 H/2003 M.
Lihat juga Yaqub, Ali Mustafa. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.
Bandingkan dengan al-Zuhaili, Wahbah. al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj.Beirut: Dar al-Fikr, 1430 H/2003 M.
[5]
Lihat Indah SY, Anak di bawah umur diputuskan
bersalah oleh PN Surabya, dengan memvonis 6 (enam) bulan, membebankan biaya perkara Rp. 1000
(Seribu Rupiah) dan denda Rp. 1.000 (Seribu Rupiah), selain memenuhi Pasal 290
KUHP hakim juga berdasarkan pada pertimbangan hal-hal yang mem beratkan dan
pada hal-hal yang meringankan. Menurut
UU perlindungan anak No. 23 Tahun 2002 pasal 81 dan 82 pelakunya dijatuhi
dengan hukuman penjara paling singkat 3 tahun dan hukuman penjara paling lama
15 tahun dan denda paling sedikit Rp. 60.000.000 (Enam Puluh Juta Rupiah) dan
paling banyak Rp. 300.000.000 (Tiga Ratus Juta Rupiah). Tentang Pencabulan
Dalam Perspektif UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Hukum Pidana
Islam" Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang apa
Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara No. 33/Pid.B/2008/PN.Sby
dan.Bagaimana Perspektif UU No. 23 Tahun
2002 Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No. 33/Pid. B/2008/PN.Sby
serta Bagaimana Perspektif Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Pengadilan
Negeri Surabaya No. 33/Pid.B/2008/PN.Sby. Lihat Indah SY, Pukullah Anakmu dengan Cinta, (Jakarta,
PT.Jaya Pustaka,
2010), hlm134.
[21] Asmawi, Perbandingan
Usul Fqih, (Jakarta , Penerbit Amzah : 2011), hlm. 57. Benturan
antara mashlahat dan mafsadat, dalam artian kalau ingin mengerjakan
kemaslahatan tersebut, mesti melakukan mafsadatnya. Jika hal ini yang terjadi,
secara umum dapat diurai kan sebagai berikut: 1. Apabila mafsadatnya lebih
besar dibanding maslahatnya, maka meng-hindari mafsadat itu dikedepankan
daripada meraih kemaslahatan tersebut. 2. Apabila maslahatnya jauh lebih besar
dibandingkan dengan mafsadat yang akan timbul, maka meraih maslahat itu lebih
diutamakan daripada menghindari mafsadatnya. Oleh karena itu, jihad berperang
melawan orang kafir disyari’at kan, karena meskipun ada mafsadatnya yaitu hilangnya
harta, jiwa dan lainnya, namun maslahat me negakkan kalimat Alloh di muka bumi
jauh lebih utama dan lebih besar. 3. Apabila maslahat dan mafsadat seimbang,
maka secara umum saat itu menolak mafsadat lebih didahulukan daripada meraih
kemaslahatan yang ada. Berdasarkan kaidah umum: (Menghilangkan
mafsadat itu lebih dida-hulukan daripada mengambil sebuah maslahat).Untuk
mengetahui perincian permasalahan ini lihat kembali kaidah (Tidak
boleh berbuat sesuatu yang membahayakan).Lihat Asmawi, Perbandingan Usul Fqih, (Jakarta , Penerbit Amzah : 2011), hlm. 57.
