BAB
IV GHAZWUL FIKRI KE 4.
Hukum
Hukuman Pendidikan
OLEH
Dr.H.M.Rakib, Drs. S.H.,M.Ag
Hukuman
boleh diberikan setelah nasihat-nasihat verbal atau apa saja tidak lagi
dapat mengusik kesadaran anak didik.[1] Dalam kaitan ini,
Russel menulis, "Saya sendiri
secara pribadi ingin mengatakan bahwa hukuman fisik dalam proses pendidikan sangat tidak berarti, bahkan mungkin hanya
masuk sebagai alternatif kedua." John Locke
menulis, "Benar bahwa hukuman
fisik kadang-kadang diperlukan. Tetapi harus disadari bahwa tujuan sebuah hukuman adalah mendidik moral. Hal yang harus dilakukan
adalah membuat anak merasa malu berbuat
nakal dan bukan karena takut akan sanksi hukuman, karena
hukuman yang terlalu keras melatih anak-anak menjadi patuh secara lahiriahnya
saja."[2]
A.L
Gary Gore menulis, "Ada kalanya orang dewasa harus
memberikan hukuman fisik kepada anak. Misalnya jika
anak usia sekolah atau sudah agak dewasa mengganggu ayah dan ibu atau adik
mereka. Sebelumnya sudah diperingatkan tapi tetap meneruskan kenakalannya, anak-anak itu harus
diberi hukuman..".[3] Sebaliknya
orangtua selayaknya menggunakan hukuman dengan
strategi yang tepat. Kalau
dilaksanakan ketika dalam puncak
kemarahan dan tanpa pertimbangan terhadap kondisi dan psikologi anak-anak,
bisa-bisa merusak hubungan orangtua dan anak. Anak akan kehilangan kepercayaan dan juga bisa dendam. Hukuman yang tidak tepat, akibatnya anak tidak
mematuhi keinginan orang tua, karena melukai hatinya. Timbul dalam diri anak keinginan membalas rasa sakit hatinya.[4]
Sebelum menjatuhkan hukuman terhadap anak-anak dipertimbangkan secara baik
dan manfaat dan mudaratnya. Hukuman apa
dan dalam kondisi bagaimana hukuman itu patut diberikan dan tidak patut
diberikan terhadap anak-anak.
Masih pendapat A.L Gary Gore, bahwa hukuman memang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam membina anak-anak, malahan dalam
situasi tertentu mutlak diperlukan. Tetapi pada saat yang sama ia sama sekali
tidak setuju secara mutlak dengan hukuman fisik. Ia tidak keberatan dengan
hukuman non-fisik tapi bukan yang berat. Beliau menambahkan, "Perlu diingat bahwa jangan sekali-kali
memberikan hukuman yang akan merendahkan harga diri anak, seperti hukuman
badan, ancaman dengan siksaan atau apa saja demi menghancurkan keinginan
buruknya. Hindarilah hukuman-hukuman seperti memukul, atau menyekap anak di
ruangan yang gelap dan sempit."[5]
Secara yuridis, undang-undang
tentang perlindungan guru
telah termuat dalam UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen. Hal ini terlihat
jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa pemerintah, masyarakat,
organisasi profesi, dan atau satuan pendidikan, wajib memberikan perlindungan
terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Hal ini terlihat bahwa eksistensi UU
No.14/2005 telah memuat perlindungan,[6]
terhadap guru atas profesinya. Namun implementasi terhadap undang-undang
tersebut masih belum terlaksana.
Islam menerima hukuman sebagai bagian
dari sistem pendidikan. Ada beberapa kategori
hukuman dalam Islam: Hukuman non-fisik seperti ancaman, peringatan atas
orang-orang yang berdosa dengan siksaan di hari akhirat, denda, dan diat.
Ayat-ayat al-Quran mengilustrasikan dalam berbagai kesempatan tentang kabar
gembira untuk orang-orang yang beriman dan ancaman akhirat untuk orang-orang
yang berdosa. Bahkan nabi sendiri diperkenalkan sebagai pembawa kabar gembira
dan pembawa peringatan. Hukuman jenis
kedua yaitu hukuman fisik yang bersyarat,[7] seperti
hukuman penjara, pengasingan, kisas, pukulan, hukuman aturannya telah ditetapkan oleh syariat.
Dalam
pembunuhan yang disengaja wali yang dibunuh bisa meminta hukuman qishas terhadap hakim. Dalam pembunuhan
yang tidak disengaja si pembunuh wajib menyerahkan denda (diat) kepada
wali yang dibunuh. Perempuan dan laki-laki yang berzina akan mendapatkan
hukuman cambuk sebanyak seratus kali deraan. Perilaku homo seksualitas (liwâth)
yang disengaja dalam kondisi tertentu akan mendapatkan hukuman mati. Peminum
khamar dalam kondisi tertentu akan mendapatkan hukuman cambuk seratus kali,
mencuri dalam kondisi tertentu akan mendapatkan hukuman potong tangan.
Siapa
saja yang dengan sengaja mengakibatkan anggota badan orang lain terpotong akan
dikisas oleh hakim syar'i, yaitu dipotong anggota badan yang sama, tapi kalau
secara tidak sengaja maka ia harus membayar denda dalam jumlah tertentu. Untuk
mengetahui lebih lengkap tentang aturan-aturan hukuman Islam, Anda bisa merujuk
kitab-kitab fikih. Hukuman jenis ketiga yaitu ta'zîr. Ta'zîr adalah hukuman
fisik yang ketentuannya diatur oleh seorang hakim tetapi tentunya lebih ringan
dari had. Dalam kasus pelanggaran yang
hukumannya tidak ditentukan oleh syariat, sang hakim tidak bisa memberikan
hukuman yang sesuai dengan pelanggaran itu hanya demi kemaslahatan umum, tapi
ia bisa memberikan hukuman yang kurang dari had. Contohnya kalau seorang
laki-laki mencium anak atau perempuan yang bukan istrinya dengan penuh nafsu,
sang hakim syar'i dapat menjatuhkan hukuman ta'zîr .
Laki-laki dan perempuan (bukan muhrim) yang tidur terlentang di
atas ranjang. Secara umum siapa saja yang melakukan dosa besar maka ia bisa
dijatuhi hukuman ta'zîr dari sang hakim. “Islam memberi tempat bagi hukuman
fisik”,[8] dan
non-fisik sebagai bagian dari pendidikan yang penting dan demi memelihara
keadilan dan ketenteraman masyarakat. Islam melegalkan hukuman-hukuman itu
bukan sebagai bentuk balas dendam kepada orang-orang yang berdosa, namun untuk
menjaga stabilitas sosial dan hak-hak manusia. Hukuman dalam jarimah ta’zir
tidak ditentukan ukurannnya oleh Al-quran dan hadits, artinya untuk menentukan
batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa).
Dengan demikian, syari’ah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan
bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah. Abd al- Qadir Awdah membagi jarimah ta’zir menjadi tiga, yaitu :
1) Jarimah hudud dan
qishash diyat yang mengandung unsur
shubhat atau tidak memenuhi syarat, namun hal itu sudah dianggap sebagai
perbuatan maksiat, seperti pencurian harta (syirkah), pembunuhan
ayah terhadap anaknya, dan percurian yang bukan harta benda.
2) Jarimah ta’zir yang jenis jarimahnya ditentukan oleh nas,
tetapi sanksinya oleh syari’ah diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah palsu,
saksi palsu, mengurangi timbangan, menipu, mengingkari janji, menghianati
amanah, dan menghina agama.
3) Jarimah ta’zir
dimana jenis jarimah dan sanksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa demi
terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi
perimbangan yang paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan
lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran terhadap pemerintah lainnya.[9]
Setelah penulis analisis tentang menetapan jarimah
ta’zir, ta’zir, ternyata prinsip utama yang menjadi acuan adalah menjaga
kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemudharatan
(bahaya). Di samping itu, penegakkan jarimah ta’zir harus sesuai dengan prinsip syar’i.[10]Hukuman-hukuman
ta’zir banyak jumlahnya, yang dimulai
dari hukuman paling ringan sampai hukuman yang terberat. Hakim diberi wewenang
untuk memilih diantara hukuman-hukuman tersebut, yaitu hukuman yang sesuai
dengan keadaan jarimah serta diri pembuatnya. Bentuk-bentuk Hukuman ta’zir antara lain:
1) Hukuman
mati
Pada prinsipnya
menurut syari’ah Islam, hukuman ta’zir adalah
memberikan pengajaran (ta’dib) dan
tidak sampai membinasakan. Dalam hukuman ta’zir tidak boleh ada pemotongan
anggota badan atau penghilangan nyawa. Akan tetapi beberapa fuqaha’ memberikan
pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati
jika kepentingan umum menghendaki demikian, atau kalau pemberantasan tidak bisa
terlaksana kecuali dengan jalan membunuhnya, seperti mata-mata, pembuat fitnah,
residivis yang membahayakan. Namun menurut sebagian fuqaha’ yang lain
dalam jarimah ta’zir tidak ada
hukuman mati.[11]
2) Hukuman cambuk
Di kalangan fuqaha’ terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid
dalam ta’zir. Menurut pendapat yang
terkenal di kalangan ulama’ Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa
karena hukuman ta’zir didasarkan atas
kemaslahatan masyarakat dan atas dasar berat ringannya jarimah. Imama Abu
Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir adalah 39 kali, dan menurut Abu Yusuf adalah 75 kali. Sedangkan di kalangan madzhab Syafi’i ada tiga pendapat. Pendapat
pertama sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Muhammad. Pendapat kedua sama
dengan pendapat Abu Yusuf. Sedangkan
pendapat yang ketiga, hukuman jilid pada ta’zir
boleh lebih dari 75 kali, tetapi tidak sampai seratus kali, dengan syarat
lain bahwa jarimah ta’zir yang dilakukan hampir sejenis dengan jarimah hudud.
