TIADA AGAMA, YANG JAHAT
PENGANUTNYA, KURANG SEHAT
PENGARUH POLITIK, YANG SESAT
PENGIKUT AGAMA, DIPERALAT
AGAMA YANG JAHAT ?
Bagaimana mungkin orang-orang yang
berzikir dianggap sesat sementara orang-orang yang berjudi atau mabuk-mabukan
di kafe bebas dari cacian kelompok tersebut?
Kelompok Salafi Wahabi ini dalam
memahami Al Qur’an sepotong-sepotong tanpa memakai akal dan juga pendapat para
Salaf seperti Imam Madzhab (Bukan Ibnu Taimiyyah yg lahir di tahun 728 H).
“Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah
suara keledai. ” [Luqman 19]
“Ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara
yang lembut” [Maryam 3]
Dari Ibnu ’Abbas Ra. berkata:
“bahwasanya dzikir dengan suara keras setelah selesai shalat wajib adalah
biasa pada masa Rasulullah SAW”. Kata Ibnu ’Abbas, “Aku segera tahu bahwa
mereka telah selesai shalat, kalau suara mereka membaca dzikir
telah kedengaran”.[Lihat Shahih Muslim I, Bab Shalat. Hal senada juga
diungkapkan oleh al Bukhari (lihat: Shahih al Bukhari hal: 109, Juz I)]
Pertamakali saya menganggap
gerakan Wahabi itu bagus. Niatnya untuk memurnikan ajaran Islam. Tapi
lama-kelamaan kok jadi ekstrim membahas masalah-masalah furu’iyah dan
khilafiyah dengan ujung-ujungnya membid’ahkan dan mengkafirkan sesama Muslim.
Di antara yang mereka ributkan dan vonis
bid’ah adalah:
-
Dzikir berjama’ah
-
Dzikir dengan suara keras seperti shalat ‘Isya
-
Isbal
-
Maulid Nabi
-
Pengajaran Sifat 20 yang disusun Imam Abu Hasan Al Asy’ari
Dengan vonis bid’ah, artinya yang dituduh itu sesat dan masuk neraka. Sebetulnya
jika kita teliti sejarah, justru Muhammad Bin Abdul Wahhab bersama dengan
Ibnu Saud dibantu dengan dana dan senjata oleh Pemerintah Inggris guna melawan
Kekhalifahan Islam Turki Usmani.
Tidak ada catatan sejarah yang
menuliskan Muhammad bin Abdul Wahhab dengan Ibnu Saud atau Arab Saudi berperang
melawan Inggris. Semua melawan ummat Islam seperti pasukan Pemerintah Khalifah
Turki Usmani.
JIKA kita sadari, tidak semua bencana
di dunia ini mempunyai basis agama. Tetapi, dalam kenyataannya, banyak sekali
bencana terjadi atas nama agama. Dari hari-ke hari muncul berita; teror atas
nama Islam, pengeboman oleh orang-orang Kristen dan Katolik, pembunuhan oleh
pengikut Hindu dan Budha, perang di Afrika; perang antara umat Katolik,
ortodoks dan Muslim, penindasan keadilan di Amerika Latin dan lain-lain.
Kenyataan sejarah menunjukkan, eksistensi agama sama sekali memang tidak dapat steril dari berbagai hasrat dan kepentingan manusia, sehingga dalam titik-titik tertentu agama kerap kali mengorbankan manusia itu sendiri dengan cara mengatasnamakan agama (Tuhan). Menyadari hal itu semua, agama selain diyakini sebagai media integratif, tetapi juga rentan mendorong terjadinya disintegratif bagi umat manusia. Sehingga jati diri agama sepertinya terkesan paradoks. Karena agama, manusia bisa saling berlomba-lomba berbuat kebajikan, saling mencintai dan menolong satu sama lain. Tetapi, atas nama agama pula, manusia bisa saling berperang, menghancurkan dan bahkan membunuh sesama manusia sendiri.