[24]Gus Reza
kepada Tempo, Rabu, 10 Desember 2014. Baca Suara Hidayatullah: Sanksi Pesantren Ini: Diikat atau Dicambuk.. Baca juga :
Jombang Dihebohkan Video Hukuman Cambuk Santri.. (Baca: Polisi Jombang Usut Video
Santri Dihukum Cambuk)
[25] Kaidah
fiqhiyah yang menytakan “Kebijaksanaan pemimpin harus
mengarah kepada maslahat masyarakat “ . Lihat
As Suyuti, al Asybah wa An-Nadhair, Cet.I,
(Bierut : Dar al Kutub al Ilmiyah, 1993), hlm : 121
[33]Imi Surya
Putra, Hukuman Fisik Masih Perlu Bagi Anak Didik,(Jakarta,
Kompas, 12 February, 2013).Hukuman
fisik sebagai obat bagi anak didik, akan tetapi dengan adanya UU Perlindungan
Anak, guru di sekolah tidak lagi berani memberikan hukuman. Guru takut karena
sanksi hukumannya tidak main-main. Mengenai sanksi hukuman terhadap tindakan
penganiayaan anak tertuang dalam pasal 80, dinyatakan,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan
dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
[34]Khoja
Nashiruddin Thusi mengatakan, "Ajari ia (anak-anak) dengan keras agar
tidak melakukan perbuatan buruk. Jangan sampai dari kecil sudah terbiasa
melakukan perbuatan jelek. Mereka
itu suka berdusta, memiliki sifat hasud, suka mencuri, suka mengadu domba, dan
juga bandel,
suka mencampuri urusan orang lain. Setelah memberikan pendidikan yang sangat
keras maka didiklah agar mereka memiliki sikap sopan-santun. Jadi didiklah
anak-anak sejak kecil dengan disiplin. Jangan lupa pula untuk memuji
sikap-sikap yang baik darinya, waspadailah agar anak-anak tidak memiliki
kebiasaan buruk karena seperti peribahasa Al-Insânu hârisun 'ala ma' muni'a
(manusia itu penasaran dengan larangan). Manusia itu suka terhadap hal-hal yang
menyenangkan dan tidak tahan dengan penderitaan. Anak
didiknya sadar dengan perbuatannya sehingga tidak berani lagi mengulangi
perbuatan buruknya."
[37]Tidak
akan mati kalau engkau memukulnya
dengan rotan. Engkau memukulnya dengan rotan, tetapi engkau menyelamatkan
nyawanya dari dunia orang mati” Kitab Taurat, Amsal
23:13.
Tetapi bukan berarti bahwa orang tua atau guru boleh dengan semena-mena
menggunakan haknya untuk memukul anak.Tidak semua penggunaan hukuman atau
hukuman fisik itu tidak berfaedah. Alkitab mengajarkan, “Siapa tidak
menggunakan tonngkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya
menghajar dia pada waktunya” Taurat Amsal 13:24. Lihat Al-Kitab,Percetakan Lembaga
Al-Kitab Indonesia, (Ciluar, Bogor :1982), hlm. 717.
[38]Argumentasi
klasik tersebut terpatahkan dengan ditemukannya fakta bahwa dari jumlah
rata-rata 2 juta kasus aborsi pertahun, 76.6% dilakukan oleh perempuan
berstatus menikah.[38] Penelitian
terakhir oleh Yayasan Kesehatan Perempuan (2003),87% klien aborsi berstatus
menikah. Ninuk Widyantoro. 2003. Pengakhiran Kehamilan Tak Diinginkan yang
Aman Berbasis Konseling, Jakarta: Yayasan Kesehatan Perempuan. Lihat juga
Khalid bin Ali Al-Musyaiqih, op.cit. ,
hlm. 189
[41]Asbab
al-nuzulnya : Ketika telah turun ayat 43 surat Al-Nisa’ dan hukum khamar ialah
haram, tetapi tidak secara mutlak. Para shahabat saat itu masih ada sebahagian
dari mereka yang masih meminum khamar dan mabuk-mabukkan yang mengakibatkan
prilaku mereka sangat jauh dari aturan. Oleh karena itulah pada tahapan
selanjutnya Allah menurunkan ayat 90 surat Al Maidah yang berisi pengharaman
khamar secara mutlak. Dalam ayat ini Allah mengharamkan khamar melalui beberapa
sebutan, yakni : Rijsu (رجس ) yang
berarti al najasah ( النجاسة ) najis
dan najis merupakan sesuatu yang dilarang oleh Allah (diharamkan). Kedua, Allah
mengkategorikan meminum khamar ke dalam perbuatan yang selalu dilakukan oleh
Syaitan. Dengan turunnya ayat ini semua
para ulama sepakat bahwa hukum dari khamar
itu ialah haram. Penerapan metode tadrij
dalam hukum Islam. Ibnu Katsir, Lubab
al-Tafsir min Ibni Katsir, Penerjemah M.Abdul Ghoffar E.M., Tafsir Ibnu
Katsir, (Jakarta: Pustaka Imam al-Syafi’i, Cetakan I, Jilid 2, Juli 2009),
hlm. 87, dan Hamka, Tafsir al-Azhar, (Singapura: Pustaka Nasional,
Cetakan V, Jilid 2, 2003), hlm. 1227.