Dalam mazhab Hanbali ada lima pendapat. Tiga di antaranya
sama dengan pendapat madzhab Imam Syafi’i. Pendapat keempat mengatakan bahwa jilid yang diancam atas sesuatu
perbuatan jarimah tidak boleh menyamai hukuman yang dijatuhkan terhadap jarimah
lain yang sejenis, tetapi tidak boleh melebihi hukuman jarimah lain yang tidak
sejenisnya. Pendapat kelima mengatakan bahwa hukuman ta’zir tidak boleh melebihi 10 kali. Alasannya adalah hadits dari
Abu Darda’ sebagai berikut : “Seseorang
tidak boleh dijilid lebih dari sepuluh kali, kecuali dalam salah satu hukuman hudud”[12]
3) Hukuman Kurungan
Ada dua macam hukuman
dalam hukum Islam. Pembagian ini didasarkan pada lama waktu hukuman.
Pertama, hukuman tahanan terbatas. Batas terendah dari hukuman ini adalah satu
hari, sedangkan tentang batas tertinggi, ulama’ berbeda pendapat. Ulama
Syafi’iyyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena mereka
mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah
zina. Sementara ulama-ulama lain menyerahkan semuanya kepada penguasa
berdasarkan maslahat.[13]Kedua,
hukuman tahanan tidak terbatas. Sudah
disepakati bahwa hukuman tahanan ini tidak ditentukan terlebih dahulu,
melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik
pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya,
atau orang yang berulang-ulang
melakukan jarimah yang berbahaya.
Perbedaan yang menonjol antara jarimah hudud, qishas, dan jarimah ta’zir:
(a) Dalam jarimah hudud tidak ada pemaafan, baik
oleh perseorangan maupun oleh ulul
amri. Sedangkan jarimah ta’zir
kemungkinan pemaafan itu ada, baik oleh perorangan maupun oleh ulul amri, bila
hal itu lebih maslahat.
(b) Dalam jarimah ta’zir hakim dapat memilih hukuman yang
lebih tepat bagi si pelaku sesuai dengan kondisi pelaku, situasi, dan tempat
kejahatan. Sedangkan dalam jarimah hudud
yang diperhatikan oleh hakim hanyalah kejahatan material.
(c) Pembuktian jarimah hudud dan qishas harus dengan saksi
atau pengakuan, sedangkan pembuktian
jarimah ta’zir sangat luas
kemungkinannya.
(d) Hukuman had maupun qishas tidak
dapat dikenakan kepada anak kecil, karena syarat menjatuhkan had si pelaku harus sudah baligh
sedangkan ta’zir itu bersifat
pendidikan dan mendidik anak kecil boleh.
Sebagai
perbandingan, antara hukuman bagi anak sebagai pelaku
tindak pidana “Anak Nakal”[14]
dengan ancaman pidana mati, menurut hukum positif, tidak akan dikenai pidana
mati maupun pidana penjara seumur hidup. Hal ini didasarkan pada Pasal 26 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang menyatakan: “Apabila anak nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a,
melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada
anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun.” Bagaimana sanksi
hukum bagi anak berumur 14 tahun yang melakukan pembunuhan,[15] pencurian? Apakah dibebaskan dengan syarat? Apakah bebas tanpa syarat
jika pihak korban menarik kembali tuntutannnya? Jika bebas tanpa syarat,
berhakkah pihak polisi menahan anak tersebut? Jika tidak apa yang harus saya
lakukan sebagai wali anak tersebut, mengingat pihak polisi menahannya! Dalam kasus
anak berumur 14 (empat belas)
tahun maka sanksi yang dijatuhkan dapat saja berupa pidana. [16]
6. Analisis Para
Ahli Tentang Hukuman Terhadap Anak
a. Analisis sosiolog
Pada hakekatnya, segala bentuk penanganan terhadap anak yang
melanggar hukum harus dilakukan dengan memprioritaskan kepentingan terbaik
untuk si anak.[17] Karena
itu, keputusan yang diambil hakim (apabila kasus diteruskan sampai persidangan)
harus adil dan proporsional, serta tidak semata-mata dilakukan atas
pertimbangan hukum, tapi juga mempertimbangkan berbagai faktor lain, seperti
kondisi lingkungan sekitar, status sosial anak, dan keadaan keluarga. Hal-hal ini
dijamin serta diatur dalam UU Pengadilan Anak.
b. Analisis Kriminolog
Dalam kajian kriminologi, hasil penelitian masyarakat
harus lebih diutamakan, pada saat polisi melakukan penangkapan dan pemeriksaan.
Polisi wajib menghubungi dan mendatangkan seorang petugas Bapas (Balai
Pemasyarakatan, biasa juga disebut PK atau Petugas Kemasyarakatan). Petugas
Bapas berfungsi hampir sama seperti probation officer. Polisi wajib
menyertakan hasil Litmas (Penelitian Kemasyarakatan) yang dibuat oleh petugas
Bapas dalam Berita Acara Pemeriksaannya. Tanpa Litmas, Jaksa harus menolak BAP
dan meminta kelengkapannya kembali, untuk mengetahui usia pelaku sebenarnya,
untuk disesuaikan dengan hukum kebiasaan internasional:
Tabel 3
Kebiasaan Internasional
Tentang Parameter Pertanggungjawaban Pidana
No
|
Nama Negara
|
Usia Minimal Tanggung Jawab Kriminal
|
1
|
Austria
|
14
|
2
|
Belgia
|
18
|
3
|
Denmark
|
15
|
4
|
Inggris
|
10
|
5
|
Finlandia
|
15
|
6
|
Perancis
|
13
|
7
|
Jerman
|
14
|
8
|
Yunani
|
12
|
9
|
Irlandia
|
7
|
10
|
Itali
|
14
|
11
|
Luxemburg
|
18
|
12
|
Belanda
|
12
|
13
|
Irlandia Utara
|
8
|
15
|
Portugal
|
16
|
15
|
Skotlandia
|
8
|
16
|
Spanyol
|
16
|
17
|
Swedia
|
15
|
Melihat kecenderungan praktek negara
berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa rata-rata negara, tersebut menetapkan usia
pertanggungjawaban pidana minimal di atas 12 tahun.[18]
Dengan demikian, dapat dikatakan usia 12 tahun sebagai batas minimal usia
pertanggungjawab tindak pidana telah menjadi hukum kebiasaan internasional.[19] Berbeda halnya
dengan anak yang dikenakan hukuman mati.[20]
c. Analisis Hukum Islam Tentang Hukuman Terhadap Anak
Menurut Hukum Islam (fiqih), anak yang melakukan kesalahan, tidak
dikenakan hukuman, jika belum berumur 10
tahun, belum mumayyiz. Bukan hanya
kejahatan membunuh, tapi juga segala jenis kejahatan yang disebut had dan jarimah. Adapun jenis atau macam-macam perbuatan jarimah yaitu perbuatan yang masuk ke dalamnya, menciri dan minuman keras. Sdedangkan mencuri. Hukuman
bagi anak yang mencuri menurut fikih jarimah terbagi menjadi dua, yaitu :
1) Mencuri
yang dikenakan had
Mencuri yang dikenakan had menurut pendapat fuqaha’
adalah perbuatan mukallaf, jika
mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanannya
dan mencapai satu nishab dan orang
yang mencuri tak mempunyai andil kepemilikan terhadap barang tersebut. Ada hadits dari Abu Hurairah ra, bahwa
Rasulullah SAW bersabda:" Jika ia mencuri (kali pertama) potonglah salah satu tangannya, kemudian jika
ia mencuri yang kedua potonglah salah satu kakinya, kemudian jika ia mencuri
(yang ketiga) potonglah tangannya kemudian jika ia mencuri maka potonglah
kakinya. Jika pencuri masih mencuri lagi kelima kalinya, maka menurut sebagian
ulama seperti imam Syafi'i dan Imam Malik, orang itu dikenakan ta'zir.[22]
Namun Abu Hanifah dan Imam Ahmad berpendapat hukuman potong tangan hanya dapat
dilakukan pada kali pertama dan kedua sedangkan pencurian ketiga dan seterusnya
dikenai ta'zir. Pencurian yang dapat
dikenai had adalah jika barang yang dicuri mencapai nilai seperempat dinar atau
tiga dirham atau setara dengan emas seberat 3.34 gram. Berdasarkan Hadist
Riwayat Bukari dan Muslim:
”Tangan
pencuri tidak dipotong kecuali dalam pencurian mencapai seperempat dinar atau
lebih.” Seseorang dinyatakan benar-benar mencuri secara syar'i jika terbukti
dengan salah satu dari tiga kemungkinan, yaitu kesaksian
dari dua orang saksi laki-laki yang adil dan merdeka, pengakuan dari pelaku dan sumpah dari yang mengadukan suatu perkara.
Adakah pemberian maaf
dalam pencurian. Ulama sepakat bahwa pemilik barang yang dicuri dapat memaafkan
pencurinya supaya bebas dari had sebelum kasusnya sampai ke pengadilan. Sebab sebelum sampai
pengadilan, had
mencuri adalah had hamba dan jika
sampai ke pengadilan berubah menjadi had Allah. "Diriwayatkan
oleh ‘Amr bin Syu’aib
dari ayahnya dari kakeknya;" sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:
"Maafkanlah had-had selama masih berada di tanganmu, adapun had yang sudah sampai di telingaku maka
wajib dilaksanakan."
Khamr, secara
bahasa, khamr artinya sesuatu yang menutupi, sedangkan menurut dalam itilah fiqh yaitu segala macam yang memabukkan,
menutupi akal. Sebagaimana sabda Rsulullah SAW.,bahwa " Tiap-tiap yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr
adalah haram." [23]
Dengan demikian yang dinamakan khmar tidak hanya terbatas pada minuman keras
tetapi mencakup segala jenis barang yang memabukkan
seperti yang telah kita kenal mulai dari Miras, Narkotik, Ganja, Putaw,
Sabu-Sabu .[24]
Adapun
penyebab gugurnya had qadzaf jika:
1) Penuduh
dapat membuktikan dengan empat orang saksi bahwa tertuduh telah benar-benar berzina.
2) Dengan
cara li'an jika tertuduh adalah istri
penuduh
3) Pengakuan dari si tertuduh bahwa tuduhan
adalah benar.