Setelah melihat kenyataan paradoks demikian itu, lalu di manakah letak kesalahan agama ketika terjadi ketidakseimbangan (equilibrium) antara nilai positif dan negatif. Menurut Charles Kimball, penulis buku yang berjudul “Kala Agama Jadi Bencana” memetakan ada beberapa sebab mengapa agama itu menjadi sumber bencana. Tanda bencana itu di antaranya; pertama, adannya truth claim (pengakuan kebenaran) mutlak yang diyakini hanya pada agamanya sendiri. Bila hal ini terjadi, agama tersebut dapat saja mendorong umatnya untuk berprilaku acuh terhadap agama lain. Artinya, bahwa agama yang diyakininya tidak mungkin salah, dan berpretensi bahwa agama lain justru yang salah. Dengan adanya klaim kebenaran ini akhirnya agama menjadi sempit, tertutup, terisolasi dari agama lain, padahal dalam hal-hal tertentu sesungguhnya kebenaran itu juga bisa ditemukan pada agama lain.
Adanya klaim kebenaran itu lebih-lebih digali dari sumber ajaran kitab suci, yang mengajarkan hanya ada satu kebenaran yang multak, yaitu agama sendiri, di luar itu berarti tidak benar. Di samping itu, ketika kitab suci keliru dintepretasikan, juga bisa menjadi bencana sesama pemeluk agama sendiri, seperti perbedaan pandang antara kaum laki-laki dan perempuan dalam segala aspeknya. Karena kekeliruan interpretasi teks suci, akhirnya agama menjadi sumber bencana.
Lebih lanjut, Charles Kimball juga menengarahi bahwa tanda bencana yang kedua itu adalah kepatuhan atau ketaatan buta. Hampir semua agama terdapat suatu kultus atau sekte yang menyebabkan perbedaan satu sama lain. Setiap sekte memiliki corak dan karakteristik pemahaman yang seolah-olah menjadi sebuah “agama baru”. Lebih-lebih, ketaatan buta itu dinisbatkan pada pemimpin (pencetus) “agama baru” tersebut. Kalaupun tidak menjadi “agama baru”, hal ini bisa berupa gerakan-gerakan kecil yang berbahaya. Kita dapat melihat gerakan semacam ini pada Islam seperti pertentangan mazhab Sunni dan Syi’ah; di Kristen terdapat sekte Ortodoks, Katolik dan Protestan; ada puluhan mazhab Budha Theravada, Mahayana, dan Vajrayana diseluruh dunia; ratusan tradisi keagamaan membentuk apa yang semula agama Hindu di Barat; dan banyak kelompok dapat diidentifikasi dalam cabang Yahudi Ortodoks, Konservatif, dan Reformis.
Tanda bencana agama yang ketiga, adalah pemaksaan terhadap pembentukan “zaman ideal”. Meskipun, zaman ideal itu telah bertentangan dengan zaman sekarang, visi-misi dan otoritatif yang dipahami dari doktrin agama harus terealisasi. Kemauan tersebut biasanya mendorong pengikut agama untuk mendirikan suatu negara-agama, negara teokratis. Hal semacam ini telah terbukti di Afghanistan, dengan berdirinya rezim Taliban yang kejam terhadap warganya sendiri demi ketaatan terhadap syari’at Islam sebagai hukum negara; ide negara (agama) Yahudi juga pernah dicetuskan Rabi Mei Kahena yang konsekwensinya harus mengusir warga Arab di daerah Judea dan Samaria; hal yang serupa juga pernah tercetus Pendeta Pat Robertson kelompok koalisi Kristen Amerika yang berusaha mengubah struktur hukum dan negara dalam cahaya Injil.