[43]Muhamad ’Atthiyyah
Al-Abrasyi,(terj) At-Tarbiyyah Al-Islamiyyah, hlm. 2003. Undang-undang terbaru yang mengatur tentang anak yang
berhadapan dengan hukum adalah Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU
SPPA”) yang mulai diberlakukan dua tahun setelah tanggal pengundangannya,
yaitu 30 Juli 2012 sebagaimana disebut dalam Ketentuan Penutupnya Pasal 108
UU SPPA. Artinya UU SPPA ini mulai berlaku sejak 31 Juli 2014. UU SPPA ini
merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak “UU Pengadilan Anak” yang bertujuan agar dapat terwujud
peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap
anak yang berhadapan dengan hukum. UU Pengadilan Anak dinilai sudah tidak
sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
[46]Membiasakan anak
dengan pakaian yang syar’i. Anak-anak dibiasakan menggunakan pakaian sesuai
dengan jenis kelaminnya. Anak laki-laki menggunakan pakaian laki-laki dan anak
perempuan menggunakan pakaian perempuan. Jauhkan anak-anak dari model-model
pakaian Barat yang tidak syar’i,
bahkan ketat dan menunjukkan aurat. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang
meniru suatu kaum, maka dia termasuk kaum itu. (HR. Abu Daud).
[47]Hal ini
sesuai dengan yang dikatakan oleh Umar Muhammad Al-Taumy Al-syaibany bahwa “
alam natural bukan saja mencakup segala mahluk yang akan tetapi juga merangkum
sistem, peraturan atau undang-undang alam yang semua bagian alam tunduk kepada
dasar-dasarnya dan sesuatu itu terjadi atau berlaku mengikuti ketentuan
persyaratan disekelilingnya. Umar Muhammad Al-Taumy Al-Syaibany, Falsafah
Pendidikan Islam, diterjemahkan oleh Hasan Langgulung, (Jakarta, Bulan
Bintang, 1979), hlm. 58.
[49]Abdul Waid, Konsep kuasa asuh menurut Hukum
Islam dan UU RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, (Yogyakarta: Disertasi Fak. Syari’ah UIN, 2008),
hlm 9. Berdasarkan analisis
yang dilakukan dapat diperoleh kesimpulan bahwa tiga aspek kuasa asuh dalam UU
Perlindungan Anak, yaitu, pemeliharaan anak, perlindungan anak, penghargaan
terhadap anak, serta adanya ketentuan pencabutan dan pengalihan kuasa asuh
adalah semata-mata demi kepentingan anak secara khusus. Secara substansial,
esensi dari ketiga aspek itu tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dengan kata
lain, dalam persoalan anak, hukum Islam juga mengenal adanya pemeliharaan,
perlindungan, dan penghargaan terhadap anak. Demikian halnya, secara implisit
Islam juga mengenal adanya pencabutan dan pengalihan kuasa asuh orang tua terhadap
anak dalam situasi dan kondisi tertentu.