Kifarat secara bahasa Arab,
berarti menutup. Sedangkan secara istilah yaitu sejumlah denda yang wajib
dibayar oleh seseorang yang melakukan perbuatan tertentu yang dilarang oleh
Allah. Kifarat adalah hak Allah sebagai tanda tobat. Membunuh adalah
menghilangkan nyawa seseorang baik dengan sengaja atau tidak sengaja dengan
alat yang mematikan atau tidak mematikan. Dalam Fiqh Islam Pembunuhan di bagi
ke dalam tiga macam:
1) Pembunuhan
sengaja (qatl’amd), yaitu suatu
pembunuhan yang dilakukan dengan
sengaja oleh pelaku.
2) Pembunuhan
semi-sengaja (Syibhul amd), yaitu
kesengajaan melakukan penyerangan tanpa maksud membunuh tetapi menyebabkan
terbunuh. Seperti seseorang memukul orang lain, dengan alat yang tidak biasa
mematikan tetapi yang kena pukul kemudian meninggal.
3) Pembunuhan
tersalah yaitu pembunuhan karena kekeliruan semata, seperti niatnya menembak
hewan buruan aan tetapi mengenai seseorang yang akhirnya meninggal.
Sedangkan hukuman bagi pelaku
pembunuhan ialah:
1) Pembunuhan
sengaja, dikenai hukuman qishas. Pembunuh
harus dibunuh juga. Akan tetapi bila keluarga
korban memaafkan, maka si pelaku wajib membayar diyat mughaladhah yang diberikan kepada korban secara tunai.
2) Pembunuhan
semi-sengaja tidak dikenakan qishas
tetapi dikenakan diyat mughaladhoh yang boleh diangsur selama 3 tahun.
3) Pembunuhan
tersalah, tidak dikenai qishas tetapi dikenai diyat mukhafafah
Hukum
pidana Islam, secara umum, pengertian jinayat
sama dengan hukum pidana pada hukum positif, yaitu hukum yang mengatur
perbuatan yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh,
melukai dan lain sebagainya. Jarimah (kejahatan) dalam hukum pidana Islam (jinayat) meliputi, jarimah hudud, qishas diyat, dan ta’zir.
7. Analisis Filosofis Pada Hukuman Ta’zir
a. Menghargai Kebijakan
Kepada Pemimpin.
Hukuman ta’zir adalah hukuman yang
tidak ditentukan oleh al-Qur’an dan Hadits yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak
Allah dan hak hamba-Nya yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si
terhukum dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan yang serupa,
penentuan jenis pidana ta’zir ini
diserahkan sepenuhnya kepada penguasa sesuai dengan kemaslahatan menusia itu
sendiri.
b. Menjawab Kecemasan
Islamophbia
Runnymede Trust seorang
Inggris mendefinisikan Islamofobia sebagai "rasa takut”
dan kebencian terhadap Islam, merujuk pada
praktik diskriminasi
terhadap Muslim dengan memisahkan mereka dari kehidupan ekonomi, sosial, dan
kemasyarakatan. Di dalamnya juga ada persepsi bahwa Islam tidak mempunyai norma
yang sesuai dengan budaya lain, lebih rendah dibanding budaya Barat.[25] Bagi kelompok
Islamophobia, hal ini dijadikan bahan ghazwul
fikri.[26] Menurut
hemat penulis, di antara jenis-jenis hukuman ta’zir yang telah penulis kemukakan dalam pembahasan, tidak semuanya
mencemaskan untuk diterapkan pada zaman
ini,hukuman potong tangan, jilid dan salib. Sementara mengenai hukuman mati dalam ta’zir, penulis sependapat dengan ulama’
yang memboleh kannya jika sejalan dengan kemaslahatan manusia. Tetapi secara
umum, mengenai jenis hukuman yang relevan untuk jarimah ta’zir ini harus disesuaikan dengan kejahatan yang dilakukan agar
hukuman dalam suatu peraturan bisa parallel. Untuk menentukan hukuman yang
relevan dan efektif, harus mempertimbangkan agar hukuman itu mengandung unsur
pembalasan, perbaikan, dan perlindungan terhadap korban (Theori neo-klasik),
serta dilakukan penelitian ilmiah terlebih dahulu.
Hukum Pidana
Islam (Fiqh Jinayah) adalah segala
ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan
oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban). Sebagai hasil
dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang rinci dari Al-Qur'an dan Al-hadist.
Hukum pidana Islam oleh sebagian orang selalu dikatakan sebagai hukum yang tidak
manusiawi,[27]
kejam, melanggar hak asasi manusia dan tidak relevan dengan perkembangan zaman.
Akibatnya ketika lahir keinginan untuk menerapkan Syari’at Islam terjadi
perdebatan tentang hal itu. Lima belas abad yang
lalu, di saat Islam mencapai puncaknya, Rasulullah SAW., telah memprediksikan
tentang nasib ummat Islam di masa yang akan datang.
Aksi terencana perang pemikiran,[28] dimulai ketika kaum salib dikalahkan dalam sembilan kali peperangan
besar. Ketika Islam mulai menyebar luas meliputi wilayah Persi, Syiria,
Palestina, Mesir dan menyeberang daratan Eropa sampai Spanyol, maka kaum
Salibis, Yahudi dan orang-orang Paganis segera membendung laju kekuasaan Islam. Mereka khawatir kalau
Islam akan menerangi seluruh belahan dunia. Kemudian digelar peperangan yang panjang yang
dikenal dengan nama perang Salib. Kemenangan kaum muslimin tersebut sangat
spektakuler, sebab pasukan muslim yang diterjunkan dalam pertempuran berjumlah
sedikit.
Selama perang, umat Islam tidak dapat dikalahkan. Setelah melalui pemikiran
yang panjang, mereka mengambil kesimpulan sebagaimana dikemukakan oleh Gladstone,
salah seorang perdana menteri Inggris, "Selama Al- Qur'an, ada di tangan
umat Islam, tidak mungkin Eropa akan menguasai dunia Timur". Kekalahan
demi kekalahan, menyebabkan bangsa Eropa menciptakan taktik baru. Di bawah pimpinan Raja Louis XI. Caranya bukan lagi
berupa penyerangan fisik, hanya
dengan mengirimkan putera-putera mereka ke Makkah untuk
mempelajari Islam. Motivasi mereka bukan untuk mengamalkan Islam, melainkan untuk menghancurkannya.[29]
Tatik itu, berhasil. Ilmu tafsir
mereka kuasai, hadits mereka pahami, khazanah ilmu Islam mereka gali. Setelah sampai ke
tingkat ahli, para pembelajar dari kaum Nasrani ini kembali ke Eropa, membentuk semacam Research
and Development (Penelitian dan Pengembangan) untuk mengetahui kelemahan
umat Islam agar dapat mereka kuasai.
Kesungguhan mereka dalam mempelajari Islam. Dalam sejarah diungkapkan
kisah pembelajar Eropa, yang rela meninggalkan anak istrinya
untuk berkeliling ke negeri-negeri Islam, guna mencari kelemahan
negeri-negeri Islam. Di antara pernyataan mereka ialah, "Percuma kita
berperang melawan umat Islam selama mereka berpegang teguh pada agama mereka.
Jika komitmen terhadap agama mereka
kuat, kita tidak dapat berbuat apa-apa. Karena itu, tugas kita sebetulnya
adalah menjauhkan umat Islam dari agama mereka, barulah kita mudah mengalahkan
mereka.” Gleed Stones, mantan perdana menteri Inggris, juga mengatakan hal yang
sama, "Percuma memerangi umat Islam, kita tidak akan mampu menguasainya
selama di dada pemuda-pemuda Islam al-Qur'an masih bergelora. Tugas kita kini
adalah mencabut al-Qur'an hati mereka, baru kita akan menang dan menguasai mereka.”Dalam
konteks ini, al-Qur'an mengatakan, bahwa
Setan merupakan musuh, maka perlakukanlah ia sebagai musuh. Sesungguhnya Setan
itu mengajak hizb (golongan) nya agar mereka menjadi penghuni
neraka."[30].
Orientalis Barat, di masa lalu, melecehkan Hukum Islam melalui lisan mereka dengan cara sederhana tanpa dukungan hasil
teknologi. Tetapi kini, pelecehan itu dilakukan dengan pers yang mempergunakan sarana
modern. [31]
c. Jawaban Terhadap Kritik Hukuman Fisik Terhadap Anak
Kritik
dan serangan terhadap hukum Islam, tetap berlangsung. Hanya
yang dijadikan sasaran bukan lagi jasmani, tetapi aqidah dan hukum Islam. Salah
satu tujuannya agar fikrah umat Islam rusak. Tujuan akhirnya ialah bagaimana umat Islam berhasil dilemahkan. Serangan inilah
yang disebut ghazwul fikr. Dan senjata yang digunakan adalah media massa,
baik cetak mau pun elektronik. Ditemukan beberapa jenis Ghazwul Fikri, antara lain, pola fikir
yang meragukan hukum Islam.
d.
Hukum Yang Tidak Terpisah Dari Moral
Hukum
Islam tidak terpisah dari moral. Apabila rusak moral dan akhlak Islami, rusak pulalah hukum Islam. Karena itu, dengan berbagai media liberal
Barat melancarkan program yang bertujuan merusak akhlaq
generasi muslim. Mulai dari anak-anak yang diberi kebebasan yang luas.
e. Menjawab
Keraguan Kelompok Sekular
Sekuler atau sekulerisme secara garis besar adalah
sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau harus berdiri
terpisah dari agama
atau kepercayaan..
Hampir di seluruh negeri muslim telah berdiri model pendidikan
sekolah umum yang hampir lepas dari nilai-nilai keagamaan. Mereka sengaja
memisahkan antara agama dengan ilmu pengetahuan di sekolah, sehingga muncul generasi
terdidik yang jauh dari agamanya. Sekolah semacam inilah yang mereka dirikan di
bumi Islam pada masa imperialisme, untuk menghancurkan Islam dari dalam
tubuhnya sendiri.
Ada beberapa kelompok besar manusia yang
dalam perjalanan sejarah selalu menantang untuk perang terhadap kaum muslimin.