Pada saat yang sama, sumber bencana yang keempat, yaitu ketika agama “menghalalkan segala cara”. Praktek nyata yang sering muncul adalah ketika agama mempertahankan “Tempat Suci” mereka masing-masing. Setiap agama hampir mendoktrin bahwa mempertahankan “tempat suci” adalah jihad di jalan Tuhan. Karenanya, setiap pelaku agama berkewajiban menjaga dan apabila terjadi insiden antar pelaku agama, mereka berusaha membenarkan segala cara demi keselamatan tempat suci mereka. Contoh kasus ini banyak terjadi, baik pada agama-agama besar maupun agama kecil. Bahkan, ketegangan masih terus terjadi di Timur Tengah, sebagai sebuah tempat kelahiran mayoritas agama-agama dunia.
Terkait dengan point keempat, sumber bencana yang terakhir, adalah ketika agama menyerukan perang suci (holy war). Agama dipandang sebagai tujuan yang jahat dan korup. Prakteknya, mudah kita temukan pada agama-agama, khususnya pada agama samawi (profetis). Jihad misalnya, sebuah seruan dalam Islam yang mengatasnamakan tujuan Tuhan dengan konsekuensi jaminan mati syahid (mati suci). Padahal, secara etimologis Islam berakar dari kata s-l-m memiliki arti yang penuh “kedamaian, kepasrahan, ketundukan”, kepada Tuhan.
Seruan “perang suci” yang merupakan sumber malapetaka, biasanya lebih mengutamakan kepentingan Tuhan daripada kepentingan manusia. Sehingga apapun cara yang ditempuh harus dapat memenuhi kepentingan Tuhan walaupun harus dengan mengorbankan kepentingan manusia itu sendiri. Jika hal ini menjadi “doktrin agama”, maka agama akan semakin jahat dan korup.
Sebagai modal untuk menghindari itu semua, maka umat beragama harus berani membangun iman inklusif yang berakar pada agama. Sehingga agama tidak hanya dipandang sebagai hubungan teologis (manusia dan Tuhan), tetapi harus melibatkan kesadaran berkelompok (sosiologis), kesadaran pencapaian asal usul agama (antropologis), pemenuhan kebutuhan untuk membentuk kepribadian yang kuat dan ketenangan jiwa (psikologis), bahkan ajaran agama dapat diteliti sejauh mana keterlibatan ajaran etikanya dengan corak pandangan hidup yang memberi dorongan kuat untuk memperoleh derajat kesejahteraan hidup yang optimal (ekonomi).
Agama, hari-hari ini, adalah sebuah nama yang terkesan membuat
gentar dan cemas. Agama-di tangan para pemeluknya-belakangan ini sering tampil
dengan wajah kekerasannya, dan, bersamaan dengan itu, seolah-olah telah
kehilangan wajah ramahnya.
� Dalam beberapa tahun, kita saksikan:
� * Teror 11 September di Amerika yang menewaskan ribuan manusia yang tak tahu apa-apa.
� * Bom Bali yang menewaskan ratusan nyawa.
� * Rangkaian bom bunuh diri di Israel yang juga tak jarang menewaskan warga sipil biasa.
� * Teror gas beracun Aum Shinrikyo pimpinan Asahara Shoko di Jepang (1990-an).
� * Kekerasan rezim Taliban di Afganistan terhadap warganya sendiri demi apa yang meraka pandang sebagai ketaatan terhadap syariat Islam sebagai hukum negara.
� * Kekerasan kelompok ekstremis Yahudi Israel pimpinan Rabi Mei Kahane atas warga Arab Palestina.
� * Bunuh diri massal pada Peoples Temple pimpinan Jim Jones di Guyana (1970-an) dan pada gerakan David Koresh di Texas (1990-an)
� Orang pun bertanya-tanya: ada apa dengan agama? Adakah agama memang mengandung unsur-unsur yang melegitimasi kekerasan, bahkan teror? Apakah agama berperan sebagai sumber problem atau sumber solusi? Bagaimana mengenali terjadinya pembusukan di tubuh agama? Apa yang (masih) tersisa dari agama?