[53]Pemerintah
RI, Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003. Hukuman pun sering diterima siswa
manakala mereka melanggar tata tertib yang telah disepakati. Hukuman itu
dimaksudkan sebagai upaya mendisiplinkan siswa terhadap peraturan yang
berlaku. Sebab, dengan sadar pendidik memegang prinsip bahwa disiplin itu
merupakan kunci sukses hari depan. Apakah bentuk-bentuk hukuman bisa
dikembangkan untuk mendisiplinkan siswa? Pertanyaan seperti inilah menjadi
dilema bagi kaum pendidik dalam mengemban kewajiban dan
tanggung jawabnya. Apabila sanksi hukuman sama sekali tidak diadakan
niscaya perilaku siswa akan lebih semrawut. Orang dapat
menduga-duga, ada penerapan hukuman saja siswa yang melanggar masih banyak,
apalagi jika sanksi hukuman ditiadakan. Tambah ruwet. Jika hukuman itu diadakan
menuntut konsekuensi bagi para pendidik itu sendiri. Maksudnya, pendidik harus
benar-benar bisa sebagai suri tauladan bagi anak didiknya. Penerapan aturan
hukuman bagi para siswa yang melanggar tetapi tidak diikuti kedisiplinan
pendidik, bagaikan halilintar di waktu siang bolong, banyak yang menyepelekan. UU menyebutkan “ Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan. Lihat Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003.
[55]Hukuman sebagai salah satu teknik
pengelolaan kelas sebenarnya masih terus menjadi bahan perdebatan. Akan tetapi, apa pun alasannya, hukuman
sebenarnya tetap diperlukan dalam keadaan sangat terpaksa, katakanlah semacam
pintu darurat yang suatu saat mungkin diperlukan. Hukuman merupakan alat
pendidikan represif, disebut juga alat pendidikan korektif, yaitu bertujuan
untuk menyadarkan anak kembali kepada hal-hal yang benar dan/atau yang tertib.
Alat pendidikan represif diadakan bila terjadi suatu perbuatan yang diangap
bertentangan dengan peraturan-peraturan atau suatu perbuatan yang dianggap
melanggar peraturan. Penguatan negatif dan penghapusan sebenarnya bernilai
hukuman juga. Menyajikan stimulus tidak menyenangkan dalam pemakaian teknik
penguatan negatif maupun tidak memberikan penguatan yang diharapkan siswa dalam
teknik penghapusan, pada dasarnya adalah hukuman walaupun tidak langsung. Kalau
penguatan negatif dan penghapusan dapat dikatakan hukuman tidak langsung, maka
yang dimaksud dengan hukuan di sini adalah hukuman langsung, dalam arti dapat
dengan segera menghentikan tingkah laku siswa yang menyimpang. Lihat Andri
Priyatna, Let’s End Bullying,Memahami,
Mencegah Dan Mengatasi Kekerasan Bullying,(PT.Alex Media Komputindo, 2010),
hlm. 117.
[57] Lihat Muhammad
Al-Ghazali, op.cit., hlm. 463. Kerusakan
anak kebanyakan bersumber dari orang tua
yang membiarkan mereka dan tidak mengajarkan kewajiban-kewajiban dan sunnah din ini kepada mereka. Mereka tidak
memperhati kan masalah-masalah agama tersebut saat masih kecil, sehingga saat
sudah besar mereka sulit meraih manfaat dari pelajaran agama dan tidak bisa
memberikan manfaat bagi orang tua mereka.” Tuhfatul Maudud, I: 229.
[59]Penjelasan dari H.R.Ibnu Hiban. Bandingkan pula hadits
Rasulullah secara rinci tentang fase-fase perkembangan anak sekaligus cara atau
metode yang harus diterapkan sesuai dengan perkembangan anak. Rasulullah SAW
bersabda artinya : “Berkata Anas bersabda Nabi Muhammad SAW, anak itu pada hari
ketujuh dari lahirnya disembelihkan aqiqah, diberi nama dan dicukur rambutnya.