Adapun kelompok-kelompok tersebut adalah:
1) Orang-orang sekuler
Orang-orang sekuler tidak akan pernah rela terhadap Hukum Islam, dan ada tekat mereka agar bangsa lain mengikuti jejak mereka..." [32]
Orang-orang sekuler tidak akan pernah rela terhadap Hukum Islam, dan ada tekat mereka agar bangsa lain mengikuti jejak mereka..." [32]
2) Orang-orang Musyrik
"Sesungguhnya telah kalian dapati orang-orang yang paling besar permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik..."[33]
"Sesungguhnya telah kalian dapati orang-orang yang paling besar permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik..."[33]
Meskipun mereka nampaknya berbeda, tetapi sesungguhnya di
dalam memerangi kaum muslimin mereka bersatu padu melakukan konspirasi yang berskala internasional. Mereka berusaha
tanpa mengenal lelah dan berputus asa. Al-Quran menyatakan bahwa, tiada henti-hentinya mereka memerangi kalian sehingga kalian murtad dari
agama kalian, jika mereka mampu..."[35]
- Penyebab Terjadinya Perbedaan Konsep Dan Makna Kekerasan
1. Di Dalam Islam Ada Konsep
Kesucian Hukum
Hukum
Islam berbeda konsep,[36]
dibandingkan Hukum Barat, karena Hukum Islam mengandung nilai kesucian(sakral).Titah
dari Yang Mahasuci. Wajib dilaksanakan hukuman fisik terhadap anak, atas nama
kebijakan yang sifatnya suci (sakral). Sedangkan Hukum Barat aatau hukum yang sekular, tidak mengenal nilai-nilai sakral di
dalam Hukum. Para penganut kesucian Hukum Islam, curiga terhada;p gerakan yang
dikenal dengan istilah Ghazwul Fikri,
missi yang dianut oleh dunia Barat, antara lain ialah:
a) Dana
yang dibutuhkan tidak sebesar dana yang diperlukan untuk perang fisik.
b)
Sasaran ghazwul fikri tidak terbatas.
c)
Serangannnya dapat mengenai siapa saja, dimana saja dan kapan saja.
d)
Tidak ada korban dari pihak penyerang.
e)
Sasaran yang diserang tidak merasakan bahwa sesungguhnya dirinya dalam kondisi diserang.
f) Dampak
yang dihasilkan sangat fatal dan berjangka panjang.
g) Efektif
dan efisien.[37]
Hukum Islam yang sakral, menjadi
sasaran ghazwul Fikri
(Perang pemikiran dari Barat),
agar terjadi pendangkalan pola pikir dan akhlaq muslim. Apabila seseorang
sering menerima pola pikir sekuler, kemungkinan
dia akan berpikir ala sekuler. Bila seseorang sering didoktrin dengan paham
komunis , materialis, fasis, marksis, liberalis, kapitalis atau yang
lainnya, merekapun akan berpikir dari
sudut pandang paham tersebut. Sementara itu dalam hal akhlaq Islami, boleh jadi pada
awalnya seseorang menolak terhadap suatu tata cara kehidupan tertentu, namun
karena tiap kali ia selalu mengkonsumsi tata cara tersebut, akan timbul
perubahan dalam dirinya. Seperti contohnya adanya pergaulan bebas antara wanita
dan pria yang bukan muhrim, seperti terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian alat Ghazwul
Fikri ialah:
1)
Membius pandangan mata, dengan banyaknya disuguhkan
wanita-wanita dari kalangan artis.
Mereka menjadikan ruang redaksi bagaikan rumah bordil yang menggelar zina mata
massal.
2)
Pameran aurat di saluran televisi yang berlomba-lomba
menyajikan artis-artis, baik dengan pakaian biasa, ketat, pakaian renang,
sampai yang telanjang. Penonton diajak untuk tidak punya rasa malu, hilang
iman, mengikuti panggilan nafsu, dan menghidupkan dunia mimpi.[38]
3)
Membudayakan ikhtilat.
Sekumpulan laki-laki dan wanita yang bukan muhrim, biasa bergumul jadi satu
tanpa batas. Tayangan semacam ini tak ubahnya mendekati zina, bahkan membuka
transaksi zina.[39]
4)
Membudayakan khalwat. Kisah-kisah percintaan bertebaran di
berbagai acara. Frekuensi suguhan kisah-kisah pacaran dan kencan makin
melegitimasi budaya khalwat.
5) Membudayakan tabarruj. Banyak pelaku di layar kaca
yang mempertontonkan bagian tubuhnya yang seharusnya ditutupi, untuk dinikmati
para pemirsa.[40]
Demikianlah gerakan ghazwul fikri. Ia akan menyeret
seseorang ke dalam jurang kesesatan dan kekafiran tanpa terasa. Masuknya serangan pemikiran Barat, halus sekali.
2. Hukum Islam Tidak Individualisme
Hukum Islam berbeda
dengan Hukum Barat, karena Hukum Islam lebih bersifat kolektif, sedangkan Hukum
Barat, bersifat individualisme. Yang dimaksud individualisme adalah paham yang
memenangkan kepentingan pribadi di atas kepentingan umum. Dipahami
individualisme sempit, karena sering dianggap sebagai egoisme, berikut ini:
Individualisme negara-negara
Barat, msalnya Inggris dan Amerika, dengan paham Liberalismenya memungkinkan
masyarakatnya untuk melakukan segala sesuatu dengan sebebas-bebasnya (peran
swasta lebih dominan), sedangkan peran pemerintah sangat kecil dalam mengatur
kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut berdampak pada kondisi kehidupan
masyarakatnya yang “indvidualis” pada beberapa sisi, seperti pergaulan bebas,
persaingan bebas, dan sebagainya yang banyak menimbulkan masalah-masalah kejahatan
baru bagi sebagian masyarakat. Imbas dari paham Liberalisme adalah terhimpitnya
kaum ekonomi lemah karena para pemilik modal (kaum kapitalis) memiliki
kebebasan dalam melakukan investasi di berbagai sektor usaha.[41]
Untuk
meganalisis hal ini, ada kaidah-kaidah fiqih,[42] dalam khazanah keilmuan qawaid
al-fiqhiyyah pada dasarnya terbagi dalam dua kategori. Pertama adalah kaidah fiqih yang
hanya diperuntukkan untuk masalah individu dan masalah ibadah dalam arti hubungan
vertikal antara setiap individu dengan Allah. Kedua, kaidah fiqih yang memang sengaja dimunculkan untuk
menyelesaikan beberapa masalah terkait dengan hubungan yang bersifat horizontal
antar manusia itu sendiri, selain memang di dalamnya terdapat nilai-nilai
hubungan vertikal karena beberapa obyek yang menjadi kajian adalah hukum Islam
yang tentu saja itu semua bersumber dari Allah.
3. Sumber Hukumnya Berbeda
Konsep
hukum Perlindungan
Anak dan Islam,
berbeda karena sumbernya berbeda. Hukum Islam, mempunyai beberapa perbedaan
dengan konsep hukum positif, namun dalam hakikatnya ( hakikat hukum ) mengalami
persamaan-persamaan. Begitu juga mengenai sumber hukum terdapat perbedaan
antara sumber hukum Islam dan sumber hukum positif. Karena itu, tulisan ini
akan membahas tentang konsep dan sumber hukum Islam dengan menggunakan analisis
perbandingan dengan hukum positif.
Term
hukum Islam merupakan terjemahan dari kata ‘al-fiqh
al-islami’ yang dalam literatur Barat disebut ‘the Islamic Law’ atau dalam
batas-batas yang lebih longgar “the Islamic Jurisprudence’. Yang pertama lebih
cenderung kepada syariah sedangkan yang kedua kepada fiqh, namun keduanya tidak
tidak dapat digunakan secara konsisten. Begitu juga term hukum Islam mengalami
ambigiutas antara fiqh yaitu hukum praktis yang diambil dari dalil-dalil
tafsili (rinci) dan syari’ah, yaitu peraturan yang diturunkan oleh Allah kepada
manusia agar dipedomani dalam berhubungan dengan Tuhannya, dengan sesamanya,
dengan lingkungannya dan dengan kehidupannya.
Istilah Hukum Islam
ini ketika ditelusuri dalam rumusan para ulama ushul fiqh mempunyai pengertian
yang sangat bervariasi. Dalam
diskursus ushul fiqh lebih sebagai al-hukm
al-syar’i yang diartikan sebagai khitab Allah (titah Allah
), yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf baik berupa taklif, takhyir (pilihan) maupun
penetapan. Dalam diskursus ushul fiqh, sumber hukum Islam dapat
berupa dalil nash ( tekstual ) dan dalil ghairu nash (paratekstual). Dalil nash
yaitu Al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan dalil ghairu nash yaitu di antaranya qiyas,ijma’,
istihsan, istishlah, istishab, ‘urf, pendapat para sahabat dan
syari’at umat terdahulu.
Hukum Islam dalam analisis kaidah fiqhiyah,menurut penulis terdapat dua kaedah yang saling terkait, yang pertama yaitu tasharrul imam (kebijakan
pemimpim) dan yang kedua adalah al maslahat (maslahat tujuan dan
manfaatnya). Tetapi dari dua hal tersebut terdapat kata kunci yang menentukan
arah dari konsep kebijakan tersebut, yaitu maslahat, karena itu, hal pokok yang
menjadi kajian dalam permasalahan ini adalah bagaimana sebenarnya konsep
maslahat, dimana maslahat inilah yang nantinya akan membawa dan mengantarkan
kepada sebuah kebijakan yang akan dibuat oleh seorang pemimpin.[43]
Ketika memperhatikan kaidah tasharruful
imam ‘ala al ra’iyyah manutun bi al malahat,[44] yang berarti bahwa kebijakan seorang pemimpin terhadap
rakyatnya bergantung pada kemaslahatan, maka ada dua kata yang tidak hanya
memerikan makna secara retorik saja, tetapi dua kata yang sekaligus memberikan
gambaran dan batasan serta suatu konsep yang dimaksud. Dua kata tersebut adalah
tasharruful imam (kebijakan dari seorang pemimpin) dan al maslahat (kemaslahatan).