�
� Problem-problem kompleks itu-terutama akar-akar kekerasan religius-dicoba ditelusuri dan dipetakan oleh Charles Kimball, pakar sejarah dan perbandingan agama (Yahudi-Kristen-Islam). Dengan peta analisis ini, pengarang berhasil menjelaskan berbagai fenomena kekerasan religius dewasa ini.
� Sebagai jalan keluarnya, Kimball mengimbau kita agar kembali ke agama autentik, yakni, modus keberagamaan yang tidak sekedar bersetia dengan doktrin skriptural yang statis, tetapi sebuah iman yang hidup dan menghidupi kemanusiaan universal.
� Lepas dari pro-kontra terhadapnya, buku ini dapat menjadi bahan diskusi dan refleksi yang kaya bagi para penganut, pengamat, dan pengkaji agama.
� Charles Kimball adalah Guru Besar Studi Agama dan ketua Departemen Agama di Universitas Wake Forest. Dia adalah seorang doktor lulusan Universitas Harvard dalam bidang Perbandingan Agama dengan spesialisasi di bidang Studi-Studi Islam.
� Charles Kimball laksana membunyikan 'lonceng kebakaran di malam hari'. Jika dunia ingin diselamatkan, kita harus memulainya dengan membersihkan unsur-unsur kebencian yang ada di dalam agama."
� Arthur Hertzberg
� Guru Besar Humanities, Universitas New York
� Dalam beberapa tahun, kita saksikan:
� * Teror 11 September di Amerika yang menewaskan ribuan manusia yang tak tahu apa-apa.
� * Bom Bali yang menewaskan ratusan nyawa.
� * Rangkaian bom bunuh diri di Israel yang juga tak jarang menewaskan warga sipil biasa.
� * Teror gas beracun Aum Shinrikyo pimpinan Asahara Shoko di Jepang (1990-an).
� * Kekerasan rezim Taliban di Afganistan terhadap warganya sendiri demi apa yang meraka pandang sebagai ketaatan terhadap syariat Islam sebagai hukum negara.
� * Kekerasan kelompok ekstremis Yahudi Israel pimpinan Rabi Mei Kahane atas warga Arab Palestina.
� * Bunuh diri massal pada Peoples Temple pimpinan Jim Jones di Guyana (1970-an) dan pada gerakan David Koresh di Texas (1990-an)
� Orang pun bertanya-tanya: ada apa dengan agama? Adakah agama memang mengandung unsur-unsur yang melegitimasi kekerasan, bahkan teror? Apakah agama berperan sebagai sumber problem atau sumber solusi? Bagaimana mengenali terjadinya pembusukan di tubuh agama? Apa yang (masih) tersisa dari agama?
�
� Problem-problem kompleks itu-terutama akar-akar kekerasan religius-dicoba ditelusuri dan dipetakan oleh Charles Kimball, pakar sejarah dan perbandingan agama (Yahudi-Kristen-Islam). Dengan peta analisis ini, pengarang berhasil menjelaskan berbagai fenomena kekerasan religius dewasa ini.
� Sebagai jalan keluarnya, Kimball mengimbau kita agar kembali ke agama autentik, yakni, modus keberagamaan yang tidak sekedar bersetia dengan doktrin skriptural yang statis, tetapi sebuah iman yang hidup dan menghidupi kemanusiaan universal.
� Lepas dari pro-kontra terhadapnya, buku ini dapat menjadi bahan diskusi dan refleksi yang kaya bagi para penganut, pengamat, dan pengkaji agama.
� Charles Kimball adalah Guru Besar Studi Agama dan ketua Departemen Agama di Universitas Wake Forest. Dia adalah seorang doktor lulusan Universitas Harvard dalam bidang Perbandingan Agama dengan spesialisasi di bidang Studi-Studi Islam.
� Charles Kimball laksana membunyikan 'lonceng kebakaran di malam hari'. Jika dunia ingin diselamatkan, kita harus memulainya dengan membersihkan unsur-unsur kebencian yang ada di dalam agama."