Kemudian setelah umur 6 tahun dididik kesusilaan, setelah umur 9 tahun
dipisahkan tempat tidurnya, bila telah berumur 13 tahun dipukul karena
meninggalkan sholat dan puasa, serta umur 16 tahun hendaklah orang tua
mengawinkannya, kemudian orang tua berjabatan tangan dan berikrar, saya telah
mendidik, mengajar dan mengawinkan kamu, ya Allah lindungilah aku dari fitrahmu
di dunia dan siksaanmu di akhirat”.
[61] Edi
Wahono, Mengapa Anak Saya Suka Melawan
dan Susah Diatur, (Jakarta:PT.Gramedia Widiasarana Indonesia,
2010), hlm. 31. Pakar pendidikan ini ingin mengatakan
bahwa hukuman memang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam membina
anak-anak, malahan dalam situasi tertentu mutlak diperlukan sekali. Tetapi pada
saat yang sama ia sama sekali tidak setuju secara mutlak dengan hukuman fisik.
Ia tidak Dia keberatan dengan hukuman-hukuman non-fisik tapi bukan hukuman
non-fisik yang berat.Ia menambahkan, “Perlu diingat bahwa jangan sekali-kali
memberikan hukuman yang akan merendahkan harga diri anak, seperti hukuman
badan, ancaman dengan siksaan atau apa saja demi menghancurkan keinginan
buruknya. Kemudian, jangan menghukum anak di saat marah.
[62]Sudah tidak asing di kalangan para ulama yang
berkecimpung dalam juresprudensi Islam (ushul al-fiqh) mengenai
teori maqashid al-Syari’ah yang disistematisasi dan
dikembangkan oleh al-Syathibi. Bahkan Musthafa Said al-Khin dalam bukunya al-Kafi
al-Wafi fi Ushul al-Fiqh al-Islamy membuat kategorisasi baru dalam
aliran Ilmu Ushul Fiqh. Bila sebelumnya hanya dikenal dua aliran saja,
yaitu Mutakallimin dan fuqahaatau Syafi’iyyah dan Hanafiyyah,
maka al-Khin membaginya menjadi lima bagian:Mutakallimin, Hanafiyyah, al-Jam’i, Takhrij
al-Furu’ ‘alal Ushul dan Sya-thibiyyah (al-Khin, 2000:
8). Dengan demikian, pembagian tersebut telah menempatkan pemikiran Imam
al-Syathibi dalam al-Muwafaqat menjadi salah satu bagiatn
corak aliran yang terpisah dari aliran ushul fiqih lainnya. Hal ini karena
dalam coraknya, al-Syathibi mencoba menggabungkan teori-teori (nadhariyyat)
ushul fiqh dengan konsep maqashid al-syari’ah sehingga
produk hukum yang dihasilkan lebih hidup dan lebih kontekstual. Menurut
Darusmanwiati, Ada dua nilai penting apabila model al-Syathibi ini dikembangkan
para ulama sekarang dalam menggali hukum: Pertama, dapat men-jembatani
antara “aliran kanan” dan “aliran kiri”. “Aliran kanan” yang dimaksud adalah
mereka yang tetap teguh berpegang pada konsep-konsep ilmu ushul fiqh sedangkan
“aliran kiri” adalah mereka yang terakhir ini vokal dengan idenyatajdid
ushul al-fiqh dalam pengertian perlu adanya dekonstruksi ushul fiqih
demi menghasilkan produk fiqih yang lebih kapabel …. Kedua, model
al-Syathibi ini akan lebih menghasilkan produk hukum yang dalam istilah Ibnu
al-Qayyim, al fiqh al-hayy, fiqih yang hidup. Karena itu, fiqih
yang terlalu teksbook yang penulis istilahkan dengan Fiqh
Ushuly akan berubah menjadi Fiqh Maqashidy Darusmanwiati,
Islamlib: 309.