Maka dalam hal ini akan lebih banyak mengkaji tentang bagaimana konsep
kemaslahatan yang akan dijadikan sebagai landasan tehadap pembuatan suatu
kebijakan.
Kaidah fiqihiyah yang
menyatakan Tasharruful Imam ‘Ala al- Ra’iyyati Manutun Bi al- Maslahah .Kaidah ini
merupakan kaidah yang mempunyai aspek horizontal, karena dalam implementasinya
memerlukan hubungan antara seorang pemimpin dengan masyarakat atau rakyat yang
dipimpin.[45]
Perlu diketahui makna dari kaidah tersebut, kaidah yang berbunyi tasharruful
imam ‘ala al ra’iyyati manuutun bi al maslahat mempunyai pengertian retorik
(harfiyyah) kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung
pada maslahat.
Lebih jauh dari
sekedar pengetian retorika tersebut, ada pengertian yang lebih luas yaitu
segala aspek kehidupan yang meliputi kepentingan rakyat dalam suatu kelompok
atau golongan tertentu harus ditetapkan dengan mekanisme syura (musyawarah).
Hal ini sebagai terjemahan dari pernyataan kaidah tesebut yang menekankan pada
aspek kemaslahatan, karena metode musyawarah adalah salah satu bentu yang riil
untuk mencapai dan medapatkan suatu kemaslahatan untuk bersama. Hal ini yang
juga ditekankan dalam firman Allah.
Artinya: Bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami
berikan kepada mereka. [46]
Dari Umar bin Khattab yang
diriwayatkan oleh Sa’in bin Mansur; “Sungguh aku menempatkan diri dalam mengurus harta Allah seperti
kedudukan seorang wali anak yatim, jika aku membutuhkan maka aku mengambil
daripadanya, jika aku dalam kemudahan aku mengembalikannya, dan jika aku
berkecukupan maka aku menjauhinya.
Kaidah
ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus mengedepankan aspek kemaslahatan anak, bukan
mengikuti keinginan hawa nafsunya pribadi, atau keinginginan keluarganya.
Perbedaan
paradigma masa lalu (sebelum tahun 2002) bahwa ketika
murid beberapa kali mendapat hukuman dari guru, dilihat pada paradigma masa kini, bisa
merupakan bentuk penganiayaan. Hukuman diberikan karena memang murid salah. Apapun kesalahannya, pasti mendapatkan hukuman. Itulah yang berlaku
saat itu. Ketika pelajaran menggambar, beberapa murid lupa membawa pengaris, lalu disuruh maju ke
depan kelas, menyodorkan tangan, guru menghantamkan penggaris kayu besar ke punggung dan telapak tangan siswa.
Akibat hukuman adalah tangan memar dan murid tidak bisa
menulis.
Untuk jenis
hukuman “tempeleng,”[47] sudah
menjadi kebiasaan, karena seringkali guru menempeleng murid untuk kategori
pelanggaran ringan. Pernah yang ditempeleng dengan jari guru mengenai mata. Kalau pelanggaran
berat, dipukul di betis dengan
menggunakan kayu rotan. Sekalipun murid sering mendapatkan kekerasan dari guru,
tidak ada yang berani melaporkan peristiwa itu kepada orang tua. Bukan lantaran
diancam oleh guru, melainkan karena takut mendapat hukuman tambahan dari orang
tua. Dahulu di kampung pada umumnya,
jika di sekolah murid dihukum dan
diketahui oleh orang tua, berarti akan
mendapatkan lagi hukuman dari orang tua. Justru karena hukuman itu banyak
orang yang sukses dan berhasil.
Mereka-mereka ini berhasil menghadapi hukuman karena bagian dari proses
pendidikan dan pembinaan. Dengan hukuman itu murid belajar mengetahui kesalahan
dan menemukan kebenaran dan kebaikan. Orang yang tidak berani menghadapi
hukuman dengan cara lari meninggalkan sekolah, orang-orang ini yang gagal dalam
hidupnya.
Sejak tanggal 22
Oktober 2002, Pemerintah Republik Indonesia, mengundangkan UU Perlindungan Anak
(UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Praktis, sejak saat itu
keberadaan sanksi terhadap anak di sekolah akan menjadi sensasi berita yang
hangat. UU Perlindungan anak, khususnya Pasal 13 ayat (1), menyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan
orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas
pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a) diskriminasi;
b) eksploitasi, baik
ekonomi maupun seksual;
c) penelantaran;
d. kekejaman,
kekerasan, dan penganiayaan
e) ketidakadilan; dan
f)
perlakuan salah lainnya.
Apa yang diungkapkan dalam pasal 13 ayat (1)
ditegaskan dalam pasal 16 ayat (1) dan (2) yang berbunyi:(1) Setiap anak
berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau
penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.(2) Setiap anak berhak untuk
memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.[48]
Dengan adanya UU
Perlindungan Anak, guru di sekolah tidak lagi berani memberikan hukuman. Guru
takut karena sanksi hukumannya tidak main-main. Mengenai sanksi hukuman
terhadap tindakan penganiayaan anak tertuang dalam Pasal 80, dinyatakan:
(1) Setiap orang yang
melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan
terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6
(enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua
juta rupiah).
(2) Dalam hal anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).[49]
Ternyata bukan cuma UU Perlindungan Anak saja
yang menjadi instrumen perlindungan anak, bahkan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga
mengatur soal penganiayaan. Hal itu terdapat dalam pasal 351 jo. 352 KUHP.
“Penganiayaan” masih ada, sekalipun UU Perlindungan
Anak sudah diundangkan, ternyata tindakan memberi hukuman, yang masuk kategori
penganiayaan, masih kerap terjadi. Kasus penamparan oleh oknum guru terhadap
murid SD Harmoni di Batam. Dikatakan bahwa bekas tamparan itu meninggalkan luka
lebam di pipi anak kecil itu sehingga dia jadi trauma ke sekolah. Orang tua
sudah melaporkan kasus itu ke polisi.
Dalam kasus itu diberitakan bahwa, guru melakukan
penganiayaan terhadap muridnya, Dias Ganang Fardian yang mengaku ditampar satu
kali sehingga mengalami luka lebam di bawah mata kirinya. Alasan pemukulan itu,
karena korban melanggar disiplin saat upacara bendera. Sedangkan Kepala
SMK membantah perlakuan guru terhadap
muridnya itu sebagai tindakan penganiayaan. “Itu cuma pembinaan, karena murid ini ramai
bercanda temannya saat upacara berlangsung. Pembinaan dan penegakan
disiplin yang cukup ketat.”
Tindakan guru menghukum anak didik, tidak salah mutalk, masih wajar, selagi
tidak menimbulkan bekas atau memar. Guru
memegang prinsip: yang salah harus dihukum. Tidak mungkin guru menghukum murid
yang baik. Dengan hukuman, anak disadarkan. UU Perlindungan Anak dapat membuat
anak tidak menemukan” kesalahan” dirinya. Anak selalu merasa
benar. Buktinya, dia dibela dan sang guru dihukum. Konsep benar-salah
menjadi hilang. Itulah
yang dikatakan “derita guru, sebuah dilema pendidikan.” Keberadaan UU Perlindungan Anak ini, menurut penulis menjadi
sebuah penderitaan guru. Mereka dihadapkan pada
masalah yang
dilematis dalam proses
pendidikan dan pembinaan anak muridnya. Situasi mereka berhadapan dengan UU Perlindungan
Anak. Demi pembinaan dan penegakan disiplin kepada siswa, ada guru yang
terpaksa menampar siswanya. Akan tetapi guru tersebut dihadapkan pada jerat
hukum. Maksud baik guru justru berakibat
buruk. Padahal menyadarkan murid. Di
antara cara penyadaran adalah “tempeleng”, walaupun bisa pakai cara lain yang
tanpa kekerasan. UU Perlindungan Anak tidak membolehkan memakai cara kekerasan,
padahal cara itu bisa menjadi sarana paling efektif. Tingkat penyadarannya
lebih kuat dibandingkan menegur dan menasehati. Tempeleng hanya sekali, bisa merupakan bentuk shock
therapy.[50]
Menurut penulis UU Perlindungan Anak, bisa saja menjadi penderitaan
para guru di sekolah,
jika menyebabkan mereka
tidak berani bertindak tegas kepada murid karena takut terkena sanksi dari UU
Perlindungan Anak. Bayangkan saja, terkena pasal 80 ayat (1) merupakan penderitaan yang hebat bagi guru yang
berpenghasilan pas-pasan. Ada guru yang rela masuk penjara, asalkan tiap bulan gajinya jalan
terus, tidak akan jadi masalah serius. Gurunya tetap mengajar dengan
ganti rugi sebesar 72 juta rupiah, jelas akan memberatkan keluarganya.
Di sebuah sekolah menengah pertama, ada
siswa sedang berkelahi, lalu datang guru
melerai. Tapi disambut dengan caci maki oleh
siswa yang berkelahi, karena tidak terima perkelahiannya dipisahkan.
Guru juga masih muda, demi harga diri yang diinjak murid, guru menampar siswa. Sang guru dilaporkan ke
polisi, beberapa hari di penjara. Akhirnya dibebaskan dengan tebusan.
Apa yang terjadi setelah peristiwa itu?
Para guru lain tidak berani bertindak tegas kepada siswa. Anak-anak tumbuh
“liar” dan para guru tak berani menegur. Terjadi pembiaran. Ketika guru bertindak tegas, anak
dapat mengancam dengan UU Perlindungan Anak. Anak akan dengan mudah mengejek
gurunya bahkan menghina guru dan guru tidak bisa berbuat apa-apa karena takut
dengan UU Perlindungan Anak. UU Perlindungan Anak merusak dunia pendidikan.
Tidak setuju dengan UU Perlindungan Anak, karena UU itu bisa digunakan anak
untuk merendahkan martabat guru. Dia sangat prihatin dengan nasib para guru.Inilah
bagian dari kritik penulis terhadap UU Perlindungan anak. Anak bisa benar
menurut hukum tapi salah total menurut etika dan akhlaqul karimah.