� Arthur Hertzberg
� Guru Besar Humanities, Universitas New York
Agama yang dimaksudkan
untuk menghindari kekacauan, sebaliknya justru bisa menjadi bencana bagi umat
manusia. Dalam bukunya When Religion Becomes Evil (2002), Charles Kimball
mengemukakan lima sebab yang bisa mengubah agama menjadi bencana, yakni klaim
kebenaran mutlak, ketundukan buta, ingin mengembalikan masa keemasan,
membenarkan segala cara, dan menyatakan perang suci.
Jika
sebab-sebab itu secara alternatif telah menjadi karakter sebuah kelompok
keyakinan apa pun, keyakinan itu sejatinya tengah mengalami pembusukan dari
dalam, karena klaim kebenaran mutlak adalah hak mutlak Tuhan semata (al-Haqq),
ketundukan buta adalah mengingkari perintah kitab suci untuk senantiasa
berpikir (tafakkar), mengembalikan masa keemasan justru mengingkari gerak waktu
yang tidak surut dan setiap masa memiliki masalahnya sendiri yang harus dijawab
oleh generasinya, tujuan yang baik tidak pernah menghalalkan segala cara, dan
perang tidak pernah suci.
Celakanya,
kelima sebab yang bisa mengubah agama menjadi bencana di atas menggejala jua di
lingkungan umat muslim di dalam sejarahnya atau bahkan masih terus menyejarah.
Klaim kebenaran mutlak, umpamanya, bisa datang dari para fukaha (ahli fikih)
dengan menyatakan bahwa syariah dan/atau fikih berstatus suci dan karenanya
mesti diamalkan tanpa boleh ditawar-tawar lagi. Bahkan kerap dibarengi dengan
sikap mengafirkan (tafkir) orang lain yang tak bersetuju dengannya seraya
menghalalkan darahnya.
Padahal, menurut
Ziauddin Sardar, syariah taklah suci. Itu hanya pemikiran manusia, yang bisa
benar atau salah. Hanya Alquran yang suci. Pemahaman atas agama sebagai rujukan
praktek ajarannya, bagaimanapun tidak bisa lepas dari teori laden. Suatu
pernyataan adalah teori laden jika istilah-istilahnya hanya menciptakan makna
di dalam cahaya dari serangkaian prinsip teoritis.
Peringatan
Nabi saw. justru sangat mendasar, baik secara epistemologis maupun praktis, tidak
seorang pun punya hak untuk mengklaim mewakili Islam. Usaha memahami ajaran
Islam sendiri hanya bisa dilakukan sedekat mungkin dengan pesan yang sebenarnya
dan tidak pernah mencapai pesan yang sebenarnya sebagaimana yang dimaksudkan
oleh Tuhan. Maka hasil yang diperoleh pun tidak lagi sepenuhnya bisa diklaim
sebagai pesan agama itu sendiri. Bahkan, dalam kasus yang sangat
memprihatinkan, pemahaman itu pun acap mendistorsi pesan agama yang sebenarnya.
Ketika yang terakhir
ini terwujud dalam bentuk praktek dan dilihat sebagai manifestasi sosial agama
itu sendiri, maka agama tengah mengalami destruksi eksistensial (al-din mahjub
bi al-mudayyinin) dan bisa berubah menjadi bencana, baik bagi para penganut
agama itu sendiri maupun lainnya. “Islam musnah/tertutup oleh umat Islam
sendiri (al-Islam mahjub bi al-muslimin),” demikian ungkapan populer
menuturkan.
Itulah
sebabnya Ziauddin Sardar, pemikir muslim dari London, menawarkan perlunya
pemikiran ulang (rethinking) terhadap
Islam. Syariah yang berlaku sekarang yang merupakan produk abad ke-8 dan ke-12
mesti diperbarui untuk menjawab tantangan umat pada abad ke-21. Yang terjadi
sekarang ini adalah sebuah kenyataan bahwa fikih yang digunakan umat muslim
merupakan fikih yang terbelakang, konservatif, dan tidak sejalan dengan
paradigma kebangunan umat.