[63]Suruhlah anak-anakmu untuk melaksanakan shalat pada usia tujuh
tahun, dan pukullah mereka jika tidak mau melaksanakannya pada usia sepuluh
tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka.”[Hadits shahih,
diriwayatkan oleh Ahmad (II/ 180, 187), Abu Dawud (no. 495), Al-Hakim (I/197),
Al-Baihaqi (III/84), Ibnu Abi Syaibah (no. 3482), Ad-Daruquthni (I/230),
Al-Khathib (II/278), dan Al-‘Uqaili (II/167), dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma.
Lihat juga Shahihul Jami’ (no. 5868)] Ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi berkaitan dengan pukulan kepada anak ini, yaitu:
a. Anak mengerti atas alasan apa dia dipukul. b. Orang yang memukulnya adalah walinya, misalkan ayahnya. c. Tidak boleh memukul anak secara berlebihan. d. Kesalahan yang dilakukan oleh sang anak memang patut untuk mendapatkan hukuman. e. Pukulan dimaksudkan untuk mendidik anak, bukan untuk melampiaskan kemarahan.[Lihat Al-Qaulul Mufid (II/473-474) dan Bekal Menanti Si Buah Hati tt, hlm. 55-56.
a. Anak mengerti atas alasan apa dia dipukul. b. Orang yang memukulnya adalah walinya, misalkan ayahnya. c. Tidak boleh memukul anak secara berlebihan. d. Kesalahan yang dilakukan oleh sang anak memang patut untuk mendapatkan hukuman. e. Pukulan dimaksudkan untuk mendidik anak, bukan untuk melampiaskan kemarahan.[Lihat Al-Qaulul Mufid (II/473-474) dan Bekal Menanti Si Buah Hati tt, hlm. 55-56.
[67]Tribun Pontianak.Co.id - Peristiwa kaburnya model cilik, Ruvita Sari Siahaan,
9 Januari 2012. Ada pelajaran bagi
orangtua di tengah kehidupan global yang "lebih" mendewakan materi
daripada nilai-nilai religi dan budaya. Vita, sapaan akrab Ruvita Sari, nekat kabur ke Sorong, Papua Barat bukan
tanpa sebab. Kenekatan model iklan berusia 13 tahun ini, berlatar tekanan
psikis hebat dari ibunya, Ny Lily.Setelah ditemukan polisi di rumah orangtua
angkatnya, Bunda Maya di Sorong, Kamis (26/1/2012) sore, Vita mengaku sering
dipukul ibunya kalau menolak syuting.Tidak sampai di situ, sang ibunda
"terlalu" mengatur selera dan kehidupan anak. Mulai urusan busana
hingga rileks (jalan-jalan), Vita perlu menangis. Vita pun mengalami memar
akibat pukulan sang ibu, manakala model iklan cokelat pasta itu pulang pukul
21.00 WIB. Sang Ibu tak mengelak,
mengakui pernah juga menarik rambut Vita dan menjepret kaki putrinya
menggunakan karet. Benarkah cara orangtua pada buah hatinya ini? Prinsipnya,
tak seorang orangtua pun di muka bumi, ingin menzalimi anak kandungnya.Harimau
yang paling buas sekalipun, tak pernah memakan anak-anaknya, meski kelaparan.
Kaum sufi psikologi maupun agama, justru meyakini cinta orangtua kepada anak,
lebih besar dibanding cinta anak kepada orangtuanya. Editor Tribun Pontianak.Co.id - Peristiwa kaburnya model cilik, Ruvita Sari Siahaan,
9 Januari 2012.
[68]Apabila manusia telah
meninggal, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah,
ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang
mendo’akan kebaikan baginya.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 1631),
Ahmad (II/372), Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (no. 38), Abu Dawud
(no. 2880), An-Nasa’i (VI/251), Tirmidzi (no. 1376), dan Al-Baihaqi (VI/278)
dari Abu Hurairah.
No comments:
Post a Comment