Menurut penulis, hukuman dari guru, bukan penganiayaan, ada kekeliruan dalam UU Perlindungan Anak,
berkaitan dengan kata “penganiayaan” dan kekerasan. Kategori penganiayaan
adalah kekerasan yang bertubi-tubi, mirip dengan penyiksaan. Memukul atau
menempeleng berkali-kali, sekalipun murid sudah minta ampun. Tapi jika cuma
sekali, bukan penganiayaan. Kalau dikatakan kekerasan, seperti kasus IPDN,
penganiayaan memang kejam, karena bertubi-tubi. Misalnya, dipukul lalu
ditendang berkali-kali. Karena itu ada yang cacat dan bahkan sampai tewas.
Karena
itu diperlukan keadilan rosteratif, sebagai pergeseran paling mutakhir
dari berbagai model dan mekanisme yang bekerja dalam sistem peradilan.[51]
4. Sejarah Hukumnya Berbeda
Sejarah Hukum Islam mengenai perlindungan anak,
dimulai semenjak Nabi Muhammad SAW hijrah dari Mekah ke Madinah, beliau selain
ditunggu-tunggu oleh para pemimpin Madinah, juga disambut oleh wanita dan
anak-anak. Kemudian beliau mempunyai cucu, yaitu Hasan dan Husain. Saat itulah
Rasulullah mencontohkan kepada ummatnya bagaimana memperlakukan anak tanpa
kekerasan, tapi beliau juga membuat aturan yang tegas, misalnya larangan tegas
terhadap cucu-cucunya yang berkaitan dengan memakan sedekah, sedangkan sejarah
UU 23 Tahun 2002, sejarahnya dimulai semenjak Pemerintah RI meratifikasi
konvensi PBB. Sejak saat itulah guru yang menepeleng murid dikategorikan
sebagai kekejaman. Hal inilah yang penulis analisis secara yuridis.
Penulis
tidak setuju jika guru menempeleng, satu kali saja masuk kategori
kekejaman (Pasal 13 ayat 1) tidak
manusiawi (Pasal 16 ayat 1).[52] Dalam kasus-kasus
penganiayaan di sekolah, dilakukan oknum
guru sebenarnya tidak masuk kategori kekerasan, yang bukan kekejaman,
penganiayaan yang tidak manusiawi.Yang menjadi persoalan, haruskah kekerasan
itu dihukum, jika bertujuan baik,
menyadarkan murid akan kesalahannya. Untuk bisa sadar, sering menyakitkan. Tapi itulah shock
therapy. Harus juga diperhatikan kewajiban anak. Dalam UU Perlindungan
Anak, khususnya soal hak dan
kewajiban anak dan pasal lain yang berkaitan dengan hak anak (18
pasal), sementara kewajiban hanya satu pasal saja (pasal 19). bunyi pasal 19 UU
Perlindungan Anak ini:
Setiap anak berkewajiban untuk :
1) menghormati orang tua, wali, dan guru;
2) mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman.
3) mencintai tanah air, bangsa, dan negara.
4) menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya.
Jika anak tidak melaksanakan
kewajibannya, sanksi apa yang dapat diberikan UU RI no.23/2002. Tidak ditemukan
hal ini. Penegak hukum hanya melihat hak
anak, mengabaikan hak guru. Kasus ini terasa unik, bagi polisi dan pengacara?
Tidak ada pembicaraan bagaimana kewajiban anak? Apakah anak yang tidak
melakukan kewajibannya, seperti yang tertera dalam UU Perlindungan Anak, juga
dapat ditindak?
Kasus anak SD yang
mengganggu temannya yang sedang latihan, berarti tidak melakukan kewajiban No.2 dalam Pasal (19) UU Perlindungan Anak. Kasus SMK, siswa tidak
melaksanakan kewajiban No. 3 dan 5. Guru punya
wewenang melaporkan siswa ke polisi? Dan
apa sanksi buat anak tersebut? Tentang hak dan kewajiban mesti seimbang. Orang tidak bisa menuntut hak
tanpa melaksanakan kewajibannya, karena
berkaitan dengan UU Perlindungan Anak. Kritik penulis ialah perlu ditinjau soal keseimbangan hak dan kewajiban
bagi anak itu sendiri. Jangan hanya membebankan kesalahan pada guru.
Anak yang menjadi dambaan setiap
keluarga adalah rizki sekaligus ujian dari Allah Ta’ala kepada
hamba-hamba-Nya. Bahkan Allah Ta’ala menyebutkan dalam firman-Nya
bahwa anak adalah salah satu kesenangan dan perhiasan dunia, Artinya: Harta dan anak-anak adalah
perhiasan kehidupan dunia.Qs. Al-Kahfi: 46
Kehadiran anak di tengah-tengah keluarga merupakan amanah yang sangat besar
bagi kedua orang tuanya. Oleh karenanya, para orang tua dituntut untuk
senantiasa memperhatikan perkembangan jasmani dan rohani sang buah hati. Namun,
belakangan sering ditemui peristiwa-peristiwa memilukan yang menimpa anak-anak
akibat perbuatan orang tuanya.
[2]
Lihat Mahjuddin, Masa’il al-Fiqhi ,
Kasus-Kasus Aktual Dalam Hukum Islam, (Kalam Mulia Jakarta: 2012), hlm.71. Hukuman dalam kasus
melatih anak-anak memiliki kepekaan terhadap lingkungan, memiliki rasa
tanggung jawab dan kemampuan mengendalikan diri. Kemudian penyakit belajar
adalah lupa dan kejenuhan.
[5]Menurut data Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak,
pada 2011 telah terjadi 1.851 pengaduan ABH yang diajukan ke pengadilan. Hampir
89,8 persen kasus ABH berakhir pada pe¬mi¬danaan atau diputus pidana. Data lain
yang dirilis Ke¬men¬terian Hukum dan HAM 2010 menunjukkan bahwa di 16 Lapas di
Indonesia ditemukan 6.505 ABH yang diajukan ke pengadilan dan 4.622 ABH di
antaranya mendekam dipenjara. Jumlah ini mungkin jauh lebih besar karena angka
ini hanya bersumber dari laporan 29 Balai Pemasyarakatan (Bapas), sementara di
Indonesia terdapat 62 Bapas, Rakyat Merdeka, 19 Januari 2012.
[6]Secara
yuridis, Undang-undang tentang perlindungan guru telah termuat dalam UU
No.14/2005 tentang Guru dan Dosen. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39
yang menyebutkan bahwa pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan atau
satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru.
[7]Lihat
Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak Di Bawah
Umur,(Bandung, PT.Alumni : 2010), hlm. 115.Secara yuridis, Undang-undang
tentang perlindungan Guru telah termuat dalam UU No.14/2005 tentang Guru dan
Dosen. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa
pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan atau satuan pendidikan wajib
memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Hal ini terlihat
bahwa eksistensi UU No.14/2005 telah memuat perlindungan terhadap guru atas
profesinya. Namun implementasi terhadap undang-undang tersebut masih belum
terlaksana.
[8]Secara tidak
sadar orangtua menghukum anaknya dengan emosi dan cara yang kasar, seperti
langsung memukulnya. Tindakan seperti ini kurang dibenarkan, karena bagaimana
pun didikan orangtua turut menciptakan kondisi anak pada masa
mendatang.Rasulullah SAW mengajarkan tanggapan bagaimana seharusnya orangtua
menghukum anak, yakni orangtua menunjukan kesalahan dengan pengarahan
secara langsung, menunjukan kesalahan dengan isyarat, hardikan
dan pukulan. Hukumsn pukulan adalah jalan
terakhir untuk menghukum anak agar jera, namun pukulan tersebut harus didasari rasa
kasih sayang. Bunadi Hidayat, op.cit, hlm. 183.
[9]Menurut madzhab Hanafi boleh menta'zir dengan pakai
uang tapi bila sudah taubat, harus dikembalikan uangnya.fiqh ala al madzhab al-arba'ah 5/ 401.Yang tidak memperbolehkan
silahkan dicek di kitab tanwir al
quluub,hasyiyah al jamal ala al manhaj dan gyoyah talkhis a-lmurod hamisyi
bughyah. “Dan tidak boleh menta’zir (menghukum) dengan mencukur jenggot
atau dengan mengambil harta”.(Tanwiir
al-Quluub , 2001), hlm. 392.
[10]Ta’zir tidak boleh dengan mengambil harta”. Hasyiyah
al-Jamal V/164 “Dan haram menta’zir dengan mencukur janggut, memotong anggauta
dan melukainya, Ta’zir diharamkan juga dengan mengambil atau merusak harta
benda karena tidak terdapati ketetapan syara’ yang demikian dari prilaku yang
dapat diikuti dan karena tujuan diperlakukan menta’zir demi mengajari tatakrama
yang tidak ada ketentuan dengan merusak harta benda berbeda menurut Imam
Taqiyuddin yang memperkenankan ta’zir dengan mengambil atau merusak harta
benda”. Mathaalib Uli al-Nuhaa, Jilid VI, hlm. 224.
[11]Seorang
sahaya menganiaya sahaya lainnya, maka bagi sahaya yang menganiaya diperlakukan
ta’zir dari sayyidnya sesuai petunjuk hakim atau yang ditempatkan pada
posisinya dengan dipenjara, dipukul, atau dinaikkan keledai dengan berbalik dan
semacamnya.Janganlah memberikan balasannya pada sahaya yang dianiaya, dan tidak
diperbolehkan menta’zir dengan mengambil harta benda menurut kami
(Syafi’iyyah). Bughyah al-Mustarsyidiin ,tt, hlm. 532.
[12] Sayid
Sabiq, Fiq-hus Sunnah, (terj), Jilid
2 (Toha Putra : Semarang, 1989),302.Jarâimu
al-hudûd (delik
hukuman kejahatan), yang meliputi kasus; perzinahan, tuduhan berzina tanpa
bukti yang akurat, pencurian, mabuk-mabukan, muhârabah (pemberontakan dalam
negara Islam dan pengacau keamanan), murtad, dan perbuatan melampui batas
lainnya.