Demikian pula Jamal
al-Banna melalui bukunya Nahwa Fiqh Jadid sebanyak tiga jilid mempermaklumkan
gagasan manifesto fikih baru.
Membincang fikih, dalam
konteks melakukan pembacaan ulang dan penyusunan ulang, merupakan sebuah
keniscayaan, tandas al-Banna. Meskipun pemikirannya barangkali tidak terwujud
sekarang, al-Banna berharap mungkin saja terwujud pada tahun-tahun yang akan
datang oleh generasi muslim yang mempunyai ghirah untuk melakukan pembaruan ke
arah pemahaman keagamaan yang dinamis, kreatif, dan memberikan harapan bagi
umat muslim.
Ketundukan
buta atau sikap taklid adalah mengingkari perintah kitab suci untuk senantiasa
berpikir (tafakkar). Banyak ayat Alquran yang diakhiri dengan frasa la
tatafakarun (tidakkah engkau berpikir). Hal ini barang tentu menuntut pribadi
muslim untuk bersikap rasional dan tidak menginjak akal di dalam beragama,
untuk senantiasa mewaspadai diri sendiri dalam beragama, untuk bersikap kritis
dan bukan larut belaka di dalam keyakinan komunitasnya yang bukan mustahil
justru keliru. Sekaitan ini, menarik membaca pengalaman religius Ziauddin
Sardar yang bertolak dari seorang tradisionalis, tetapi kemudian mengantarkan
dia menjadi seorang muslim skeptis seperti tertuang dalam memoarnya yang
menarik, Desperately Seeking Paradise: Journeys of A Sceptical Muslim.
Upaya
mengembalikan masa keemasan terjadi misalnya pada sekte Wahabi yang
diperkenalkan oleh seorang fanatik abad ke-18 di Arab Saudi, yaitu Syekh
Muhammad ibn ‘Abd al-Wahab melalui bukunya At-Tauhid (Monotheism) seraya
beraliansi dengan Ibn Saud, yang pada 1925 melahirkan kerajaan Arab Saudi yang
berpaham Wahabi. Kaum Wahabi sendiri menyebut diri mereka al-Muwahhidun atau
Ahl al-Tawhid, sedangkan sebutan Wahabi diberikan oleh orang di luar mereka.
Gagasan
utama al-Wahhab adalah bahwa umat Islam telah melakukan kesalahan dengan
menyimpang dari jalan Islam yang lurus, dan hanya dengan kembali ke
satu-satunya agama yang benar mereka akan diterima dan mendapat rida Allah.
Mereka menganggap sejarah Islam berhenti pada masa Kalifah (dinasti) seraya
menyebutnya sebagai masa keemasan, padahal sejatinya al-Wahhab mendeklarasikan
bentuk budaya Badui Najd sebagai satu-satunya Islam sejati dan kemudian
menguniversalkannya dengan menjadikannya sebagai sesuatu yang wajib diikuti
oleh semua umat Islam. Sementara itu, kaum Wahabi kiwari menerima budaya Arab
Saudi dan menguniversalkannya dengan menyebutnya sebagai satu-satunya Islam
yang benar.
Ekspansi
Wahabi sampai jua ke Nusantara seperti tampak pada kaum Paderi di Minangkabau.
Tapi janganlah lupa bahwa NU didirikan pada 1926 persis untuk menahan ekspansi
Wahhabisme itu di Nusantara. Ketika petrodolar melimpah ruah pada 1975, Wahabi
melakukan ekspansi ke seluruh dunia. Mereka menyediakan sejumlah uang untuk
membantu umat muslim sedunia sepanjang bersedia mengikuti fikih mereka.