[13] . Nihâyah
al-Muhtâj, Jilid VIII, hlm. 21.
Bentuk Ta’zir bisa dengan berupa dipenjarakan
atau pukulan yang tidak menyakitkan, menampar, atau mencelanya dengan ucapan
atau diasingkan dalam kurun kurang setahun didaerah yang panas atau kurang dari
kurun separoh tahun didaerah yang dingin atau diberdirikan dalam satu majlis
atau dibuka penutup kepalanya atau dicoreng hitam mukanya atau dicukur
rambutnya bagi orang yang tidak suka potong rambut tapi tidak dicukur
jenggotnya meskipun menurut kami hal demikian adalah makruh menurut pendapat
yang paling shahih, atau dinaikkan pada keledai dengan berbalik dan diarak
berkeliling di tengah-tengah orang banyak dan mengancamnya dengan aneka
siksaan-siksaan lainnya
[14] Yusti Probowati Rahayu. Dibalik Putusan Hakim. (Sidoarjo:
Citra Media, 2000),hlm 311. Mengenai berapa lama pidana penjara dijatuhkan
kepada anak nakal, Pasal 26 ayat (1)
UU 3/1997 menentukan bahwa pidana penjara yang dapat dijatuhkan
kepada anak nakal adalah paling lama
1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.Jadi,
harus dilihat kembali pada ketentuan pidananya. Misalnya, jika anak tersebut
dijerat dengan Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang menyatakan: “Barang siapa karena
kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.” Sehingga, pidana untuk
anak nakal yang melakukan pembunuhan dan dijerat dengan Pasal 359 KUHP adalah paling lama dua setengah tahun.
Pengadilan
anak-anak mencatut demi hukuman mati?Pada tahun 1995, seorang bocah di Lumajang
dijerat pasal dengan ancaman hukuman mati. Hidup-mati anak yang bernama
Ma’ruf yang masih berusia 14 tahun,
sepenuhnya berada ditangan majelis hakim. Sebab, Jaksa Imam Sudarmadji menuduh
Ma’ruf telah melakukan pembunuhan berencana terhadap Buyar, teman sekampungnya.
Artinya, anak ke empat pasangan Sariman-Sarmi ini diancam hukuman mati
atau pidana penjara seumur hidup. Untuk perbuatan itu, ancaman hukuman paling
ringan adalah penjara 20 tahun. Menurut dakwaan jaksa, perbuatan itu terjadi pada tanggal 9 April
silam, di persawahan desa Mlawang, Kecamatan Klakah, Lumajang. Pembunuhan itu
terjadi akibat perkelahian di antara mereka dengan menggunakan clurit. Hunjaman
clurit tersangka menjadi penyebab kematian korban.
[16] Dalam kasus ini, jika anak ditahan
sebaiknya segera ditanyakan apakah ia telah ditemui oleh seorang petugas Bapas.
Dan apakah padanya telah diberikan haknya untuk tetap memperoleh penasehat
hukum, karena petugas Bapas bukanlah seorang penasehat hukum. Harus diingat, anak berhak
memperoleh dan negara wajib memberikan proses hukum yang cepat. Apabila pihak
korban akan menarik tuntutannya, penyelesaian di luar proses hukum sangat
mungkin untuk dilakukan karena petugas hukum, dalam hal ini polisi, yang
terlibat dalam proses peradilan anak diberi keleluasaan untuk melakukan
diskresi (sewaktu-waktu menghentikan proses hukum) demi kepentingan anak.
[17] Syaikh
al-Bassâm, Taudhîh al-Ahkâm, Jilid
6/210 .Bandingkan dengan Fat-hu Dzil
Jalâl, Syar-hu al-Mumti', Jild14/208 dan
Jild 5), hlm330.
[18]UU SPPA mendefenisikan anak di bawah umur
sebagai anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun, dan
membedakan anak yang terlibat dalam suatu tindak pidana dalam tiga kategori:
a.
Anak yang menjadi pelaku tindak
pidana (Pasal 1 angka 3 UU SPPA);
b.
Anak yang menjadi korban tindak
pidana (Anak Korban) (Pasal 1 angka 4 UU SPPA); dan
c.
Anak yang menjadi saksi tindak
pidana (Anak Saksi) (Pasal 1 angka 5 UU SPPA)
Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak
yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah
serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih
baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk
memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan
pembalasan. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari
proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
[20]
Komite HAM PBB (Human Rights Committee) dalam Komentar Umum No. 6
menegaskan bahwa “ekspresi tentang kejahatan yang paling serius harus diartikan
secara terbatas, bahwa pidana mati hanya dilaksanakan sebagai tindakan luar
biasa. UU Nomor 23 tahun 2002 Pasal 2 menyatakan
bahwa asas dan tujuan perlindungan anak salah satunya berlandaskan pada
prinsip-prinsip KHA : a) non diskriminasi;
b) kepentingan yang terbaik bagi anak;
c) hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan
perkembangan; dan d) penghargaan terhadap pendapat
anak.Dalam konteks anak yang berkonflik dengan hukum, undang-undang ini
mewajibkan negara untuk memberikan perlindungan khusus (Pasal 59).
[21]Hukuman
tidak dimaksudkan untuk sebuah pembalasan dan pembebasan dari dosa. Hukuman
lebih dimaksudkan sebagai cara mencegah orang untuk berbuat kejahatan. Teori
ini dikenal dalam hukum Islam sebagai “zawajir”, pencegahan, penghentian
(deterrence). Ahli hukum Islam klasik Al Mawardi (w. 1075 M), mengatakan :
“Hukuman-hukuman pidana (hudud) adalah “zawajir” (pencegahan) yang ditetapkan Tuhan agar orang tidak
melanggar hukum dan memperingatkan orang akan ancaman adanya rasa sakit jika
dia melanggarnya”. Hal ini menurutnya jauh lebih luas efek positifnya bagi
sistem kehidupan dibanding sekedar untuk menghukum pelakunya.
[22]
Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak Di Bawah
umur,(Bandung PT.Alumni : 2010),135. Bunadi Hidayat
menyatakan, murid memukul
gurunya atau petugas, ia diaggap melakukan jarimah ganda, walaupun pelakunya menganggap melakukan jarimah
tunggal, hal ini dikarenakan yang dipukul adalah petugas sehinnga oleh
hukum dianggap berbuat jarimah ganda yaitu memukul orang dan melawan
petugas.
[24]Akibat
Menggunakan Shabu-shabu : Merusak
organ-organ tubuh terutama otak, dan syaraf yang mengatur
pernafasan. Banyak yang mati karena sesak nafas, dan tiba-tiba berhenti
bernafas karena syaraf yang mengendalikan pernafasan sudah rusak dan tidak ada
lagi instruksi untuk bernafas, sehingga nafasnya putus/berhenti, dan mati. Paranoid, otak suah dipakai berpikir dan konsentrasi, jet
lag dan tidak mau makan.Rasa gembira / euforia, Rasa harga diri meningkat.1.Banyak bicara, Kewaspadaan meningkat, denyut jantung cepat.2.Pupil
mata melebar. 3.Tekanan darah meningkat, berkeringat/rasa dingin.4.Mual/muntah, (Dalam waktu 1 jam setelah pemakai gelisah). 5.Delirium/kesadaran berubah (pemakai
baru, lama, dosis tinggi), 6.Perasaan dikejar-kejar.7.Perasaan dibicarakan orang.8.Agresif
dan sifat bermusuhan..9.Rasa
gelisah.10.Tak bisa diam, (Dalam waktu 24 jam). 11.Gangguan irama detak jantung.12.Perdarahan
otak. 13.Hiperpireksia atau syok pada
pembuluh darah jantung yang berakibat meninggal.
[26]Pengertian Ghazwul
Fikri. Akar kata Ghazwul fikri berasal dari kata ghazw dan al-fikr, yang secara harfiah
dapat diartikan "Perang Pemikiran". Yang dimaksud ialah upaya-upaya
gencar pihak musuh-musuh Allah subhanahu wata’ala untuk meracuni pikiran
umat Islam agar umat Islam jauh dari Islam, lalu akhirnya membenci Islam, dan
pada tingkat akhir Islam diharapkan habis sampai ke akar-akarnya. Upaya ini
telah berlangsung sejak lama dan terus berlanjut hingga kini. Lihat M.Quraish
Shihab, Membumikan Al-Quran, Cet. XXIII (Bandung, Mizan : 2002), hlm. 47.
[27]Lihat
Nasruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif Al-Quran, (
Penerbit Paramadina, Jakarta : 2001), hlm.105. Nasruddin Umar : Barat menuduh bahwa Hukum
Islam tidak manusiawi, bahkan melanggar HAM. Bagi Barat, hukum penjara adalah
hukum yang paling manusiawi dan sesuai dengan HAM. Namun dengan uraian di atas,
terungkap jelas bahwa Hukum Sipil yang berasal dari Baratlah yang tidak
manusiawi, bahkan justru yang melanggar HAM. Dan fakta membuktikan bahwa hukum
penjara tidak efektif, nihil solutif dan kontra produktif. Karenanya, penjara
tidak menjadi hukum andalan dalam Hukum Islam, bahkan pilihan hukum terakhir
yang terburuk. Hukum Sipil miskin Dimensi Sosial maupun Dimensi Ekonomi,
apalagi Dimensi Ukhrowi. Sedang Hukum Islam kaya dimensi, baik duniawi mau pun
ukhrowi. Selain itu, Hukum Islam sangat praktis dan dinamis, sehingga
sanksi-sanksi hukumnya menjadi mudah dipahami dan ringan diimplementasikan.
Misalnya, pemabuk dicambuk, pencuri dipotong tangan, perampok tanpa membunuh
dipotong kaki dan tangan secara silang, perampok dengan membunuh dibunuh dan
disalib jasadnya sebelum dikuburkan, penzina yang muhshon dirajam hingga mati,
penzina yang tidak muhshon dicambuk seratus kali dan diasingkan setahun, pelaku
Qodzaf dicambuk delapan puluh kali,
pemberontak diperangi, pembunuhan dan penganiayaan ada dua opsi yaitu Qishosh
atau Diyat. Sedangkan selain pidana di atas dihukum dengan hukum ta'zir, yaitu
sesuai dengan ijtihad hakim atau ketetapan undang-undang negara, selama tidak
bertentangan dengan Syariat Islam. Hukum Ta'zir
ini beragam, mulai dari yang ringan seperti dijemur dan bakti sosial,
hingga yang berat seperti kerja paksa.
[28]Hasbi Ash-Shiddieqi: Paling tidak, ada empat hal
yang termasuk dalam program al-ghazwul-fikri. Pertama,
Tasykik yakni gerakan
yang berupaya menciptakan keraguan dan pendangkalan akidah kaum Muslimin
terhadap agamanya. Misalnya, dengan terus-menerus menyerang (melecehkan)
Al-Qur’an dan Hadits, melecehkan Nabi Muhammad SAW., atau mengampanyekan bahwa
hukum Islam tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Kedua, Tasywih yakni gerakan yang
berupaya menghilangkan kebanggaaan kaum Muslimin terhadap agamanya. Caranya,
memberikan gambaran Islam secara buruk sehingga timbul rasa rendah diri di
kalangan ummat Islam. Di sini, mereka melakukan pencintraan negatif tentang
agama dan ummat Islam lewat media massa dan lain-lain, sehingga Islam terkesan
menyeramkan, kejam, sadis, radikal dan lain sebagainya. Ketiga,
Tadzwib yakni pelarutan
budaya dan pemikiran. Di sini, kaum kuffar dan munafiqin
melakukan pencampuradukkan antara hak dan batil, antara ajaran Islam dan
non-Islam. Sehingga ummat Islam yang awam kebingungan mendapatkan pedoman
hidupnya. Dan, keempat, Taghrib yakni “pembaratan” dunia Islam, mendorong ummat Islam
agar menerima pemikiran dan budaya Barat, seperti sekularisme, pluralisme,
nasionalisme dan lain sebagainya. Lihat juga TM.Hasbi Ash-Shiddieqi, op.cit., hlm. 55
[31]Yusuf Qardhawi, Al-Islam Wal Ilmaniyyah Wajhan li Wajhin, Islam dan Sekulerisme,terj,(CV.Pustaka
Setia, Bandung : 2006), hlm. 227-230. Walau sikap kepura-puraan Snouck akhirnya
terbongkar, tapi pola penjajahan dengan cara ghazwul fikri seperti itu terus berkembang hingga kini.
[36] Ismail
Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam,
cet III (Jakarta
: PT Bumi Aksara, 1999),
hlm 13. Perbedaan konsep
menimbulkan produk hukum yang berbeda. Umpamanya tentang pengertian dan sanksi
hukum zina. Hukum barat/positif memandang hubungan seks diluar nikah yang
dilakukan oleh mereka yang sama-sama tidak terikat perkawinan dengan orang lain
bukan merupakan zina, jadi bukan delik, tidak dapat dihukum selama tanpa
paksaan dan tidak mengganggu ketertiban umum. Menurut hukum Barat ( termasuk
yang dianut KUHP dan BW ) yang dikatakan zina adalah hubungan seksual diluar
nikah yang dilakukakn oleh mereka ( atau salah satu dari mereka ) yang sedang
terikat perkawinan dengan orang lain. Perbuatan zina tersebut termasuk delik
aduan ( klachtendelik ), artinya tidak secara otomatis bisa dituntut, apabilla
ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan, yaitu suami atau istrinya.
[37]Juhaya
S. Praja, Sejarah Hukum Islam, (Bandung : Pustaaka Setia),2007,hlm 160. Umat Islam di tengah masyarakat Yahudi.Untuk mewujudkan agenda
mendirikan negara nasional Yahudi di Palestina yang dijamin oleh undang-undang
publik. Untuk itu mereka menyusun beberapa langkah berikut ini: Pertama,
menggalang dan mengembangkan pemukiman Yahudi di Palestina dan mendirikan
perumahan-perumahan. Kedua, koordinasi Yahudi internasional dan legalisasi
hubungan yang mengikat mereka dengan organisasi dan institusi Zionis. Ketiga,
menyebarkan spirit nasionalisme, mengembangkan rasa dan kesadaran nasional
Yahudi internasional. Keempat, mengambil langkah-langkah semestinya untuk
mendapatkan dukungan dan persetujuan negara-negara asing berkenaan dengan
konsep negara nasional Yahudi di Palestina. Samir Syathara, 100 tahun
Konferensi Bahsl, al Mujtama, 1267,
16/9/1997
[38]Santoso,Topo.Membumikan
Hukum Pidana Islam Penegakan
Syari'at Dalam Wacana dan Agenda, (Jakarta:Gema
Insani Press.,2003),339. Epistemologis Hukum Islam memandang
jika kebenaran mutlak bersumber dari Tuhan (wahyu), karena rasionalitas manusia
itu terbatas sehingga tidak semua kebenaran bisa dibuktikan secara rasional.
Dan hingga kini, Al-Qur’an terus dan akan tetap sejalan dengan perkembangan
sains, karena Al-Qur’an merupakan wahyu Tuhan yang otentik. Sedangkan Barat
memandang kebenaran secara materialis-empiris (tampak dan terbukti). Hal ini
dikarenakan Barat mengalami tragedi spiritual yang amat buruk, di mana para
ilmuwan sains pada tahun 1600-an M (seperti Galileo dan Copernicus) dihukum
karena dianggap telah menentang Gereja, sehingga komunitas ilmuwan akhirnya
sepakat bahwa kebenaran sejati akan didapat jika mereka berlepas diri dari
dogma Gereja dan menggunakan rasionalitas mereka untuk membuktikan kebenaran
secara empiris. Perbedaan Islam dan Barat jelas akan menimbulkan benturan hebat
dalam peradaban dunia seperti yang disebutkan Samuel P. Huntington. Salah satu
akibatnya, negara-negara dunia yang men-declare sebagai negara Islam
atau negara dengan mayoritas penduduk Islam akan cenderung menolak sistem
Barat. Dan telah kita ketahui bersama bahwa potensi energi dunia
tersimpan di rahim bumi negara-negara Islam, sehingga dalam konteks ini hasrat
barat untuk menguasai minyak bumi menjadi terhambat.
[39]Suma,Muahammad
Amin.. Hukum Keluarga Islam Di Dunia
Islam,(Jakarta : Raja Grafindo Persada,2004),117.Hifdz al-Nasl,menjaga keturunan, yakni dianjurkannya
nikah demi menjaga keturunan, juga diharamkannya zina karena merusak keturunan. Adalah Thahir Ibnu ‘Asyur seorang pakar maqashid syari’ah yang berasal
dari Tunisia. Secara umum gagasan Ibnu ‘Asyur hampir sama dengan wacana yang
ditawarkan oleh al-syathibi, hanya saja beliau telah berjasa dalam
mengembangkan disiplin ilmu maqashid syari’ah dan menjadikannya sebagai
disiplin ilmu baru yang terpisah dengan ilmu ushul fiqh. Lihat
Al-Suyuty, Al-Asbah wa al-Nazha’ir,
terj, Mustafa Muhammad, Kairo:1986),63.
[42]Abu Abdillah Ahmad bin Al-Isawi, op.cit, 579.Beberapa
kaidah yang “bersifat individu” dalam beberapa kesempatan sebelumnya telah
banyak dibahas. Memberikan hukuman fisik kepada anak, menyangkut tentang niat (al
umuuru biaqashidiha), al yaqiinu la yuzalu bi al syak, dan lain-lain.
Beberapa kaidah tersebut merupakan kaidah yang “bersifat individu. Dalam
kesempatan ini, kaidah yang akan menjadi obyek pembahasan adalah kaidah yang
tidak hanya melibatkan satu pihak individu saja, tetapi dalam implementasi
kaidah ini melibatkan banyak pihak, karena dalam penerapannya, kaidah ini
sering digunakan dalam fiqh siyasah. Seperti yang diketahui bahwa fiqh siyasah
adalah hukum Islam yang obyek bahasannya mengenai kekuasaan dan bagaimana
menjalankan kekuasaan tesebut. Apabila disederhanakan, fiqh siyasah meliputi
Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Internasional.3 Apabila
dilihat dari sisi hubungan, fiqih siyasah berbicara tentang hubungan antara
rakyat dengan pemimpinnya sebagai penguasa yang konkret di dalam sebuah Negara
atau antarnegara atau dalam kebijakan-kebijakan ekonominya baik nasional maupun
internasional.
[45]
Said Agil Siradj, Ahlussunnah Wal Jamaah dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta:
LKPSM, 1999),hlm.21-26. Khams
(lima prinsip pokok) yang menjadi kebutuhan primer (dharuri) bagi setiap insan.
Kelima prinsip tersebut adalah:a)Hifzhun Nafs, yaitu jaminan atas jiwa
(kehidupan) yang dirniliki warga negara (rakyat).b)Hifzhud Din, yaitu
jaminan kepada warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya.c)Hifzhul
Mal, yaitu jaminan terhadap keselamatan harta benda yang dirniliki oleh
warga negara.d)Hifzhun Nasl, yaitu jaminan terhadap asal-usul,
identitas, garis keturunan setiap warga negara.e) Hifzhul 'lrdh, yaitu
jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan
setiap warga negara. Kelima prinsip di atas beserta uraian derivatifnya dalam
era sekarang ini lebih menyerupai Hak Asasi Manusia (HAM).
[51] Eva
Achjani Zulfa, Keadilan
Restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem
peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan
korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem
peradilan pidana yang ada pada saat ini. Dipihak lain, keadilan restoratif juga
merupakan suatu kerangka berfikir yang baru yang dapat digunakan dalam merespon
suatu tindak pidana bagi penegak dan pekerja hukum. Restoratif merupakan suatu
paradigma yang dapat dipakai sebagai bingkai dari strategi penanganan perkara
pidana yang bertujuan menjawab ketidakpuasan atas bekerjanya sistem peradilan
pidana yang ada saat ini.
No comments:
Post a Comment