Terjemahan Alquran bahasa Inggris yang dicetak indah dengan biaya tanpa batas
di Arab Saudi dibagikan secara gratis di hampir setiap pusat kegiatan islam di
Amerika. Terjemahan subversif ini ditemukan di setiap toko buku muslim
berbahasa Inggris. Penerjemahnya adalah para profesor di Universitas Madinah
dan diverifikasi (tahkik) oleh almarhum ‘Abd al-Aziz bin Bazz, kepala
Kementerian Riset Islam, Opini Legal, Dakwah, dan Bimbingan, yang notabene
seorang ulama buta yang tidak paham sepatah kata pun bahasa Inggris. Terjemahan
itu sejatinya adalah reproduksi sepenuhnya dari pandangan Bin Bazz dengan semua
keanehannya.
Penghalalan
segala cara di dalam mencapai tujuan yang baik tampak misalnya pada pengertian
jihad yang dibelokkan artinya menjadi perang (al-qital), termasuk pemilahan
tegas atas dar al- harb atau kadang disebut dar al-kufr (wilayah perang,
wilayah orang kafir) dan dar al-Islam (wilayah damai). Di dalam definisi yang
aneh itu tentu saja kegiatan intelektual dan etika kerja yang kuat secara
spiritual dan material dikeluarkan dari pengertian jihad. Padahal Nabi Muhammad
berulang-ulang mengajarkan bahwa bentuk jihad terbesar adalah memerangi hasrat
rendah manusia atau menyampaikan kebenaran di hadapan kekuasaan yang menindas
sebagai konsekuensi berbicara seperti itu. Sikap mengafirkan pihak lain yang
tak setuju dengan pandangannya juga bentuk penghalalan segala cara.
Pernyataan
bahwa perang bersifat suci juga suatu salah kaprah. Menerjemahkan jihad sebagai
the holy war (perang suci) di dalam bahasa Inggris taklah dapat diterima.
Apakah ada teologi “perang suci” dalam pengertian “Maju, tentara Kristen” dalam
keyakinan Katolik? Jawabnya pastilah tidak, sebagaimana tradisi teologis Islam
tidak memiliki gagasan berkaitan dengan perang suci. Islam tak punya semacam
institusi otoritas kependetaan yang bisa membuat keputusan mengenai status
kesucian sebuah perang. Perbedaan utamanya adalah bahwa di dalam agama Kristen
terdapat sebuah institusi yang bisa secara menentukan dan konklusif menyatakan
sekelompok pasukan tertentu berstatus Tentara Salib atau peziarah dalam tentara
Tuhan, dan menjamin penebusan bagi para prajurit ini. Di dalam Islam, tak
seorang pun, bahkan kalifah atau ahli hukum yang paling tinggi kedudukannya
pun, yang memiliki kekuasaan hebat untuk menjamin penebusan atau memutuskan
sebuah operasi militer dengan status suci atau ilahiah.
“Perang
Suci” (al-harb al-muqaddasah) bukanlah ungkapan yang dipakai oleh Alquran atau
para teolog muslim. Dalam akidah Islam, perang itu tidak pernah suci; ia bisa
dibenarkan atau bisa juga tidak. Bila dibenarkan, mereka yang terbunuh
dipandang sebagai syuhada. Tapi penentuan status syahid ada di dalam wilayah
eksklusif Tuhan; hanya Tuhan yang bisa menilai niat seseorang dan ketulusan
niatnya, dan akhirnya menentukan apakah mereka layak atas status syuhada.
Demikianlah
kelima sebab yang bisa mengubah agama menjadi bencana di dalam konteks Islam.
Tak pelak, hal sama juga menggejala di dalam agama lain. Tentu saja kita mesti
menghindari semua itu. Terma agama yang berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu a
(tidak) dan gama (kacau), janganlah direduksi menjadi gama (kacau). Jika ini
yang terjadi, dapatlah dimafhumi manakala John Lenon semasa hidupnya mendendangkan
lirik lagu Imagine yang digubahnya secara sedemikian getir, termasuk dalamnya
karena agama telah menjadi bencana. Berikut petikannya: imagine there’s no
countries/ it isn’t hard to do/ nothing to kill or die for/ no religion too. n
No comments:
Post a Comment